بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Senin, 05 Juli 2010

TENTANG POLIGAMI (VI)

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku…,
Salah satu pelajaran yang bisa kita ambil dari diskusi tentang poligami ini adalah: bahwa kita tidak boleh mengambil Islam secara sepotong-sepotong. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 208).

Memang, seorang calon suami (laki-laki) bisa menikah tanpa mendapatkan persetujuan dari orang tuanya dan pernikahan tersebut tetap syah (selama ke-4 rukun nikah terpenuhi). Namun, ingatlah (wahai para calon suami / laki-laki) bahwa perintah untuk berbakti kepada orang tua itu adalah mutlak / tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Mengenai hal ini (perintah untuk berbakti kepada orang tua), saudaraku bisa membaca artikel yang berjudul: "BERBAKTI KEPADA IBU DAN BAPAK (I)" dan "BERBAKTI KEPADA IBU DAN BAPAK (II)". Atau bisa klik di sini: http://imronkuswandi.blogspot.com/2008/10/berbakti-kepada-ibu-dan-bapak-i.html dan klik juga di sini: http://imronkuswandi.blogspot.com/2008/10/berbakti-kepada-ibu-dan-bapak-ii.html

Tentunya, hal yang sama juga berlaku bagi para suami yang akan menikah lagi (terkait dengan persetujuan istri pertama / istri sebelumnya).

Saudaraku...,
Pada kesempatan ini, aku berikan satu ilustrasi lagi. Aku berikan contoh kasus yang tidak ada hubungannya dengan perkawinan, dengan harapan dapat mempermudah pemahaman kita, bahwa kita memang tidak boleh mengambil Islam secara sepotong-sepotong.

-----

Seorang mahasiswi yang kuliah di luar kota, telah berbohong kepada orang tuanya. Dia mengatakan kepada orang tuanya bahwa seolah-olah banyak biaya tambahan yang harus dia bayarkan.

Padahal "uang tambahan" tersebut dia gunakan untuk membeli pakaian-pakaian mahal. Hingga akhirnya "rahasia" ini terbongkar dan telah membuat orang tuanya marah atas tindakan mahasiswi tersebut.

Saudaraku...,
Pada kasus ini, selama pembelian pakaian-pakaian mahal tersebut berjalan dengan benar (terjadi kesepakatan harga, tidak ada unsur paksaan, tidak terjadi penipuan, dst.) maka jual-beli tersebut syah. Sedangkan apakah ulah si mahasiswi tersebut mendapat persetujuan dari orang tuanya atau tidak, hal ini adalah kasus yang berbeda. Tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya jual-beli itu. (Wallahu a’lam).

Artinya, ketika orang tua si mahasiswi tersebut ternyata tidak setuju dengan pembelian pakaian-pakaian itu, kemudian si mahasiswi mengembalikan pakaian-pakaian itu kepada pedagang, maka sang pedagang berhak untuk menolaknya. Karena jual-beli tersebut adalah syah. Kalaupun ternyata orang tua si mahasiswi tersebut tidak setuju, itu bukan urusan si pedagang.

Semoga contoh kasus yang terakhir ini semakin memperjelas pemahaman kita, bahwa kita benar-benar tidak boleh mengambil Islam secara sepotong-sepotong. Tidak hanya pada masalah pernikahan / poligami saja, tetapi juga pada semua aspek kehidupan yang lainnya.

-----

Sebenarnya seputar masalah pernikahan itu, sangatlah kompleks. Dan nikah itu sendiri (meskipun pernikahan untuk yang pertama) hukumnya bisa bermacam-macam tergantung yang melatarbelakangi pernikahan tersebut. Misal: Jika seorang lelaki ingin menikahi seorang wanita, namun dalam hatinya sudah ada rencana untuk memeras harta kekayaan si wanita, tentunya pernikahan semacam ini bisa menjadi haram. Hal yang sama, tentunya juga ada pada pernikahan yang kedua, ketiga maupun keempat. Hukumnya bisa bermacam-macam jika yang melatarbelakangi pernikahan tersebut berbeda.

Kalau melihat syarat - rukun nikah, memang tidak ada syarat utk ijin/mendapat persetujuan dari istri pertama. Dan suami yang menikah lagi dengan tanpa persetujuan istri pertama itu juga belum tentu tidak baik. Semuanya tergantung pada hal-hal yang melatarbelakanginya. Misal: istri menderita sakit kanker pada farj-nya sehingga tidak bisa memberi pelayanan batin pada sang suami. Tentunya sang suami boleh*) menikah lagi tanpa perlu persetujuan istri dan ini bukanlah sesuatu yang buruk. Yang seharusnya terjadi, sang istri bisa memahami kondisi yang ada.

Terkait dengan ijin orang tua, juga bisa bermacam-macam, sangat tergantung pada hal-hal yang melatarbelakangi pernikahan tersebut. Jika ketidaksetujuan orang tua tidak berdasarkan alasan syar'i, tentu boleh dilanggar dan ini juga bukan berarti tidak berbakti kepada orang tua. Contoh: orang tua tidak setuju karena calon istri dipandang kurang cantik.

Tapi kalau alasannya karena calon istri suka mabuk-mabukan dan tidak pernah sholat, maka yang seperti ini wajib ditaati. Meskipun demikian jika pernikahan tetap dilaksanakan, selama syarat-rukunnya terpenuhi, pernikahan tetap syah. Hanya saja, pada kasus ini sang calon suami telah tidak berbakti kepada orang tuanya.

Demikian, penjelasn yang bisa kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kekurangan / kesalahan.

Semoga bermanfaat.

NB.
*) Boleh, bukan berarti harus. Pada kasus lain, ketika tiba-tiba seseorang telah memukul kita tanpa alasan yang haq, maka kita boleh membalas memukulnya dengan pukulan yang setimpal. Namun jika kita bisa membicarakannya dengan baik-baik dan memaafkannya, tentunya ini adalah perbuatan yang sangat mulia. (Wallahu ta’ala a’lam).

{Tulisan ke-6 dari 6 tulisan}

Sabtu, 03 Juli 2010

TENTANG POLIGAMI (V)

Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat lainnya telah memberi komentar terhadap artikel tentang poligami I s/d III sebagai berikut:

Sangat menarik. Kang Imron yang baik, juga teman2 yang baik, dalam keterbatasan ilmu yang saya punyai mohon di ijinkan saya ikut sharing.

1. Sebagai seorang muslimah yang baik saya sangat menjunjung tinggi Firman Allah dalam Al Qur'an tanpa keraguan tanpa berbantahan.

2. Suami saya bilang dalam agama Islam diperbolehkan seorang suami menikah lagi tanpa terlebih dahulu mohon ijin pada istrinya (mohon koreksi dan mohon diberitahukan kepada saya ayatnya apabila ada yg berkenan) karena saya lupa.

3. Suami saya bilang juga, akan bersabar, dan akan mengedukasi saya sampai saya paham ayat-ayat Allah, sampai saya mengerti, sampai ilmu saya terang benderang tentang poligami agar jika seandainya suatu saat beliau ada niat ingin berpoligami, saya sudah mengerti, ilmu saya sudah cukup, lahir bathin saya sudah ikhlas, tanpa berbantahan dengan Al Qur'an. Walaupun beliau bilang seadil-adilnya beliau mungkin saja bisa jadi tidak adil untuk istrinya walau seujung rambut, dan beliau justru takut malah beliau yang nantinya akan bersifat zhalim dan aniaya kepada istrinya dan Allah tidak ridho, bukan takut terhadap amarah saya sebagai istrinya, dan beliau bilang sampai detik ini tidak ada niat untuk berpoligami, beliau hanya ingin mengedukasi saya menjadi istri yang baik saja agar kami bisa menyamakan pemahaman.

Subhannalloh Alhamdulillah AllahuAkbar semoga ENGKAU memuliakan suami hamba Yaa Rabb..

Namun suami saya bilang selama istrinya tidak ridho di-poligami, tidak akan sekali-kali beliau berpoligami, dan ini bukan berarti beliau tidak paham tentang ayat Al Qur'an, sekali lagi seluruh firman Allah dalam Al Qur'an bukan hanya surat An Nisaa ayat 3 adalah jalan hidup kami pedoman hidup bagi kami, barangkali aplikasinya yang terus-menerus kami sempurnakan, agar Allah Berkenan menghijrahkan kami ke dalam golongan orang-orang yang lebih berilmu karena dalam do’a-do’a saya saya-pun memohon kepada Allah SWT. agar Allah SWT. berkenan menjadikan saya istri yang shalehah, yang patuh kepada suami sebagai imam saya, bukan memaksa Allah agar berkenan menjadikan suami saya hanya bermonogami, saya hanya ingin Allah Ridho kepada saya. Itu saja.

4. Saya mohon maaf apabila pendapat saya ini bertentangan dengan Kang Imron atau teman-teman semua dalam hal ini saya tidak ingin mengomentari yang lain atau mengomentari diskusi di atas, namun saya hanya ingin sharing pengalaman pribadi saya dan suami saja,

5. Di dalam hubungan perkawinan dan rumah tangga kami, saya dan suami menganut azas saling menghormati satu sama lain walaupun beliau sebagai imam, namun beliau sangat open mind, dan tidak pernah sekalipun beliau berlaku superior sehingga membuat saya merasa inferior sama sekali tidak pernah, beliau sangat menghormati saya sebagai istrinya dan saya membalasnya dengan berlipat-lipat menghormati beliau.

6. Sebagai muslim yang baik saya amat paham tentang Qodo dan Qodar saya, apapun yang terjadi atas saya nantinya saya hanya akan berserah diri kepada Allah semata. Mohon maaf apabila tidak berkenan karena terbatasnya ilmu yang saya miliki. Karena yang baik dan benar hanya kepunyaan Allah semata, sedangkan yang salah dan tidak baik adalah berasal dari saya

-----

Saudaraku…,
Apa yang telah disampaikan mas Puguh Subiantoro dalam artikel sebelumnya (TENTANG POLIGAMI IV), telah banyak menjawab pertanyaan Saudaraku. Semoga kebaikan mas Puguh ini, dilihat oleh Allah SWT. sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan mas Puguh kepada-Nya. Amin...!!!

Tambahan dariku:
Berikut ini aku tambahkan tentang rukun nikah*).

Rukun nikah itu, ada empat:
1. Ijab kabul.
Ijab: yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon istri kepada calon suaminya, seperti kalimat: aku kawinkan anda dengan putriku Fulanah, atau kalimat: aku halalkan bagimu putriku yang bernama Anisa’ (bisa juga diucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa lainnya, tetapi harus mengerti artinya).

Kabul: yaitu ucapan penerimaan dari calon suami, seperti kalimat: aku terima mengawininya atau kalimat: aku rela mengawininya.

2. Adanya calon suami dan calon istri.
Calon istri syaratnya harus bebas dari ikatan nikah atau iddah (dan bukan mahram tentunya). Sedangkan calon suami syaratnya adalah harus mengetahui bahwa bakal istrinya itu halal baginya dan “jelas”. Yakni bila tidak jelas, maka tidak syah nikahnya, seperti: aku kawinkan anda pada salah satu putriku ini.

3. Wali dari pihak calon istri.

4. Dua orang saksi, keduanya laki-laki, merdeka, adil, melihat, dan mendengar keduanya serta mengerti bahasa yang digunakan dalam ijab kabul, dan bukan calon wali.

-----

Itulah ke-4 rukun nikah dalam agama Islam. Jika satu saja dari ke-4 rukun nikah itu tidak bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut tidak syah alias batal. Sebaliknya, jika ke-4 rukun nikah tersebut bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut syah.

Berbeda dengan pihak calon istri yang memerlukan adanya wali dan adanya penyerahan wali kepada calon suami / ucapan wali untuk menikahkan calon istri kepada calon suaminya (ijab), yang sekaligus hal ini juga menunjukkan adanya persetujuan dari wali calon istri (untuk menikahkannya dengan calon suami). Dari ke-4 rukun nikah tersebut, tidak satupun yang menyebutkan harus adanya ijin / persetujuan dari istri pertama (istri sebelumnya). Artinya selama ke-4 rukun nikah tersebut bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut syah, meskipun tidak mendapatkan ijin dari istri pertama (istri sebelumnya). Jadi pendapat suaminya saudaraku tersebut insya Allah benar.

Sedangkan apakah perkawinan yang demikian itu nantinya akan menyakiti istri pertama (istri sebelumnya) atau tidak, hal ini adalah kasus yang berbeda. Tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan itu. Wallahu a’lam.

Berikut ini aku sampaikan satu ilustrasi tentang pernikahan:

Ada sepasang remaja putra dan putri yang sama-sama masih bujang (belum pernah menikah), memutuskan untuk melangsungkan pernikahan untuk pertama kalinya.

Dari pernikahan tersebut, ternyata ke-4 rukun nikah di atas telah dipenuhi, maka pernikahan tersebut syah.

Setelah menikah, ternyata sang suami hanya memberi nafkah kepada istrinya selama 2 bulan saja. Selanjutnya sang suami tidak pernah memberi nafkah lahir batin kepada istrinya. Bahkan telah mentelantarkannya begitu saja dalam jangka waktu yang lama. Artinya sang suami telah berbuat aniaya kepada istrinya (sang suami telah teramat sangat menyakiti sang istri).

Maka dalam kasus seperti ini, bukan berarti pernikahan tersebut menjadi batal / tidak syah. Perbuatan aniaya yang telah dilakukan sang suami tersebut tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan itu. Karena ke-4 rukun nikah tersebut telah dipenuhi, maka pernikahan tersebut tetap syah.

Artinya, jika suatu saat sang suami insyaf dan sang istri ridho / memaafkan kesalahan sang suami, maka sang suami dapat langsung kembali kedalam pelukan sang istri, tanpa harus melalui proses pernikahan lagi (karena tetap masih dalam ikatan tali pernikahan yang syah).

Namun jika sang istri tidak terima dengan perlakuan sang suami, maka sang istri bisa mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. (Wallahu a’lam).

Dan tentunya hal yang sama juga berlaku untuk pernikahan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Artinya selama ke-4 rukun nikah tersebut bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut syah, meskipun tidak mendapatkan ijin dari istri pertama (istri sebelumnya), yang kemungkinan akan menyebabkan istri pertama (istri sebelumnya) menjadi tersakiti oleh ulah sang suami. Karena hal ini memang tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan tersebut. (Wallahu a’lam).

Nah…,
Apakah suami yang berbuat aniaya terhadap istrinya tersebut berdosa? Insya Allah semua sudah mengetahui jawabannya.

-----

Saudaraku…,
Terhadap apa yang telah disampaikan oleh saudaraku di atas, benar-benar telah menggambarkan betapa keikhlasan saudaraku dalam menerima semua hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, termasuk tentang masalah poligami ini. Mungkin tidak banyak saudara-saudara muslimah yang lain yang bisa dengan ikhlas menerima hukum Allah tentang poligami ini.

Aku berdo'a, semoga saudaraku diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga saudaraku dapat tetap istiqomah hingga akhir hayat nantinya. Amin...!!!

Semoga penjelasan berikut ini bisa membesarkan hati saudaraku (juga saudara-saudara muslimah yang lain, termasuk kita semuanya):

-----

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah** maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS. Al Ahqaaf. 13).

**) Yang dimaksud dengan “istiqamah” adalah teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal saleh.

Saudaraku…,
Sesungguhnya Allah telah menjadikan kita berada di atas suatu syariat / peraturan dari urusan / agama yang lurus. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kita mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah. 18).

Semoga bermanfaat!

NB.
*) Yang dimaksud dengan rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu tidak akan ada tanpanya. Dengan kata lain, rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.

Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.

Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat.

Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan / tata cara shalat.

Demikian perbedaan rukun dan syarat dalam suatu amalan.

{Bersambung; tulisan ke-5 dari 6 tulisan}

Kamis, 01 Juli 2010

TENTANG POLIGAMI (IV)

Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (teman alumni SMAN 1 Blitar '89) telah memberi komentar terhadap artikel tentang poligami I s/d III sebagai berikut:

Sangat menarik. Kalau boleh aku berbicara sebagai seorang wanita dan sebagai seorang ibu:

1. Apakah poligami itu diperbolehkan? Boleh. Namun, apakah poligami itu diperintahkan? Tentu tidak. Jadi, sekali lagi, dalam agama poligami itu bukan sunnah, bukan wajib dan bukan makruh. Tapi mubah = boleh.

2. Orang tua manapun tidak akan ikhlas bila putrinya kelak akan dipoligami.

3. Sebenarnya, praktek poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunnah, melainkan persoalan hati. Yang kamu tidak dapat berlaku adil itu adalah hati kamu. Apakah kita bisa menguasai hati kita....???

4. Kenyataannya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih banyak bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami itu hal yang lumrah.

5. Makan permen lolly itu kalau satu... hmmm, nikmatnya luar biasa. Tetapi kalau lebih dari satu... Awas... bisa bisa anda sakit gigi, he...he....

6. Aku bersyukur mempunyai suami yang tidak menganggap penting akan hal berpoligami.

Demikian...,
Semoga bisa menambah wawasan dua arah. WASS.

-----

Saudaraku…,
Sebelumnya aku sampaikan terimakasih atas kesediaannya untuk ikut dalam diskusi ini. Semoga kita semua diberi pemahaman yang benar tentang semua ajaran Islam, termasuk dalam kasus ini. Amin...!!!

Pada kesempatan ini aku ingin memberi komentar tentang beberapa pernyataan saudaraku. Namun, saudaraku tidak harus setuju dengan pendapatku ini. Karena hal ini sifatnya hanyalah saling tukar pendapat saja. Disamping itu, aku juga menyadari bahwa sesungguhnya ilmuku sangatlah terbatas. Dalam hal ini, posisi kita adalah sama-sama belajar.

No. 1:
Sepanjang pengetahuanku, memang tidak ada kewajiban untuk berpoligami. Jika kita perhatikan kembali penjelasan Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 tersebut, memang kita (laki-laki) diperbolehkan untuk mengawini wanita yang disenangi: dua, tiga atau empat. Namun, sangat disarankan untuk mengawini seorang saja. Hal ini terutama jika kita takut tidak akan dapat berlaku adil. Jadi aku setuju dengan pernyataan no. 1.

No. 2:
Orang tua manapun tidak akan ikhlas bila putrinya kelak akan dipoligami…??? Mohon maaf, yang ini aku tidak setuju.

Perhatikanlah, bagaimana sahabat Abu Bakar dengan penuh keikhlasan menikahkan putri kesayangannya (yaitu Siti ‘Aisyah binti Abu Bakar) kepada Nabi Muhammad SAW, padahal pada saat itu Rasulullah sudah mempunyai banyak istri. (Dan masih banyak lagi contoh-contoh serupa yang telah ditunjukkan oleh para sahabat yang lain).

Mengapa Abu Bakar dengan penuh keikhlasan menikahkan putri kesayangannya kepada Rasulullah yang pada saat itu sudah mempunyai banyak istri? Artinya sudah pasti akan dipoligami? Jawabnya adalah karena Abu Bakar tahu dengan pasti, bahwa Rasulullah menikahi putrinya bukan karena semata-mata memperturutkan nafsu syahwatnya saja, tetapi karena benar-benar sesuai dengan tuntunan Allah SWT.

No. 3:
Insya Allah dijelaskan dengan amat baik oleh mas Puguh Subiantoro*). Berikut ini penjelasan dari mas Puguh Subiantoro:

Ikhwan wal akhwat fillah, berikut saya kutipkan kandungan ayat 3, Al Qur’an surat An Nisaa’ menurut Tafsir Ibnu Katsir, yaitu:

1. Dijaganya hak perempuan yatim:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا

“Dan jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kalian menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk kalian tidak berlaku aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Urwah bin Az-Zubair pernah bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah radhiyallahu ‘anha menjawab, “Wahai anak saudariku. Perempuan yatim tersebut berada dalam asuhan walinya yang turut berserikat dalam harta walinya, dan si wali ini ternyata tertarik dengan kecantikan si yatim berikut hartanya. Maka si wali ingin menikahinya tanpa berlaku adil dalam pemberian maharnya sebagaimana mahar yang diberikannya kepada wanita lain yang ingin dinikahinya.

Para wali pun dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim terkecuali bila mereka mau berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim serta memberinya mahar yang sesuai dengan yang biasa diberikan kepada wanita lain. Para wali kemudian diperintah untuk menikahi wanita-wanita lain yang mereka senangi.” Urwah berkata, “Aisyah menyatakan, ‘Setelah turunnya ayat ini, orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara wanita, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ

“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita.” (An-Nisa`: 127)

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ

“Sementara kalian ingin menikahi mereka (perempuan yatim).” (An-Nisa`: 127)

Salah seorang dari kalian (yang menjadi wali/pengasuh perempuan yatim) tidak suka menikahi perempuan yatim tersebut karena si perempuan tidak cantik dan hartanya sedikit. Maka mereka (para wali) dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya kecuali bila mereka mau berbuat adil (dalam masalah mahar, pent.). Karena keadaan jadi terbalik bila si yatim sedikit hartanya dan tidak cantik, walinya enggan/tidak ingin menikahinya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 4574 dan Muslim no. 7444)Masih dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ قُلِ اللهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ اللاَّتِي لاَ تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang wanita. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur`an tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberi mereka apa yang ditetapkan untuk mereka sementara kalian ingin menikahi mereka.” (An-Nisa`: 127)
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

أُنْزِلَتْ فِي الْيَتِيْمَةِ، تَكُوْنُ عِنْدَ الرَّجُلِ فَتَشْرِكُهُ فِي مَالِهِ، فَيَرْغَبُ عَنْهَا أَنْ يَتَزَوَّجَهَا وَيَكْرَهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا غَيْرَهُ، فَيَشْرَكُهُ فِي ماَلِهِ، فَيَعْضِلُهَا، فَلاَ يَتَزَوَّجُهَا وَيُزَوِّجُهَا غَيْرَهُ.

“Ayat ini turun tentang perempuan yatim yang berada dalam perwalian seorang lelaki, di mana si yatim turut berserikat dalam harta walinya. Si wali ini tidak suka menikahi si yatim dan juga tidak suka menikahkannya dengan lelaki yang lain, hingga suami si yatim kelak ikut berserikat dalam hartanya. Pada akhirnya, si wali menahan si yatim untuk menikah, ia tidak mau menikahinya dan enggan pula menikahkannya dengan lelaki selainnya.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 5131 dan Muslim no. 7447)

2. Cukup menikahi seorang wanita saja bila khawatir tidak dapat berlaku adil secara lahiriah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“Kemudian jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil maka nikahilah seorang wanita saja atau budak-budak perempuan yang kalian miliki.” (An-Nisa`: 3)

Yang dimaksud dengan adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah, tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ

“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” (An-Nisa`: 129)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”

Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat: فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ maksudnya apabila kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ “sehingga kalian biarkan yang lain telantar.” Maksudnya istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)

Bila seorang lelaki khawatir tidak dapat berlaku adil dalam berpoligami, maka dituntunkan kepadanya untuk hanya menikahi satu wanita. Dan ini termasuk pemuliaan pada wanita di mana pemenuhan haknya dan keadilan suami terhadapnya diperhatikan oleh Islam.

Tambahan dari saya (Puguh Subiantoro):
1. Ini menunjukkan bahwa Alloh(dalam firmanNya di Al-Qur'an) memberikan jalan keluar bagi yg ingin poligami, walaupun banyak syarat dan tuntutan (bukan anjuran apalagi perintah), namun di bagian akhir ayat Alloh justru MENYARANKAN supaya tetap SATU ISTRI saja, ini menunjukkan bahwa sebagian ada kecenderungan laki2 untuk poligami, tetapi kenyataannya kebanyakan laki2 juga cenderung tidak mampu (dan Alloh Maha Tahu bahwa kebanyakan laki2 tidak mampu). Saya katakan ini jalan keluar karena memang ada sebagian laki-laki yang pengen beristri lagi, sehingga solusinya tetap halal. Kenyataan hari ini, banyak laki-laki yang karena nggak bisa menahan diri, maka dia menyalurkannya ke sembarang tempat (yg nggak halal tentunya) dan ini sudah dianggap biasa (oleh sebagian masyarakat), ironisnya ketika ada mau nikah lagi, malah banyak yang ribut. Ini memang terpulang ke pemahaman.2. Bahwa bagi pasangan suami-istri, poligami sekedar sebuah pilihan dan tentunya semua pertimbangan (thoyib atau tidaknya) dikembalikan kepada pasangan tersebut. Wallohu a'lam

No. 4:
Selama Khodijah binti Khuwailid (istri pertama Rasulullah) masih belum wafat, Rasulullah memang tidak pernah menikah dengan yang lain. Namun hal ini bukan berarti menunjukkan adanya larangan untuk berpoligami. Karena pada kenyataannya, sepeningal Siti Khodijah, Beliau jelas-jelas berpoligami. Terlebih lagi jika kita lihat kembali penjelasan Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 di atas.

No. 5:
Mohon maaf, yang ini aku juga kurang setuju. Aku jawab dengan sedikit bercanda, ya…! (He… he…, mohon jangan sakit hati, ya…!)

Menurutku, bagi yang mampu, aku kira hal itu tidak masalah. Ingat...!!! Jika seseorang menghadapi satu masalah dan berhasil, maka yang bersangkutan hanya akan mendapatkan satu kebahagiaan.

Sedangkan jika seseorang menghadapi dua masalah dan berhasil, maka yang bersangkutan akan mendapatkan dua kebahagiaan.

Apalagi jika menghadapi tiga atau empat masalah dan berhasil, maka yang bersangkutan akan mndptkan tiga atau empat kebahagiaan.

Hal ini tentunya tidak akan berlaku bagi yang tidak mampu.

No. 6:
Saudaraku mengatakan: “Aku bersyukur mempunyai suami yang tidak menganggap penting akan hal berpoligami”.

Yang ini kebetulan aku juga kurang setuju. Hal sekecil apapun tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT., semuanya adalah penting. Sebagai contoh: masalah bersuci, misalnya. Jika kita tidak mengerti dan tidak mau mengerti / tidak mau belajar tentang masalah bersuci (karena menganggap hal ini sepele / tidak penting), maka keabsahan sholat kita akan dipertanyakan.

Nah…, bagaimana mungkin kita menyepelekan urusan bersuci yang ternyata berdampak pada keabsahan sholat kita? Padahal sholat adalah amal yang pertama kali akan ditanyakan kelak…???


عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا قَاَل: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوَّلُ مَاافْتَرَضَ اللهُ عَلى أُمَّتِى الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَأَوَّلُ مَايُرْفَعُ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَأَوَّلُ مَايُسْأَلُوْنَ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، ... (رَوَاهُ الْحَاكِمُ)
Ibn Umar r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Pertama yang diwajibkan atas umatku sholat lima waktu, dan pertama yang terangkat dari amal mereka sholat lima waktu, dan pertama yang akan ditanya dari amal mereka sholat lima waktu, …” (HR. Al Hakim).

Apalagi jika kita kaitkan dengan penjelasan Al Qur’an berikut ini: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”, (QS. Az Zumar: 23).

Dari Al Qur’an surat Az Zumar ayat 23 tersebut, diperoleh penjelasan bahwa semua ayat-ayat Al Qur’an itu serupa mutu ayat-ayatnya. Tidak ada satu ayat-pun yang lebih baik atau lebih penting dari ayat lainnya. Hal ini sekaligus menegaskan kembali, bahwa apapun tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT., semuanya adalah penting. (Wallah a’lam).

Demikian penjelasan yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat!

NB.
*) Puguh Subiantoro adalah teman alumni SMAN 1 Blitar ’89. Semoga kebaikan mas Puguh ini, dilihat oleh Allah SWT. sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan mas Puguh kepada-Nya.
Amin...!!!
{Bersambung; tulisan ke-4 dari 6 tulisan}

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞