Seorang akhwat telah bertanya: “Jika kita berada pada sebuah pilihan dimana pada saat yang sama kita harus memilih salah satu antara ibu atau suami, maka kita harus pilih yang mana, Pak?”.
-----
Saudaraku yang dicintai Allah...,
Dalam prosesi pernikahan, ada ijab-kabul (yang merupakan salah satu rukun nikah).
Ijab: yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon istri kepada calon suaminya, seperti kalimat: aku kawinkan anda dengan putriku Fulanah, atau kalimat: aku halalkan bagimu putriku yang bernama Anisa’ (bisa juga diucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa lainnya, yang penting harus mengerti artinya).
Kabul: yaitu ucapan penerimaan dari calon suami, seperti kalimat: aku terima mengawininya atau kalimat: aku rela mengawininya.
Ijab kabul mempunyai makna serah terima, yaitu penyerahan tanggung-jawab dari wali kepada suami. Jadi seorang wanita itu, setelah menikah akan menjadi tanggung-jawab suaminya (sebelumnya menjadi tanggung-jawab orang tuanya). Sehingga apabila pada saat yang bersamaan seorang wanita berada pada sebuah pilihan, dimana dia harus memilih satu antara suami atau ibu, maka jawabnya adalah: pilih suami. Sedangkan bagi sang suami, dia harus menghormati ibu mertuanya sama seperti dia menghormati ibu kandungnya sendiri.
Saudaraku yang dicintai Allah...,
Dalam lingkup keluarga, laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri). Demikian penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34, yang artinya adalah sebagai berikut:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah* mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisaa’. 34).
Salah satu contoh praktek kepemimpinan yang baik adalah dalam sholat berjamaah. Imam sholat yang baik adalah imam yang tidak peragu. Dia harus bisa mengambil keputusan tegas, kapan harus sujud, kapan harus ruku', dll. Dan tentu saja, dia juga harus mempunyai bekal ilmu yang memadai tentang semua tatacara sholat agar dapat menjalankan kepemimpinannya (sebagai imam sholat) dengan baik.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah, bahwa sang imam juga harus bijak dalam memimpin jama'ahnya. Jika ada jama'ah yang sudah tua, maka sholat mesti agak dipercepat. Tidak boleh berlama-lama dalam sujud, ruku' dll, karena hal ini akan sangat memberatkan jama'ah yang sudah tua tersebut. Demikian juga ketika terdengar suara tangis bayi, mungkin ada jamaah putri (ibu-ibu) yang membawa bayinya.
Sebagai imam sholat, dia juga tidak boleh mengabaikan kritikan dari jama'ahnya jika dia melakukan kesalahan dalam memimpin sholat. Kewajiban jama'ah untuk mengingatkannya jika ada kesalahan. Dan dalam mengingatkan sang imam, juga ada aturannya. Untuk jama'ah laki-laki dengan mengucapkan: subhanallah, sedangkan untuk jama'ah putri dengan menepuk tangan.
Saudaraku yg dicintai Allah...,
Kiranya apa yang ada pada sholat berjama'ah tersebut, juga berlaku dalam kehidupan nyata. Seorang suami (yang menjadi imam / pemimpin bagi istri dan keluarganya), juga harus bersikap seperti halnya sikap seorang imam dalam sholat berjama'ah tersebut.
Seorang lelaki / suami yang baik, adalah lelaki / suami yang tidak peragu. Dia harus berani mengambil keputusan tegas tanpa mengabaikan norma-norma agama. Lebih dari itu, dia juga harus bertanggungjawab terhadap segala keputusan yang telah diambilnya. Dan tentu saja, dia juga harus mempunyai bekal ilmu yang memadai agar dapat menjalankan kepemimpinannya dengan baik.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar