بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Sabtu, 05 Januari 2019

MEMBINA RUMAH TANGGA BARU (II)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Beliau bertanya kembali: “Aku ini pengen nikah, tapi calon belum ada. Kalau menurut syar'i, tidak ada pacaran. Bagaimana cara menjalankannya, Pak Imron?

Saudaraku,
Tahapan awal ketika seseorang hendak menikah adalah proses khitbah. Al-Khitbah berarti pendahuluan “ikatan pernikahan” yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan tujuan meminang adalah untuk mengetahui pendapat yang dipinang maupun walinya, apakah setuju atau tidak. Dari sini, akhirnya akan terungkap sikap wanita yang akan dipinang serta keluarganya.

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadlalah Telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam tak berkata”. (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى عَائِشَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي قَالَ رِضَاهَا صَمْتُهَا. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ar Rabi' bin Thariq ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Abu Mulaikah dari Abu Amru bekas budak Aisyah, dari Aisyah bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu pemalu”. Beliau pun bersabda: “Ke-ridha-annya adalah diamnya."”. (HR. Bukhari).

... فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٢﴾
“..., maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 232).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada dasarnya melihat wanita asing bagi lelaki dan sebaliknya (yaitu melihat laki-laki asing bagi wanita) hukumnya adalah haram. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 30 – 31 berikut ini:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَـــٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ ﴿٣٠﴾ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـــٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـــٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّـــٰبِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
(30) Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (31) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nuur. 30 – 31).

Namun untuk orang yang meminang, boleh baginya untuk memandang wanita yang dipinangnya (demikian pula sebaliknya, yaitu bagi wanita untuk memandang laki-laki yang akan meminangnya), bahkan hal itu malah dianjurkan (dengan syarat karena memang benar-benar berniat untuk mengkhitbah).

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قَالَ لَا قَالَ فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا. (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata; Saya pernah berada di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau seraya mengabarkan bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apakah kamu telah melihatnya? Dia menjawab; Tidak. Beliau melanjutkan: Pergi dan lihatlah kepadanya, sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu. (HR. Muslim).

Terkait hal ini, yang harus diperhatikan adalah bahwa orang yang meminang hanya boleh memandang wanita yang akan dipinangnya pada telapak tangan dan wajah saja, karena dari wajahnya sudah cukup untuk bukti kecantikannya dan dari kedua tangannya juga sudah cukup untuk bukti keindahan/kehalusan kulitnya. Sedangkan yang lebih jauh dari hal itu (misalnya tentang keindahan rambutnya, bau mulutnya, dll), maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk menyingkapnya (tidak boleh dilakukan sendiri).

Akan lebih baik lagi jika orang yang akan meminang, melihat wanita yang akan dipinang terlebih dahulu sebelum dia meminang (bisa melihat tanpa sepengetahuan wanita yang akan dipinang), sehingga jika dia merasa tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa menyakitinya (artinya dia bisa berpaling dari wanita tersebut sebelum proses peminangan dilakukan sehingga tidak sampai menyakitinya).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا. (رواه ابو داود)
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat sesuatu yang dapat membuatnya menikahinya, maka lihatlah”. Jabir berkata lagi: “Maka aku meminang seorang wanita, kemudian aku bersembunyi di sebuah tempat, sehingga aku dapat melihatnya, sehingga membuatku ingin menikahinya, maka setelah itu aku menikahinya”. (HR. Abu Dawud).

Dan akan jauh lebih baik lagi jika sebelum meminang, pihak lelaki mencari informasi tentang biografi, karakter, sifat atau hal lain dari wanita yang ingin dipinangnya (tidak hanya sekedar melihatnya) melalui orang yang mengenal dengan baik tentang wanita tersebut sehingga jika dia merasa tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa menyakitinya (artinya dia bisa berpaling dari wanita tersebut sebelum proses peminangan dilakukan sehingga tidak sampai menyakitinya). Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh pihak wanita untuk mengenal lelaki yang berkeinginan untuk meminangnya sehingga bisa memudahkannya untuk mengambil keputusan (apakah menerima atau menolak pinangannya).

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ أُمَّ سُلَيْمٍ تَنْظُرُ إِلَى جَارِيَةٍ فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami 'Umaroh dari Tsabit dari Anas, Pernah Nabi Shallallahu'alaihiwasallam mengutus Ummu SulaimRadliyallahu'anha untuk melihat wanita sahaya dan bersabda: “Ciumlah bau mulutnya dan amatilah tulang lunak diatas tumitnya (betisnya)”. (HR. Ahmad).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

{Tulisan ke-2 dari 2 tulisan}

Kamis, 03 Januari 2019

MEMBINA RUMAH TANGGA BARU (I)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang sahabat telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, mohon maaf pagi-pagi sudah menganggu. Ini masalah pribadi, Pak Imron. Mau konsultasi. Saat ini aku mengasuh anak dan urusan rumah tangga aku urus sendiri. Ada keinginan untuk menikah lagi. Bagaimana dari sisi agama, masyarakat dan hukum? Bolehkah nikah lagi? Terus pantas nggak, isteri baru 4 bulan wafat?

Sebelum menanggapi pertanyaan yang saudaraku sampaikan tersebut, marilah kita perhatikan terlebih dahulu uraian berikut ini:

Saudaraku,
Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup dan belum bercerai, maka isteri tidak boleh menikah lagi karena Islam mengharamkan poliandri (yaitu satu isteri bersuamikan dua orang atau lebih).

وَالْمُحْصَنَـــٰتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْـمَـــٰــنُكُمْ كِتَـــٰبَ اللهِ عَلَيْكُمْ ... ﴿٢٤﴾
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. ...”. (QS. An Nisaa’. 24).

Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain setelah melewati masa ‘iddahnya.

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al Baqarah. 234).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Orang-orang yang wafat) atau meninggal dunia (di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, maka mereka menangguhkan), artinya hendaklah para isteri itu menahan (diri mereka) untuk kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh), maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai yang hamil, maka iddah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu, menurut hadis. (Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya, (mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan (secara baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin”.

Bolehnya menikah lagi itu menunjukkan bahwa sang isteri memang sudah tidak lagi berstatus isteri almarhum. Seandainya statusnya masih isteri almarhum, tentu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain, karena Islam memang mengharamkan poliandri (sebagaimana penjelasan di atas).

Saudaraku,
Hal penting yang ingin kusampaikan terkait penjelasan di atas adalah bahwa ketika suami telah wafat, maka sang isteri sudah tidak lagi berstatus sebagai isteri almarhum. Karena seandainya statusnya masih isteri almarhum, tentu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain, karena Islam mengharamkan poliandri.

Tentunya hal yang sama juga berlaku bagi seorang suami. Bagi sepasang suami-isteri, ketika isteri telah wafat, maka sang suami sudah tidak lagi berstatus sebagai suami almarhumah. Sehingga dengan statusnya yang sudah bukan lagi suami dari almarhumah, tentunya tidak ada halangan sama sekali seandainya yang bersangkutan berkeinginan untuk membina rumah tangga baru.

Terlebih lagi, dalam Islam seorang laki-laki diperbolehkan memiliki istri hingga 4 orang. Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 berikut ini:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَـــٰمَىٰ فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـــٰثَ وَرُبَـــٰعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً ... ﴿٣﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, …” (QS. An Nisaa’. 3).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti siapa (yang baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini ...”.

Selain penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 di atas, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Daud berikut ini juga menegaskan bahwa seorang laki-laki boleh memiliki isteri maksimal sebanyak 4 orang.

Saudaraku,
Ibnu Majah dan Abu Daud telah meriwayatkan, dimana salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Qais ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Aku masuk Islam, sementara waktu itu aku beristri delapan. Aku pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan kepada beliau tentang hal itu. Beliau pun bersabda:

اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
‘Pilihlah saja empat dari mereka.”

Hadits tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:

عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ  -صلى الله عليه وسلم - فَقُلْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
Dari Qois bin Al Harits, berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan orang istri. Aku pun mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, lalu beliau bersabda: Pilihlah empat saja dari mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Abu Daud).

Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa secara syar’i, seorang suami lebih leluasa jika punya keinginan untuk membina rumah tangga baru dibandingkan dengan seorang isteri. Jika seorang isteri berkeinginan untuk membina rumah tangga baru (ingin menikah lagi), syaratnya adalah: isteri harus sudah bercerai dengan suaminya atau sang suami sudah wafat (sehingga statusnya sudah bukan lagi isteri seseorang) dan telah habis masa `iddahnya, maka syarat seperti itu tidak berlaku bagi seorang suami.

Kecuali jika seorang suami sudah mempunyai 4 orang isteri, jika yang bersangkutan berkeinginan untuk membina rumah tangga baru lagi (ingin menikah lagi), maka syaratnya adalah bahwa yang bersangkutan harus sudah bercerai dengan salah seorang isterinya atau salah seorang isteri sudah wafat sehingga statusnya sudah bukan lagi beristeri 4 orang. Nah karena statusnya sudah bukan lagi beristeri 4 orang, maka yang bersangkutan boleh membina rumah tangga baru lagi/boleh menikah lagi, karena dalam Islam seorang laki-laki diperbolehkan memiliki istri hingga 4 orang (sebagaimana uraian di atas).

Saudaraku yang dicintai Allah,
Dari rangkaian penjelasan di atas, nampak dengan jelas bahwa tidak ada satu dalilpun yang melarang saudaraku jika saudaraku memang berkeinginan untuk menikah lagi. Yang ada justru sebaliknya. Perhatikan penjelasan berikut ini:

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Islam telah menyampaikan kepada kita semua agar saudara-saudara kita (baik laki-laki maupun wanita-wanita) yang sendirian (artinya yang tidak beristeri/bersuami, baik yang masih perawan atau janda/yang masih bujang maupun duda), dibantu agar mereka dapat segera menikah. Demikian penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur pada bagian awal ayat 32 berikut ini:

وَأَنكِحُوا الْأَيَـــٰـمَىٰ مِنكُمْ ... ﴿٣٢﴾
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, …” (QS. An Nuur. 32).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian) lafal Ayaama adalah bentuk jamak dari lafal Ayyimun artinya wanita yang tidak mempunyai suami, baik perawan atau janda, dan laki-laki yang tidak mempunyai istri; ....”.

Bahkan seandainya mereka/saudara-saudara kita yang masih sendiri tersebut miskin, Allah akan memampukan mereka dengan adanya pernikahan itu dengan karunia-Nya. Karena Allah Maha Luas pemberian-Nya kepada makhluk-Nya lagi Maha Mengetahui. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur pada bagian akhir ayat 32 berikut ini:

... إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٣٢﴾
“... Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An Nuur. 32).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Jika mereka) yakni orang-orang yang merdeka itu (miskin Allah akan memampukan mereka) berkat adanya perkawinan itu (dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas) pemberian-Nya kepada makhluk-Nya (lagi Maha Mengetahui) mereka.

Sedangkan bagi saudara-saudara kita yang tidak mampu menikah, hendaklah mereka menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Hal ini sejalan dengan penjelasan pada ayat berikutnya:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ ... ﴿٣٣﴾
“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. ...” (QS. An Nuur. 33).

Sedangkan terkait wanita yang akan dinikahi, maka sebaiknya dipilih wanita yang agamanya baik. Karena bila tidak, maka mereka akan celaka. Demikian penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan) dinikahi karena empat hal: Bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang memiliki agama. Karena bila tidak, engkau akan celaka”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim berikut ini semakin menegaskan hal itu:

اَلدُّنْيَا كُلُّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُالصَّالِحَةُ (رواه أحمدومسلم)
“Dunia ini semuanya sebagai hiburan, dan sebaik-baik hiburannya ialah wanita (istri) yang shalihah”. (H. R. Ahmad, Muslim).

Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa Islam telah menyampaikan kepada kita agar saudara-saudara kita yang masih sendirian, sebaiknya disarankan untuk segera menikah karena menikah itu dapat menundukkan penglihatan dan menjaga kemaluan dari yang haram.

Meskipun demikian, jika ternyata mereka memang belum sanggup untuk menunaikannya atau memang berkeinginan untuk tidak menikah lagi (bagi yang duda maupun janda) karena ingin lebih fokus untuk membesarkan anak-anaknya, maka hendaklah berpuasa untuk menjaga diri dari zina, karena puasa itu sebagai pencegahnya.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه البخارى و مسلم)
“Hai para pemuda, siapa yang sanggup menunaikan kewajiban perkawinan, maka hendaklah kawin. Karena kawin itu dapat menundukkan penglihatan dan menjaga kemaluan dari yang haram. Dan siapa yang belum dapat, maka hendaklah berpuasa (menjaga diri dari zina) karena puasa itu sebagai pencegahnya”. (HR. Bukhari, Muslim).

Saudaraku bertanya: “Bagaimana dari sisi agama, masyarakat dan hukum? Bolehkah nikah lagi?”.

Untuk bagian pertama yaitu dari sisi agama, alhamdulillah sudah kujelaskan. Sedangkan untuk bagian yang kedua yaitu dari sisi masyarakat, ketahuilah bahwa pandangan masyarakat terhadap suatu perkara itu sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat.

Sedangkan budaya atau kebudayaan itu berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Budaya merupakan cara hidup yang berkembang serta dimiliki bersama oleh kelompok orang serta diwariskan dari generasi ke  generasi secara turun-temurun. (http://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-budaya-menurut-para-ahli-beserta-definisi-dan-unsurnya/ ).

Saudaraku,
Dari penjelasan di atas, nampaklah bahwa budaya itu merupakan cara hidup yang berkembang serta dimiliki bersama oleh kelompok orang serta diwariskan dari generasi ke  generasi dan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Karena salah satu komponen utama pembentuk budaya adalah akal manusia, sedangkan pada dasarnya pengetahuan manusia itu sangatlah terbatas, maka sangat terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dari produk budaya sebuah masyarakat.

... وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).

Sangat terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dari produk budaya sebuah masyarakat, artinya sesuatu yang dipandang benar oleh budaya sebuah masyarakat, pada hakekatnya belum tentu benar menurut pandangan Allah (Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu sehingga segala sesuatu yang bersumber dari-Nya, kebenarannya adalah mutlak).

اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 12).

Saudaraku,
Berdasarkan fakta-fakta di atas, sebagai orang yang beriman, maka kita harus lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain. Dan hal ini (yaitu lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain) termasuk salah satu tanda orang-orang yang beriman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS Al Hujuraat. 1).

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُواْ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ إِلَى الطَّــــٰغُوتِ وَقَدْ أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَـــٰنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَـــٰــلًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَـــٰـفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا ﴿٦١﴾
(60) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (61) Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An Nisaa’. 60 – 61).

Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas, sebagai orang yang beriman, maka kita harus lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain. Lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain, artinya jika kita menemui adanya pertentangan antara syari’ah Islam dengan (budaya) masyarakat, maka syari’ah Islam-lah yang harus kita ikuti.

ثُمَّ جَعَلْنَـــٰـكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨﴾
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jaatsiyah. 18).

Sehingga ketika saudaraku bertanya: “Bolehkah nikah lagi? Terus pantas nggak, isteri baru 4 bulan wafat?”.

Terkait hal ini, bisa jadi menurut budaya masyarakat kita, jawabannya adalah tidak pantas. Namun jika kita mengacu pada syari’at Islam, tidak ada satu dalilpun yang menyatakan demikian. Kecuali bagi seorang isteri yang ditinggal wafat suaminya, maka untuk bisa menikah lagi, dia harus menunggu hingga masa ‘iddahnya habis, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 234 di atas. Sedangkan untuk suami, tidak ada yang namanya masa ‘iddah tersebut.

Mungkin yang akan menjadi kendala adalah sikap orangtua maupun sikap anak-anak serta anggota keluarga yang lain terkait keinginan saudaraku untuk membina rumah tangga baru tersebut.

Kemungkinan kalau orangtua ditanya, bisa jadi mereka masih terpengaruh oleh kebiasaan yang turun-temurun tanpa mengetahui apakah ini ada dasarnya atau tidak dalam Islam. Oleh karena itu berbicaralah secara hati-hati kepada mereka karena hal ini menyangkut kepercayaan yang bisa jadi sudah berurat-berakar, bisa jadi orangtua merasa tidak enak pada tetangga, atau khawatir apa kata orang.

Demikian juga dengan anak-anak. Dengan melihat saudaraku (sebagai ayah mereka) yang ingin menikah lagi, bisa jadi mereka menganggap saudaraku (sebagai ayah mereka) telah mengkhianati almarhumah ibu mereka.

Padahal jika kesimpulannya seperti ini (jika seorang suami/isteri yang telah ditinggal wafat oleh pasangannya kemudian menikah lagi dianggap sebagai bentuk pengkhianatan kepada pasangannya yang sudah wafat tersebut), tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin menikahi para janda yang telah ditinggal wafat suaminya, yang artinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengijinkan janda-janda tersebut untuk mengkhianati suaminya yang telah wafat, untuk kemudian menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Faktanya, sebagian isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah janda yang telah ditinggal wafat suaminya.

Lebih dari itu, jika anak-anak tetap melarang saudaraku untuk menikah lagi, maka beri pengertian kepada mereka bahwa sesungguhnya menikah itu adalah suatu kenikmatan yang Allah berikan kepada seorang laki-laki dan seorang wanita yang ingin berhubungan dengan cara halal (hal seperti ini tentunya baru bisa disampaikan kepada anak-anak jika mereka sudah dewasa/baligh*).

Termasuk di dalamnya adalah seorang wanita yang telah ditinggal wafat suaminya atau telah dicerai oleh suaminya maupun seorang laki-laki yang telah ditinggal wafat isterinya (sebagaimana yang terjadi pada saudaraku), maka dia memiliki hak untuk menikah lagi. Kita semua (termasuk anak-anak) tidak boleh mengingkari syariat ini dan tidak boleh mengharamkan sesuatu yang Allah sendiri tidak mengharamkannya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحَرِّمُواْ طَــيِّـبَـــٰتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُواْ إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٨٧﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al Maa-idah. 87).

Jika ayahnya (dalam hal ini adalah saudaraku) ingin menikah lagi, maka anak-anak harus mengizinkan untuk menikah lagi, karena ini adalah hak ayahnya (dalam hal ini adalah hak saudaraku), sebagaimana hak ini dimiliki juga oleh laki-laki/wanita-wanita yang lainnya yang telah ditinggal wafat oleh pasangannya.

Saudaraku,
Beri pengertian kepada mereka (anak-anak) bahwa setiap wanita maupun laki-laki memiliki psikologis yang berbeda-beda. Ada wanita/laki-laki yang tahan untuk menjanda/menduda selama bertahun-tahun karena sangat sayang dengan suaminya/isterinya yang telah meninggal. Sebagian lagi ada yang tidak tahan untuk menjanda/menduda dan sangat membutuhkan suami/isteri sebagai tempat penyaluran kebutuhan biologis dengan cara yang halal. Sebagian lagi membutuhkan untuk menikah karena ingin mendapatkan teman hidup yang bisa meluruskan jika dia lalai, yang bisa dijadikan sebagai tempat curhat, dll. Jadi dengan banyak tipe wanita/laki-laki, sehingga kita semua (termasuk anak-anak) tidak boleh menyamakan wanita janda/laki-laki duda yang satu dengan yang lainnya.

Saudaraku,
Memang untuk memahamkan hal-hal seperti ini perlu waktu dan strategi, yang tentu saja dimulai dari pengetahuan orangtua serta anak-anak serta sejauh mana keimanan mereka. Kiranya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu juga mengalami benturan seperti ini pada masa-masa awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa risalah Islam, dimana mereka harus meninggalkan kebiasan-kebiasaan jahiliyahnya. Bagi yang tipis keimanannya, tentu tak mudah meninggalkan hal yang sudah turun-temurun yang merupakan tradisi jahiliyyah.

Saudaraku,
Sebagai salah satu bukti keimanan seseorang kepada Allah SWT adalah ridho terhadap segenap ketentuan-Nya, dan hal inilah yang perlu dipahamkan pada orangtua maupun anak-anak.

Jika saudaraku merasa berat/tidak mampu untuk memberikan pemahaman kepada mereka, saudaraku bisa meminta bantuan kepada orang-orang terdekat atau pihak-pihak yang sekiranya dapat mendekati dan memahamkan mereka. Biasanya kalau orangtua mendapat dukungan dari keluarga besar, maka akan lebih mudah dan mantap dalam melangkah.

Untuk berbeda dengan orang pada umumnya, memang butuh kemauan yang kuat, apalagi ini mempunyai nilai da’wah yang pasti akan mendapat tantangan dari pihak-pihak yang tidak suka. Nilai dakwahnya adalah saudaraku dan keluarga dapat menunjukkan mana aturan Islam yang benar dan mana yang tidak. Do’aku mengiringi perjuanganmu, wahai saudaraku.

Saudaraku juga bertanya tentang bagaimana dari sisi hukum?

Saudaraku,
Terkait seputar pernikahan, alhamdulillah hukum di negara kita sudah mengadopsi hukum pernikahan Islam. Artinya seseorang yang beragama Islam tidak mungkin menikah di luar hukum pernikahan Islam. Dengan demikian, terkait keinginan saudaraku untuk menikah lagi, in sya Allah tidak akan bertentangan dengan hukum negara.

Semoga bermanfaat.

{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2 tulisan }

NB.
*)  Baligh adalah anak yang sudah mencapai usia yang mengalihkannya dari masa kanak-kanak menuju masa kedewasaan. Masa ini biasanya ditandai dengan nampaknya beberapa tanda-tanda fisik, seperti mimpi basah (ihtilam), mengandung dan haidh. Apabila tanda-tanda tersebut tidak nampak, maka masa baligh ditandai dengan sampainya seorang anak pada usia 15 tahun (menurut pendapat madzhab Syafi'i).

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞