بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Selasa, 05 April 2022

ARTI SETIA


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang mahasiswi telah menyampaikan pertanyaan via messenger sebagai berikut: “Mohon maaf sebelumnya Pak Imron kalau saya mengganggu. Saya mau tanya apa sih yang dimaksud dengan setia?”.

Saudaraku yang dicintai Allah,

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata setia adalah:

1.  Berpegang teguh (pada janji, pendirian, dan sebagainya); patuh; taat.
Contoh: Bagaimanapun berat tugas yang harus dijalankannya, ia tetap setia melaksanakannya. Ia tetap setia memenuhi janjinya.
2.  Tetap dan teguh hati (dalam persahabatan dan sebagainya).
Contoh: Telah sekian lama suaminya merantau, ia tetap setia menunggu.
3.  Berpegang teguh (dalam pendirian, janji, dan sebagainya).
Contoh: Walau hujan turun dengan lebatnya, ia tetap setia memenuhi janji pergi ke rumah kawannya.

Kesetiaan mutlak itu hanya untuk Allah dan Rasul-Nya

Saudaraku yang dicintai Allah,
Dalam Islam, kesetiaan mutlak itu hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Bahwa kesetiaan, ketaatan, ketundukan dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, untuk membuktikan keimanan kita secara benar. Mutlak artinya apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, kita terima dan kita laksanakan apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun.

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al An’aam ayat 162 – 163 berikut ini:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَـــٰـــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
(162) “Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, (163) “tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al An’aam. 162 – 163).

Ya, apapun yang kita lakukan (shalat kita, ibadah kita, hidup kita dan mati kita), semuanya hanyalah untuk Allah semata. Dan sebagai konsekuensi logis dari hal ini, bahwa apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, maka sikap kita adalah:  سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا  (kami mendengar dan kami patuh). Artinya apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, kita terima dan kita laksanakan apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun.

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 51, surat Al Ahzaab ayat 36, serta dalam surat Al Hasyr ayat 7 berikut ini:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nuur. 51)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36).

... وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS Al Hasyr. 7).

Sedangkan apabila kita mengikuti/menta’ati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya kita juga telah menta`ati Allah SWT.

مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَـــٰـكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ﴿٨٠﴾
“Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS An Nisaa’. 80).

Saudaraku yang dicintai Allah,
Perhatikan tauladan yang telah diberikan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, yaitu tatkala Nabi Ibrahim AS mendapat perintah dari Allah SWT. untuk menyembelih putranya, maka beliaupun menyampaikannya kepada putranya supaya ia menurut, mau disembelih, dan taat kepada perintah-Nya. Mendengar hal itu, putra Nabi Ibrahim-pun (yaitu Nabi Ismail AS) menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; in sya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴿١٠٣﴾
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya)”. (QS. Ash Shaffaat. 103).

“Tatkala keduanya telah berserah diri” artinya: tunduk dan patuh kepada perintah Allah SWT. “dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya”. Nabi Ismail AS dibaringkan pada salah satu pelipisnya (setiap manusia memiliki dua pelipis dan di antara keduanya terdapat jidat). Kejadian ini di Mina; kemudian Nabi Ibrahim AS menggorokkan pisau besarnya ke leher Nabi Ismail AS, akan tetapi berkat kekuasaan Allah pisau itu tidak mempan sedikitpun. (Tafsir Jalalain).

وَنَــــٰـدَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ﴿١٠٤﴾ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١٠٥﴾ إِنَّ هَــٰــذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ ﴿١٠٦﴾ وَفَدَيْنَـــٰـهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ ﴿١٠٧﴾
(104) “Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim”, (105) “sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (106) “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata”. (107) “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. Ash Shaffaat. 104 – 107).

“Dan Kami tebus anak itu”, maksudnya anaknya Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan untuk disembelih yaitu Nabi Ismail AS “dengan seekor sembelihan” yakni dengan domba “yang besar” dari surga, yaitu domba yang sama dengan domba yang dijadikan kurban oleh Habil (anaknya Nabi Adam AS). Domba itu dibawa oleh malaikat Jibril, lalu Nabi Ibrahim AS menyembelihnya seraya membaca takbir. (Tafsir Jalalain).

Saudaraku yang dicintai Allah,
Dari kisah di atas, nampak jelas betapa Nabi Ibrahim AS benar-benar telah menunjukkan kesetiaan total/kesetiaan mutlak kepada Allah SWT., yaitu dengan tunduk patuh terhadap apapun yang datang dari-Nya, sekalipun perintah itu sangat berat dilaksanakan jika memperturutkan hawa nafsu (bagaimana tidak, ketika anak yang dinanti tersebut telah tumbuh hingga mencapai usia tertentu sehingga dapat membantu beliau bekerja, beliau malah diperintah Allah untuk menyembelihnya). Beliau terima dan laksanakan apa adanya (seutuhnya) perintah dari Allah tersebut tanpa adanya tawar menawar sedikitpun (beliau tidak pernah memohon kepada Allah agar menunda perintah tersebut atau memohon agar yang disembelih bukan anaknya melainkan diganti dengan yang lainnya, dll).

Demikian pula halnya dengan tauladan yang telah diberikan oleh sang putra (yakni Nabi Ismail AS). Beliaupun dengan ikhlas menerima apapun ketentuan yang datang dari Allah. Bahkan beliau justru menyampaikan kepada Nabi Ibrahim AS agar tidak ragu-ragu dalam menjalankan perintah Allah tersebut.

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ ﴿١٠٨﴾ سَلَامٌ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ ﴿١٠٩﴾ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١١٠﴾ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ ﴿١١١﴾
(108) “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian”, (109) “(yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". (110) “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (111) “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”. (QS. Ash Shaffaat. 108 – 111).

Konsekuensi dari kesetiaan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya

Saudaraku yang dicintai Allah,
Disamping harus menerima dan melaksanakan apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, sebagai orang yang beriman, maka kita juga harus lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّــــٰغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَـــٰنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَـــٰــلًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَـــٰـفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا ﴿٦١﴾
(60) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (61) Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An Nisaa’. 60 – 61).

Saudaraku yang dicintai Allah,
Sekali lagi kusampaikan bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas, sebagai orang yang beriman, maka kita harus lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain. Lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain artinya jika kita menemui adanya pertentangan antara syari’ah Islam dengan hukum/aturan/perintah dan larangan dari pemimpin kita/lainnya, maka syari’ah Islam-lah yang harus kita ikuti.

ثُمَّ جَعَلْنَـــٰـكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨﴾
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jaatsiyah. 18).

Tidak ada kesetiaan mutlak kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Saudaraku yang dicintai Allah,
Berbeda dengan kesetiaan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya, kesetiaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya tidaklah mutlak. Artinya kesetiaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu bersyarat. Kesetiaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu hanya berlaku selama tidak ada syari’at Islam yang dilanggar (selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)”. (HR. Bukhari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ. (رواه البخارى)
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat”. (HR. Bukhari).

أُمِّ الْحُصَيْنِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللهِ. (رواه ابن ماجه)
Dari Ummi Hushain, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari golongan Habasy yang cacat, maka dengarkanlah dan taatlah kepadanya, yaitu selama dia memimpin kalian dengan Al Qur'an."  (HR. Ibnu Majah).

Berikut ini aku sampaikan beberapa contoh kesetiaan/ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya:

1. Kesetiaan/ketaatan kepada kedua orang-tua

Saudaraku yang dicintai Allah,
Perhatikan penjelasan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta penjelasan Al Qur’an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 8 dan surat Luqman ayat 15 berikut ini:

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقَّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِى؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. فَقَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ. (رواه البخارى و مسلم)
Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah yang berhak untuk aku layani (untuk aku patuhi)?”. Jawab Rasulullah: “Ibumu!”. Kemudian siapa?”. Jawab Rasulullah: “Ibumu!”. Kemudian siapa?”. Jawab Rasulullah: “Ibumu!”. Kemudian siapa?”. Jawab Rasulullah: “Ayahmu!”. (HR. Bukhari, Muslim).

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al ‘Ankabuut. 8).

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿١٥﴾
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman. 15).

Saudaraku,
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta surat Al ‘Ankabuut ayat 8 dan surat Luqman ayat 15 di atas, diperoleh penjelasan bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli keduanya di dunia ini dengan baik. Namun ketika mereka berdua berbuat syirik serta memaksa kita untuk berbuat syirik (mempersekutukan Allah), maka tidak ada kewajiban sedikitpun bagi kita untuk mengikuti keduanya.

2. Kesetiaan/ketaatan kepada suami

Saudaraku yang dicintai Allah,
Perhatikan penjelasan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dan Imam Ahmad serta Al Khathib berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

قِيلَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا بِغَيْرِ إِذْنِ زَوْجِهَا كَانَتْ فِى سُخْطِ اللهِ حَتَّى تَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهَا أَوْ يَرْضَى عَنْهَا زَوْجُهَا. (وَفِى رِوَايَةٍ) لَعَنَهَا كُلُّ مَلَكٍ فِى السَّمَاءِ وَكُلُّ شَىْءٍ مَرَّتْ عَلَيْهِ غَيْرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ حَتَّى تَرْجِعَ. (رواه الخطيب)
“Tiap isteri yang keluar dari rumah suaminya tanpa ijin suaminya tetap berada dalam murka Allah sehingga kembali ke rumahnya atau dima’afkan oleh suaminya”. (HR. Al Khathib). Dilain riwayat: “Dikutuk oleh semua malaikat di langit dan semua apa yang dilaluinya selain manusia dan jin, sehingga kembali”.

Saudaraku yang dicintai Allah,
Isteri harus setia/taat kepada suami karena suami adalah pemimpin bagi isteri, sebagaimana penjelasan Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian awal ayat 34 berikut ini:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), ...” (QS. An Nisaa’. 34).

Namun ketahuilah bahwa sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai pemimpin bagi isteri, maka suami adalah yang paling bertanggung-jawab akan baik-buruknya isteri dan keluarganya. Dia wajib membimbing/mengarahkan isteri dan keluarganya untuk menggapai ridho-Nya sehingga (atas rahmat-Nya) bisa menggapai surga yang dipenuhi kenikmatan abadi serta terhindar dari api neraka Jahannam. Benar-benar sebuah tanggung-jawab yang sangat berat!

Dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيْرُ الَّذِي عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعِ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. (رواه البخارى ومسلم)
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Maka seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَـــٰــئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahriim. 6).

Lebih dari itu, suami juga wajib mempergauli isterinya dengan cara yang baik, sebagaimana penjelasan Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 19 serta hadits yang riwayat oleh Imam At-Tirmidzi berikut ini:

... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...﴿١٩﴾
“... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. ...”. (QS. An Nisaa’. 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ. (رواه الترمذى)
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. at-Tirmidzi).

Saudaraku yang dicintai Allah,
Sekali lagi kusampaikan bahwa isteri harus setia/taat kepada suami karena suami adalah pemimpin bagi isteri. Namun Agama Islam hanya membatasi ketaatan dalam hal-hal ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah saja. Sedangkan perintah-perintah suami yang bertentangan dengan hal tersebut, maka tidak ada sedikitpun kewajiban bagi sang isteri untuk memenuhinya, bahkan dia harus menolaknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)”. (HR. Bukhari).

3. Kesetiaan/ketaatan kepada pemimpin

Saudaraku,
Ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul-Nya serta para ulil amri di antara kita. Kemudian jika mereka itu (para ulil amri) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul-Nya (Hadits).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَـــٰــــزَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul-(Nya), dan ulil amri* di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An Nisaa’. 59).

*)  Menurut Prof. Dr. KH. M. Roem Rowi (ahli tafsir Al Qur’an/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya; S1 Universitas Islam Madinah, S2 – S3 Universitas Al-Azhar) yang dimaksud dengan ulil amri (pemegang-pemegang urusan) adalah orang-orang yang berpengetahuan agama/para ‘ulama’, bisa pula orang tua kita, pimpinan di kantor tempat kita bekerja, pimpinan negara, dst.

أُمِّ الْحُصَيْنِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللهِ. (رواه ابن ماجه)
2328-2912. Dari Ummi Hushain, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari golongan Habasy yang cacat, maka dengarkanlah dan taatlah kepadanya, yaitu selama dia memimpin kalian dengan Al Qur'an."  (HR. Ibnu Majah).

Kecuali jika pemimpin tersebut telah memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk mendengar dan mentaati mereka.

قَالَ أَبُو دَاوُدَ: حَدَّثَنَا مُسَدَّد، حَدَّثَنَا يَحْيَى، عَنْ عُبَيْدِ اللهِ، حَدَّثَنَا نَافِعٌ، عَنْ عَبْدِ الله بن عمر، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ".
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, dari Rasulullah Shallallahu'alaihiWasallam yang telah bersabda: Tunduk dan patuh diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.

و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ وَتَقَارَبُوا فِي اللَّفْظِ قَالُوا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَسْمَعُوا لَهُ وَيُطِيعُوا فَأَغْضَبُوهُ فِي شَيْءٍ فَقَالَ اجْمَعُوا لِي حَطَبًا فَجَمَعُوا لَهُ ثُمَّ قَالَ أَوْقِدُوا نَارًا فَأَوْقَدُوا ثُمَّ قَالَ أَلَمْ يَأْمُرْكُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَسْمَعُوا لِي وَتُطِيعُوا قَالُوا بَلَى قَالَ فَادْخُلُوهَا قَالَ فَنَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالُوا إِنَّمَا فَرَرْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ النَّارِ فَكَانُوا كَذَلِكَ وَسَكَنَ غَضَبُهُ وَطُفِئَتِ النَّارُ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ. (رواه مسلم)
34.37/3425. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Zuhair bin Harb dan Abu Sa'id Al Asyaj sedangkan lafadznya saling berdekatan, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Al A'masy dari Sa'd bin 'Ubaidah dari Abu Abdurrahman dari 'Ali dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengutus suatu ekspedisi dan mengangkat seorang laki-laki dari Anshar sebagai pemimpinnya, mereka diperintahkan untuk taat dan mendengar kepadanya, suatu ketika pemimpinnya marah terhadap anak buahnya karena suatu perkara, dia berkata, Kumpulkanlah kayu bakar. Setelah kayu bakar terkumpul dia berkata, Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkan kepada kalian untuk mendengarkanku dan mentaatiku? Mereka menjawab, Ya. Dia berkata, Oleh karena itu masuklah kalian ke dalam api tersebut. Ali berkata, Lalu sebagian yang lain saling memandang kepada yang lainnya, sambil berkata, Kita harus lari kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari api tersebut. Anak buahnya masih saja (dalam kebimbangan) seperti itu, hingga kemarahannya mereda dan api dimatikan. Ketika mereka kembali, mereka memberitahukan peristiwa itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: Sekiranya kalian masuk ke dalamnya, niscaya kalian tidak akan dapat keluar dari api tersebut, ketaatan itu hanya dalam kebajikan. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dengan isnad seperti ini. (HR. Muslim).

Demikian yang bisa kusampaikan, mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞