بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Jumat, 05 Mei 2017

BAHAYANYA BERBICARA MASALAH AGAMA JIKA HANYA BERSANDAR PADA LOGIKA SAJA



Assalamu’alaikum wr. wb.

Dalam sebuah diskusi terbuka di facebook, seorang alumnus perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung telah membuat pernyataan berikut ini: ”Tuhan menghadirkan diri-Nya dalam setiap ciptaan-Nya. Siapapun yang menyadari kebesaran-Nya akan melampaui semua hal, termasuk peluru dan rasa takut. Ia mewujud tanpa nama, karena Ia tak memerlukannya. Kitalah yang memberi-Nya nama. Ada yang menyebut-Nya Allah, Tuhan, Sang Hyang Widhi, Tao, Yahweh, Eloi, God, bahkan orang Ambon menyebut-Nya Tete Manis. Penamaan hanya ada dalam aturan pikiran manusia. Manusia harus memberi nama untuk dapat mengenali sesuatu”.

Saudaraku,
Jika hanya bersandar pada logika saja, sekilas pernyataan di atas terlihat benar:
   Ia mewujud tanpa nama, karena Ia tak memerlukannya.
   Kitalah yang memberi-Nya nama. Penamaan hanya ada dalam aturan pikiran manusia. Manusia harus memberi nama untuk dapat mengenali sesuatu.

Namun ketahuilah bahwa sesungguhnya kemampuan logika kita adalah sangat terbatas karena kita tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit, sedangkan pengetahuan Allah adalah meliputi segala sesuatu.

... وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).

اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 12).

Sekali lagi, ketahuilah bahwa sesungguhnya kemampuan logika kita adalah sangat terbatas karena kita tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit. Sehingga sangat mudah dipahami bahwa saat berbicara masalah agama, tentunya akan sangat berbahaya jika hanya bersandar kepada logika saja.

Saudaraku,
Berbicara masalah agama, tentunya diperlukan informasi yang benar, akurat dan meyakinkan karena teramat banyak hal-hal yang berada diluar jangkauan logika kita.

Informasi yang benar, akurat dan meyakinkan tersebut telah Allah sampaikan melalui utusan-Nya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni melalui ayat-ayat Al Qur’an yang tidak ada sedikitpun keraguan padanya. Sedangkan informasi/jawaban-jawaban yang tidak berasal dari Al Qur’an (dan Al Hadits), hanyalah sebatas prasangka dan dugaan semata.

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾
“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS. Al Baqarah. 2).

Terkait pernyataan di atas, meskipun sekilas terlihat benar (jika hanya bersandar pada logika saja), namun jika kita melihat informasi yang diberikan Al Qur’an, ternyata terdapat dua kesalahan sangat besar dari pernyataannya di atas.

Kesalahan yang pertama, beliau mengatakan bahwa ”Ia mewujud tanpa nama, karena Ia tak memerlukannya”. Padahal, Tuhan telah menjelaskan bahwa Dia mempunyai nama-nama yang paling baik. Hal ini berdasarkan penjelasan-Nya dalam Al Qur'an surat Al Hasyr ayat 24 berikut ini:

هُوَ اللهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ ﴿٢٤﴾
”Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Hasyr. 24).

Sedangkan kesalahan yang kedua adalah beliau telah mengatakan bahwa “Allah” adalah nama pemberian manusia kepada Tuhan. Padahal Tuhan sendirilah yang memberi nama Diri-Nya Allah, bukan manusia atau makhluk yang lain. Hal ini berdasarkan penjelasan-Nya dalam Al Qur'an surat Thaahaa ayat 14 berikut ini:

إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَــــٰـهَ إِلَّا أَنَاْ فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي ﴿١٤﴾
”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaahaa. 14).

Dampak Dari Pernyataan Di Atas

Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah betapa bahayanya berbicara masalah agama jika hanya bersandar pada logika saja.

Ya! Berbicara masalah agama jika hanya bersandar pada logika saja, bisa sangat membahayakan aqidah yang bersangkutan. Karena bagi siapa saja yang meyakini kebenaran pernyataan di atas, berarti dia telah menyelisihi penjelasan Allah dalam surat Al Hasyr ayat 24 serta penjelasan-Nya dalam surat Thaahaa ayat 14.

Padahal Allah juga telah menjelaskan, bahwa tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Na’udzubillahi mindzalika!

مَا يُجَادِلُ فِي آيَاتِ اللهِ إِلَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَا يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلَادِ ﴿٤﴾
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu”. (QS. Ghafir. 4).

Oleh karena itu, berhati-hatilah wahai saudaraku!

Ya Tuhan kami,
Lindungilah kami ketika kami membaca ayat-ayat-Mu dari godaan syaitan yang terkutuk agar kami senantiasa berada dalam jalan-Mu yang lurus. Amin, ya rabbal ‘alamin!

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ﴿٩٨﴾
”Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. (QS. An Nahl. 98).

Semoga bermanfaat.

Rabu, 03 Mei 2017

TENTANG NIAT (II)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Berikut ini lanjutan dari artikel: “Tentang Niat (I)”.

Saudaraku,
Berbeda dengan ketiga Hadits di atas yang terkait dengan niat baik dan niat buruk, firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 225 di atas berkaitan dengan sumpah.

Sama seperti amal perbuatan yang lainnya, ketika seseorang bersumpah untuk berbuat suatu kebaikan namun sumpah tersebut masih dalam hatinya (belum terucap), maka ini masih belum dinilai sebagai sumpah.

Demikian pula ketika seseorang bersumpah untuk berbuat suatu keburukan namun sumpah tersebut masih dalam hatinya (belum terucap), maka ini juga masih belum dinilai sebagai sumpah. Sehingga yang bersangkutan masih belum dicatat sebagai satu keburukan di sisi-Nya sampai yang bersangkutan benar-benar menindaklanjutinya dengan mengucapkan sumpah tersebut.

Sedangkan ketika seseorang telah bersumpah dengan mengucapkan sumpah tersebut, maka Allah akan melihat terlebih dahulu niatnya. Jika sumpah tersebut terucap begitu saja (tidak sengaja bersumpah, yakni yang terucap dari mulut tanpa sengaja untuk bersumpah/tidak ada niat yang terkandung dalam hatinya untuk bersumpah), maka Allah tidak akan menghukumnya apabila yang bersangkutan kemudian melanggar sumpahnya. Allah tidak akan menghukumnya, artinya tidak ada dosa baginya serta tidak wajib kafarat baginya apabila dia kemudian melanggar sumpahnya. Karena Allah Maha Pengampun terhadap hal-hal yang tidak disengaja.

Dalam sebuah Hadits, diperoleh penjelasan bahwa sumpah itu tergantung dengan niat orang yang mengatakan sumpah tersebut.

و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ هُشَيْمٍ عَنْ عَبَّادِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْيَمِينُ عَلَى نِيَّةِ الْمُسْتَحْلِفِ. (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Husyaim dari Abbad bin Abu Shalih dari Ayahnya dari Abu Hurairah dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sumpah itu tergantung dengan niat orang yang mengatakan sumpah". (HR. Muslim).

Saudaraku,
Hadits tersebut semakin menguatkan penjelasan sebelumnya, bahwa ketika seseorang telah bersumpah dengan mengucapkan sumpah tersebut (dengan mengucapkan kalimat: Wallaahi/Demi Allah, ... dst. Contoh, dengan mengatakan: “Demi Allah, aku akan melakukannya”), maka Allah akan melihat terlebih dahulu niatnya. Jika sumpah tersebut terucap begitu saja (tidak sengaja bersumpah), maka Allah tidak akan menghukumnya apabila yang bersangkutan kemudian melanggar sumpahnya, artinya tidak ada dosa baginya serta tidak wajib kafarat baginya apabila dia kemudian melanggar sumpahnya.

Allah baru akan menghukum bagi siapa saja yang melanggar sumpahnya jika sumpah tersebut benar-benar disengaja oleh hatinya, artinya dia menyadari bahwa itu adalah sumpah yang tidak boleh dilanggar. Terkait hal ini, Allah telah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Maa-idah ayat 89:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَــــٰــنِكُمْ وَلَــــٰــكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَــــٰنَ فَكَفَّـــٰــرَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَـــٰـكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَـــٰــثَةِ أَيَّامٍ ذَٰلِكَ كَفَّـــٰــرَةُ أَيْمَـــٰـنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَـــٰـــنَكُمْ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَـــٰــتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿٨٩﴾
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”. (QS. Al Maa-idah. 89).

Sedangkan apabila seseorang terlanjur bersumpah untuk melakukan sesuatu sehingga menjadi pendorong baginya untuk tidak berbuat baik dan bertakwa, maka sumpah seperti itu tidak disukai dan disunahkan untuk melanggarnya lalu membayar kafarat (baca penjelasan Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 224 di atas serta penjelasan dua buah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di bagian akhir tulisan ini).

Apalagi jika seseorang terlanjur bersumpah untuk melakukan sesuatu yang haram, maka wajib baginya untuk melakukan amalan yang lebih baik darinya dan membatalkan sumpahnya dengan membayar kafarat. Sedangkan kafaratnya adalah sebagaimana penjelasan surat Al Maa-idah ayat 89 di atas. (Wallahu Ta’ala a’lam).

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ بْنُ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيُّ أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَعْتَمَ رَجُلٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ فَوَجَدَ الصِّبْيَةَ قَدْ نَامُوا فَأَتَاهُ أَهْلُهُ بِطَعَامِهِ فَحَلَفَ لَا يَأْكُلُ مِنْ أَجْلِ صِبْيَتِهِ ثُمَّ بَدَا لَهُ فَأَكَلَ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيَأْتِهَا وَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ. (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb telah menceritakan kepada kami Marwan bin Mu'awiyah Al Fazari telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, Seorang laki-laki berada di rumah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga larut malam, setelah itu dia pulang ke rumahnya, ternyata dia mendapati anak-anaknya lelap tertidur. Lalu isterinya datang kepadanya dengan membawa makanan, namun dia bersumpah untuk tidak makan demi anak-anaknya. Selang beberapa saat, dia berubah pikiran, akhirnya dia memakan makanan itu. Kemudian dia mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan menceritakan hal itu kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkata: Barangsiapa bersumpah kemudian dia melihat ada sesuatu yang lebih baik daripadanya maka hendaklah dia melakukan hal itu dan membayar kafarah atas sumpahnya". (HR. Muslim).

و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي مَالِكٌ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَلْيُكَفِّرْ عَنْ يَمِينِهِ وَلْيَفْعَلْ. (رواه مسلم)
Dan telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb telah mengabarkan kepadaku Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Ayahnya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengucapkan sumpah, setelah itu dia melihat ada sesuatu yang lebih baik dari yang telah dia ucapkan, hendaknya dia membayar kafarah sumpahnya". (HR. Muslim).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon ma’af jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

{Tulisan ke-2 dari 2 tulisan}

Senin, 01 Mei 2017

TENTANG NIAT (I)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang sahabat (dosen sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung) telah menyampaikan pertanyaan: “Pak Imron, mohon bantuan pencerahannya. Pertanyaan saya terkait QS. 2:225 pada bagian: [Dia menghukum kamu karena niat yang ada dalam hatimu]. Bagaimana mensinkronkan ayat ini dengan keterangan lain dalam hadits bahwa niat baik saja sudah berpahala sebelum dilaksanakan, sementara niat buruk belum dihitung sebagai dosa sebelum direalisasikan. Matur suwun”.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara penjelasan ayat 225 surat Al Baqarah dengan keterangan lain dalam beberapa hadits yang menyatakan bahwa niat baik saja sudah berpahala sebelum dilaksanakan, sementara niat buruk belum dihitung sebagai dosa sebelum direalisasikan. Berikut ini kusampaikan beberapa hadits terkait niat baik dan niat buruk tersebut:

Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah r.a., Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, diriwayatkan dari Allah Ta’ala:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، فَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ. (رواه البخارى ومسلم)
“Sesungguhnya Allah mencatat berbagai kejelekan dan kebaikan lalu Dia menjelaskannya. Barangsiapa yang bertekad untuk melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah catat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lantas bisa ia penuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا، عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَـا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْـحَسَنَاتِ وَالسَّيِّـئَاتِ، ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ، فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا، كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِـهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّـئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا؛ كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بِهَـا فَعَمِلَهَا، كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً. (رَوَاهُ الْـبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hadits yang beliau riwayatkan dari Rabb-nya Azza wa Jalla . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan”. (HR. al-Bukhâri dan Muslim).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla berfirman kepada para malaikat:

إِذَا أَرَادَ عَبْدِيْ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً؛ فَلَا تَكْتُبُوْهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَـا، فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا بِمِثْلِهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِـيْ فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ حَسَنَةً؛ فَإِذَا عَمِلَهَا فَاكْتُبُوْهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِـهَا إِلَى سَبْعِمِائَةٍ. (رواه البخارى)
Jika hamba-Ku berniat melakukan kesalahan, maka janganlah kalian menulis kesalahan itu sampai ia (benar-benar) mengerjakannya. Jika ia sudah mengerjakannya, maka tulislah sesuai dengan perbuatannya. Jika ia meninggalkan kesalahan tersebut karena Aku, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Jika ia ingin mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, tulislah sebagai kebaikan untuknya. Jika ia mengerjakan kebaikan tersebut, tulislah baginya sepuluh kali kebaikannya itu hingga tujuh ratus (kebaikan)”. (HR. Bukhari).

Berikut ini kusampaikan pula penjelasan Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 225 beserta tafsirnya (di sini kukutipkan pula penjelasan ayat sebelumnya, yaitu surat Al Baqarah ayat 224 beserta tafsirnya):

وَلَا تَجْعَلُواْ اللهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَــــٰــنِكُمْ أَن تَبَرُّواْ وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿٢٢٤﴾
“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqarah. 224).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Janganlah kamu jadikan Allah), artinya sewaktu bersumpah dengan-Nya (sebagai sasaran) atau penghalang (bagi sumpah-sumpahmu) yang mendorong kamu (untuk) tidak (berbuat baik dan bertakwa). Maka sumpah seperti itu tidak disukai, dan disunahkan untuk melanggarnya lalu membayar kafarat. Berbeda halnya dengan sumpah untuk berbuat kebaikan, maka itu termasuk taat (serta mendamaikan di antara manusia), maksud ayat, jangan kamu terhalang untuk membuat kebaikan yang disebutkan dan lain-lainnya itu jika terlanjur bersumpah, tetapi langgarlah dan bayarlah kafarat sumpah, karena yang menjadi asbabun nuzulnya ialah tidak mau melanggar sumpah yang telah diikrarkannya. (Dan Allah Maha Mendengar) ucapan-ucapanmu (lagi Maha Mengetahui) keadaan-keadaanmu”.

لَّا يُؤَاخِذُكُمُ اللهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَــــٰـنِكُمْ وَلَـــٰـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ ﴿٢٢٥﴾
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak kamu sengaja (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu karena niat yang terkandung oleh hatimu [tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu]. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”. (QS. Al Baqarah. 225).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Allah tidaklah menghukum kamu disebabkan sumpah kosong), artinya yang tidak dimaksud (dalam sumpah-sumpahmu) yakni yang terucap dari mulut tanpa sengaja untuk bersumpah, misalnya, "Tidak, demi Allah!" Atau "Benar, demi Allah!" Maka ini tidak ada dosanya serta tidak wajib kafarat. (Tetapi Allah akan menghukum kamu disebabkan sumpah yang disengaja oleh hatimu), artinya kamu sadari bahwa itu sumpah yang tidak boleh dilanggar. (Dan Allah Maha Pengampun) terhadap hal-hal yang tidak disengaja (lagi Maha Penyantun) hingga sudi menangguhkan hukuman terhadap orang yang akan menjalaninya”.

Saudaraku,
Ketiga Hadits di atas terkait dengan niat baik dan niat buruk secara umum. Berdasarkan hadits di atas, jika seseorang telah berniat untuk melakukan suatu amal kebajikan (niat dengan sungguh-sungguh/bertekad kuat yakni bersemangat ingin melakukan amalan tersebut, bukan hanya angan-angan yang jadi pudar tanpa ada tekad dan semangat) namun karena suatu hal akhirnya tidak jadi melakukannya, maka Allah tetap menuliskannya sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya. Sedangkan jika niatan tersebut kemudian bisa ditindaklanjuti dengan perbuatan (yaitu dengan mengerjakan niatan baik tersebut), maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang banyak.

Sebaliknya, jika seseorang telah berniat untuk melakukan suatu perbuatan buruk, maka hal ini masih belum dicatat sebagai satu keburukan di sisi-Nya sampai yang bersangkutan benar-benar menindaklanjuti niatan buruk tersebut dengan perbuatan (yaitu dengan mengerjakan niatan buruk tersebut).

Jika kemudian yang bersangkutan menindaklanjuti niatan buruk tersebut dengan perbuatan (yaitu dengan mengerjakan niatan buruk tersebut), maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan. Sedangkan jika yang bersangkutan kemudian meninggalkannya, yaitu dengan tidak mengerjakan niatan buruk tersebut karena Allah Ta’ala, maka Allah menuliskannya sebagai satu kebaikan.

Contoh: saat hendak tidur ba’da shalat ‘Isya’, seseorang telah bertekad untuk bangun malam karena hendak melaksanakan sholat malam. Namun apa dikata, dia telah tertidur lelap hingga baru terbangun saat Adzan Subuh berkumandang. Dalam hal ini, in sya Allah yang bersangkutan akan tetap dicatat oleh Allah sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya.

{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2 tulisan }

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞