بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Kamis, 05 November 2015

SIKAP BERHATI-HATI DALAM MEMILIH MAKANAN




Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (teman alumni SMPN 1 Blitar) telah bertanya: “Pak Imran, saya bekerja di negara yang mayoritas non-muslim. Sebelum ini saya makan daging ayam, sapi, kambing dan ikan tanpa ragu. Tapi beberapa minggu yang lalu saya telah melihat sebuah video penyembelihan binatang ternak yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pensuplay daging, yang mana dalam video itu ditampilkan tentang proses penyembelihan yang sebagiannya adalah secara tidak menurut Syari'at Islam, bahkan bisa dikatakan animal abusing bahkan brutal. Semenjak melihat video itu, saya putuskan untuk tidak makan daging kecuali ikan, teri, ikan asin. Bahkan waktu memasak saya juga tidak akan menggunakan bumbu yang menggunakan perasa daging (sejenis Royco, dsb). Bagaimana pandangan Pak Imron atas tindakan saya ini? Apakah saya terlalu berlebihan? (berkecimpung dalam was-was)”.

Di negara tempat saya kerja ini, mensuplai daging juga dari negara non-muslim. Tapi saya juga lihat di youtube. Ada peternak dari Texas (peternak kecil/menengah, bukan perusahaan besar pensuplai daging) yang menyembelih ternak menurut Syari'at Islam.

Saudaraku,
Sikap wara’ dalam mencari rezeki dan kehidupan adalah sikap yang harus diperhatikan oleh setiap kita kaum muslimin, tak terkecuali dalam hal memilih makanan yang halal dan baik.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلَـــٰـلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَــــٰنِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿١٦٨﴾
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 168).

Sedangkan yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan semua yang meragukan diri kita dan menghilangkan semua yang membuat keburukan pada diri kita serta mengambil yang lebih baik. Wara’ adalah sikap tidak tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan atau meninggalkan yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang dilarang agama.

Saudaraku,
Kita tidak boleh terlalu memudahkan suatu masalah dan menganggap sepele, karena bisa jadi masalah tersebut di sisi Allah adalah masalah yang besar. Perhatikan firman Allah dalam surat An-Nuur pada bagian akhir ayat 15 berikut ini:

... وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
“..., dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS. An-Nuur. 15).

Surat An-Nuur ayat 15 selengkapnya adalah sebagai berikut:

إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللهِ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
“(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS. An-Nuur. 15).

Sifat wara’ ini merupakan sifat yang utama bagi seorang muslim. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ إِدْرِيسَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ بُرَيْدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ أَبِي الْحَوْرَاءِ السَّعْدِيِّ قَالَ قُلْتُ لِلْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ مَا حَفِظْتَ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ. (رواه الترمذى)
Abu Musa Al Anshari menceritakan kepada kami, Abdullah bin Idris menceritakan kepada kami, Syu'bah menceritakan kepada kami, dari Buraid bin Abu Maryam, dari Abu Al Haura' As-Sa'di, ia berkata: Aku berkata kepada Hasan bin Ali, "Apa yang kamu hapal dari ucapan Rasulullah?" Ia menjawab, "Aku hapal sebuah hadits dari Rasulullah, 'Tinggalkanlah yang meragukanmu, (dan gantilah) dengan apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kebenaran itu (menimbulkan) ketenangan dan kedustaan itu (menyebabkan timbulnya) keraguan'. (HR. Tirmidzi).

Saudaraku,
Dengan memperhatikan kedua dalil di atas, maka bila ada seorang hamba yang sangat berhati-hati dalam masalah makanan kemudian dia memilih untuk memasak dan mengolah sendiri semua makanan yang dikonsumsinya, tentunya kita harus menghargai sikapnya tersebut sebagai upaya dari sikap kehati-hatiannya. Apalagi jika hal ini kita kaitkan dengan penjelasan hadits berikut ini:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ؛ النَّارُ أَوْلَى بِهِ. (رواه أحمد)
“Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram dan neraka lebih layak baginya”. (HR Ahmad).

Namun sampai dimana rasa kehati-hatian ini masih dianggap wajar? Apakah semua muslim yang tinggal di negeri minoritas Islam, harus memasak dan mengolah sendiri semua makanannya dan meninggalkan semua jenis makanan yang tersedia?

Mari kita perhatikan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: إِنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ، كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِىَ الْقَلْبُ. (رواه البخارى ومسلم) 
“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas, diperoleh penjelasan bahwa sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia.

Sekali lagi, bahwa berdasarkan hadits di atas menunjukkan bahwa memang ada hal-hal yang hukumnya tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang. Hal ini juga menyiratkan pengertian bahwa tetap ada kalangan orang yang mengerti hukumnya dengan pasti. Sedangkan yang mengetahuinya adalah kalangan ahli syariah yang melakukan berbagai penyelidikan, upaya tak kenal lelah, serta proses penyelidikan kepada berbagai macam dalil yang ada. Mereka inilah yang mengetahui hukum di balik hal-hal yang syubhat di mata awam.

Masalahnya adalah karena jumlah makanan itu sangat banyak dan tidak mungkin semuanya bisa dijatuhkan hukumnya sebagai halal atau haram. Meskipun demikian, kita tak perlu khawatir karena Islam adalah agama yang mudah.

... يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ... ﴿١٨٥﴾
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ...” (QS. Al Baqarah. 185).

Terhadap sejumlah makanan yang kita belum mengetahui hukumnya (sebagai halal atau haram), maka ketahuilah bahwa ada kaidah fiqih yang mengatakan bahwa: pada asalnya segala sesuatu (muamalah) adalah mubah, kecuali ada dalil dan bukti yang menunjukkan keharamannya.

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
“Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)”.

لَا تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلَّا بِشَرْعِ اللهِ , وَلَا تُحَرَّمُ عَا دَةٌ إِلَّا بِتَحْرِيْمِ اللهِ
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari’atkan oleh Allah, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Allah”.

Saudaraku,
Tidak menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menanyakan hal-hal yang tidak disaksikan sendiri. Misalnya: Bagaimana cara penyembelihannya? Terpenuhi syaratnya atau tidak? Disebut asma Allah atau tidak? Maka terhadap apapun yang tidak kita saksikan sendiri tentang penyembelihannya, semuanya adalah halal buat kita sampai (kecuali) ada bukti yang menunjukkan keharamannya. Dan disebutkan di dalam hadis agar membaca “bismillah” ketika hendak memakan makanan yang belum diketahui tata cara penyembelihannya. (Wallahu a'lam).

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ قَوْمًا قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَا بِاللَّحْمِ، لَا نَدْرِي: أَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لَا؟ فَقَالَ: سَمُّوا عَلَيْهِ أَنْتُمْ وَكُلُوهُ قَالَتْ: وَكَانُوا حَدِيثِي عَهْدٍ بِالكُفْرِ. (رواه البخارى)
Dari Aisyah radliallahu 'anhuma, bahwa suatu kaum pernah bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Suatu kaum datang kepada kami membawa daging, namun kami tidak tahu apakah saat menyembelihnya menyebut nama Allah atau tidak?" Beliau menjawab: "Kalau begitu sebutlah nama Allah, lalu makanlah oleh kalian." Aisyah berkata, "Mereka adalah orang-orang yang baru masuk Islam." (HR. Bukhari).

Semoga bermanfaat.

Selasa, 03 November 2015

PENUHILAH JANJI-JANJIMU!



Assalamu’alaikum wr. wb.

Alkisah, Ibu Nafilah adalah seorang ibu rumah tangga yang saat ini sangat memerlukan suatu barang tertentu. Kebutuhan akan barang tersebut adalah sedemikian mendesaknya, namun apa dikata, ternyata keberadaan barang tersebut sangatlah langka. Hingga setelah bertanya kesana-kemari, akhirnya bertemulah Ibu Nafilah dengan Pak Fulan, satu-satunya orang yang memiliki barang tersebut di daerah itu.

Ibu Nafilah   : Berapa harga per kg-nya?
Pak Fulan     : Rp 10.000,-

Ibu Nafilah   : Pas 10.000 rupiah?
Pak Fulan     : Ya, benar. Harga tidak akan dinaikkan!

Ibu Nafilah   : Kapan saya bisa mendapatkan barang itu?
Pak Fulan     : Nanti sore, saya tunggu di rumah.

Sore harinya :
Pak Fulan     : Ini Bu, barangnya. Rp 12.000,- per kg!
Ibu Nafilah   : Lho, katanya Rp 10.000,- per kg!
Pak Fulan     : Ya, adanya segitu Bu. Kalau nggak mau, ya sudah.

Karena Ibu Nafilah sangat memerlukan barang tersebut sementara dia tidak bisa membeli dari orang lain (karena Pak Fulan adalah satu-satunya orang yang memiliki barang tersebut di daerah itu), maka terpaksa dia ambil juga barang tersebut dengan harga Rp 12.000,- per kg. Namun hatinya tetap tidak ridho atas tambahan sebesar Rp 2.000,- per kg, karena Pak Fulan telah ingkar janji.

MARI KITA KAJI KASUS DI ATAS

Saudaraku,
Perhatikan betapa ringannya Pak Fulan mengingkari janjinya. Padahal Allah SWT. telah mewajibkan setiap kita untuk memenuhi janji-janji kita, dan sesungguhnya setiap janji itu pasti akan dimintai pertanggungan jawabnya kelak, sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an surat Al Maa-idah pada bagian awal ayat 1 serta surat Al Israa’ pada bagian akhir ayat 34:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ ... ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...” (QS. Al Maa-idah. 1).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia. ...”.

... وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولًا ﴿٣٤﴾
“... dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Israa’. 34).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(... dan penuhilah janji) jika kalian berjanji kepada Allah atau kepada manusia (sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawaban)nya”.

Ini artinya: karena sebelumnya Pak Fulan telah berjanji untuk menjual barangnya dengan harga Rp 10.000,- per kg kepada Ibu Nafilah namun kemudian Pak Fulan mengingkari janjinya, sementara karena Pak Fulan adalah satu-satunya orang yang memiliki barang tersebut di daerah itu sehingga Ibu Nafilah-pun terpaksa membeli juga barang tersebut dengan harga Rp 12.000,- per kg namun hatinya tetap tidak ridho atas tambahan sebesar Rp 2.000,- per kg tersebut, maka menjadi tanggung-jawab Pak Fulan untuk mengembalikan Rp 2.000,- dari setiap kg pembelian barang tersebut.

Jika Pak Fulan tidak bersedia untuk mengembalikannya ketika dia masih hidup di dunia ini (atau minta dihalalkan), maka kelak di akhirat nanti dia tetap harus mengembalikannya. Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam 2 hadits berikut ini:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ. (رواه ابو داود)
“Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari dirinya.” (HR. Abu Dawud).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ عِنْدَهُ لِأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا. إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْ حَسَناَتِهِ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٍ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه البخارى)
“Siapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta kehalalan saudaranya tersebut pada hari ini, sebelum datang suatu hari saat tidak berlaku lagi dinar dan tidak pula dirham. Jika ia memiliki amal saleh, akan diambil dari kebaikannya sesuai dengan kadar kezaliman yang diperbuatnya lalu diserahkan kepada orang yang dizaliminya. Apabila ia tidak memiliki kebaikan, akan diambil kejelekan saudaranya yang dizaliminya lalu dibebankan kepadanya.” (HR. al-Bukhari).

Ya, jika Pak Fulan tidak bersedia untuk mengembalikannya ketika masih hidup di dunia ini, maka kelak di akhirat nanti dia tetap harus mengembalikannya. Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil dari kebaikannya sesuai dengan kadar kezaliman yang telah diperbuatnya lalu diserahkan kepada orang yang dizaliminya. Sedangkan apabila ia tidak memiliki kebaikan, maka akan diambil kejelekan saudaranya yang dizaliminya lalu dibebankan kepadanya.

Sekali lagi, apabila pahala kebaikannya tidak mencukupi untuk menebus dosa-dosa kejahatan yang telah dilakukannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang dizaliminya itu dan dibebankan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka. Maka jadilah dia orang yang bangkrut dengan sebenar-benarnya. (Na’udzubillahi mindzalika!).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوا: اَلْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ، فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ، وَصِيَامٍ، وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا، وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ. (رواه مسلم)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Para sahabat menjawab, ‘Setahu kami orang yang bangkrut itu adalah orang yang tak punya harta benda.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, ‘Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, namun dia juga membawa catatan dosa; mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta si ini, membunuh si ini, dan memukul si ini. Akhirnya, pahala kebaikan yang dimilikinya diberikan kepada masing-masing orang yang dijahatinya itu (sebagai balasannya). Manakala pahala kebaikannya itu tidak mencukupi untuk menebus dosa kejahatan yang dilakukannya, diambillah dosa-dosa orang yang dijahatinya itu dan ditimpakan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581)

Saudaraku,
Jika tanggung jawab Pak Fulan saja (akan janji-janjinya) sudah demikian besarnya, maka bisa dibayangkan betapa luar biasa beratnya jika karena keinginan seseorang agar terpilih sebagai kajur, dekan atau rektor pada sebuah perguruan tinggi atau karena keinginan seseorang agar terpilih sebagai kepala daerah maupun kepala negara/presiden, kemudian yang bersangkutan telah membuat janji yang serupa dengan janjinya Pak Fulan kepada seluruh warga kampus atau kepada seluruh warga negara, kemudian pada akhirnya dia ingkari janjinya tersebut saat terpilih!

Contoh 1: seorang calon rektor telah berjanji kepada seluruh warga kampus bahwa jika dia terpilih menjadi rektor, maka tarif pemakaian internet kampus sebesar Rp 0,- (alias gratis) akan tetap dia pertahankan. Namun saat dirinya terpilih, dengan mudahnya dia ingkari janjinya dengan memberikan tarif pemakaian internet kampus sebesar Rp 5.000,- per bulan. Maka menjadi tanggung-jawabnya untuk mengembalikan Rp 5.000,- dari setiap bulan pemakaian internet kampus oleh warga kampus bagi setiap warga kampus yang tidak ridho dengan kenaikan tarif tersebut. Jika dia tidak bersedia untuk mengembalikannya ketika masih hidup di dunia ini (atau minta dihalalkan), maka kelak di akhirat nanti dia tetap harus mengembalikannya.

Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil dari kebaikannya sesuai dengan kadar kezaliman yang telah diperbuatnya lalu diserahkan kepada setiap warga kampus yang dizaliminya. Sedangkan apabila pahala kebaikannya tidak mencukupi untuk menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya, maka diambillah dosa-dosa setiap warga kampus yang dizaliminya itu dan dibebankan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka. Maka jadilah dia orang yang bangkrut dengan sebenar-benarnya (sebagaimana yang terjadi pada Pak Fulan pada kisah di atas)! Na’udzubillahi mindzalika.

Contoh 2: seorang calon kepala daerah telah berjanji kepada seluruh warganya bahwa jika dia terpilih menjadi kepala daerah, tarif PDAM sebesar Rp 2.500 per m3 akan tetap dia pertahankan. Namun saat dirinya terpilih, dengan mudahnya dia ingkari janjinya dengan menaikkan tarifnya menjadi Rp 3.000 per m3. Maka menjadi tanggung-jawabnya untuk mengembalikan Rp 500,- dari setiap m3 air PDAM yang dibeli oleh warga bagi setiap warga yang tidak ridho dengan kenaikan tarif tersebut. Jika dia tidak bersedia untuk mengembalikannya ketika masih hidup di dunia ini (atau minta dihalalkan), maka kelak di akhirat nanti dia tetap harus mengembalikannya.

Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil dari kebaikannya sesuai dengan kadar kezaliman yang telah diperbuatnya lalu diserahkan kepada setiap warga yang dizaliminya. Sedangkan apabila pahala kebaikannya tidak mencukupi untuk menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya, maka diambillah dosa-dosa setiap warga yang dizaliminya itu dan dibebankan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka. Maka jadilah dia orang yang bangkrut dengan sebenar-benarnya (sebagaimana yang terjadi pada Pak Fulan pada kisah di atas). Na’udzubillahi mindzalika!

Contoh 3: seorang calon kepala negara telah berjanji kepada warganya bahwa jika dia terpilih menjadi kepala negara, harga BBM sebesar Rp 6.000,- per liter akan tetap dia pertahankan. Namun saat dirinya terpilih, dengan mudahnya dia ingkari janjinya dengan menaikkan harga BBM menjadi Rp 7.000 per liter. Maka menjadi tanggung-jawabnya untuk mengembalikan Rp 1.000,- dari setiap liter BBM yang dibeli oleh warga bagi setiap warga yang tidak ridho dengan kenaikan tarif tersebut. Jika dia tidak bersedia untuk mengembalikannya ketika masih hidup di dunia ini (atau minta dihalalkan), maka kelak di akhirat nanti dia tetap harus mengembalikannya.

Jika ia memiliki amal saleh, maka akan diambil dari kebaikannya sesuai dengan kadar kezaliman yang telah diperbuatnya lalu diserahkan kepada setiap warga yang dizaliminya. Sedangkan apabila pahala kebaikannya tidak mencukupi untuk menebus dosa-dosa yang telah dilakukannya, maka diambillah dosa-dosa setiap warga yang dizaliminya itu dan dibebankan kepadanya, lalu dia dilempar ke dalam neraka. Maka jadilah dia orang yang bangkrut dengan sebenar-benarnya (sebagaimana yang terjadi pada Pak Fulan pada kisah di atas). Na’udzubillahi mindzalika!

---

Saudaraku,
Memang begitulah kenyataannya. Begitu banyak di antara kita yang dengan senang hati (bahkan berusaha keras untuk mencari kesempatan) agar dapat menukar kesenangan yang sedikit selama masa hidup kita yang teramat singkat di dunia ini, dengan kesulitan yang tiada tara, kelak di alam akhirat nanti. Na’udzubillahi mindzalika!


قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿١٥﴾

Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku". (QS. Al An’aam. 15).

Saudaraku,
Silahkan berjanji, namun berjanjilah pada perkara yang sekiranya mudah bagi kita untuk memenuhinya!

Semoga bermanfaat.

NB.
*) Pak Fulan dan Ibu Nafilah pada kisah di atas hanyalah nama fiktif belaka. Mohon ma’af jika secara kebetulan ada kemiripan nama dengan kisah di atas.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞