بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Selasa, 05 Mei 2020

MEMBATALKAN RENCANA PERNIKAHAN SECARA SEPIHAK


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (PNS/staf pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, boleh tanya-tanya? Kalau ada laki-laki yang sudah melamar wanita X lalu pergi meninggalkan wanita tersebut (kemudian berpaling kepada) wanita Y dan tidak mengkonfirmasi wanita X, padahal undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan. Bagaimana hukumnya?”.

Saudaraku,
Tahapan awal ketika seseorang hendak menikah adalah proses khitbah. Al-Khitbah berarti pendahuluan “ikatan pernikahan” yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan tujuan meminang adalah untuk mengetahui pendapat yang dipinang maupun walinya, apakah setuju atau tidak. Dari sini, akhirnya akan terungkap sikap wanita yang akan dipinang serta keluarganya.

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadlalah Telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam tak berkata”. (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى عَائِشَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي قَالَ رِضَاهَا صَمْتُهَا. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ar Rabi' bin Thariq ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Abu Mulaikah dari Abu Amru bekas budak Aisyah, dari Aisyah bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu pemalu”. Beliau pun bersabda: “Ke-ridha-annya adalah diamnya”. (HR. Bukhari).

... فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٢﴾
“..., maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 232).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada dasarnya melihat wanita asing bagi lelaki dan sebaliknya (yaitu melihat laki-laki asing bagi wanita) hukumnya adalah haram. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 30 – 31 berikut ini:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَـــٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ ﴿٣٠﴾ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـــٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـــٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّـــٰبِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
(30) Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (31) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nuur. 30 – 31).

Namun untuk orang yang meminang, boleh baginya untuk memandang wanita yang dipinangnya (demikian pula sebaliknya, yaitu bagi wanita untuk memandang laki-laki yang akan meminangnya), bahkan hal itu malah dianjurkan (dengan syarat karena memang benar-benar berniat untuk mengkhitbah).

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قَالَ لَا قَالَ فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا. (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata; Saya pernah berada di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau seraya mengabarkan bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apakah kamu telah melihatnya? Dia menjawab; Tidak. Beliau melanjutkan: Pergi dan lihatlah kepadanya, sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu. (HR. Muslim).

Terkait hal ini, yang harus diperhatikan adalah bahwa orang yang meminang hanya boleh memandang wanita yang akan dipinangnya pada telapak tangan dan wajah saja, karena dari wajahnya sudah cukup untuk bukti kecantikannya dan dari kedua tangannya juga sudah cukup untuk bukti keindahan/kehalusan kulitnya. Sedangkan yang lebih jauh dari hal itu (misalnya tentang keindahan rambutnya, bau mulutnya, dll), maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk menyingkapnya (tidak boleh dilakukan sendiri).

Akan lebih baik lagi jika orang yang akan meminang, melihat wanita yang akan dipinang terlebih dahulu sebelum dia meminang (bisa melihat tanpa sepengetahuan wanita yang akan dipinang), sehingga jika dia merasa tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa menyakitinya (artinya dia bisa berpaling dari wanita tersebut sebelum proses peminangan dilakukan sehingga tidak sampai menyakitinya).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا. (رواه ابو داود)
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat sesuatu yang dapat membuatnya menikahinya, maka lihatlah”. Jabir berkata lagi: “Maka aku meminang seorang wanita, kemudian aku bersembunyi di sebuah tempat, sehingga aku dapat melihatnya, sehingga membuatku ingin menikahinya, maka setelah itu aku menikahinya”. (HR. Abu Dawud).

Dan akan jauh lebih baik lagi jika sebelum meminang, pihak lelaki mencari informasi tentang biografi, karakter, sifat atau hal lain dari wanita yang ingin dipinangnya (tidak hanya sekedar melihatnya) melalui orang yang mengenal dengan baik tentang wanita tersebut sehingga jika dia merasa tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa menyakitinya (artinya dia bisa berpaling dari wanita tersebut sebelum proses peminangan dilakukan sehingga tidak sampai menyakitinya). Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh pihak wanita untuk mengenal lelaki yang berkeinginan untuk meminangnya sehingga bisa memudahkannya untuk mengambil keputusan (apakah menerima atau menolak pinangannya).

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ أُمَّ سُلَيْمٍ تَنْظُرُ إِلَى جَارِيَةٍ فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami 'Umaroh dari Tsabit dari Anas, Pernah Nabi Shallallahu'alaihiwasallam mengutus Ummu SulaimRadliyallahu'anha untuk melihat wanita sahaya dan bersabda: “Ciumlah bau mulutnya dan amatilah tulang lunak diatas tumitnya (betisnya)”. (HR. Ahmad).

Bolehkah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak?

Saudaraku,
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa melamar/meminang itu maknanya permintaan seorang laki-laki kepada wanita untuk dinikahi. Dan tujuan meminang adalah untuk mengetahui pendapat yang dipinang maupun walinya, apakah setuju atau tidak. Dari sini, akhirnya akan terungkap sikap wanita yang akan dipinang serta keluarganya.

Pertunangan itu sendiri tidak mengikat, artinya boleh bagi keduanya membatalkan pertunangan jika memang tidak ada kecocokan di antara mereka berdua atau ada maslahat lain. Karena pertunangan memang hanyalah “keinginan”, bukan perjanjian yang mengikat sebagaimana akad nikah.

Sedangkan masalah berdosa atau tidak, bisa dilihat dari alasan pembatalan pertunangan tersebut. Jika memang salah satu pihak membatalkan pertunangan karena melihat ada maslahat yang lain, atau mungkin salah satu pihak sudah tidak lagi cocok dengan tunangannya karena melakukan kemaksiatan atau pelanggaran lainnya, maka ia tidak berdosa.

Namun jika pembatalan pertunangan terjadi dalam kasus dimana dari pihak laki-laki telah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak tanpa adanya alasan yang tepat disaat undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan sebagaimana kasus yang saudaraku sampaikan di atas, maka ia berdosa karena telah ingkar janji.

Saudaraku,
Undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan, hal ini menunjukkan bahwa laki-laki tersebut telah berjanji untuk menikahi pihak wanita pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.

Jadi bukan hanya sekedar mengutarakan keinginannya untuk menikahi pihak wanita, namun sudah berjanji untuk menikahi pihak wanita pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Sehingga jika yang bersangkutan telah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak tanpa adanya alasan yang tepat disaat undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan, maka jelas ia berdosa karena telah ingkar janji.

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Israa’ pada bagian akhir ayat 34 berikut ini:

... وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولًا ﴿٣٤﴾
“... dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Israa’. 34).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “... (dan penuhilah janji) jika kalian berjanji kepada Allah atau kepada manusia (sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawaban)nya”.

Tafsir Ibnu Katsir:

... وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ ... ﴿٣٤﴾
“... dan penuhilah janji...”. (QS. Al Israa’. 34).

Yakni janji yang telah kamu adakan dengan orang lain dan transaksi­-transaksi yang telah kalian tanda-tangani bersama mereka dalam muama­lahmu. Karena sesungguhnya janji dan transaksi itu, masing-masing dari keduanya akan menuntut pelakunya untuk memenuhinya.

... إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولًا ﴿٣٤﴾
“... sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Israa’. 34). Artinya, pelakunya akan dimintai pertanggungjawabannya.

Perhatikan pula penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian awal ayat 1 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ ... ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...” (QS. Al Maa-idah. 1).

Tafsir Jalalain: “(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia. ...”.

Tafsir Ibnu Katsir:

Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'uqud ialah perjanjian-perjanjian. Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan menge­nai makna ini. Ia mengatakan bahwa 'uqud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ...”. (QS. Al Maa-idah. 1); Yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-­Nya dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al Qur'an seluruhnya Dengan kata lain, janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut

Kemudian Allah SWT. memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui firman-Nya:

وَالَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِن بَعْدِ مِيثَـــٰــقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـــٰــئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ ﴿٢٥﴾
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (QAS. Ar-Ra’d: 25)

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah: 1); Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diha­ramkan oleh Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah atas orang yang mengakui beriman kepada Nabi dan Al-Qur'an, yakni hendaklah mereka menunaikan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara halal dan haram.

Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “penuhilah aqad-aqad itu”(Al-Maidah: 1); Menurutnya ada enam perkara, yaitu: janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual beli, akad nikah, dan janji sumpah.

Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat mufawadah. Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak ada khiyar majelis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya: “penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah: 1);

Ia mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah dinyatakan dan tidak ada khiyar majelis lagi. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar yang menga­takan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

البَيِّعان بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفرَّقا
“Dua orang yang bertransaksi jual-beli masih dalam khiyar1) selagi keduanya belum berpisah”.

Menurut lafaz yang lain yang juga oleh Imam Bukhari:

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Apabila dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum berpisah”.

Hal ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majelis seusai trans­aksi jual beli diadakan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi, bahkan khiyar majelis merupakan salah satu dari pendu­kung transaksi menurut syara'. Dengan menetapi khiyar majelis, ber­arti melakukan kesempurnaan bagi penunaian transaksi.

(Wallahu ta’ala a’lam).

قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿١٥﴾
Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku". (QS. Al An’aam. 15).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
1)  Khiyar menurut bahasa artinya “memilih yang terbaik”. Sedangkan pengertian khiyar menurut istilah syara’, “penjual dan pembeli boleh memilih antara meneruskan atau mengurungkan jual-belinya”. Tujuannya, agar kedua orang yang melakukan jual-beli tersebut dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari, karena masing-masing merasa puas terhadap jual-beli yang mereka lakukan.

Minggu, 03 Mei 2020

PERJUANGAN DALAM MENUNTUT ILMU


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang sahabat (teman sekolah di SMPN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:

Mohon maaf Pak Imron, saya mau minta nasehat & pencerahan, bisa ‘nggak? Begini Pak Imron, tahun 2013 saya memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan yang lama dan pindah ke perusahaan dekat rumah dengan maksud mau hijrah. Saya mulai mengaji dan menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim.

Tahun 2014 mulai banyak cobaan yang saya terima. Pengajian yang awalnya murni karena Allah SWT, berubah menjadi ajang mencari dukungan untuk pilpres. Terjadilah perpecahan diantara jama’ah. Karena  tidak mau terbawa arus, saya memutuskan keluar dari pengajian tersebut, padahal saya sudah mulai lancar membaca Al Qur'an.

Saat ini saya belum ikut pengajian lagi karena sampai saat ini pengajian tersebut masih melakukan hal-hal yang menurut saya kurang berkenan dan menimbulkan perpecahan diantara warga perumahan. Alhamdulillah tanggal 7 Juni kemarin, saya mendapatkan amanah seorang anak laki-laki yang membuat saya berfikir untuk hijrah untuk yang kedua-kalinya. Bagaimana menurut Pak Imron? Apa yang harus saya lakukan? Mohon nasehat dan jalan keluarnya.

Walaupun sudah nggak ikut pengajian, tapi saya tetap menjalankan perintah agama, tidak seperti sebelum tahun 2013. Saya ingin meningkatkan kualitas ibadah saya. Kelahiran anak ke-2 dan melihat acara Hafiz Indonesia, (telah) memotivasi saya untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi.

Tanggapan

Sebelumnya aku ucapkan selamat nggih, atas kelahiran putra keduanya. Semoga menjadi anak yang sholih. Amin, ya rabbal 'alamin.

Keutamaan Menuntut Ilmu

Saudaraku,
Ketahuilah betapa mulianya majelis ilmu itu dalam Agama Islam, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita (bahwa majelis ilmu itu) sebagai taman-taman surga. Oleh karena itu ketika kita melewati majelis ilmu, maka bersegeralah untuk bergabung di dalamnya dengan senang hati dan janganlah sekali-kali kita meninggalkannya.

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ بْنُ عَبْدِ الصَّمَدِ بْنِ عَبْدِ الْوَارِثِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَابِتٍ الْبُنَانِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ. (رواه الترمذى)
Abdul Warits bin Abdushamad bin Abdul Warits menceritakan kepada kami dan ia berkata: Ayahku menceritakan kepadaku dan ia berkata: Muhammad bin Tsabit Al Bunani menceritakan kepada kami, ayahku menceritakan kepadaku, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian melewati taman surga maka makan minumlah (maka singgahlah dengan senang hati)" Para sahabat bertanya, "Apakah taman surga itu?" Rasulullah menjawab, "Perkumpulan yang diadakan untuk dzikir (halaqah dzikir atau halaqah ilmu)”. (HR. At-Tirmidzi). Halaqah = perkumpulan/kelompok/lingkaran orang-orang yang duduk.

Bahkan seharusnya kita tidak mesti menunggu hingga ada kesempatan untuk melewati taman-taman surga tersebut baru kita bergabung/singgah dengan senang hati. Jika kebetulan kita tidak sedang melewati taman-taman surga tersebut atau di hadapan kita tidak sedang dihamparkan majelis ilmu, maka kita harus aktif/pergi mencari tempat-tempat dimana majelis ilmu itu berada untuk selanjutnya segera bergabung di dalamnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa barangsiapa yang melintasi sebuah jalan (pergi) untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan menuju surga. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, katanya: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

... وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ. (رواه مسلم)
... Dan barangsiapa yang melintasi sebuah jalan (pergi) untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan menuju surga”. (HR. Muslim).

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memberitahukan kepada kita bahwa jika kita berkumpul dalam majelis ilmu untuk membaca dan mempelajari Kitab-Nya, maka Allah juga akan menurunkan ketenteraman kepada kita, rahmat-Nya akan meliputi kita, para malaikat yang mulia akan mengelilingi kita, dan Allah akan menyanjung kita di tengah para malaikat yang berada di sisi-Nya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا، سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَاكَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ، وَمَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَااجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّانَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْـمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَ هُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ، وَمَنْ بَطَّأَبِهِ عَمَلُهُ، لَـمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ. (رواه مسلم)
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) atas orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allah memudahkan atasnya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim, maka Allah menutupi (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut senantiasa menolong saudaranya. Barangsiapa yang meniti suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan untuknya jalan menuju Surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” (HR. Muslim).

Saudaraku,
Tiada yang lebih indah dari raihan seorang yang beriman selain daripada mendapatkan kefahaman yang mendalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah. Karena bagi siapa saja yang Allah jadikan dirinya mengerti/paham tentang Al Qur'an dan As Sunnah (yang artinya paham tentang agama), hal itu menunjukkan betapa Allah teramat sayang kepada dirinya karena Allah telah menghendaki kebaikan bagi dirinya.

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُوْلُواْ الأَلْبَـــٰبِ ﴿٢٦٩﴾
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”. (QS. Al Baqarah. 269).

Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu’anhu meriwayatkan, katanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ. (رواه البخارى و مسلم)
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti tentang agamanya (Allah akan memberikan kepadanya pemahaman tentang agama)”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Saudaraku,
Orang yang dikaruniai ilmu Al Qur’an dan As Sunnah, dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan adalah orang yang dengan senang hati mendatangi majelis-majelis ilmu untuk mempelajari ilmu Al Qur’an dan As Sunnah serta mengajarkannya.

عَنْ عُثْمَانَ بنِ عَفَّان رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ. (رواه مسلم)
Dari sahabat Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: " Sebaik-baik kamu ialah orang yang mau mempelajari Al Qur'an dan mau mengajarkannya". (HR. Muslim).

Rintangan Dalam Menuntut Ilmu

Saudaraku,
Ketahuilah pula bahwa menuntut ilmu itu adalah jalan menuju surga!

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, katanya: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

... وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ، ... (رواه مسلم)
... Dan barangsiapa yang melintasi sebuah jalan (pergi) untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan menuju surga, ...”. (HR. Muslim).

Sedangkan surga itu dikelilingi oleh banyak rintangan.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:

حُفَّتِ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ (رواه مسلم)
“Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat”. (HR. Muslim)

Nah, karena menuntut ilmu adalah jalan menuju surga dan surga itu dikelilingi oleh banyak rintangan, hal ini berarti bahwa menuntut ilmu itu juga dikelilingi oleh berbagai rintangan, sehingga banyak hal di dalamnya yang dibenci oleh jiwa yang tidak taat.

Dan karena ilmu merupakan wasilah menuju surga dan Iblis telah berjanji untuk memotong semua jalan menuju surga, maka tentu saja, jalan ilmu adalah sebuah jalan dimana Iblis menempatkan tipu muslihatnya untuk mengalihkan seorang penuntut ilmu dari tujuannya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللهِ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا. (رواه ابن ماجه)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa mempelajari ilmu yang seharusnya mencari ridha Allah, tapi dia tidak mencarinya melainkan untuk memperoleh kemewahan dunia, maka dia tidak akan menemukan aroma surga pada hari Kiamat”. (HR. Ibnu Majah).

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِي النَّارِ. (رواه ابن ماجه)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Barangsiapa mencari ilmu untuk menghina orang-orang yang bodoh atau menyombongkan diri kepada para ulama, atau untuk mengambil muka di depan manusia, maka (tempatnya) di dalam neraka”. (HR. Ibnu Majah).

Saudaraku mengatakan: “Saat ini saya belum ikut pengajian lagi karena sampai saat ini pengajian tersebut masih melakukan hal-hal yang menurut saya kurang berkenan dan menimbulkan perpecahan diantara warga perumahan”.

Jangan pernah berputus-asa dari rahmat Allah, wahai saudaraku.

... لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ ... ﴿٥٣﴾
..., janganlah kamu berputus-asa dari rahmat Allah. ...”. (QS. Az Zumar. 53).

Dan bertakwalah kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah akan memberi jalan keluar bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tiada disangka-sangka.

... وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”... Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا ﴿٣﴾
”Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).

Jika memang benar bahwa pengajian tersebut masih melakukan hal-hal yang kurang berkenan dan menimbulkan perpecahan diantara warga perumahan, tentunya sudah menjadi tugas kita untuk meluruskannya. Karena dalam Agama Islam, berpecah-belah dan membuat kelompok-kelompok sendiri, hukumnya adalah haram.

Kita harus lebih mengedepankan persatuan umat, sehingga kita tidak sampai terpecah belah karenanya. Karena jika kita sampai terpecah belah, maka yang akan mereguk keuntungan adalah musuh-musuh Islam. Na’udzubillahi mindzalika!

وَالَّذينَ كَفَرُواْ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُن فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ ﴿٧٣﴾
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu*, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. Al Anfaal. 73).

*) Yang dimaksud dengan apa yang telah diperintahkan Allah itu; adalah keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin.

Jika saudaraku mempunyai kekuasaan untuk meluruskannya, hendaknya saudaraku luruskan/saudaraku ubah dengan kekuasaan yang ada ditangan saudaraku. Namun jika tidak mampu dengan tangan/kekuasaan, maka dengan lisan saudaraku. Artinya jika saudaraku mempunyai bekal ilmu yang cukup, sebaiknya saudaraku ajak untuk berdiskusi dengan menyertakan hujjah (keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi) yang kuat disertai dengan dalil-dalil yang mendasarinya, dengan harapan semoga mereka bisa kembali ke jalan yang lurus, yaitu dengan lebih mengedepankan persatuan umat, sehingga tidak sampai terpecah belah karenanya.

Namun jika dengan lisanpun kita tidak mampu, maka dengan hati kita. Artinya jika saudaraku tidak mempunyai bekal ilmu yang cukup, setidaknya hati saudaraku tidak setuju dengan apa yang terjadi dalam pengajian tersebut.

Dari Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Sedangkan jika posisi saudaraku cukup lemah sehingga dikhawatirkan saudaraku malah bisa terbawa arus, tentunya tidak mengapa jika saudaraku memutuskan keluar dari pengajian tersebut.

Saudaraku,
Perhatikanlah kisah perjalanan dakwah Rasulullah. Disaat-saat awal kenabiannya, Rasulullah melaksanakan dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi (secara rahasia) karena saat itu jumlah umat Islam masih sedikit. Hingga ketika jumlah umat Islam semakin bertambah banyak, Rasulullah melaksanakan dakwahnya secara terang-terangan.

فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ﴿٩٤﴾
”Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS. Al Hijr. 94).

Selanjutnya dalam perkembangan dakwahnya, ternyata Rasulullah SAW. beserta kaum muslimin menemui banyak rintangan. Pada awalnya, mereka berusaha menghentikan dakwah Rasulullah dengan cara ”halus”. Mereka mencoba menawarkan tiga hal (harta, tahta dan wanita) kepada Rasulullah agar berhenti mendakwahkan Islam.

Setelah cara “halus” tak berhasil, mereka mulai menebar teror dengan siksaan terhadap Rasulullah dan kaum muslimin. Dan ketika siksaan dari kaum Quraisy telah sampai pada titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya Rasulullah (beserta kaum muslimin) hijrah ke Madinah.

Saudaraku,
Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah perjalanan dakwah Rasulullah tersebut. Ketika rintangan yang dihadapi masih dalam batas-batas tertentu, Rasulullah tetap berupaya semaksimal mungkin untuk menyampaikan dakwahnya di kalangan penduduk Makkah. Namun ketika rintangan/siksaan dari kaum Quraisy telah sampai pada titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya Rasulullah (beserta kaum muslimin) hijrah ke Madinah.

Demikian pula dengan apa yang saudaraku alami. Ketika rintangan yang saudaraku hadapi masih dalam batas-batas tertentu, maka tetaplah berupaya semaksimal mungkin untuk mengingatkan saudara-saudara kita dalam pengajian tersebut segera kembali ke dalam jalan-Nya yang lurus, yaitu dengan lebih mengedepankan persatuan umat, sehingga tidak sampai terpecah belah karenanya.

Namun jika posisi saudaraku cukup lemah sehingga dikhawatirkan saudaraku malah bisa terbawa arus, tentunya tidak mengapa jika saudaraku memutuskan untuk keluar dari pengajian tersebut.

Solusi

Jika memang benar bahwa saudaraku memutuskan untuk keluar dari pengajian tersebut, maka saudaraku tidak perlu merasa bimbang akan kelanjutan masa-masa setelahnya/setelah saudaraku meninggalkannya. Karena sesungguhnya Allah akan memberi jalan keluar bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tiada disangka-sangka.

... وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”... Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَــــٰـلِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا ﴿٣﴾
”Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).

Maka jangan pernah berputus asa wahai saudaraku, karena menuntut ilmu adalah jalan menuju surga, sedangkan surga itu dikelilingi oleh banyak rintangan (sebagaimana sudah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini). Saudaraku, do'aku menyertai perjuanganmu.

Saudaraku,
Teruslah berusaha untuk tetap belajar/menuntut ilmu agama, karena menuntut ilmu agama itu adalah fardhu bagi setiap muslim. Demikian penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. (رواه ابن ماجه)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mencari ilmu adalah fardhu bagi setiap orang Islam”. (HR. Ibnu Majah).

Sedangkan jika saudaraku sampai berputus asa dalam menghadapi berbagai rintangan tersebut sehingga saudaraku tidak pernah lagi bergabung dalam majelis ilmu, maka itu artinya saudaraku telah memperturutkan langkah-langkah syaitan. Padahal syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kita semua. (Na’udzubillahi mindzalika).

... وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
..., dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 208).

Apakah saudaraku harus hijrah untuk kedua-kalinya?

Saudaraku,
Jika masih memungkinkan, sebaiknya saudaraku segera mencari informasi tentang keberadaan majelis-majelis ilmu terdekat dari tempat tinggal saudaraku saat ini. Carilah tempat-tempat dimana majelis ilmu itu berada, untuk selanjutnya segera bergabung di dalamnya. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepada kita bahwa barangsiapa yang melintasi sebuah jalan (pergi) untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan menuju surga. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan, katanya: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

... وَمَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ. (رواه مسلم)
... Dan barangsiapa yang melintasi sebuah jalan (pergi) untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkannya jalan menuju surga”. (HR. Muslim).

Tak mengapa jika lokasinya lebih jauh dari sebelumnya, selama masih bisa dijangkau. Karena para ‘ulama’ terdahulu tetap bersemangat mencari ilmu walaupun harus melakukan perjalanan jauh.

Abu Ad Darda radhiallahu’ahu mengatakan: “Seandainya saya mendapatkan satu ayat dari Al Qur’an yang tidak aku pahami dan tidak ada seorangpun yang bisa mengajarkannya kecuali orang yang berada di Barkul Ghamad (yang jaraknya 5 malam perjalanan dari Mekkah), niscaya aku akan menjumpainya”. Sa’id bin Al Musayyab juga mengatakan: “Saya terbiasa melakukan rihlah berhari-hari untuk mendapatkan satu hadits”. (Al Bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir, 9/100).

Kecuali jika majelis ilmu itu lokasinya terlalu jauh sehingga bisa menyulitkan saudaraku untuk secara rutin mendatanginya/bergabung di dalamnya, tentunya keputusan untuk hijrah yang kedua-kalinya, bisa dipertimbangkan.

Do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللّٰهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي وَزِدْنِي عِلْمًا وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَأَعُوذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ. (رواه ابن ماجه)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa: “Ya Allah, berikanlah kemanfaatan atas apa yang telah Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat untuk diriku, tambahkanlah kepadaku ilmu. Dan segala puji bagi Allah atas semua keadaan, aku pun berlindung kepada Allah dari siksa api neraka”. (HR. Ibnu Majah).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ مِنْ دُعَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ. (رواه ابن ماجه)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, termasuk do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, doa yang tidak didengar, hati yang tidak khusyu dan nafsu yang tidak pernah kenyang”. (HR. Ibnu Majah).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞