Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (staf pengajar/dosen senior di
Universitas Trunojoyo Madura) telah menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai
berikut: “Pak Imron, saya mendengar ada penceramah yang
mengatakan jika wanita dalam keadaan haid tidak boleh membaca Al Qur'an yang
mushafnya cetak kertas tetapi dibolehkan membaca dari tablet/digital. Bukankah keduanya
sama-sama Al Qur'an? Mohon penjelasannya, matur nuwun”.
♦ Tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an
kecuali sudah bersuci
Saudaraku,
Orang yang berhadats itu
(baik hadats besar maupun hadats kecil) tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur'an. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat Al Waaqi’ah ayat 79 serta penjelasan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Malik (hadits no. 419) dan Daruquthni (hadits no. 432) berikut ini:
لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا
الْمُطَهَّرُونَ ﴿٧٩﴾
Tidak menyentuhnya kecuali
hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al Waaqi’ah. 79).
حَدَّثَنِي
يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ أَنَّ فِي
الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari
[Abdullah bin Abu Bakr bin Hazm] bahwa di antara isi surat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau tulis untuk 'Amru bin Hazm adalah: “Tidak
ada yang boleh menyentuh Al Qur'an kecuali yang telah bersuci”. (HR. Imam Malik,
no. 419).
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ , نا ابْنُ زَنْجُوَيْهِ , حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ , نا مَعْمَرٌ ,
عَنْ عَبْدِ اللهِ , وَمُحَمَّدٍ ابْنِي أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ , عَنْ
أَبِيهِمَا , أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَ كِتَابًا
فِيهِ: وَلَا تَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرًا
Muhammad bin Makhlad menceritakan kepada kami, Ibnu
Zanjuwaih mengabarkan kepada kami, Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, Ma'mar
mengabarkan kepada kami, dari Abdullah dan Muhammad keduanya putra Abu Bakar
bin Hazm, dari ayah mereka: Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim
sebuah surat, di dalamnya (disebutkan): “Dan tidak boleh menyentuh Al Qur’an
kecuali orang yang telah suci”. (HR. Daruquthni, no. 432).
Sebagai catatan, yang dimaksud dengan larangan di sini
adalah larangan menyentuh mushaf secara
langsung. Sedangkan jika menggunakan pembatas (selama pembatas tersebut bukan bagian dari mushaf
seperti sampul), maka yang disentuh adalah pembatasnya
dan bukan mushafnya sehingga boleh
dilakukan. Misal, dengan menggunakan sarung tangan.
♦ Hakikat membaca
Saudaraku,
Tidaklah disebut membaca
kecuali dengan menggerakkan lisan dan kedua bibir sehingga keluar suara walau
hanya terdengar oleh orang yang membacanya saja. Sedangkan orang yang membaca
dalam hatinya saja, tidaklah disebut qari' (orang yang membaca).
Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
(hadits no. 595) berikut ini:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ جَمِيعًا عَنْ
سُفْيَانَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ الرَّبِيعِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ
يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ
لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. (رواه مسلم)
5.28/595. Telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Amru an-Naqid serta Ishaq bin Ibrahim
semuanya dari Sufyan berkata Abu Bakar telah menceritakan kepada kami Sufyan
bin Uyainah dari az-Zuhri dari Mahmud bin ar-Rabi' dari Ubadah bin ash-Shamit
menyatakan hadits tersebut marfu' kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam: “Tidak
sah shalat seseorang yang tidak membaca al-Faatihah”. (HR.
Muslim).
Jika kita perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim (hadits no. 595) di atas, maka yang dimaksud
dengan membaca surat Al Faatihah adalah membaca tanpa melalui media apapun (membaca Al-Qur’an
dengan hafalan).
Demikian pula dengan penjelasan hadits berikut ini, bahwa
yang dimaksud dengan membaca surat Al Faatihah maupun surat-surat yang lainnya
dalam Al Qur’an adalah membaca tanpa melalui media apapun (membaca Al-Qur’an
dengan hafalan).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: {إِذَا
قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ. ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ
فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَا ئِمًا، ثُمَّ
اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا،
ثُمَّ سْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ
كُلِّهَا}. أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ وَلإِبْنِ مَاجَهْ
بِإِسْنَادِ مُسْلِمٍ: {حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِمًا}.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, sempurnakanlah wudhu,
kemudian menghadap qiblat, lalu bertakbir, bacalah apa yang mudah bagimu dari
Al Qur’an, kemudian ruku’lah secara thuma’ninah, lalu bangkit sampai lurus
berdiri, kemudian sujud sampai thuma’ninah, kemudian bangkit hingga duduk
dengan thuma’ninah, kemudian sujud kembali hingga thuma’ninah, kemudian
lakukanlah yang demikian itu pada shalatmu seluruhnya”. Dikeluarkan oleh tujuh
dan ini lafadz Al Bukhari. Dan riwayat Ibnu Majah dengan sanad Muslim: “Hingga
berdiri dengan thuma’ninah”. (Shahih, diriwayatkan oleh Al Bukhari (6251) dalam
Al Istidzaan, Muslim (397) dalam Ash Shalaah, Abu Dawud (856) dalam Ash
Shalaah, At Tirmidzi (303) dalam Abwaab Ash Shlaah, An Nasa’i (884), Ibnu Majah
(1060) dalam Iqaamatush ash Shalaah was Sunnah fiha, Ahmad (9352). At Tirmidzi
berkata: “Hadits hasan shahih”).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa tidaklah
disebut membaca kecuali dengan menggerakkan lisan dan kedua bibir sehingga
keluar suara walau hanya terdengar oleh orang yang membacanya saja. Sedangkan
orang yang membaca dalam hatinya saja, tidaklah disebut qari' (orang yang
membaca).
Jadi haruslah ada suara yang
keluar agar bisa disebut membaca. Dan itu tidak akan bisa terjadi kecuali
dengan menggerakkan lisan dan kedua bibir. Kecuali orang bisu, ia berudzur
untuk melakukan itu. Cukuplah baginya beramal sesuai kemampuannya dan berusaha
keras sehingga ia tahu telah sampai pada yang dimaksudnya.
Karena apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kita suatu
perkara maka beliau hanya memerintahkan kita untuk menunaikannya semampu kita.
Demikian penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari pada hadits no.
6744 berikut ini:
فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه البخارى)
“Maka jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhi
dia, dan apabila aku perintahkan kalian suatu perkara maka tunaikanlah semampu kalian.”
(HR.
Al-Bukhari, no. 6744)
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no.
6744) selengkapnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ
إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى
أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه البخارى)
76.19/6744. Telah menceritakan
kepada kami Ismail Telah menceritakan kepadaku Malik dari Abu Zinad dari Al
A'raj dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau
bersabda: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya
orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi
nabi mereka. Maka jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhi dia,
dan apabila aku perintahkan kalian suatu perkara maka tunaikanlah semampu kalian”. (HR. Bukhari).
♦ Boleh membaca Al Qur’an dalam
keadaan tidak bersuci
Saudaraku,
Perhatikan penjelasan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 177) berikut ini:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ مَخْرَمَةَ بْنِ سُلَيْمَانَ عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ
عَبَّاسٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ بَاتَ لَيْلَةً
عِنْدَ مَيْمُونَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ
خَالَتُهُ فَاضْطَجَعْتُ فِي عَرْضِ الْوِسَادَةِ وَاضْطَجَعَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَهْلُهُ فِي طُولِهَا فَنَامَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِذَا انْتَصَفَ اللَّيْلُ أَوْ قَبْلَهُ
بِقَلِيلٍ أَوْ بَعْدَهُ بِقَلِيلٍ اسْتَيْقَظَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَلَسَ يَمْسَحُ النَّوْمَ عَنْ وَجْهِهِ بِيَدِهِ ثُمَّ
قَرَأَ الْعَشْرَ الْآيَاتِ الْخَوَاتِمَ مِنْ سُورَةِ آلِ عِمْرَانَ ثُمَّ قَامَ
إِلَى شَنٍّ مُعَلَّقَةٍ فَتَوَضَّأَ مِنْهَا فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ
يُصَلِّي قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقُمْتُ فَصَنَعْتُ مِثْلَ مَا صَنَعَ ثُمَّ
ذَهَبْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي
وَأَخَذَ بِأُذُنِي الْيُمْنَى يَفْتِلُهَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ ثُمَّ اضْطَجَعَ حَتَّى أَتَاهُ الْمُؤَذِّنُ فَقَامَ
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الصُّبْحَ. (رواه
البخارى)
4.46/177. Telah menceritakan
kepada kami Isma'il berkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Makhramah
bin Sulaiman dari Kuraib mantan budak Ibnu 'Abbas, bahwa 'Abdullah bin 'Abbas
mengabarkan kepadanya, bahwa ia pada suatu malam pernah bermalam di rumah
Maimunah, isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan bibinya dari pihak ibu.
Katanya: “Aku berbaring di
sisi bantal sementara Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan isterinya berbaring
pada bagian panjang (tengahnya). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu
tidur hingga pada tengah malam, atau kurang sedikit, atau lewat sedikit, beliau
bangun dan duduk sambil mengusap sisa-sisa kantuk yang ada di wajahnya dengan
tangan. Beliau kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dari Surah Ali 'Imran.
Kemudian berdiri menuju tempat wudlu, beliau lalu berwudlu dengan memperbagus
wudlunya, lalu shalat”.
Ibnu 'Abbas berkata: “Maka
akupun ikut dan melakukan sebagaimana yang beliau lakukan, aku lalu berdiri di
sampingnya. Beliau kemudian meletakkan tangan kanannya di kepalaku seraya
memegang telingaku hingga menggeserku ke sebelah kanannya. Kemudian beliau
shalat dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat, kemudian dua
rakaat, kemudian witir. Setelah itu beliau tidur berbaring hingga tukang adzan
mendatanginya, beliau lalu berdiri dan shalat dua rakaat ringan, kemudian
keluar untuk menunaikan shalat Subuh”. (HR. Bukhari).
Saudaraku,
Hadist di atas menunjukkan
bolehnya membaca Al Qur’an dalam keadaan tidak bersuci, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca Al Qur’an setelah bangun tidur, sebelum
beliau berwudhu.
♦ Wanita haid boleh membaca Al
Qur’an
Saudaraku,
Perhatikan penjelasan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 294) berikut ini:
حَدَّثَنَا
أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
نَذْكُرُ إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ طَمِثْتُ فَدَخَلَ عَلَيَّ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَبْكِي فَقَالَ مَا
يُبْكِيكِ قُلْتُ لَوَدِدْتُ وَاللهِ أَنِّي لَمْ أَحُجَّ الْعَامَ قَالَ
لَعَلَّكِ نُفِسْتِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ ذَلِكِ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ
عَلَى بَنَاتِ آدَمَ فَافْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ
غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي. (رواه البخارى)
6.10/294. Telah menceritakan
kepada kami Abu Nu'aim berkata, telah menceritakan kepadaku 'Abdul 'Aziz bin
Abu Salamah dari 'Abdurrahman bin 'Abdullah Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad
dari 'Aisyah ia berkata, Kami keluar bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
dan tidak ada yang kami ingat kecuali untuk menunaikan hajji. Ketika kami
sampai di suatu tempat bernama Sarif aku mengalami haid. Lalu Nabi shallallahu
'alaihi wasallam masuk menemuiku saat aku sedang menangis. Maka beliau
bertanya: “Apa
yang membuatmu menangis?”. Aku jawab: “Demi Allah, pada tahun ini aku tidak bisa
melaksanakan haji!” .Beliau berkata: “Barangkali kamu mengalami haid?”. Aku
jawab: “Benar”. Beliaupun bersabda: “Yang demikian itu adalah perkara yang
sudah Allah tetapkan buat puteri-puteri keturunan Adam.
Maka lakukanlah apa yang dilakukan orang yang
berhaji kecuali thawaf di Ka'bah hingga kamu suci”. (HR.
Bukhari).
Saudaraku,
Ibadah haji adalah ibadah yang di
dalamnya dibacakan Al Qur’an dan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengecualikannya. Ini menunjukkan bolehnya membaca Al Qur’an untuk ‘Aisyah yang pada saat itu sedang haid.
Dengan kalimat serupa, Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan kepada ‘Asma’ binti ‘Umais
yang pada saat itu baru melahirkan anak yang diberi nama Muhammad bin Abu
Bakar. Sedangkan ‘Asma’ berada di miqat dalam kondisi haji
wada’. Maka hal ini menunjukkan bahwa wanita haid dan nifas boleh
membaca Al
Qur’an.
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ عَنْ
سُلَيْمَانَ بْنِ بِلَالٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ أَنَّهُ سَمِعَ
الْقَاسِمَ بْنَ مُحَمَّدٍ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي بَكْرٍ أَنَّهُ خَرَجَ
حَاجًّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ أَسْمَاءُ
بِنْتُ عُمَيْسٍ فَوَلَدَتْ بِالشَّجَرَةِ مُحَمَّدَ بْنَ أَبِي بَكْرٍ فَأَتَى
أَبُو بَكْرٍ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ فَأَمَرَهُ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَأْمُرَهَا أَنْ تَغْتَسِلَ
ثُمَّ تُهِلَّ بِالْحَجِّ وَتَصْنَعَ مَا يَصْنَعُ النَّاسُ إِلَّا أَنَّهَا لَا
تَطُوفُ بِالْبَيْتِ. (رواه ابن ماجه)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Bakar bin Abu
Syaibah]; telah menceritakan kepada kami [Khalid bin Makhlad] dari [Sulaiman
bin Bilal]; telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sa'id] bahwa ia mendengar
[Al Qasim bin Muhammad] menceritakan dari [Ayahnya] dari [Abu Bakar], bahwa ia
pernah berangkat haji bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditemani
oleh isterinya (Asma binti Umais) yang kemudian melahirkan Muhammad bin Abu
Bakar di bawah sebuah pohon. Abu
Bakar mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan mengabari beliau.
Maka beliau memerintahkan Abu Bakar agar menyuruh isterinya mandi, kemudian
memulai niat haji dan boleh mengerjakan segala apa yang dikerjakan orang-orang
(dalam haji) kecuali thawaf di Baitullah. (HR. Ibnu Majah, no. 2903).
♦ Mushaf di era
digital
Di era digital seperti saat ini, mushaf
muncul dalam bentuk yang unik. Perangkat elektronik seperti hp/tablet,
komputer, laptop, dll.
di zaman sekarang sudah sangat canggih dan bisa diinstalkan ke dalamnya
software Al Qur’an.
Meskipun demikian hp/tablet,
komputer maupun laptop berbeda dengan mushaf Al Qur’an yang kita kenal
sehari-hari dari segi pengaktifan. Kalau diaktifkan, maka barulah hp/tablet tersebut
menampilkan tulisan ayat-ayat Al Qur’an. Sebaliknya, kalau dimatikan atau
berpindah ke aplikasi yang lainnya, tentu tulisannya tidak ada lagi. Hal ini
berbeda dengan mushaf Al Qur’an yang dicetak di atas kertas yang secara
permanen tampak dan terbaca.
Terkait hal ini Ust. Ahmad
Sarwat, Lc., MA menjelaskan, ketika kita mau masuk WC umum dan terpaksa harus
membawa hp/tablet karena takut hilang atau diambil orang, maka cukup kita
matikan hp/tablet tersebut atau setidaknya software Al Qur’an yang sudah
terinstal harus dimatikan atau dinon-aktifkan terlebih dahulu.
Lalu bagaimana dengan memori
yang tersimpan di dalamnya? Bukankah ada ayat-ayat Al Qur’an-nya dalam bentuk
data digital?
Terkait hal ini beliau menjelaskan
bahwa hp/tablet yang kita punya itu cara kerjanya mirip sekali dengan otak kita,
dimana isi otak kita ini bisa saja terdapat data-data Al Qur’an, baik berupa
memori tulisan ataupun suara. Seorang penghafal Al Qur’an misalnya, di dalam
kepalanya ada ribuan memori ayat-ayat Al Qur’an.
Apakah seorang penghafal Al
Qur’an itu diharamkan masuk ke dalam WC dengan alasan bahwa di dalam kepalanya
ada data-data Al Qur’an? Lalu apakah kepalanya harus dilepas dulu sebelum masuk
WC? Ataukah dia cukup menon-aktifkan saja ingatannya dari Al Qur’an untuk
sementara waktu?
Beliau menjelaskan bahwa yang
paling masuk akal adalah penghafal Al Qur’an tadi cukup menon-aktifkan hafalan Al
Qur’annya untuk sementara waktu, baik dalam bentuk suara atau tulisan. Ketika
memori data Al Qur’an di dalam otaknya dinon-aktifkan sementara, maka pada
dasarnya tidak ada larangan baginya untuk masuk WC.
Demikian juga dengan hp/tablet milik
kita. Meski ada memori data digital 30 juz baik teks ataupun suara, selama
tidak diaktifkan tentu saja tidak masalah. Yang haram adalah sambil nongkrong
di WC kita pasang hp/tablet bersuara tilawah Al Qur’an. Jelas perkara seperti
ini haram dan harus dihindari.
Hal ini berbeda dengan mushaf
Al Qur’an yang dicetak di atas kertas yang akan selalu haram untuk dibawa masuk
ke dalam WC karena ayat-ayat Al Qur’an-nya secara permanen tampak dan terbaca.
♦ Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita haid (serta nifas) boleh membaca Al Qur’an, akan tetapi tidak boleh menyentuh mushaf Al Qur’an (membaca dengan
menggunakan hafalan Al Qur’an/tidak menyentuh mushaf secara
langsung).
Sedangkan apabila dia membaca Al Qur’an
dengan melihat langsung mushaf Al Qur’an namun
dalam keadaan ada orang lain yang memegangkan mushaf Al Qur’an untuknya
dan membukakan halaman mushaf untuknya, maka hal ini boleh dilakukannya karena
yang dilarang adalah menyentuh mushaf Al Qur’an secara langsung.
Adapun wanita haid (serta nifas) yang
membaca Al Qur’an dengan menyentuh hp/tablet yang memiliki aplikasi Al
Qur’an, maka hal ini diperbolehkan karena hp/tablet yang memiliki aplikasi Al Qur’an
tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al Qur’an (yang apabila ingin menyentuhnya harus
dalam keadaan bersuci terlebih dahulu). Mushaf Al Qur’an yang dicetak di atas
kertas ayat-ayat Al Qur’an-nya secara permanen tampak dan terbaca, sedangkan aplikasi
Al Qur’an pada hp/tablet baru akan tampak dan terbaca ketika
aplikasinya diaktifkan.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.