بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Sabtu, 05 September 2020

BANYAK BERIBADAH NAMUN PERILAKUNYA BURUK TERHADAP SESAMA (II)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Berikut ini kelanjutan dari artikel “Banyak Beribadah Namun Perilakunya Buruk Terhadap Sesama (I)”:

Selanjutnya sang kyai dalam postingan di atas juga berpendapat bahwa “seseorang yang tidak beribadah tapi kelakuannya baik pada sesama” adalah orang yang baik karena akan mendapat bimbingan Allah SWT melalui rahmat-Nya untuk semakin taat kepada-Nya. Benarkah hal ini?

Saudaraku,
Orang yang tidak mau beribadah kepada Allah, sudah pasti bukan orang yang baik. Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat Adz Dzaariyaat ayat 56 berikut ini:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz Dzaariyaat. 56).

Tafsir Ibnu Katsir:

Sesungguhnya Aku menciptakan mereka agar Aku memerintahkan mereka untuk menyembah-Ku, bukan karena Aku membutuhkan mereka.

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.: “melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Adz- Dzaariyaat: 56)”, yakni agar mereka mengakui kehambaan mereka kepada-Ku, baik dengan sukarela maupun terpaksa.

Demikianlah menurut apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Menurut Ibnu Juraij, makna yang dimaksud ialah melainkan supaya mereka mengenal-Ku.

Ar-Rabi' ibnu Anas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Adz- Dzaariyaat: 56)”, yakni kecuali untuk beribadah.

.  .  .  .  .

Saudaraku,
Berdasarkan surat Adz Dzaariyaat ayat 56 di atas, diperoleh penjelasan bahwa tidaklah diciptakan jin dan manusia itu, melainkan supaya mereka menyembah Allah, supaya mereka beribadah kepada Allah.

Sehingga bagi siapa saja yang tidak mau menyembah Allah/tidak mau beribadah kepada Allah, jelas hal ini akan mendatangkan murka Allah. Sedangkan bagi siapa saja yang mendapat murka Allah, sudah pasti tidak akan mungkin mendapatkan bimbingan Allah SWT melalui rahmat-Nya untuk semakin taat kepada-Nya.

Kecuali jika yang bersangkutan bersegera datang kepada Allah untuk bertaubat kepada-Nya. Dia harus segera kembali kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya. Dan dia juga harus mengikuti dengan sebaik-baiknya apa yang telah diturunkan Allah sebelum datang azab dari-Nya dengan tiba-tiba.

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ﴿٥٣﴾
”Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus-asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Az Zumar. 53).

وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنصَرُونَ ﴿٥٤﴾
Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. Az Zumar. 54).

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ ﴿٥٥﴾
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, (QS. Az Zumar. 55).

Dalam postingan di atas, juga tertulis: “Terus, siapa yang lebih buruk?”, desak sang santri penasaran. Kemudian sang kyai menjawab: “Kita nak. Kitalah yang layak disebut buruk, sebab gemar menghabiskan waktu untuk menilai orang lain, melupakan diri sendiri. Kelak di hadapan Allah, kita ditanya tentang diri kita, bukan tentang orang lain”.

Saudaraku,
Benar bahwa jika kita gemar menghabiskan waktu untuk menilai orang lain dan melupakan diri sendiri, maka ini adalah perbuatan yang buruk karena hal ini bisa melupakan diri sendiri. Sedangkan kelak di hadapan Allah, kita ditanya tentang diri kita, bukan tentang orang lain.

وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَـــٰــمَةِ فَرْدًا ﴿٩٥﴾
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (QS. Maryam. 95).

يَوْمَ تَأْتِي كُلُّ نَفْسٍ تُجَـــٰـدِلُ عَن نَّفْسِهَا وَتُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ ﴿١١١﴾
(Ingatlah) suatu hari (ketika) tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri dan bagi tiap-tiap diri disempurnakan (balasan) apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan). (QS. An Nahl. 111).

Namun dalam hal ini harus bisa dibedakan antara “menilai orang lain” dengan “menilai suatu amal perbuatan”.

Menilai orang lain, jelas ini adalah perbuatan tercela. Karena pada saat kita sedang menilai orang lain, maka pada saat itu pula (tanpa kita sadari) kita telah merasa lebih baik dari padanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَعَظَّمَ فِى نَفْسِهِ وَاَجْتَالَ فِى مِشْيَتِهِ لَقِىَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ (رواه أحمد)
“Siapa yang merasa dirinya besar, lalu sombong dalam jalannya, maka ia akan menghadap pada Allah, sedang Allah murka padanya”. (HR. Ahmad).

Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Hujuraat, Allah telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujuraat. 12).

Lebih dari itu, setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Tidak ada yang bisa terbebas dari tindakan salah. Melakukan kesalahan, adalah salah satu tabiat manusia, karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Sehingga wajar jika ada ungkapan dalam Bahasa Arab: “Al-insaanu mahallu al-khatha’ wa an-nisyaan” yang artinya adalah bahwa “manusia itu tempatnya salah dan lupa”.

Namun, sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau mengakui kesalahannya kemudian bertaubat kepada-Nya..

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَسْعَدَةَ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ. (رواه الترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan kepada kami, Zaid bin Hubab menceritakan kepada kami, Ali bin Mas'adah Al Bahili menceritakan kepada kami, Qatadah menceritakan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah bersabda: “Setiap anak Adam itu bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang mau bertaubat”. (HR. At-Tirmidzi).

Adapun yang kita lakukan di atas adalah “menilai suatu amal perbuatan”, bukan “menilai orangnya”.

Saudaraku,
Dalam hal ini, setiap muslim justru wajib berlepas diri dari semua amalan yang tidak diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, walaupun amalan tersebut tidak sampai pada derajat kekafiran, seperti perbuatan fasik dan maksiat. Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Hujuraat ayat 7 berikut ini:

وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَـــٰـكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ ﴿٧﴾
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (QS. Al Hujuraat. 7).

Demikian yang bisa kusampaikan, mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
                            
Semoga bermanfaat.

{Tulisan ke-2 dari 2 tulisan}

Kamis, 03 September 2020

BANYAK BERIBADAH NAMUN PERILAKUNYA BURUK TERHADAP SESAMA (I)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (dosen senior sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Pontianak) telah menyampaikan pertanyaan di sebuah grup WhatsApp sebagai berikut:

Mohon pencerahan Bapak-Ibu tentang postingan dan respon saya dari group yang walaupun Islam, namun ternyata cenderung sekuler-liberal (special attention Pak Imron Kuswandi M.):

“Wahai Kyai, manakah yang lebih baik, seorang beragama yang ibadahnya banyak tetapi kelakuannya buruk ataukah seorang yang tidak beribadah tapi kelakuannya baik pada sesama?”, tanya seorang santri kepada kyainya.

“Maha Suci Allah, keduanya baik”, ujar sang kyai sambil tersenyum.

“Lho, kok bisa?”, desak sang santri.

“Karena orang yang tekun beribadah itu boleh jadi akan dibimbing Allah SWT untuk berkelakuan mulia melalui ibadahnya. Sedangkan orang yang baik kelakuannya itu, boleh jadi akan dibimbing Allah SWT melalui rahmat-Nya untuk semakin taat kepada-Nya”.

“Terus, siapa yang lebih buruk?”, desak sang santri penasaran.

Air mata mengalir di pipi sang kyai. “Kita nak”, ujar beliau dengan suara tersendat. “Kitalah yang layak disebut buruk, sebab gemar menghabiskan waktu untuk menilai orang lain, melupakan diri sendiri”, tangis beliau sambil terisak. “Kelak di hadapan Allah, kita ditanya tentang diri kita, bukan tentang orang lain”.

Tanggapan

Hati-hati dengan pola pemikiran orang-orang liberal1), saudaraku. Karena jika kita tidak berhati-hati, hal ini bisa sangat membahayakan aqidah kita!

اَللّٰهُّمَ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya”.

Terkait postingan yang saudaraku sampaikan di atas, marilah kita perhatikan uraian berikut ini.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pelaksanaan ibadah-ibadah mahdhah2), seperti: shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain, bukanlah sekedar rangkaian kewajiban yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan mendapat dosa. Namun (semua ibadah yang diperintahkan Allah tersebut), juga mengandung ajaran akhlak yang mulia, jika saja setiap orang yang mengerjakannya mau dan mampu menghayati setiap rangkaiannya.

Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut ini:

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ الصَّنْعَانِيُّ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ أَبِي النَّجُودِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَصْبَحْتُ يَوْمًا قَرِيبًا مِنْهُ وَنَحْنُ نَسِيرُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي عَنْ النَّارِ قَالَ لَقَدْ سَأَلْتَنِي عَنْ عَظِيمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ عَلَيْهِ تَعْبُدُ اللهَ وَلَا تُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصُومُ رَمَضَانَ وَتَحُجُّ الْبَيْتَ ثُمَّ قَالَ أَلَا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ قَالَ ثُمَّ تَلَا { تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنْ الْمَضَاجِعِ حَتَّى بَلَغَ يَعْمَلُونَ } ثُمَّ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ ثُمَّ قَالَ أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ قُلْتُ بَلَى يَا نَبِيَّ اللهِ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ. (رواه الترمذى)
Ibnu Abu Umar menceritakan kepada kami, Abdullah bin Mu'adz Ash-Shan'ani menceritakan kepada kami, dari Ma'mar, dari Ashim bin Abu An-Najud, dari Abu Wail, dari Mu'adz bin Jabal. Ia berkata: Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Pada suatu hari aku berada di dekat beliau, sedangkan kami sedang berjalan. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku amal perbuatan yang dapat membuatku masuk surga dan menjauhkanku dari api neraka”. Beliau bersabda: “Kamu telah menanyakan persoalan yang besar kepadaku. Hal itu mudah bagi orang yang diberikan kemudahan oleh Allah, yaitu kamu hendaknya menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain, mendirikan shalat, menunaikan zakat. berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan haji di baitullah”. Beliau melanjutkan: “Maukah kuberitahukan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai, shadaqah itu dapat menghapuskan dosa sebagaimana air dapat memadamkan api, dan shalat yang dilakukan oleh seseorang di tengah malam”. Dia berkata: “Rasulullah kemudian membaca firman Allah: “Lambung-lambung mereka jauh dan tempat tidur mereka, hingga pada lafaz [apa yang mereka kerjakan]”. Beliau lalu bersabda: “Maukah kamu aku beritahukan tentang pangkal, tiang, dan sekaligus puncak segala urusan?” Aku menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah”. Beliau bersabda: “Pangkal segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad”. Beliau kembali bersabda: “Maukah kamu aku beritahukan hal yang dapat menjaga itu semua?”. Aku menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah”. Beliau lalu meraih lisan beliau dan bersabda: “Tahanlah lisanmu ini”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, apakah kami akan diberikan siksa akan apa yang kami ucapkan?”. Beliau menjawab: “Celaka kamu wahai Mu'adz, tidaklah manusia dibenamkan wajah – atau hidung mereka –ke dalam api neraka melainkan karena hasil perbuatan lisan mereka”. (HR. At-Tirmidzi). Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan shahih”.

Saudaraku,
Dalam Al Qur’an surat Al ‘Ankabuut ayat 45 berikut ini, Allah juga telah menyampaikan kepada kita bahwa shalat itu adalah suatu ibadah yang akan membentuk manusia agar memiliki akhlak yang mulia.

اُتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَـــٰبِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al ‘Ankabuut. 45).

Tafsir Ibnu Katsir:

... وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ... ﴿٤٥﴾
“... dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. ...”. (Al-'Ankabut: 45)

Shalat itu mengandung dua hikmah, yaitu dapat menjadi pencegah diri dari perbuatan keji dan perbuatan munkar. Maksudnya dapat menjadi pengekang diri dari kebiasaan melakukan kedua perbuatan tersebut dan mendorong pelakunya dapat menghindarinya. Di dalam sebuah hadis melalui riwayat Imran dan Ibnu Abbas secara marfu' 3) telah disebutkan:

مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، لَمْ تَزِدْهُ مِنَ اللهِ إِلَّا بُعْدًا
Barang siapa yang shalatnya masih belum dapat mencegah dirinya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar, maka tiada lain ia makin bertambah jauh dari Allah.

Banyak atsar4) yang menerangkan masalah ini, antara lain dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ هَارُونَ الْمُخَرِّمِيُّ الْفَلَّاسُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ نَافِعٍ أَبُو زِيَادٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ أَبِي عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: سُئِل النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَوْلِ اللهِ: {إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ} قَالَ: "مَنْ لَمْ تَنْهَهُ صَلَاتُهُ عَنِ الفحشاء والمنكر، فلا صلاة له"
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harun Al-Makhrami Al-Fallas, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Nafi' Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Abu Usman, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan dari Imran ibnu Husain yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya (seseorang) tentang makna firman-Nya: [Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar]. (Al-'Ankabut: 45). Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab melalui sabdanya: “Barang siapa yang tidak dapat dicegah oleh shalatnya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar, maka tiada (pahala) shalat baginya”.

. . . dst., ada beberapa hadits lainnya yang dikutip dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir, yang isinya hampir sama dengan kedua hadits di atas. (Mohon maaf, hadits-hadits tersebut tidak aku kutib semuanya di sini agar artikel ini tidak terlalu panjang).

... وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ ... ﴿٤٥﴾
“... Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar, ...”. (Al-'Ankabut: 45). Yakni lebih besar pahalanya daripada yang pertama (yakni ibadah-ibadah yang lainnya).

... وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
“... Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al-'Ankabut: 45). Allah mengetahui semua perbuatan dan apa yang diucapkan kalian.

Abul Aliyah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”. (Al 'Ankabut: 45). Sesungguhnya di dalam shalat itu terkandung tiga pekerti, setiap shalat yang tidak mengandung salah satu dari ketiga pekerti tersebut bukan shalat namanya; yaitu ikhlas, khusyuk, dan zikrullah (mengingat Allah). Ikhlas akan mendorongnya untuk mengerjakan perkara yang baik, khusyuk akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan munkar, dan dzikrullah yakni membaca Al Qur'an menggerakkannya untuk amar makruf dan nahi munkar.  . . . . .

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar. (Al-'Ankabut: 45) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah sesungguhnya ingatan Allah kepada hamba-hamba-Nya lebih besar apabila mereka mengingat­Nya daripada ingatan mereka kepada-Nya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh perawi lainnya yang bukan hanya seorang dari Ibnu Abbas, dan hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan sesungguhnya mengingat Allah(shalat) adalah lebih besar. (Al-'Ankabut: 45) Zikrullah di saat kamu hendak makan dan hendak tidur. Lelaki itu berkata, "Sesungguhnya seorang temanku di rumah mengatakan hal yang lain dengan apa yang kamu katakan itu." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah yang telah dikatakannya?" Aku menceritakan, "Temanku telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu. (Al-Baqarah: 152) bahwa ingatan Allah kepada kita jauh lebih besar daripada ingatan kita kepada-Nya. Ibnu Abbas menjawab, "Temanmu itu benar."

.  .  .  .  .

Oleh karena itu, orang yang benar-benar melakukan shalat dengan penuh penghayatan terhadap apa yang dilakukannya, pastilah dia tidak akan pernah melakukan suatu pelanggaran, baik terhadap aturan Allah maupun aturan masyarakat. Orang yang melaksanakan shalat dengan benar, pasti tidak akan pernah melakukan perbuatan yang membuat orang lain risih, tersinggung atau terusik.

Saudaraku,
Bagaimana mungkin, orang yang melaksanakan shalat dengan benar berani melanggar aturan Allah? Bukankah di awal shalatnya dia telah mengakui Kemahabesaran Allah melalui ucapan takbir? Begitu juga, bagaimana mungkin orang yang melaksanakan shalat dengan benar akan melakukan sesuatu yang akan mengganggu dan mengusik ketenangan orang lain? Bukankah di akhir shalatnya dia menebarkan kedamaian, keselamatan dan ketenangan bagi orang di sekitarnya melalui salam?

Saudaraku,
Orang yang benar dalam shalatnya, sudah pasti akan menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia, karena didasarkan kepada tujuan pelaksanaan shalat itu sendiri. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Thaahaa ayat 14 berikut ini:

إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَـــٰــهَ إِلَّا أَنَاْ فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي ﴿١٤﴾
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaahaa. 14).

Saudaraku,
Berdasarkan surat Thaahaa ayat 14 di atas, diperoleh penjelasan bahwa tujuan shalat adalah agar manusia selalu ingat kepada Allah. Jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, bagaimana mungkin akan berani melakukan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa?

Bukankah ketika seseorang berani berbuat dosa dan pelanggaran, hal ini karena pada saat itu dia tidak menyadari kehadiran dan kebersamaan Allah dengannya? Karena pada saat itu dia telah menanggalkan iman yang sebelumnya ada dalam genggamannya?

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَابْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولَانِ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ السَّارِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ. قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ يُحَدِّثُهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ثُمَّ يَقُولُ كَانَ أَبُو بَكْرٍ يُلْحِقُ مَعَهُنَّ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً ذَاتَ شَرَفٍ يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهُمْ فِيهَا حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ. (رواه البخارى)
“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata; saya mendengar Abu Salamah bin Abdurrahman dan Ibnu Musayyab keduanya berkata, Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah seseorang itu berzina, ketika sedang berzina dia dalam keadaan mukmin. Tidak pula seseorang itu minum khamer ketika sedang minum khamer ia dalam keadaan mukmin. Dan tidak pula seseorang itu mencuri ketika sedang mencuri ia dalam keadaan mukmin." Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku pula Abdul Malik bin Abu Bakr bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam bahwa Abu Bakr pernah menceritakan kepadanya dari Abu Hurairah, lalu dia berkata; "Abu Bakar menambahkan dalam hadits tersebut dengan redaksi; "Dan tidaklah seseorang merampas harta orang lain yang karenanya orang-orang memandangnya sebagai orang yang terpandang, ketika dia merampas harta tersebut dalam keadaan mukmin". (HR. Bukhari).

Sehingga dari uraian di atas dengan mudah dapat disimpulkan bahwa orang yang baik ibadahnya, sudah pasti baik pula akhlaknya kepada sesama.

Sedangkan dalam postingan di atas, tertulis: “... seorang beragama yang ibadahnya banyak, tetapi kelakuannya buruk (kepada sesama) ...”.

Saudaraku,
Orang yang ibadahnya banyak tetapi kelakuannya buruk kepada sesama, hal ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan dalam beribadah hanya mementingkan kuantitasnya saja yang banyak, namun secara kualitas masih belum baik/belum benar.

Karena bagi siapa saja yang benar dalam shalatnya (serta ibadah yang lainnya), sudah pasti akan menjadi manusia yang memiliki akhlak mulia, karena dia akan selalu ingat kepada-Nya. Dan jika seseorang selalu mengingat dan merasakan kehadiran Allah bersamanya, maka tak mungkin berani melakukan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa, termasuk berperilaku buruk kepada sesama. (Baca kembali uraian di atas terkait hal ini).

Dengan demikian, pendapat sang kyai dalam postingan di atas yang menyatakan bahwa orang beragama yang ibadahnya banyak tetapi kelakuannya buruk kepada sesama adalah orang yang baik, adalah salah besar.

{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2 tulisan }
NB.
1) Yang dimaksud dengan liberal atau liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh “kebebasan berpikir bagi para individu”.

“Kebebasan berpikir bagi para individu” ini bisa sangat berbahaya jika diterapkan dalam mempelajari ilmu-ilmu keislaman, untuk kemudian dijadikan sebagai literatur ilmiah dalam konsep pemikiran mereka. Sehingga jika mereka temukan dalam ajaran Islam hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan pemikiran mereka, maka mereka tidak segan-segan untuk mengkritik dan menyanggahnya. Terkait hal ini, Allah telah memberikan peringatan yang sangat keras:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ ﴿٧١﴾
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. Al Mu’minuun. 71).

2) Ibadah dalam Islam, ada yang disebut sebagai ibadah mahdhah (ibadah yang murni hubungan antara manusia dengan Allah), ada juga yang disebut sebagai ibadah ghairu mahdhah (ibadah yang bukan murni berhubungan secara langsung dengan Allah).
ü Ibadah mahdhah adalah ibadah yang tata caranya, tempatnya, waktunya, berapa banyaknya, dst. sudah ada ketetapan dari Al Qur’an maupun Hadits sehingga tidak ada celah kreatifitas bagi kita dalam melaksanakannya. Contoh: wudhu, tayammum, mandi suci dari hadats, adzan, iqamat, shalat, i’tikaf di masjid, puasa, haji, umrah, dll.
ü Ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang ada perintahnya, namun tentang tata caranya, tempatnya, waktunya, berapa banyaknya, dst. tidak ada ketetapan dari Al Qur’an maupun Hadits sehingga terbuka kesempatan bagi kita untuk berkreasi dalam pelaksanaannya (biasanya terkait muammalah). Contoh: menuntut ilmu dan menyebarkannya, berdakwah/amar ma’ruf nahi munkar, dll.

3) Hadis marfu adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan atau taqrir beliau.

4) ) Atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabat, serta tabi’in.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞