Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (muallafah) telah
bertanya: “Pak Imron, saya seorang istri yang mempunyai 5 orang anak. Apa
hukumnya kalau seorang suami berbuat maksiat perzinahan sudah ketahuan lebih
galak dia malah memutar balikkan masalah yang akhirnya / ujung-ujungnya yang disalahkan
istrinya. Suami ini sangat kaku, sholat sulit, sholat Jum’at yang seminggu sekali
saja tidak mau (apa hukumnya kalau tidak sholat Jum’at untuk kaum laki-laki?), tidak
pernah merasa salah, tidak mau menerima kritikan orang lain. Dalam dua tahun terakhir
ini banyak sekali wanita yang hadir dalam kehidupannya selain istrinya. Apakah
pantas istrinya (ataukah sudah seharusnya?) meminta cerai? Karena selama ini sudah
berkali-kali suaminya berbuat zinah selalu dimaafkan. Mungkin kali ini sudah tidak
tahan. Tadinya istrinya bertahan karena mengingat anak-anaknya. Mohon nasehat
dan penjelasannya, Pak Imron. Wassalam. Termakasih banyak sebelumnya”.
-----
Saudaraku…,
Sebelumnya kusampaikan
terimakasih atas kesediaannya untuk bersama-sama belajar. Semoga semangat untuk
belajar ini tidak akan pernah padam hingga ajal menjemput kita. Amin, ya rabbal
‘alamin!
Dari apa yang saudaraku
sampaikan tersebut, nampaknya saudaraku telah menanyakan beberapa hal:
1. Apa hukumnya kalau seorang
suami berbuat maksiat perzinahan sudah ketahuan lebih galak dia malah memutar-balikkan
masalah yang akhirnya / ujung-ujungnya yang disalahkan istrinya.
1a. Apa hukumnya kalau
seorang suami berbuat maksiat perzinahan?
Saudaraku…,
Jangankan melakukan
perzinahan, mendekatinya saja sudah terlarang / haram hukumnya (apalagi sampai
melakukan perzinahan)! Demikian penjelasan Al Qur’an dalam surat Al
Israa’ ayat 32, yang artinya adalah sebagai berikut:
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ
سَبِيلًا ﴿٣٢﴾
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al Israa’. 32).
1b. Apa hukumnya jika
kemudian dia malah memutar-balikkan masalah yang akhirnya / ujung-ujungnya yang
disalahkan istrinya?
Saudaraku…,
Jika memang demikian
keadaannya, maka jelas sekali bahwa yang bersangkutan benar-benar termasuk
golongan orang-orang yang fasik. Dan tindakannya dalam memutar-balikkan fakta
tersebut jelas-jelas merupakan perbuatan yang terlarang (haram hukumnya). Demikian
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 4, yang artinya adalah sebagai
berikut:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا
بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا
لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿٤﴾
“Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka
itulah orang-orang yang fasik*.” (QS. An Nuur. 4). *) Yang dimaksud dengan fasik
adalah orang yang tidak mengindahkan perintah Allah SWT.
2. Suami ini sangat kaku,
sholat sulit, sholat Jum’at yang seminggu sekali saja tidak mau. Apa hukumnya
kalau tidak sholat Jum’at untuk kaum laki-laki?
Saudaraku…,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya
sholat Jum’at itu adalah wajib bagi kaum muslimin (orang-orang Islam
laki-laki), sehingga meninggalkannya adalah terlarang (haram hukumnya) bagi
kaum laki-laki (kecuali jika disertai dengan alasan yang dibenarkan agama
seperti orang yang sakit, musafir, dll). Demikian penjelasan Al Qur’an dalam
surat Al Jumu’ah ayat 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٩﴾
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli**. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. Al Jumu’ah. 9).
**) Maksudnya: apabila imam
telah naik mimbar dan mu’azzin telah azan di hari Jum’at, maka kaum muslimin
(orang-orang Islam laki-laki) wajib bersegera memenuhi panggilan mu’azzin itu
dan meninggalkan semua pekerjaannya.
Sedangkan dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلَّا
أَرْبَعَةً: عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ، أَوِ امْرَأَةٌ، أَوْ صَبِيٌّ، أَوْ مَرِيْضٌ.
(رواه ابو داود)
“Jum’atan adalah hak yang wajib
atas setiap muslim dengan berjama’ah,
selain atas empat (golongan): budak sahaya, wanita, anak kecil, atau orang yang
sakit.” (HR. Abu Dawud).
3. Dia tidak pernah merasa
salah, (dan) tidak mau menerima kritikan orang lain.
Saudaraku…,
Jika memang demikian
keadaannya, maka dalam hal ini yang bersangkutan jelas-jelas telah melakukan
kesalahan besar. Seharusnya terimalah kritikan itu justru sebagai nasehat. Apapun
bentuk kritikan itu serta disampaikan dengan cara apapun, sesungguhnya semuanya
itu adalah sebagai bentuk perhatian serta nasehat untuk kita. Sekalipun
kritikan itu adalah tidak benar dan disampaikan dengan cara yang kasar. Apalagi
jika kritikan itu adalah benar adanya dan disampaikan dengan cara yang sopan
dan lemah lembut pula. Untuk lebih jelasnya, silahkan membaca artikel yang
berjudul: “Terimalah Kritikan Itu Sebagai Nasehat” (silahkan
klik di sini: http://imronkuswandi.blogspot.com/2009/07/terimalah-kritikan-itu-sebagai-nasehat.html
).
4. Dalam dua tahun terakhir
ini banyak sekali wanita yang hadir dalam kehidupannya selain istrinya. Apakah
pantas istrinya (ataukah sudah seharusnya?) meminta cerai?
Saudaraku…,
Berikut ini kusampaikan salah
satu ayat yang menggambarkan hubungan suami-istri (hak-hak dan kewajiban
masing-masing):
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللهُ
بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ
قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ وَالَّاتِي تَخَافُونَ
نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya***, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah****
mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar”. (QS. An Nisaa’. 34).
***) Yang dimaksud dengan nusyuz
adalah kesombongan istri, seperti menolak suaminya dari jima’ (bersetubuh) atau
menyentuh badannya atau menolak pindah bersama suaminya atau menutupi pintu
terhadap suaminya yang mau masuk atau minta cerai atau keluar dari rumah tanpa
ijin dari suaminya (tentunya semuanya ini jika tanpa disertai dengan alasan
yang dibenarkan agama).
****) Memukul di sini adalah
memukul dengan pukulan yang tidak sampai melukai fisik sang istri, ditujukan
agar sang istri segera menghentikan perbuatannya tersebut.
Saudaraku...,
Sebagaimana penjelasan di
atas, bahwa keluar dari rumah tanpa ijin dari suami termasuk nusyuz, yang
tentunya merupakan sesuatu yang terlarang bagi istri. Namun semuanya itu dengan
ketentuan jika tanpa disertai dengan alasan yang dibenarkan agama. Sedangkan
jika disertai dengan alasan yang dibenarkan agama, maka tidak masalah (boleh
dilakukan).
Contohnya: seorang istri
hendak menunaikan ibadah haji karena dia memang mampu untuk menunaikannya,
apalagi sang istri pergi bersama mahramnya.
Namun sang suami ternyata melarangnya. Maka dalam hal ini sang istri tidak
masalah jika tetap pergi ke tanah suci meskipun tanpa disertai ijin dari sang
suami. Karena menunaikan ibadah haji hukumnya wajib bagi yang mampu, sedangkan
perintah haji itu datangnya dari Allah. Tentunya memenuhi panggilan Allah
adalah lebih utama daripada memenuhi perintah suami.
Demikian juga halnya apabila
istri meminta cerai, tentunya juga merupakan sesuatu yang terlarang bagi istri.
Namun semuanya itu dengan ketentuan jika tanpa disertai dengan alasan yang
dibenarkan agama. Sedangkan jika disertai dengan alasan yang dibenarkan agama,
maka hal itu boleh dilakukan. Seperti pada kasus yang dihadapi oleh ibu
tersebut, jelas sekali bahwa sang suami telah
berbuat aniaya kepadanya (sang suami telah teramat sangat menyakiti sang
istri).
Maka
dalam kasus seperti ini, bukan berarti pernikahan tersebut menjadi batal /
tidak syah (selama syarat dan rukun nikah telah dipenuhi). Perbuatan aniaya yang telah dilakukan sang suami tersebut
tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan itu. Namun jika sang istri
tidak terima dengan perlakuan sang suami, maka sang istri bisa mengajukan
gugatan cerai di Pengadilan Agama. (Wallahu a’lam).
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kekurangan / kesalahan. Mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Beliau mengatakan: “Alhamdulillah, saya mengerti Pak. Subhanallah,
mudah-mudahan suaminya diampuni segala dosa-dosanya dan mau bertaubat. Terima
kasih banyak, Pak. Akan langgsung saya sampaikan”.
Beliau mengatakan: “Subhanallah. Dari semua tulisan-tulisan
Bapak, sungguh banyak sekali manfaat untuk saya. Insya Allah saya bisa menjadi
muslimah yang lebih baik, menjadikan saya lebih mantap untuk lebih beriman kepada
Allah SWT”.
-----
Demikian,
Semoga bermanfaat!