بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Rabu, 05 September 2018

TENTANG SEPUTAR SHOLAT SUNNAH FAJAR (II)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (staf pengajar/dosen di Jambi)  telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Afwan, mau tanya. Apakah sholat sunnah qabliyah subuh harus diantara adzan dan iqomat saja? Bagaimana kalau sholat di rumah? Saudara saya perempuan, masih punya anak kecil jadi sholat selalu di rumah, dengar adzan tapi jarang dengar iqomat dari masjid. Bagaimana sholat sunnah qabliyah subuhnya? Masih bisakah walau sholat subuh tidak pas di awal waktu?”.

Saudaraku,
Agar lebih mudah dalam pembahasannya, pesan/pertanyaan yang telah saudaraku sampaikan tersebut aku bagi menjadi 3 bagian, yaitu: (1) Apakah sholat sunnah qabliyah subuh harus diantara adzan dan iqomat saja? (2) Bagaimana kalau sholat sunnah fajar dilaksanakan di rumah? (3) Saudara saya perempuan, masih punya anak kecil jadi sholat selalu di rumah, dengar adzan tapi jarang dengar iqomat dari masjid. Bagaimana sholat sunnah qabliyah subuhnya? Masih bisakah walau sholat subuh tidak pas di awal waktu?

1.  Apakah sholat sunnah qabliyah subuh harus di antara adzan dan iqomat saja?

Saudaraku,
Sholat sunnah fajar itu sama dengan sholat sunnah qabliyah subuh. Jadi pelaksanaannya setelah masuk waktu sholat subuh dan dilaksanakan sebelum pelaksanaan sholat subuh.

Sedangkan batas awal masuknya waktu sholat subuh (yaitu waktu mulai diperbolehkannya melaksanakan sholat subuh) adalah pada saat terbit fajar dan batas akhir waktu sholat subuh adalah sebelum matahari terbit, sebagaimana telah dibahas dalam artikel “Tentang Seputar Sholat Sunnah Fajar (I)”.

Nah karena pelaksanaannya setelah masuk waktu sholat subuh dan dilaksanakan sebelum pelaksanaan sholat subuh, maka bagi ibu-ibu yang melaksanakan sholat subuh di rumah (tidak di masjid), tentu saja pelaksanaan sholat sunnah qabliyah subuh tidak harus berada di antara adzan dan iqomat saja, namun bisa kapan saja asalkan sudah masuk waktu sholat subuh dan dilaksanakan sebelum pelaksanaan sholat subuh.

2.  Bagaimana kalau sholat sunnah fajar dilaksanakan di rumah?

Saudaraku,
Justru hal inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melaksanakan shalat-shalat sunnah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat sunnah di rumah dan memerintahkan agar rumah kita diisi dengan ibadah shalat.

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Musadad berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya dari 'Ubaidullah bin 'Umar berkata, telah mengabarkan kepadaku Nafi' dari Ibnu 'Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jadikanlah shalat (sunnah) kalian ada di rumah kalian, dan jangan kalian jadikan ia sebagai kuburan”. (HR. Bukhari).

Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَفْضَلُ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
“Sebaik-baik shalat seseorang adalah shalat di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari dan Ahmad, dengan lafazh Ahmad).

Saudaraku,
Dari dua hadits di atas, diperoleh penjelasan bahwa melakukan shalat sunnah di rumah merupakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk didalamnya sholat sunnah qabliyah subuh. Namun jika dikhawatirkan akan ketinggalan shalat berjama’ah subuh di masjid atau terluput dari mendapatkan shaf pertama, tentunya tidak mengapa jika dilaksanakan di masjid.

3.  Saudara saya perempuan, masih punya anak kecil jadi sholat selalu di rumah, dengar adzan tapi jarang dengar iqomat dari masjid. Bagaimana sholat sunnah qabliyah subuhnya? Masih bisakah walau sholat subuh tidak pas di awal waktu?

Saudaraku,
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi ibu-ibu yang melaksanakan sholat subuh di rumah (tidak di masjid), tentu saja pelaksanaan sholat sunnah qabliyah subuh bisa kapan saja asalkan sudah masuk waktu sholat subuh dan dilaksanakan sebelum pelaksanaan sholat subuh.

Tidak masalah jika sholat subuhnya tidak pas di awal waktu. Yang penting pelaksanaan sholat subuhnya tidak sampai terlambat (sholat subuh sudah dilaksanakan ketika matahari belum terbit atau ketika rakaat pertama shalat subuh telah selesai kemudian matahari baru terbit), sedangkan sholat sunnah qabliyah subuhnya sudah dilaksanakan sebelum pelaksanaan sholat subuh.

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

{Tulisan ke-2 dari 2 tulisan}

Senin, 03 September 2018

TENTANG SEPUTAR SHOLAT SUNNAH FAJAR (I)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (muallafah/teman sekolah di SMPN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, boleh saya tanya? Saya (seorang) muallaf sehingga ilmu saya tentang agama (Islam) sangat minim. Beberapa kali saya mendapat ilmu bahwa sholat fajar pahalanya besar sekali. Yang saya tanyakan, sholat fajar (itu) dilakukan sebelum waktu subuh? Maksudnya sebelum kita melaksanakan sholat subuh (terkadang saya terlambat melaksanakan sholat subuh) apa sebelum waktu subuh? Kalau kita melaksanakan sholat subuh jam 5, apa boleh itu kita melaksanakan sholat fajar? Maturnuwun”.

Saudaraku,
Sholat sunnah fajar itu sama dengan sholat sunnah qabliyah subuh. Jadi pelaksanaannya setelah masuk waktu sholat subuh dan dilaksanakan sebelum pelaksanaan shalat subuh (bukan sebelum waktu subuh).

Saudaraku mengatakan: “Terkadang saya terlambat melaksanakan sholat subuh”.

Benarkah bahwa terkadang saudaraku terlambat melaksanakan sholat subuh? Untuk memastikan hal ini, maka kita harus mengetahui tentang batas awal dan batas akhir waktu shalat subuh.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya batas awal masuknya waktu sholat subuh (yaitu waktu mulai diperbolehkannya melaksanakan sholat subuh) adalah pada saat terbit fajar. Sedangkan batas akhir waktu sholat subuh adalah sebelum matahari terbit.

Terkait batas awal masuknya waktu sholat subuh (yaitu waktu mulai diperbolehkannya melaksanakan sholat subuh), perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَصْبِحُوا بِالصُّبْحِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ أَوْ لِأَجْرِكُمْ. (رواه ابن ماجه)
Dari Rafi' bin Khadij, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Kerjakanlah shalat Subuh pada saat terbit fajar, karena sesungguhnya saat itu besar pahalanya, atau besar pahalanya bagimu." (HR. Ibnu Majah(.   

Fajar yang dimaksud dalam hadits di atas sebagai awal masuknya waktu subuh adalah fajar shodiq (fajar yang benar), bukan fajar kadzib (fajar bohong). Dalam sebuah hadits yang diriwayat oleh Imam Tirmidzi dari Samuroh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَمْنَعَنَّكُمْ مِنْ سُحُورِكُمْ أَذَانُ بِلَالٍ وَلَا الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيلُ وَلَكِنْ الْفَجْرُ الْمُسْتَطِيرُ فِي الْأُفُقِ. (رواه الترمذى)  
Artinya: “Janganlah sekali-kali adzan Bilal dan fajar yang melintang pada cakrawala mencegah kamu dari sahurmu”. (HR. At-Tirmidzi).

Hadis ini terkait dengan fajar kadzib. Di mana pada zaman Nabi, biasa dilakukan adzan dinihari sebanyak dua kali. Adzan pertama pada saat fajar kadzib untuk membangunkan orang agar siap-siap; sedangkan adzan kedua pada saat munculnya fajar shodiq yakni saat masuknya awal waktu subuh.

Sedangkan terkait batas akhir waktu sholat subuh, perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i berikut ini:

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَزْدِيَّ يُحَدِّثُ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ شُعْبَةُ كَانَ قَتَادَةُ يَرْفَعُهُ أَحْيَانًا وَأَحْيَانًا لَا يَرْفَعُهُ قَالَ وَقْتُ صَلَاةِ الظُّهْرِ مَا لَمْ تَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَسْقُطْ ثَوْرُ الشَّفَقِ وَوَقْتُ الْعِشَاءِ مَا لَمْ يَنْتَصِفْ اللَّيْلُ وَوَقْتُ الصُّبْحِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ
Telah mengabarkan kepada kami Amr bin Ali dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu Daud Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Qatadah dia berkata; Saya mendengar Abu Ayyub Al Azdi berkata; dari Abdullah bin Amru -Syu'bah bertutur; Qatadah kadang menyandarkannya kepada Nabi Shallallahu'alaihi wasallam, dan kadang juga tidak- dia berkata; "Waktu shalat Zhuhur adalah sebelum datangya Ashar. Dan waktu shalat Ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu shalat Maghrib adalah selagi mega merah belum hilang, waktu shalat Isya' adalah selama malam belum lewat setengahnya, dan waktu shalat Subuh adalah sebelum matahari terbit." (HR. An-Nasa’i).

Saudaraku,
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini, diperoleh penjelasan bahwa bagi siapa saja yang shalat subuh satu rakaat sebelum terbitnya matahari, maka ia dianggap tidak ketinggalan shalat subuh. Yang dimaksudkan di sini adalah ketika seseorang setelah menyelesaikan rakaat pertama shalat subuh kemudian matahari baru terbit, maka ia dianggap tidak ketinggalan shalat subuh.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَعَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ وَعَنْ الْأَعْرَجِ يُحَدِّثُونَهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ مِنْ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar, dan dari Busr bin Sa'id, dan dari Al A'raj mereka semua menceritakan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat subuh sebelum terbit matahari berarti dia mendapatkan subuh. Dan siapa yang mendapatkan satu rakaat dari shalat 'Ashar sebelum terbenam matahari berarti dia telah mendapatkan 'Ashar." (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَدْرَكَ أَحَدُكُمْ سَجْدَةً مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلَاتَهُ وَإِذَا أَدْرَكَ سَجْدَةً مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلَاتَهُ. (رواه البخارى) 
Telah menceritakan kepada kami Abu An Nu'aim berkata, telah menceritakan kepada kami Syaiban dari Yahya bin Abu Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika seeorang dari kalian mendapatkan sujud shalat 'Ashar sebelum terbenam matahari maka sempurnakanlah, dan jika mendapatkan sujud shalat Subuh sebelum terbit matahari maka sempurnakanlah." (HR. Bukhari).

Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan, bahwa dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari di atas, diperoleh penjelasan bahwa bagi siapa saja yang shalat subuh satu rakaat sebelum terbitnya matahari, maka ia dianggap tidak ketinggalan shalat subuh. Yang dimaksudkan di sini adalah ketika seseorang setelah menyelesaikan rakaat pertama shalat subuh kemudian matahari terbit, maka ia dianggap tidak ketinggalan shalat subuh. Dianggap tidak ketinggalan shalat subuh, artinya yang bersangkutan dinilai telah melaksanakan sholat subuh pada waktunya (tidak terlambat).

Sehingga ketika saudaraku melaksanakan sholat subuh pada jam 5 pagi, hal ini tidak bisa dikatakan terlambat dalam melaksanakan sholat subuh jika pada saat itu matahari memang belum terbit, atau ketika saudaraku setelah menyelesaikan rakaat pertama shalat subuh, kemudian matahari baru terbit.

Saudaraku bertanya: “Kalau kita melaksanakan sholat subuh jam 5, apa boleh itu kita melaksanakan sholat fajar?”.

Boleh, wahai saudaraku. Yang penting sholat sunnah fajar tersebut dilakukan sebelum melakukan sholat subuh.

Penjelasan Tambahan

Berikut ini kusampaikan penjelasan dua buah hadits dari A’isyah radhiyallahu ‘anha tentang keutamaan sholat sunah fajar:

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
”Dua rakaat fajar, lebih baik dari pada dunia seisinya.” (HR. Muslim 725, Nasai 1759, Turmudzi 416, dan yang lainnya).

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan:

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنَ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيِ الفَجْرِ
Tidak ada shalat sunah yang lebih diperhatikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada dua rakaat fajar. (HR. Bukhari).

Sebagian orang kebingungan antara shalat fajar dengan shalat qabliyah subuh, sehingga ada yang melaksanakan dua kali. Shalat fajar dilakukan sebelum adzan subuh, kemudian shalat qabliyah subuh dilakukan setelah adzan subuh. Ini adalah pemahaman yang tidak benar, karena shalat fajar adalah shalat qabliyah subuh (sholat fajar itu sama dengan sholat sunnah qabliyah subuh). Shalat ini dinamakan shalat fajar, karena shalat ini dilaksanakan tepat setelah terbit fajar, sebelum pelaksanaan shalat subuh.

A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَدَعُ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ
”Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum dzuhur dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. Bukhari, An Nasa’i, dan yang lainnya).

Cerita A’isyah ini menunjukkan bahwa shalat sunah yang dimotivasi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau rutinkan adalah shalat sunah qabliyah subuh. (Wallahu ta’ala a’lam).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Tanggapan beliau: “Maturnuwun sanget Pak Imron, akhirnya sekarang saya paham tentang pelaksanaan sholat fajar. Semoga tambahan ilmu ini bisa semakin meningkatkan keimanan dan ketaqwaan saya. Aamiin”.

Semoga bermanfaat.

{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2 tulisan }

Sabtu, 01 September 2018

APAKAH DO’A SEORANG MUSLIM SAMPAI KE NON-MUSLIM?



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang sahabat (teman sekolah di SMAN 1 Blitar) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Mas Imron tolong dijelaskan, apakah do’a seorang muslim nyampai ke non-muslim? Misal ada non-muslim meninggal kita ucapkan innaa lillaahi... dst. plus semoga khusnul khotimah. Jazaakallaah”.

Saudaraku,
Pada dasarnya kita kaum muslimin tidak dilarang untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang non-muslim yang tiada memerangi kita karena agama dan tidak pula mengusir kita dari negeri kita (non-muslim yang bersikap baik kepada kita). Demikian penjelasan Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat 8:

لَا يَنْهَـــٰــكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَـــٰــتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَــــٰـــرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah. 8).

Saudaraku,
Dalam konteks hubungan sosial-kemasyarakatan, pergaulan dengan non-muslim tidaklah dilarang dalam agama Islam, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Mumtahanah tersebut (termasuk menghadiri prosesi pemakaman mereka yang non muslim).

Sedangkan terkait permohonan do’a yang ingin disampaikan kepada non-muslim, tentunya kita harus lebih berhati-hati. Tidak sembarang do’a boleh kita sampaikan kepada non-mulim. Terhadap mereka yang non-muslim, sebaiknya kita do’akan agar mereka mendapat hidayah sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Beliau pernah berdo’a agar Allah SWT. memberi hidayah kepada salah seorang dari dua lelaki, yaitu Abu Jahal atau Umar bin Al-Khattab.

اللّٰهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ بِأَحَبِّ هَذَيْنِ الرَّجُلَيْنِ إِلَيْكَ بِأَبِي جَهْلٍ أَوْ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
Ya, Allah! Muliakanlah Islam dengan salah satu di antara dua lelaki yang paling Engkau sukai, (yaitu) dengan Abu Jahl atau dengan Umar bin Khaththab. (HR. Ahmad, Tirmidzi).

Namun do’a sebagaimana uraian di atas, hanya bisa kita sampaikan kepada non-muslim yang masih hidup. Karena hanya bagi mereka yang masih hidup saja, yang peluangnya untuk mendapatkan hidayah masih terbuka. Sedangkan bagi mereka yang telah wafat dalam keadaan tidak beriman, maka pintu taubat telah tertutup bagi mereka sehingga mereka akan tetap dalam kekafiran untuk selama-lamanya. (Na’udzubillahi mindzalika!).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدَ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ. (رواه الترمذى)   
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan menerima taubat seorang hamba selama ruhnya belum sampai di tenggorokan.” (HR. At-Tirmidzi).

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْئَـــٰنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـــٰـــئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا ﴿١٨﴾
”Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: "Sesungguhnya saya bertaubat sekarang" Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih”. (QS. An Nisaa’. 18).

Dengan demikian sudah tidak ada lagi do’a yang bisa kita sampaikan kepada non-muslim yang telah wafat. Adapun mendo’akannya dengan mengatakan: “al marhum” (artinya yang dirahmati) atau ”dia telah berpulang ke rahmat Allah”, maka hal ini tidaklah dibenarkan karena rahmat Allah hanya Allah khususkan bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya. Begitu pula mendo’akan agar yang bersangkutan mendapat ampunan dari Allah SWT.

Saudaraku,
Kita kaum muslimin tidak diperkenankan untuk berdo’a memohonkan ampun kepada Allah bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat kita (apalagi hanya teman kita). Hal ini berdasarkan penjelasan Al Qur’an dalam surat At Taubah ayat 113 berikut ini:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَـــٰبُ الْجَحِيمِ ﴿١١٣﴾
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam”. (QS. At Taubah. 113).

Sedangkan terkait ucapan “innaa lillaahi”, itu adalah kalimat istirja’ yang mana ucapan/kalimat selengkapnya adalah: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”, yang artinya adalah: “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami kembali”.

Saudaraku,
Jika ada orang non-muslim meninggal, kita boleh saja mengucapkan kalimat istirja' tersebut, karena inti dari kalimat istirja’ adalah bahwa kita semua milik Allah (baik yang muslim maupun yang non muslim) dan akan kembali kepada-Nya.

Hanya saja tidak boleh kita do’akan dengan do’a seperti: semoga tenang di sisi-Nya, semoga diampuni dan mendapat tempat tertinggi, semoga dirahmati Allah, dst. Kita tidak boleh mendo’akan dengan do’a semacam ini, yaitu do’a diampuni, do’a mendapat ketenangan dan sebagainya (sebagaimana sudah dijelaskan pada uraian di atas).

Saudaraku bertanya: “Apakah do’a seorang muslim nyampai ke non-muslim?”.

Saudaraku,
Do’a seorang muslim kepada non-muslim yang sudah wafat, sudah pasti tidak akan pernah sampai, artinya sudah pasti akan ditolak oleh Allah SWT. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:

و حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى التُّجِيبِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا حَضَرَتْ أَبَا طَالِبٍ الْوَفَاةُ جَاءَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ عِنْدَهُ أَبَا جَهْلٍ وَعَبْدَ اللهِ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ كَلِمَةً أَشْهَدُ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللهِ فَقَالَ أَبُو جَهْلٍ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ يَا أَبَا طَالِبٍ أَتَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَلْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْرِضُهَا عَلَيْهِ وَيُعِيدُ لَهُ تِلْكَ الْمَقَالَةَ حَتَّى قَالَ أَبُو طَالِبٍ آخِرَ مَا كَلَّمَهُمْ هُوَ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ وَأَبَى أَنْ يَقُولَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَاللهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْكَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ { مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ } وَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى فِي أَبِي طَالِبٍ فَقَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ }. ... (رواه مسلم)
Dan telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya at-Tujibi telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Wahb dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Said bin al-Musayyab dari bapaknya dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menziarahi Abu Thalib di saat-saat dirinya tengah menghadapi sakaratul maut. Beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umaiyyah bin al-Mughirah turut berada di sana.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Paman! Ucaplah Dua Kalimah Syahadat, aku akan menjadi saksi kamu di hadapan Allah”. Lalu Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayyah mencelah: “Wahai Abu Thalib, sanggupkah kamu meninggalkan agama Abdul Muththalib?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak berputus asa, malah tetap mengajarnya mengucap Dua Kalimah Syahadat serta berkali-kali mengulanginya. Sehingga Abu Thalib menjawab sebagai ucapan terakhir kepada mereka, bahwa dia tetap bersama dengan agama Abdul Muththalib, dan enggan mengucapkan Kalimah Syahadat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: “Demi Allah, aku akan mohonkan ampunan dari Allah untukmu”, sehingga Allah menurunkan ayat:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَىٰ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَـــٰبُ الْجَحِيمِ ﴿١١٣﴾
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahannam”. (QS. At Taubah. 113).

Lalu Allah menurunkan firman-Nya berkenaan dengan peristiwa Abu Thalib:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَــٰـكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿٥٦﴾
“Sesungguhnya kamu (hai Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS.  Al Qashash. 56). ... (HR. Muslim).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞