بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Senin, 05 September 2022

MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA NON-MUSLIM


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat*) (teman sekolah di SMP 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, mau tanya. Zakat itu kalau dikasihkan kepada non-muslim yang tidak mampu, apa boleh?”.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa memberi bantuan kepada non-muslim**) dengan bantuan yang berasal dari dana zakat itu adalah perbuatan yang terlarang dalam Agama Islam (haram hukumnya), kecuali kepada muallafah qulubuhum ( وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ ). Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat At Taubah ayat 60 berikut ini:

إِنَّمَا الصَّدَقَــــٰتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَـــٰــكِينِ وَالْعَـــٰمِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَـــٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿٦٠﴾
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At Taubah. 60).

Saudaraku,
Berdasarkan ayat di atas, zakat itu hanya sah jika diberikan kepada pihak-pihak yang memang berhak untuk mendapatkan zakat (yang terdiri dari 8 golongan). Berikut ini penjelasan ke-8 golongan tersebut berdasarkan Kitab Tafsir Jalalain:

(Sesungguhnya zakat-zakat) zakat-zakat yang diberikan:
  (hanyalah untuk orang-orang fakir) yaitu mereka yang tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat mencukupi mereka.
  (orang-orang miskin) yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat mencukupi mereka.
  (pengurus-pengurus zakat) yaitu orang yang bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya, juru tulisnya, dan yang mengumpulkannya.
  (para mualaf yang dibujuk hatinya) supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum Muslimin. Mualaf itu bermacam-macam jenisnya; menurut pendapat Imam Syafii jenis mualaf yang pertama dan yang terakhir pada masa sekarang (zaman Imam Syafii) tidak berhak lagi untuk mendapatkan bagiannya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua jenis mualaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak untuk diberi bagian. Demikianlah menurut pendapat yang sahih.
  (dan untuk) memerdekakan (budak-budak) yakni para hamba sahaya yang berstatus mukatab.
  (orang-orang yang berutang) orang-orang yang mempunyai utang, dengan syarat bila ternyata utang mereka itu bukan untuk tujuan maksiat; atau mereka telah bertobat dari maksiat, hanya mereka tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya, atau diberikan kepada orang-orang yang sedang bersengketa demi untuk mendamaikan mereka, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.
  (untuk jalan Allah) yaitu orang-orang yang berjuang di jalan Allah tetapi tanpa ada yang membayarnya, sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.
  (dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan) yaitu yang kehabisan bekalnya.

   Lalu siapakah yang dimaksud dengan “muallaf qulubuhum” itu?

Untuk bisa memahami siapa yang dimaksud dengan “muallaf qulubuhum” itu, berikut ini kusampaikan Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy) serta Tafsir Ibnu Katsir.

Tafsir Jalalain:

Saudaraku,
Terkait ayat di atas, dalam Kitab Tafsir Jalalain diperoleh penjelasan sebagai berikut: “(Para mualaf yang dibujuk hatinya) supaya mau masuk Islam atau untuk memantapkan keislaman mereka, atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum Muslimin. Mualaf itu bermacam-macam jenisnya; menurut pendapat Imam Syafii jenis mualaf yang pertama dan yang terakhir pada masa sekarang (zaman Imam Syafii) tidak berhak lagi untuk mendapatkan bagiannya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan dua jenis mualaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak untuk diberi bagian. Demikianlah menurut pendapat yang sahih”.

Terkait ayat di atas, dalam Kitab Tafsir Jalalain juga diperoleh penjelasan sebagai berikut: “(sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan) lafal fariidhatan dinashabkan oleh fi'il yang keberadaannya diperkirakan (Allah; dan Allah Maha Mengetahui) makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) dalam penciptaan-Nya. Ayat ini menyatakan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang-orang selain mereka, dan tidak boleh pula mencegah zakat dari sebagian golongan di antara mereka bilamana golongan tersebut memang ada ...”. (Tafsir Jalalain surat At Taubah ayat 60).

Tafsir Ibnu Katsir:

Saudaraku,
Terkait ayat di atas, dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir diperoleh penjelasan sebagai berikut:

Adapun mengenai “muallafah qulubuhum” atau orang-orang yang dijinakkan hatinya untuk masuk Islam, mereka terdiri atas berbagai golongan. Antara lain ialah orang yang diberi agar mau masuk Islam, seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Safwan ibnu Umayyah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya bagian dari ganimah Perang Hunain, padahal Safwan ibnu Umayyah ikut dalam Perang Hunain dalam keadaan masih musyrik. Safwan ibnu Umayyah mengatakan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus memberiku”, sehingga beliau menjadi orang yang paling ia sukai, padahal sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling ia benci.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnu Musayyab, dari Safwan ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya bagian dalam Perang Hunain. Dan bahwa saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling tidak disukai olehnya. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus-menerus memberinya hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi orang yang paling dia sukai.

Imam Muslim dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Yunus, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama.

Di antara mereka ada orang yang diberi agar Islamnya bertambah baik dan imannya bertambah mantap dalam hatinya, seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Perang Hunain kepada sejumlah orang dari kalangan pemimpin-pemimpin dan orang-orang terhormat Mekah yang dibebaskan. Kepada setiap orang dari mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya seratus ekor unta. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ، مَخَافَةَ أَنْ يَكُبَّه اللهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya aku benar-benar memberi kepada seorang lelaki, padahal ada orang lain yang lebih aku sukai daripadanya, karena aku takut bila Allah menyeretnya dengan muka di bawah ke dalam neraka Jahannam”.

Di dalam kitab “Sahihain” disebutkan melalui Abu Sa'id, bahwa Ali r.a. mengirimkan bongkahan emas yang masih ada tanahnya dari negeri Yaman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi-bagikannya di antara empat orang, yaitu Al-Aqra' ibnu Habis, Uyaynah ibnu Badar, Alqamah ibnu Ilasah, dan Zaid Al-Khair, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَتَأَلَّفُهُمْ
“(Aku memberi mereka untuk) aku jinakkan hati mereka (kepada Islam)”.

Di antara mereka ada orang yang diberi dengan harapan agar orang-orang yang semisal dengannya mau masuk Islam pula. Dan di antara mereka terdapat orang yang diberi agar dia memungut zakat dari orang-orang yang berdekatan dengannya, atau agar dia mau membela negeri kaum muslim dari segala marabahaya yang datang dari perbatasan. Perincian keterangan mengenai hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.

Apakah kaum “muallafah qulubuhum” tetap diberi sesudah masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Hal ini masih diperselisihkan. Telah diriwayatkan dari Umar, Amir, Asy-Sya’bi. dan sejumlah ulama, bahwa mereka tidak pernah memberi kaum “muallafah qulubuhum” sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah telah menguatkan Islam dan para pemeluknya serta menjadikan mereka berkuasa penuh di negerinya dengan mantap dan stabil, serta semua hamba tunduk kepada mereka.

Ulama lainnya mengatakan: “Bahkan mereka masih tetap diberi, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap memberi mereka sesudah kemenangan atas Mekah dan sesudah kalahnya orang-orang Hawazin. Hal ini merupakan suatu perkara yang terkadang diperlukan, maka sebagian dari harta zakat diberikan kepada mereka yang masih dijinakkan hatinya untuk memeluk Islam”.

Kesimpulan

Saudaraku,
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bantuan kepada non-muslim dengan bantuan yang berasal dari dana zakat adalah perbuatan yang terlarang/haram hukumnya (kecuali kepada muallaf qulubuhum sebagaimana uraian di atas).

Hal ini berbeda jika bantuan kepada non-muslim tersebut berasal dari sedekah sunnah.

Sedekah sunnah diperbolehkan untuk diberikan kepada non-muslim sebagaimana pembolehan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Asma binti Abu Bakar untuk berbuat baik kepada ibunya yang masih musyrik dan mengatakan kepadanya: “Sambungkanlah ibumu”. Hal ini diperkuat lagi dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 serta dalam surat Al Insaan ayat 8 berikut ini:

لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـــٰــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah. 8).

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا ﴿٨﴾
Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al Insaan. 8)

Saudaraku,
Terkait surat Al Insaan ayat 8 di atas, dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir diperoleh penjelasan sebagai berikut:

Orang miskin dan anak yatim telah diterangkan definisi dan sifat-sifat keduanya. Adapun yang dimaksud dengan tawanan, maka menurut Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, dan Ad-Dahhak, maksudnya tawanan dari ahli kiblat.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa tawanan mereka pada masa itu adalah orang-orang musyrik. Hal ini diperkuat dengan adanya anjuran Rasulullah yang memerintahkan kepada para sahabatnya untuk memperlakukan para tawanan Perang Badar dengan perlakuan yang baik. Tersebutlah pula bahwa kaum muslim saat itu mendahulukan para tawanan untuk makan daripada diri mereka sendiri.

Ikrimah mengatakan bahwa mereka adalah budak-budak belian, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir, mengingat makna ayat umum menyangkut orang muslim dan juga orang musyrik. Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, dan Qatadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menganjurkan agar para budak diperlakukan dengan perlakuan yang baik. Hal ini ditegaskan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya melalui satu hadis saja, bahkan di akhir wasiat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:

﴿الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Peliharalah salat dan (perlakukanlah dengan baik) budak-budak yang dimiliki olehmu”.

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
*)  Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim yang kharismatik”.

**)  Sebenarnya dalam Al Qur’an, tidak dikenal istilah non-muslim (atau Bahasa Arab-nya: ghairu muslim). Dalam Al Qur’an, selain Islam itu kafir (termasuk mereka kaum Yahudi dan Nasrani). Ini prinsip akidah yang harus dipahami oleh setiap muslim. Cukup banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyatakan bahwa selain Islam itu kafir, termasuk mereka kaum Yahudi dan Nasrani. Dan karena mereka itu kafir (termasuk kaum Yahudi dan Nasrani) maka tempatnya adalah neraka Jahannam.

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَــــٰبِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَـــٰـلِدِينَ فِيهَا أُوْلَـــٰـــئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ ﴿٦﴾
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk”. (QS. Al Bayyinah. 6).

Sabtu, 03 September 2022

INGIN DIWALI-NIKAHKAN OLEH KAKAK KANDUNG LAKI-LAKI


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat*) telah menyampaikan pertanyaan via messenger dengan pertanyaan sebagai berikut: “Satu lagi boleh ya Pak Imron aku bertanya. Salahkah bila seorang anak perempuan diwali-nikahkan oleh kakak laki-lakinya? Karena dengan sebab bahwa bapak kandungnya (yang sudah bercerai dengan ibu kandungnya) tidak pernah menafkahi dan (tidak pernah) bertemu dengan anak perempuan tersebut. Sedang jika bapaknya menghendaki, bapaknya bisa saja menjumpai anak perempuan tersebut. Maaf Pak Imron, katakanlah si bapak tersebut dipengaruhi oleh istri barunya sehingga lupa akan anak perempuan tersebut. Bagaimana menurut Pak Imron? Mohon kajiannya Pak. Terimakasih”.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali. Demikian penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut ini:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR. At-Tirmidzi).

Dan ketahuilah pula bahwa yang berhak menikahkan seorang wanita adalah ayah kandung dari wanita tersebut. Siapapun tidak pernah punya hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalaupun dilakukan juga, maka pernikahan itu menjadi tidak sah. Tidak sah artinya jika pasangan tersebut nekad menikah juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan zina.

Sehingga siapapun (termasuk kakak kandung laki-lakinya) yang mengangkat diri menjadi wali tanpa adanya izin dari ayah kandung lalu menikahkannya, maka dia akan masuk neraka karena telah menghalalkan perzinaan yang secara nyata dilarang oleh agama.

Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan yang lainnya).

Lalu apakah kedudukan ayah kandung sebagai wali nikah tersebut tidak pernah tergantikan buat selama-lamanya?

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa ayah kandung itu tidak akan pernah tergantikan kedudukannya sebagai wali nikah hingga kapanpun, meski ayah kandung tersebut tidak pernah memberi nafkah sama sekali. Kecuali jika terdapat tiga hal berikut ini (posisi ayah kandung sebagai wali nikah bisa gugur jika terdapat tiga hal berikut ini):

   Adanya pemberian wewenang/hak perwalian
Apabila ayah kandung bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang (mewakilkan kepada orang lain), baik orang itu masih famili atau bukan, maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan dengan ketentuan orang tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah, yaitu: muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka.

   Tidak terpenuhinya syarat sebagai wali nikah
Bila syarat-syarat sebagai wali nikah (yaitu muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka) tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah hak ayah kandung sebagai wali nikah. Misalnya, seorang ayah kandung tidak beragama Islam (baik karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad), maka haknya sebagai wali nikah gugur dengan sendirinya. Atau misalnya ayah kandung menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat sebagai ‘aqil tidak terpenuhi sehingga gugurlah haknya untuk menjadi wali nikah.

   Dengan meninggalnya ayah kandung
Bila ayah kandung telah wafat, maka status ayah kandung sebagai wali nikah akan digantikan oleh orang lain (sesuai dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau ayah dari ayah dan seterusnya ke atas, 3. saudara laki-laki (kakak/adik) seayah dan seibu, 4. saudara laki-laki (kakak/adik) seayah saja, 5. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah.

Saudaraku menyampaikan bahwa anak perempuan tersebut ingin diwali-nikahkan oleh kakak laki-lakinya karena bapak kandungnya (yang sudah bercerai dengan ibu kandungnya) tidak pernah menafkahi dan tidak pernah bertemu dengan anak perempuan tersebut.

Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa tidak ada sedikitpun alasan untuk menggantikan status ayah kandungnya sebagai wali nikah karena perkara yang saudaraku sampaikan tersebut memang tidak bisa menggugurkan statusnya (satus bapak kandung) sebagai wali nikah.

Kalaupun dilakukan juga (yaitu jika pernikahan tetap dilaksanakan dengan wali nikah kakak kandung sedangkan masih ada ayah kandung padahal tidak ada satu perkarapun yang bisa menggugurkan haknya sebagai wali nikah), maka pernikahan menjadi tidak sah. Artinya jika pasangan tersebut nekad menikah juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan zina.

Lalu apakah ada dalil yang menyebutkan jika ada persengketaan antara anak dan bapak, maka pernikahan si anak ini boleh diwalikan oleh pihak yang lain?

Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa persengketaan antara anak dengan bapak karena sang bapak tidak pernah memberi nafkah kepadanya adalah sama sekali tidak bisa menggugurkan status ayah kandung sebagai wali nikah sehingga pernikahan si anak perempuan ini tidak boleh diwalikan oleh pihak lain, baik kakak kandung laki-laki maupun wali hakim.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak semua orang bisa menjadi wali nikah. Allah menghargai hubungan kekeluargaan/kekerabatan manusia. Oleh karena itu, keluarga lebih berhak untuk mengatur daripada orang lain yang bukan kerabat. Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat Al Anfaal pada bagian akhir ayat 75 berikut ini:

... وَأُوْلُواْ الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَــــٰبِ اللهِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
“... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Anfaal. 75).

Bagian dari hak “mengatur” tersebut adalah hak perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan calon mempelai wanita, dia lebih berhak untuk menjadi wali nikah bagi si wanita itu. Tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masih ada kerabat yang lebih dekat, karena hal semacam ini sama saja dengan merampas hak perwalian sehingga nikahnya menjadi tidak sah.

Saudaraku,
Terkait hal ini, ada satu hal yang harus kita perhatikan. Bahwa boleh saja anak perempuan tersebut tidak suka terhadap perbuatan bapak kandungnya, namun anak perempuan tersebut harus tetap berlaku adil kepadanya (kepada bapak kandungnya).

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian tengah ayat 2 berikut ini:

... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ ... ﴿٢﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). ...”. (QS. Al Maa-idah. 2).

Tafsir Ibnu Katsir: “... Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka. Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapapun. ...”.

Saudaraku,
Dari surat Al Maa-idah ayat 2 di atas, diperoleh penjelasan bahwa kebencian kaum muslimin kepada orang-orang yang dahulunya pernah menghalang-halangi kaum muslimin untuk sampai ke Masjidil Haram, tidak boleh mendorong kaum muslimin untuk melanggar hukum Allah terhadap mereka orang-orang yang menghalangi pelaksanaan agama tersebut hingga hal ini bisa menjadi sebab kaum muslimin mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Yang benar adalah bahwa kaum muslimin harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapapun.

Saudaraku,
Pesan keadilan di atas begitu pentingnya, sehingga ditegaskan kembali dalam surat yang sama (yakni surat Al Maa-idah) pada ayat 8 berikut ini:

... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maa-idah. 8).

Saudaraku,
Anak perempuan tersebut harus dapat mengambil pelajaran dari uraian di atas. Bahwa boleh saja anak perempuan tersebut tidak suka terhadap perbuatan bapak kandungnya yang tidak pernah menafkahi dan tidak pernah bertemu dengannya, namun sang anak harus tetap berlaku adil kepada ayahnya. Salah satu diantaranya adalah terkait haknya sebagai wali nikah bagi sang anak.

Saudaraku,
Tidak mau menikah dengan wali nikah bapak kandung tanpa alasan yang syar’i, hal ini sama saja dengan merampas hak perwaliannya. Dan jika ini yang dilakukan, maka itu artinya anak perempuan tersebut telah berlaku dzolim kepada ayahnya.

Oleh karena itu sampaikan kepada anak perempuan tersebut, bahwa jangan sampai ketidak-sukaannya kepada ayah kandungnya telah mendorongnya untuk melanggar hukum Allah.

Sampaikan kepada anak perempuan tersebut bahwa yang bersangkutan tidak perlu khawatir jika ayah kandungnya ternyata punya itikad buruk dengan bersikukuh untuk tidak merestui pernikahannya tanpa alasan yang jelas, setelah anak perempuan tersebut berupaya untuk berlaku adil kepada ayah kandungnya dengan memberikan haknya sebagai wali nikah.

Santai saja wahai saudaraku, karena Islam telah memberikan solusi jika sampai terjadi kemungkinan terburuk seperti ini. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو داود)   
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).

Saudaraku,
Berdasarkan hadits di atas, maka penguasa (dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau jika wali khusus/wali nasab (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada saat wali tidak mau menikahkan, maka harus dilihat dahulu alasannya apakah alasannya syar’i atau tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh agama, misalnya anak gadisnya sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (non-muslim), atau orang fasik (misalnya pezina atau pemabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya.

Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali (dalam hal ini adalah ayah kandungnya) wajib ditaati dan kewaliannya tidak bisa berpindah kepada pihak lain (baik kakak kandung laki-laki maupun wali hakim).

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya jelas tidak sah alias batil. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan ayah kandungnya, tidak berpindah kepada kakak kandung laki-laki maupun wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, sehingga nikahnya batil.

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR. At-Tirmidzi).

Namun adakalanya wali menolak menikahkan putrinya dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan oleh agama. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajahnya tidak rupawan, dan sebagainya. Termasuk jika penolakannya hanya dilandasi balas dendam dari wali nikah (ayah kandung) terkait masa lalu hingga beliau bersikukuh untuk tidak merestui pernikahan sang anak tanpa alasan yang jelas.

Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali yang seperti ini disebut wali ‘adhol. Makna ‘adhol adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya tanpa alasan yang syar’i, jika perempuan itu telah menuntut nikah.

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٢٣٢﴾
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah. 232).

Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya akan berpindah kepada wali hakim. Sehingga anak perempuan tersebut tidak perlu khawatir seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpanya setelah yang bersangkutan berupaya untuk berlaku adil kepada ayah kandungnya dengan memberikan haknya sebagai wali nikah. (Doaku: semoga hal seperti ini tidak sampai terjadi padanya. Amin, ya rabbal ‘alamin).

Dan seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpa anak perempuan tersebut dan yang bersangkutan berkeinginan untuk mendapatkan wali hakim, maka yang bersangkutan bisa datang ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon mempelai perempuan (anak perempuan tersebut) tinggal. Nantinya ada beberapa persyaratan serta serangkaian prosedur yang harus dilalui. Untuk lebih jelasnya, bisa ditanyakan langsung di KUA setempat.

   Menyikapi ayah kandung yang telah berlaku dholim

Saudaraku,
Tentunya sangat bisa dimaklumi jika kemudian timbul rasa benci sang anak kepada ayahnya jika sang ayah memang telah berperilaku buruk serta mengkhianatinya sehingga menimbulkan luka yang sangat dalam. Meskipun demikian, sebaiknya jangan terlalu berlebihan dalam membencinya. Silakan tidak suka (benci) kepada sang ayah, namun bencilah sekedarnya saja.

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أُرَاهُ رَفَعَهُ قَالَ أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا. (رواه الترمذى)
Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Suwaid bin Amr AI Kalbi menceritakan kepada kami, dari Hamad bin Salamah, dari Ayyub, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah – menurutku Abu Hurairah meriwayatkan hadits secara marfu' kepada rasul – ia (Abu Hurairah) berkata, "Cintailah orang yang kamu cintai sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu cintai." (HR. At-Tirmidzi).

Saudaraku,
Terlalu berlebihan dalam membenci sang ayah hanya akan menimbulkan kelelahan berpikir, stres, serta membuat pikiran kita dipenuhi kekesalan.

Daripada membenci yang terlalu berlebihan yang pasti akan sangat banyak menguras pikiran, tentunya akan lebih bermanfaat jika bisa melapangkan dada untuk memaafkannya. Semoga kelapangan dadanya dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat dilihat oleh Allah SWT. sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaannya kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَـــٰـدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤﴾
(14) “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
(15) “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ... ﴿١٦﴾
 (16) “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. ...”. (QS. At Taghaabun. 14 – 16).

Sedangkan jika luka itu memang teramat dalam sehingga sang anak sudah tidak mampu lagi untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa ini menjadi tenang.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS. Al Fajr. 27 – 28).

Sekali lagi kusampaikan, bahwa jika luka itu memang teramat dalam sehingga anak perempuan tersebut sudah tidak mampu lagi untuk memaafkan kesalahan ayahnya, maka kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa ini menjadi tenang. Yakinlah, bahwa Allah SWT. pasti akan memberikan keputusan yang terbaik diantara kita semua. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana, sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Al An’aam ayat 18:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾
”Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam. 18).

Sedangkan Allah tidak akan pernah menyalahi janji-Nya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ar Ruum ayat 6:

... لَا يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَـــٰـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
“... Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum. 6).

Saudaraku,
Sampaikan kepada anak perempuan tersebut bahwa dia tidak perlu galau menghadapi situasi yang benar-benar sulit seperti ini. Karena masih ada Allah SWT., yang kepada-Nya kita bisa mengadukan segala kesusahan/kesedihan serta semua permasalahan hidup ini.

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴿٨٦﴾
Ya`qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf. 86).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
*)  Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim yang kharismatik”.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞