بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Rabu, 05 Februari 2020

BERJIHAD MELALUI JALAN KEKERASAN DALAM SITUASI DAMAI BUKANLAH AJARAN ISLAM1)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku,
Yang dimaksud dengan jihad adalah berjuang dengan sungguh-sungguh dalam menegakkan agama Islam dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada dalam diri kita, yang kesemuanya itu dilakukan semata-mata hanya karena mengharapkan keridhaan Allah SWT. Demikian pendapat Prof. Dr. KH. M. Roem Rowi, MA.2 yang beliau sampaikan saat memberi kajian rutin Kitab Riyadhush Sholihin di Masjid Al Falah Surabaya pada tanggal 20 Januari 2013.

Sedangkan bentuk jihad itu bisa beragam. Dalam situasi perang, maka berjihad adalah berjuang menegakkan agama Islam dengan berperang melawan musuh-musuh Islam yang telah memerangi Islam. Sedangkan dalam situasi damai, maka berjihad adalah berjuang menegakkan agama Islam sesuai dengan keahlian masing-masing. Misalnya: berdakwah/menyeru kepada kebajikan (menyuruh kepada yang ma`ruf) serta mencegah dari yang munkar lewat tulisan melalui media cetak/blog/facebook/internet/WhatsApp (bagi yang memiliki kemampuan/keahlian menulis), berdakwah dengan memberi contoh nyata dengan tidak mengurangi timbangan serta memberi informasi yang benar terhadap kualitas/kondisi barang dagangannya (bagi yang berprofesi sebagai pedagang), dst., dll.

Adalah sangat tidak dibenarkan berjihad melalui jalan kekerasan dalam situasi damai, apalagi sampai memakan korban jiwa. Seperti adanya tindakan pengeboman di tempat-tempat keramaian umum, tempat-tempat hiburan, dll., termasuk tempat-tempat peribadatan agama lain.

Saudaraku,
Bagaimana mungkin bisa dibenarkan adanya tindakan pengeboman di tempat-tempat keramaian umum, tempat-tempat hiburan, dll., termasuk tempat-tempat peribadatan agama lain, sedangkan berdebat dengan Ahli Kitab saja, Islam telah memerintahkan kita kaum muslimin untuk melakukannya dengan cara yang paling baik?

Ya, Islam telah melarang kita kaum muslimin untuk berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang dzalim di antara mereka. Demikian penjelasan Al Qur'an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 46 yang artinya adalah sebagai berikut:

وَلَا تُجَـــٰـدِلُوا أَهْلَ الْكِتَـــٰبِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا ءَامَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَـــٰـهُنَا وَإِلَــٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ ﴿٤٦﴾
”Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab3, melainkan dengan cara yang paling baik4, kecuali dengan orang-orang zalim5 di antara mereka, dan katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri". (QS. Al ‘Ankabuut. 46).

Bahkan Al Qur’an secara tegas juga melarang kita yang beragama Islam untuk memaki sembahan-sembahan pemeluk agama lain. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al An’aam ayat 108 berikut ini:

وَلَا تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّواْ اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ...﴿١٠٨﴾
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan...” (QS. Al An’aam: 108).

Sekali lagi kusampaikan,
Jika berdebat dengan Ahli Kitab saja, Islam telah melarang kita kaum muslimin untuk melakukannya kecuali dengan cara yang paling baik, bahkan hanya sekedar mencaci-maki/menghujat/menghina/mengolok-olok sembahan-sembahan pemeluk agama lain saja sudah merupakan perbuatan yang sangat dilarang, apalagi jika sampai melakukan tindakan pengeboman tempat-tempat peribadatan mereka? Termasuk tindakan pengeboman tempat-tempat hiburan maupun tempat-tempat keramaian umum lainnya yang banyak memakan korban jiwa.

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalan surat Al-Maa-idah ayat 32 berikut ini:


مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَـــٰتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ ﴿٣٢﴾
Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi. (QS. Al Maa-idah. 32).

Tafsir Ibnu Katsir:

Allah SWT. Berfirman: “Karena anak Adam pernah membunuh saudara­nya secara aniaya dan permusuhan”.

{كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ}
(maka) Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil. (QS. Al Maa-idah. 32)

Yakni Kami syariatkan kepada mereka dan Kami berlakukan terhadap mereka,

{أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا}
“bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya Dan barang siapa yang memeliha­ra kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah meme­lihara kehidupan manusia semuanya”. (QS. Al Maa-idah. 32)

Yakni barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa sebab – seperti qishash atau membuat kerusakan di muka bumi, dan ia menghalalkan membunuh jiwa tanpa sebab dan tanpa dosa – maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya, karena menurut Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa yang lainnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, yakni mengharamkan membunuhnya dan meyakini keharaman tersebut, berarti selamatlah seluruh manusia darinya berdasarkan pertimbangan ini. Untuk itulah Allah SWT. berfirman:

{فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا}
“maka seolah-olah dia memelihara kehidupan manusia semuanya”. (QS. Al Maa-idah. 32)

Al-A'masy dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa pada hari Khalifah Usman dikepung, Abu Hurairah masuk menemuinya, lalu berkata, "Aku datang untuk menolongmu, dan sesungguhnya situasi sekarang ini benar-benar telah serius, wahai Amirul Mu’minin." Maka Usman ibnu Affan r.a. berkata, "Hai Abu Hurairah, apakah kamu senang bila kamu membunuh seluruh manusia, sedangkan aku termasuk dari mereka?" Abu Hurairah menjawab, "Tidak." Usman r.a. berkata, "Karena sesungguhnya bila kamu membunuh seseorang lelaki, maka seolah-olah kamu telah membunuh manusia seluruhnya. Maka pergilah kamu dengan seizinku seraya membawa pahala, bukan dosa." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya.”Lalu aku pergi dan tidak ikut berperang."

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa hal itu sama dengan makna firman-Nya yang mengatakan: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (Al-Maidah: 32); Memelihara kehidupan artinya "tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya", demikianlah pengertian orang yang memeli­hara kehidupan manusia seluruhnya. Dengan kata lain, barang siapa yang mengharamkan membunuh jiwa, kecuali dengan alasan yang benar, berarti kelestarian hidup manusia terpelihara darinya; demikianlah se­terusnya.

Mujahid mengatakan bahwa barang siapa yang memelihara kehidupan jiwa seseorang, yakni menahan diri tidak membunuhnya.

Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah: QS. Al Maa-idah. 32); Ibnu Abbas mengatakan bahwa barang siapa yang membunuh jiwa seseorang yang diharamkan oleh Allah membunuhnya, maka perumpa­maannya sama dengan membunuh seluruh manusia.

Said ibnu Jubair telah mengatakan, "Barang siapa yang menghalal­kan darah seorang muslim, maka seakan-akan dia menghalalkan darah manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang mengharamkan darah se­orang muslim, maka seolah-olah dia mengharamkan darah manusia selu­ruhnya." Ini merupakan suatu pendapat, tetapi pendapat inilah yang terkuat.

Ikrimah dan Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang membunuh seorang nabi atau seorang imam yang adil, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang mendukung sepenuhnya seorang nabi atau seorang imam yang adil, maka seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.

Mujahid menurut riwayat lain yang bersumberkan darinya mengatakan, "Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena telah membunuh seseorang, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian itu karena barang siapa yang membunuh seseorang, maka baginya neraka, dan perihalnya sama seandainya dia membunuh manusia seluruhnya."

Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Al-A'raj, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya. (Al-Maidah: 32); Bahwa barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka Allah menyediakan neraka Jahannam sebagai balasannya, dan Allah murka terhadapnya serta melaknatinya dan menyiapkan baginya azab yang besar. Dikatakan bahwa seandainya dia membunuh manusia seluruhnya, maka siksaannya tidak melebihi dari siksaan tersebut (karena sudah maksimal).

Ibnu Juraij telah meriwayatkan bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. (QS. Al Maa-idah. 32); Bahwa barang siapa yang tidak pernah membunuh seseorang pun, berarti manusia selamat darinya.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan, "Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya, yakni diwajibkan atas dirinya menjalani hukum qishash (pembalasan), tidak ada bedanya antara yang dibunuh adalah seorang manusia ataupun sejumlah orang. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan, yakni pihak wali darah memaafkan si pembunuh, maka seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya." Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh ayahnya (yakni Juraij) menurut Mujahid mengatakan dalam suatu riwayat, "Barang siapa yang memelihara kehidupan, yakni menyelamatkan (orang lain) dari tengge­lam atau kebakaran atau kebinasaan."

Al-Hasan dan Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (QS. Al Maa-idah. 32); Di dalam makna ayat ini terkandung pengertian bahwa melakukan tindak pidana pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Lalu Qatadah mengatakan, "Demi Allah, dosanya amat besar; demi Allah, pembalasannya sangat besar."

Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Salam ibnu Miskin, dari Sulaiman ibnu Ali Ar-Rab'i yang telah menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hasan, "Ayat ini bagi kita, hai Abu Sa'id, sama dengan apa yang diberlakukan atas kaum Bani Israil." Al-Hasan menjawab, "Memang benar, demi Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia, sama seperti yang diberlakukan atas kaum Bani Israil, dan tiadalah Allah menjadikan darah kaum Bani Israil lebih mulia daripada darah kita.

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. (QS. Al Maa-idah. 32); Yaitu dalam hal dosanya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya. (QS. Al Maa-idah. 32); Yakni dalam hal pahalanya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا حَسَنٌ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَة، حَدَّثَنَا حُيَي بْنُ عَبْدِ اللهِ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الحُبُلي، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: جَاءَ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، اجْعَلْنِي عَلَى شَيْءٍ أَعِيشُ بِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا حَمْزَةُ، نَفْسٌ تُحْيِيهَا أَحَبُّ إِلَيْكَ أَمْ نَفْسٌ تُمِيتُهَا؟ " قَالَ: بَلْ نَفْسٌ أُحْيِيهَا: قَالَ: "عَلَيْكَ بِنَفْسِكَ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Huyay ibnu Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr yang telah mengatakan bahwa Hamzah ibnu Abdul Muttalib datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya: Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku sesuatu pegangan untuk kehidupanku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Hai Hamzah, jiwa seseorang yang kamu pelihara kehidupannya lebih kamu sukai ataukah jiwa seseorang yang kamu matikan?" Hamzah men­jawab, "Tidak, bahkan jiwa yang aku pelihara kehidupannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Peliharalah dirimu.”

_____

Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelaslah sekarang bahwa berjihad melalui jalan kekerasan dalam situasi damai, bukanlah ajaran Islam.Ya, Islam sama sekali tidak identik dengan kekerasan.

Islam adalah agama yang indah dan penuh keadilan. Perhatikan penjelasan Allah SWT. Dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 8 berikut ini:

لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـــٰــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah. 8).

Saudaraku,
Dalam ayat di atas, bahkan Allah mengakhirinya dengan kalimat:

... إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
“... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah. 8).

“Hendaklah (kamu) berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil, kepada non-muslim yang tidak memerangi kalian”. Demikian pendapat Ibnu Katsir rahimahullah.

Demikian penjelasan yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
1)  Artikel ini ditulis terkait peristiwa bom Surabaya pada hari Ahad, 13 Mei 2018.
2)  Prof. Dr. KH. M. Roem Rowi, MA. (salah satu guru ngajiku) adalah seorang ahli tafsir Al Qur’an; S1 Universitas Islam Madinah, S2 – S3 Universitas Al-Azhar.
3)  Ahli Kitab أهل الكتــاب ) ( adalah sebutan untuk kaum Yahudi dan Nasrani (menurut Al Qur’an). Sebab Yahudi dan Nasrani disebut sebagai Ahli Kitab karena Allah mengutus ditengah-tengah mereka nabi-nabi yang membawa kitab suci masing-masing.
4)  Berdebat dengan cara yang paling baik, antara lain dengan menyertakan hujjah (keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi) yang kuat disertai dengan dalil-dalil yang mendasarinya (tidak hanya berdasarkan emosi semata).
5)  Yang dimaksud dengan ”orang-orang dzalim” ialah orang-orang yang setelah diberikan kepadanya keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan dengan cara yang paling baik, namun mereka tetap membantah dan membangkang dan tetap menyatakan permusuhan.

Senin, 03 Februari 2020

SABAR KEPADA ORANG TUA (IV)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (staf pengajar/dosen di Jawa Barat) telah menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, sekarang ini saya sedang bingung menghadapi persoalan anak saya yang in sya Allah pada tahun depan punya niat untuk menikah tetapi sampai saat ini masih membenci bapaknya. Saya bingung dan tidak bisa menyalahkan anak saya karena memang bapaknya sudah keterlaluan mengkhianati kami sampai-sampai anak merasa trauma dan benci bapaknya. Saya gugat ceraipun karena permintaan anak saya yang memang melihat bapaknya sudah keterlaluan”.

Tanggapan

Saudaraku,
Begitu banyak ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, dimana perintah tersebut beriringan dengan perintah untuk beribadah/menyembah serta bersyukur kepada-Nya. Hal ini menunjukkan, betapa berbakti kepada kedua orang tua (ibu dan bapak) itu benar-benar menduduki tempat yang sangat tinggi dalam Agama Islam. Berikut ini beberapa ayat diantaranya:

... لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ... ﴿٨٣﴾
“… Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, …” (QS. Al Baqarah. 83).

قُلْ تَعَالَوْاْ أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ... ﴿١٥١﴾
“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, …” (QS. Al An’aam. 151).

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُواْ إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُـمَا أَوْ كِلَاهُـمَا فَلَا تَقُل لَّـهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّـهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا ﴿٢٣﴾
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al Israa’. 23).

وَاعْبُدُواْ اللهَ وَلَا تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ... ﴿٣٦﴾
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, …” (QS. An Nisaa’. 36).

... أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ ﴿١٤﴾
“… Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (QS. Luqman. 14).

Saudaraku,
Perhatikan pula penjelasan Al Qur’an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 8 serta dalam surat Luqman ayat 15 berikut ini:

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al ‘Ankabuut. 8).

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿١٥﴾
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman. 15).

Saudaraku,
Dari dua ayat di atas, diperoleh penjelasan bahwa sekalipun kedua orang tua memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah, ternyata Allah tetap memerintahkan anak untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli keduanya di dunia ini dengan baik. Padahal perbuatan syirik (mempersekutukan Allah) adalah dosa terbesar dari semua dosa, hingga Allah tidak akan mengampuni dosa syirik tersebut.

إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا ﴿٤٨﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An Nisaa’. 48).

Nah, jika keduanya memaksa sang anak untuk mempersekutukan Allah saja ternyata Allah tetap memerintahkan sang anak untuk berbakti kepada keduanya/mempergauli keduanya di dunia ini dengan baik, lalu bagaimanakah jika keduanya hanya melakukan kekhilafan yang nilainya tidak sebanding dengan dosa syirik?

Sehingga dari uraian di atas dengan mudah dapat diambil kesimpulan bahwa yang namanya anak itu harus tetap berbakti/tetap berbuat baik kepada ayahnya selagi beliau masih hidup di dunia ini, meski beliau telah berbuat salah kepadanya, sebesar apapun kesalahannya.

Memang tak dapat dipungkiri jika memang benar sang ayah sudah keterlaluan dalam mengkhianati saudaraku beserta anak-anak hingga anak merasa trauma kemudian timbul rasa benci kepada ayahnya. Namun hendaknya kebencian dan ketidaksukaan ananda tersebut bukan terhadap ayahnya, akan tetapi pada perbuatan dan sikap ayah yang mengabaikan keluarganya. Bukankah Al-Quran tetap memerintahkan untuk berbakti kepadanya/mempergaulinya di dunia ini dengan baik, meskipun sang ayah (orang tua) berbeda keyakinan? (Lihat kembali penjelasan Al Qur’an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 8 serta surat Luqman. 15 di atas).

Saudaraku,
Berikut ini kusampaikan bagaimana sikap Nabi Ibrahim AS dalam menghadapi ayahnya yang kafir (sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Maryam ayat 41 – 44):

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا ﴿٤١﴾ إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِـمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنكَ شَيْئًا ﴿٤٢﴾ يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَـمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا ﴿٤٣﴾ يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَـــٰنِ عَصِيًّا ﴿٤٤﴾ يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَن يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمَـــٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا ﴿٤٥﴾
(41) Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. (42) Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? (43) Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. (44) Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. (45) Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (QS. Maryam. 41 – 45).

Saudaraku,
Dalam surat Maryam ayat 41 – 45 di atas, Nabi Ibrahim AS telah memanggil ayahnya dengan kata أبت  (abati) yang berarti “wahai bapakku”. Biasanya seorang anak memanggil bapaknya dengan kata أبي  (abi), tambahan huruf ت  disini dalam Bahasa Arab menunjukkan panggilan yang sangat halus penuh penghormatan kepada seorang bapak.

Kemudian beliau (Nabi Ibrahim AS) mulai menyampaikan dakwahnya dengan mengutarakan kata-kata dengan mengajak ayahnya untuk berpikir secara logis, pantaskah benda mati yang tidak mendengar, tidak melihat apalagi memberi pertolongan disembah?

Saudaraku,
Dalam surat Maryam ayat 44 – 45, Nabi Ibrahim AS telah mengulang lagi kata أبت  (abati) dengan penuh penghormatan kepada sang ayah. Setelah itu baru beliau melanjutkan lagi perkataannya dengan kata-kata santun walaupun bapaknya adalah orang kafir.

Beliau memberitahu ayahnya bahwa dirinya adalah seorang rasul yang diutus kepada kaumnya untuk menunjukkan kepada jalan yang lurus. Nabi Ibrahim AS terus mengulang kata أبت  (abati) sampai empat kali. Beliau sangat berharap hati ayahnya dapat luluh mendengar ajakannya dan beriman kepada Allah SWT.

Saudaraku,
Terhadap dakwah yang disampaikan dengan penuh rasa hormat dan santun oleh Nabi Ibrahim AS tersebut, ayah Nabi Ibrahim AS malah menjawabnya dengan kata-kata yang kasar, keras dan mengancam. Perhatikan penjelasan surat Maryam ayat 46 berikut ini:

قَالَ أَرَاغِبٌ أَنتَ عَنْ ءَالِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِن لَّـمْ تَنتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا ﴿٤٦﴾
(46) Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". (QS. Maryam. 46).

Saudaraku,
Mendengar jawaban yang sangat keras dan mengancam dari ayahnya yang kafir tersebut, beliau (Nabi Ibrahim AS) tetap menjawabnya dengan kata-kata yang lembut dan santun. Perhatikan penjelasan surat Maryam ayat 47 berikut ini:

قَالَ سَلَــــٰمٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا ﴿٤٧﴾
(47) Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. (QS. Maryam. 47).

Saudaraku,
Meskipun ayahnya telah menjawab dakwahnya dengan kata-kata yang kasar, keras bahkan disertai dengan ancaman, beliau (Nabi Ibrahim AS) tetap memohonkan ampunan bagi ayahnya (memohon agar Allah memberinya ampunan). Namun ketika ayahnya meninggal dalam keadaan tidak beriman, beliaupun berhenti memohonkan ampunan bagi ayahnya.

وَمَا كَانَ ٱسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَن مَّوعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّأَ مِنهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيم ﴿١١٤﴾
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-Taubah: 114).

Saudaraku,
Demikianlah kisah dakwah Nabi Ibrahim AS kepada ayahnya yang tidak beriman, beliau tidak rela membiarkan ayahnya dalam kesesatan dan kekafiran. Beliau menyadari bahwa mengajak ayahnya untuk beriman adalah suatu kewajiban, namun kekafiran dan kesesatan ayahnya bukan berarti alasan untuk berkata-kata kasar ataupun menghardiknya. Beliau tetap berbakti kepada ayahnya dan berbicara dengannya  dengan kata-kata yang santun. (Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran bagi kita).

Saudaraku,
Sebagai saudara seiman, tentu saja saya sangat prihatin atas keadaan yang menimpa saudaraku beserta ananda tercinta. Namun sebesar apapun kesalahan dan dosa seorang ayah, ia tetaplah orangtua yang sah bagi ananda tercinta. Bahkan hak waris maupun hak kewalian-pun tetap berlaku.

... وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ...”. (QS. An Nisaa’. 11).

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو داود)   
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).

Sehingga dengan mudah dapat dipahami, jika kebencian anak kepada ayahnya demikian mendalam hingga menyebabkan anak tidak mau menikah dengan berwalikan ayah kandungnya (sebagaimana yang telah saudaraku sampaikan via WhatsApp beberapa waktu yang lalu), berdasarkan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di atas, maka pernikahannya batal alias tidak sah. Pernikahannya batal alias tidak sah, artinya jika ananda tercinta berhubungan dengan pasangannya, maka hal ini akan dihukumi sebagai perbuatan zina. Na’udzubillahi mindzalika!

Saudaraku,
Janganlah kebencian ananda tercinta kepada ayahnya mendorong ananda tercinta melanggar hukum Allah. Sampaikan kepada ananda tercinta, bahwa dia tidak perlu khawatir jika ayahnya ternyata punya itikad buruk dengan bersikukuh untuk tidak merestui pernikahan ananda tercinta tanpa alasan yang jelas, setelah saudaraku beserta ananda tercinta berupaya untuk memberikan haknya sebagai wali nikah. Santai saja wahai saudaraku, karena Islam telah memberikan solusi jika sampai terjadi kemungkinan terburuk seperti ini.

Saudaraku,
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di atas, maka penguasa (dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau wali khusus/wali nasab (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).

Penjelasan selengkapnya terkait hal ini bisa dibaca dalam buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” Jilid 4, Bab 9, Sub-Bab 9.3. Menikah Dengan Wali Hakim Karena Benci Kepada Ayah (II), halaman 279 – 285.

Saudaraku,
Demikianlah ketetapan Allah dan rasul-Nya, yang mana hal ini memang sangat berat dilaksanakan jika memperturutkan hawa nafsu kita.

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al An’aam ayat 162 – 163 berikut ini:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَـــٰـــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
(162) “Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, (163) “tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al An’aam. 162 – 163).

Ya, apapun yang kita lakukan (shalat kita, ibadah kita, hidup kita dan mati kita), semuanya haruslah kita niatkan hanya untuk Allah semata. Dan sebagai konsekuensi logis dari hal ini, maka apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, maka sikap kita adalah:  سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا  (kami mendengar dan kami patuh). Artinya apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, kita terima dan kita laksanakan apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun. Perhatikan firman Allah SWT. dalam Al Qur’an surat An Nuur ayat 51:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nuur. 51)

Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 36, Allah SWT. Telah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36)

Demikian penjelasan yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Tanggapan beliau:

Matursuwun Pak Imron atas tausiahnya. Nanti saya coba pelan-pelan memberikan pengertian kepada anak-anak dengan dasar-dasar yang Pak Imron berikan. Walaupun sakitnya masih kami rasakan, tetapi jika memang dalilnya kuat, kami harus tunduk.

Berat menghadapi ini semua, tetapi demi anak-anak yang harus terus diayomi, ya kami harus kuat. Alhamdulillah-nya masih ada sedikit sisa harta yang bisa kami pertahankan untuk pendidikan anak-anak, jadi anak-anak masih bisa tetap sekolah/kuliah. Kami hanya makhluk lemah Pak Imron, kekuatan dan kekuasaan hanya milik Allah.

Do'aku menyertai perjuangan ibu.

Aamiiin ya Robb.
Matursuwun sanget Pak Imron. Sekarang sudah lega tidak ada ganjalan lagi, tinggal implementasinya saja. Sebenarnya lelah sekali Pak Imron, tapi ....

Inggih, Bu. Saya bisa memaklumi.
Dan jika saya yang harus menerima cobaan serupa, belum tentu saya bisa sekuat ibu beserta ananda tercinta.

Demikian dialog ini,
Semoga bermanfaat.

NB.
Sebenarnya dalam menanggapi kasus-kasus seperti ini, akan lebih baik jika bisa diperoleh informasi dari kedua belah pihak (dari pihak saudaraku/ananda tercinta serta dari pihak mantan suami) sehingga bisa diperoleh solusi yang lebih baik.


Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞