بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Minggu, 05 Juni 2016

KITA YANG EGOIS



Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku,
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Ali ‘Imraan ayat 91 berikut ini:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ وَمَاتُواْ وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَن يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِم مِّلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَىٰ بِهِ أُوْلَــٰــئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُم مِّن نَّـــــٰـصِرِينَ ﴿٩١﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang di antara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong”. (QS. Ali ‘Imraan. 91).

Ya, bagi orang yang kafir dan mati dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima darinya emas sepenuh bumi, meskipun dia menebus dirinya dengan emas sebanyak itu. Hal ini sekaligus juga menunjukkan betapa nikmat iman itu adalah lebih baik dari emas sepenuh bumi ini.

Saudaraku,
Dari uraian di atas, menunjukkan betapa iman adalah nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Karier yang melejit/jabatan yang tinggi, harta yang melimpah, isteri yang cantik menawan, semuanya itu tiada artinya tanpa adanya iman. Sebaliknya, meski tiada jabatan yang melekat, jauh dari limpahan harta, tak ada isteri cantik menawan yang mendampingi, semuanya itu tidak akan menjadikan seseorang hina selama masih ada iman, karena nilai iman itu adalah lebih tinggi dari semuanya itu, bahkan lebih tinggi/lebih lebih baik dari emas sepenuh bumi ini.

Pertanyaannya adalah: dari mana kita mengenal Islam dan memeluk Agama Islam? Tentunya sangat banyak di antara kita yang akan mengatakan bahwa jawabannya adalah dari orang tua kita. Jika pertanyaan tersebut dilanjutkan: dari mana orang tua kita mengenal Islam dan memeluk Agama Islam? Tentunya juga sangat banyak di antara kita yang akan mengatakan bahwa jawabannya adalah dari kakek/nenek kita.

Jika pertanyaan tersebut dilanjutkan terus, maka sampailah kita pada satu jawaban yang sama, bahwa hal itu semua ternyata tak lepas dari upaya tak kenal lelah dalam mendakwahkan Islam dengan mengorbankan waktu, tenaga, harta bahkan nyawa, yang semuanya itu telah dilakukan oleh para pendahulu kita, sehingga bangsa kita yang dahulunya mayoritas beragama Hindu atau Budha, kini menjadi mayoritas beragama Islam.

Seandainya para pendahulu kita tidak pernah berupaya untuk mendakwahkan Islam dengan pengorbanan yang luar biasa tersebut, maka bisa jadi bangsa kita mayoritas tidak akan pernah mengenal Islam dan akan tetap beragama Hindu atau Budha. Sehingga bisa jadi mayoritas orang tua kita juga tidak akan pernah mengenal Islam dan akan beragama Hindu atau Budha, yang oleh karenanya bisa jadi pula, kita juga tidak akan pernah mengenal Islam dan akan beragama Hindu atau Budha.

Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan, bahwa jika pada saat ini kita bisa mengenal Islam dan memeluk Agama Islam, maka sesungguhnya hal itu semua tak lepas dari upaya tak kenal lelah dalam mendakwahkan Islam, yang semuanya itu telah dilakukan oleh para pendahulu kita, sehingga bangsa kita yang dahulunya mayoritas beragama Hindu atau Budha, kini menjadi mayoritas beragama Islam.

Sehingga sangat mudah dipahami betapa egoisnya kita, jika kita yang telah mengenal Islam dan memeluk Agama Islam secara gratis ini, namun tidak mau bagi-bagi kepada saudara kita yang lain yang selama ini masih belum bisa merasakan nikmatnya iman ini. (Na’udzubillahi mindzalika!).

Saudaraku,
Jika kita mengambil sikap diam seperti ini (kita yang telah mengenal Islam dan memeluk Agama Islam secara gratis, namun tidak mau bagi-bagi kepada saudara kita yang lain yang masih belum bisa merasakan nikmatnya iman ini), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban untuk berdakwah ini telah Allah bebankan atas setiap muslim (baca: penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17). Itu artinya kita nantinya akan dimintai pertanggung-jawaban atas sikap diam kita tersebut. (Na’udzubillahi mindzalika!).

يَــــٰــبُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَوٰةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ ﴿١٧﴾
”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sedangkan yang dimaksud dengan saudara kita yang belum bisa merasakan nikmat iman ini, tidak mesti berasal dari kalangan non-muslim. Namun juga dari kalangan kaum muslimin yang pemahaman mereka tentang Islam masih belum memadai sehingga mereka belum menyadari betapa iman adalah nikmat terbesar yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka, yang nilainya bahkan lebih tinggi/lebih baik dari emas sepenuh bumi ini. (Wallahu ta’ala a’lam).

Ya Tuhan kami,
Berilah kekuatan kepada kami, sehingga kami tetap mampu untuk terus mendakwahkan agama ini, hingga akhir hayat kami. Amin, ya rabbal ‘alamin!

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٥﴾
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfa`at bagi orang-orang yang beriman”. (QS. Adz Dzaariyaat. 55).

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَـــٰـلِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ ﴿٣٣﴾
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS. Fushshilat. 33).

Semoga bermanfaat.

Jumat, 03 Juni 2016

BERISTERI LEBIH DARI EMPAT KETIKA MASUK ISLAM



Assalamu’alaikum wr. wb.

Saat hendak menyampaikan kajian rutin di Jurusan Teknik Industri Universitas Trunojoyo Madura, seorang teman sejawat (dosen Universitas Trunojoyo Madura) telah menyampaikan pertanyaan sebagai berikut: “Titipan pertanyaan dari Pak Fulan (nama samaran/bukan nama sebenarnya), muallaf di Pontianak yang beristri 9. Di Al Qur’an disebutkan boleh menikah dengan 2, 3 atau 4, tapi kalau nggak sanggup adil dengan seorang istri saja. Khan nggak disebutkan 5, 6, 7 atau 8, 9. Boleh dong saya berijtihad. Tolong jawabannya Pak Ustadz, kalau nggak berani beristri banyak, jangan nyalahin orang doooong...”.

Saudaraku,
Sebenarnya perkara ini dalam Islam sudah sangat jelas. Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 berikut ini:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَـــٰمَىٰ فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـــٰثَ وَرُبَـــٰعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً ... ﴿٣﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, …” (QS. An Nisaa’. 3).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini ...”.

Saudaraku,
Dari penjelasan di atas, sudah sangat jelas bahwa dalam Islam seorang laki-laki diperbolehkan memiliki istri maksimal 4 orang saja (artinya memiliki istri lebih dari empat itu dilarang).

Selain penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 di atas, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi juga menegaskan larangan memiliki istri lebih dari empat tersebut.

Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu ‘anhuma, disebutkan bahwa salah seorang sahabat bernama Ghailan ibnu Salamah ats-Tsaqafi radhiyallahu ‘anhu masuk Islam dalam keadaan ia memiliki sepuluh istri yang dinikahinya di masa jahiliyah. Seluruh istri tersebut juga masuk Islam bersamanya. Namun Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah Ghailan memilih empat orang dari istri-istrinya tersebut (dan menceraikan yang lain). Berikut bunyi hadits tersebut selengkapnya:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِىَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِىُّ  -صلى الله عليه وسلم - أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ. (رواه الترمذى)
Dari Ibnu ‘Umar, Ghoylan bin Salamah Ats Tsaqofiy baru masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri di masa Jahiliyyah. Istri-istrinya tadi masuk Islam bersamanya, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia memilih empat saja dari istri-istrinya. (HR. Tirmidzi).

Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan:

أمسك أربعا وفارق سائرهن
“Pilih empat istri dan pisah dengan yang lain.” (HR. Ibnu Hibban).

Saudaraku,
Seandainya diperbolehkan memiliki lebih dari empat istri, tentu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk menceraikan istri yang lain dan menyisakan empat orang saja.

Selain hadits di atas, Ibnu Majah dan Abu Daud juga telah meriwayatkan, dimana salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Qais ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Aku masuk Islam, sementara waktu itu aku beristri delapan. Aku pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan kepada beliau tentang hal itu. Beliau pun bersabda:

اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
Pilihlah saja empat dari mereka.”

Hadits tersebut selengkapnya
adalah sebagai berikut:

عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ  -صلى الله عليه وسلم - فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ « اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا »
Dari Qois bin Al Harits, berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan orang istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda: Pilihlah empat saja dari mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud).

Sehingga dari uraian di atas, dengan sangat mudah bisa kita simpulkan bahwa Islam telah melarang seorang laki-laki memiliki istri lebih dari empat. Sedangkan bagi yang sudah terlanjur memiliki istri lebih dari empat, diperintahkan untuk menceraikan yang lain.

Saudaraku,
Satu hal yang harus kita ingat, bahwa segala apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak lain adalah wahyu semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkata-kata tidaklah mengikuti hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada beliau.

قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُّعَاءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ ﴿٤٥﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al Anbiyaa’. 45).

وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى ﴿١﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى ﴿٢﴾ وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤﴾ عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى ﴿٥﴾ ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى ﴿٦﴾
(1) “Demi bintang ketika terbenam”, (2) “ kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru”, (3) “dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya”. (4) “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”, (5) “yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat”, (6) “Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli”. (QS. An Najm. 1 – 6).

Saudaraku,
Karena beliau adalah seorang nabi dimana setiap ucapan dan perintahnya bukan berasal dari hawa nafsunya melainkan wahyu dari Allah SWT., maka terhadap apapun yang datang dari beliau (serta terhadap apapun yang datang dari Allah SWT.), maka sikap kita adalah:  سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا  (kami mendengar dan kami patuh). Artinya terhadap apapun yang datang dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam serta terhadap apapun yang datang dari Allah SWT., kita terima dan kita laksanakan apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun.

Allah SWT. berfirman dalam Al Qur’an surat An Nuur ayat 51:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nuur. 51).

Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 36, Allah SWT. berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36)

Saudaraku,
Ambillah seluruh hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah tanpa terkecuali, baik yang kita senangi maupun yang tidak kita senangi. Ikutilah syariat itu semuanya (tanpa terkecuali) dan janganlah kita mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

Kita tidak boleh mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu hukum-hukum yang kita senangi saja, sementara hukum-hukum yang lain yang tidak kita senangi kita buang begitu saja. Karena Allah telah berfirman dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 208:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 208).

Dari Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 208 tersebut, diperoleh penjelasan bahwa kita diperintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya. Artinya kita tidak boleh mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu hukum-hukum yang kita senangi saja, sementara hukum-hukum yang lain yang tidak kita senangi kita buang begitu saja. Jika hal ini yang kita lakukan (yaitu mengambil sebagian hukum-hukum Allah dan membuang sebagian yang lainnya), maka tanpa kita sadari, kita telah memperturutkan langkah-langkah syaitan. Padahal, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kita. Na’udzubillahi mindzalika!

... أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ﴿٨٥﴾
“... Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (QS. Al Baqarah. 85).

Saudaraku,
Jika kita hanya mengambil Islam sebagian saja, atau bahkan ingin sepenuhnya mengambil hukum-hukum lain (selain yang ditetapkan oleh Allah), lalu apakah hukum Jahiliyah yang kita kehendaki?
Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?

أَفَحُكْمَ الْجَـــٰهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴿٥٠﴾
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maa-idah. 50).

Lebih dari itu semua, Allah juga telah memberikan peringatan yang sangat keras sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Mu’minuun ayat 71 berikut ini:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ ﴿٧١﴾
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS. Al Mu’minuun. 71).

-----

Pak Fulan mengatakan: “... Boleh dong saya berijtihad”.

Saudaraku,
Untuk segala sesuatu yang hukumnya sudah disebutkan secara jelas dalam nash Al Qur'an dan Al Hadits, maka dalam hal ini sama sekali tidak diperlukan ijtihad. Contohnya tentang hukum memakan daging babi. Dalam hal ini sama sekali tidak diperlukan ijtihad karena hukumnya sudah disebutkan secara jelas (secara eksplisit) dalam nash Al Qur'an:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٧٣﴾
”Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah. 173).

Demikian juga terhadap perkara di atas, yaitu tentang larangan dalam Islam untuk beristeri lebih dari empat orang.

Sedangkan untuk segala sesuatu yang hukumnya tidak disebutkan secara jelas dalam nash Al Qur'an dan Al Hadits, maka dalam kasus-kasus seperti ini diperlukan ijtihad. Meskipun demikian, tidak sembarang orang boleh berijtihad, karena dalam hal ini diperlukan syarat keilmuan yang sangat luas serta metodologis dalam mengeluarkan suatu fatwa.

Jadi untuk persoalan-persoalan yang tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al Qur'an dan Al Hadits itu, maka hal ini merupakan wilayah ulama’* untuk mendiskusikannya (didiskusikan oleh ulama yang memang benar-benar punya kompetensi dan memiliki syarat-syarat untuk berijtihad). Kemudian ditafsirkan berdasarkan keilmuan dan metodologi agama, dan akhirnya lahirlah fatwa, yang tujuan akhirnya adalah solusi dari permasalahan ummat.

Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa dalam hal ini ada atau tidak adanya fatwa, hal yang tidak jelas tersebut sebenarnya tetap memiliki hukum (tetap ada hukumnya apakah halal, mubah, haram atau wajib maupun sunnah). Fatwa hanya memperjelas untuk mempermudah ummat.

Jadi, untuk persoalan-persoalan yang tidak ditemukan hukumnya secara eksplisit dalam Al Qur'an dan Al Hadits, jika sekiranya kita belum mampu, maka sebaiknya (jalan selamatnya) adalah dengan mengikuti fatwa tersebut.

Saudaraku,
Akan sangat berbahaya, berijtihad bagi siapa saja yang ilmunya masih sedikit tentang Islam. Ini tak ubahnya seperti seorang buta yang baru meraba belalai gajah, lantas menyimpulkan bahwa ternyata gajah itu sejenis hewan yang bentuknya seperti ular. Alhasil, si buta merasa benar dalam mengambil kesimpulan karena merasa didukung oleh bukti yang sangat meyakinkan. (Wallahu a'lam).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kesalahan/kekhilafan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
*)    Yang dimaksud dengan ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) adalah orang-orang yang berilmu (bentuk jamak/plural), bentuk tunggal/mufrad/singular-nya: alim ( عَالِمٌ ) = orang yang berilmu.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞