بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Minggu, 05 Mei 2019

BERSEDEKAH ATAS NAMA AYAH YANG SUDAH WAFAT



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (staf pengajar/dosen sebuah universitas negeri terkemuka di Padang, Sumatera Barat) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Maaf Pak Imron, saya mau bertanya sedikit mengenai masalah sedekah. Apakah ada pahalanya jika kita bersedekah dengan mengatas-namakan ayah yang sudah wafat, Pak? Almarhum kan ada pensiunnya, jadi kan diterima sama ibu. Terus mau bersedekah memakai uang pensiun tersebut. Terimakasih sebelumnya ya Pak Imron”.

Saudaraku,
Pada dasarnya semua ibadah/semua perkara yang menjadi kewajiban kita itu, harus kita sendiri yang melaksanakannya, khususnya jika tidak menyangkut hak orang lain. Harus kita sendiri yang melaksanakannya, artinya tidak bisa diwakilkan/tidak bisa diwakili oleh orang lain/tidak bisa dikerjakan oleh orang lain. Salah satu contohnya adalah shalat wajib lima waktu.

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَـــٰبِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al ’Ankabuut. 45)

Saudaraku,
Sholat wajib lima waktu adalah salah satu kewajiban yang mutlak harus dilaksanakan sendiri oleh seorang muslim dan tidak boleh diwakilkan kepada siapapun. Dan karena tidak bisa diwakilkan kepada siapapun, maka sholat wajib lima waktu harus dikerjakan sendiri, semaksimal yang bisa dilakukannya/sampai batas maksimal yang bisa dikerjakannya. Artinya jika masih mampu melaksanakannya dengan berdiri, maka harus melaksanakannya dengan berdiri. Namun jika tidak mampu, boleh melaksanakannya dengan duduk. Jika dengan dudukpun tetap tidak mampu, maka boleh dengan berbaring. Dan jika dengan berbaringpun tetap tidak mampu juga, maka boleh melaksanakannya dengan isyarat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. (رواه البخارى)
“Shalatlah engkau dalam keadaan berdiri. Jika tidak bisa, duduklah. Jika tidak mampu juga, shalatlah dalam keadaan berbaring.” (HR. al-Bukhari)

Terakhir, jika dengan isyaratpun sudah tidak mampu lagi (artinya yang bersangkutan sudah wafat), maka yang bersangkutan akan disholatkan. (Wallahu a'lam).

Meskipun demikian, ada beberapa pengecualiannya. Karena sebagian diantaranya (khususnya yang menyangkut hak orang lain) bisa diwakilkan/bisa diwakili oleh orang lain/bisa dikerjakan oleh orang lain. Artinya ada sebagian dari kewajiban kita yang apabila telah diwakilkan/telah dikerjakan/telah dilaksanakan oleh orang lain, maka gugurlah kewajiban kita atasnya.

Contoh: ketika kita mempunyai hutang kepada seseorang, maka kita wajib untuk mengembalikannya. Namun, jika ada saudara kita yang lain yang telah mengembalikan hutang kita tersebut (baik sepengetahuan kita maupun tanpa sepengetahuan kita), maka gugurlah kewajiban kita untuk mengembalikan hutang tersebut. Artinya kita sudah tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan hutang tersebut, karena sudah dikembalikan/sudah dibayar oleh orang lain (baik sepengetahuan kita maupun tanpa sepengetahuan kita).

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu Hurairahradliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, maka barangsiapa meninggal sedang ia mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasinya, kewajiban kamilah untuk melunasinya, dan barangsiapa meninggalkan harta, maka itu bagi ahli warisnya." (HR. Bukhari).

Contoh yang lainnya adalah kewajiban orang tua untuk membimbing anak-anaknya. Jika orang tua tidak mampu untuk melaksanakannya sendiri, maka hal ini bisa diwakilkan kepada orang lain. Misalnya: diserahkan kepada pondok pesantren/lembaga pendidikan lainnya untuk dibina oleh para ulama’/para guru di sana dengan harapan agar anak-anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang sholeh/sholihah.

Bersedekah Dengan Mengatas-namakan Ayah Yang Sudah Wafat

Saudaraku,
Terkait masalah yang saudaraku tanyakan di atas yaitu tentang bersedekah dengan mengatas-namakan ayah yang sudah wafat (atau atas nama ibu/atas nama kedua orang tua yang sudah wafat), maka in sya Allah pahalanya akan sampai kepada ayah/ibu/keduanya.

Anak merupakan hasil usaha kedua orang tuanya

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa jika ada pertanyaan: “Dari mana kita mengenal Islam dan memeluk Agama Islam?”. Tentunya kebanyakan di antara kita akan mengatakan bahwa jawabannya adalah dari orang tua kita (kecuali saudara kita yang muallaf). Nah berawal dari sinilah, akhirnya kita bisa mengetahui apa yang namanya sholat, zakat, puasa, haji, dst.

Jika kemudian hal-hal ini kita tindak-lanjuti dengan perbuatan/kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka orang tua kita juga akan mendapatkan imbalan (pahala) dari Allah sama seperti pahala yang Allah berikan kepada kita, tanpa mengurangi pahala kita sedikitpun. Mengapa demikian? Karena berawal dari orang tua kitalah, kita mengenal Islam dan mendapatkan petunjuk. Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ مِن أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا. (رواه مسلم) 
“Barangsiapa menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru (mengajak) kepada kesesatan, atasnya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi demikian itu dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim).

Saudaraku,
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas, diperoleh penjelasan bahwa setiap kali kita melakukan ibadah (termasuk saat bersedekah), maka kedua orang tua kita juga akan diberi pahala oleh Allah dengan pahala yang sama dengan pahala yang Allah berikan kepada kita tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang kita peroleh dari ibadah yang kita lakukan tersebut. (Wallahu a'lam).

Sebagai tambahan, perhatikan pula penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim berikut ini:

Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya sebaik-baik apa yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya. (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

Manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya

Saudaraku,
Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 – 41 berikut ini:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَىٰهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
(39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (40) Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (41) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, (QS. An Najm. 39 – 41).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): (39) (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang sesungguhnya itu ialah (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia tidak akan memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang lain. (40) (Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di akhirat. (41) (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna") pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata, Jazaituhu Sa'yahu atau Bisa'yihi, artinya, "Aku memberikan balasan terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya." Dengan kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi'il Muta'addi atau Fi'il Lazim. (QS. An Najm. 39 – 41).

Sedangkan dalam tiga buah hadits di bawah ini, diperoleh penjelasan sebagai berikut:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu, maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq 'Alaih).

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا فَقَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu: Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dunia, apakah berguna jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Iya" Laki-laki tersebut berkata, "Aku mempunyai sebuah kebun yang sedang berbuah dan aku ingin engkau menyaksikan bahwa aku telah menyedekahkan kebun tersebut untuk ibuku." (Shahih: Bukhari)

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Berikut ini aku kutibkan keterangan yang terdapat dalam Kitab Shahih Sunan Tirmdizi:

Abu Isa berkata: “Hadits ini hasan”. Dalam masalah ini para ‘ulama’ mempunyai pendapat: “Tidak ada sesuatu yang sampai kepada orang yang telah meninggal dunia kecuali sedekah dan doa”. Sebagian ‘ulama’ meriwayatkan hadits ini dari Amr bin Dinar, dari Ikrimah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal*. Ia berkata: “Makna makhrafan adalah kebun”.

Saudaraku,
Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa sedekah dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah keduanya wafat meski tanpa adanya wasiat dari keduanya, dan pahalanya-pun akan sampai kepada kedua-nya.

Hal ini mengandung arti bahwa ke-umum-an firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 berikut ini, dikhususkan oleh ketiga hadits di atas.

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS. An Najm. 39).

Sekali lagi, hal ini mengandung arti bahwa ke-umum-an firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 tersebut, dikhususkan oleh ketiga hadits di atas. Maksudnya adalah bahwa seorang manusia itu tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya, kecuali sedekah dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah keduanya wafat meski tanpa adanya wasiat dari keduanya. (Wallahu a'lam)**.

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku***.

Tanggapan seorang kyai sepuh di Kota Blitar (usia beliau 80-an tahun dan masih sehat wal afiat): “Mas Imron, semua apa yang kamu tulis kaitannya dengan shodaqoh dimaksud itu cukup bagus bahkan begitu luas dan saya sendiri sejalan seperti itu karena dasar-dasar yang kita pegangi dan sebenarnya masalah ini kan masalah klasik tetapi selalu up to date walau sering dijawab pasti muncul kembali dilain waktu”.

Semoga bermanfaat.

NB.
*)  Hadits mursal adalah hadits yang di akhir sanad yaitu di atas tabi’in terputus.
**) Jawaban di atas kusarikan dari kajian-kajian yang diberikan oleh guru-guru ngajiku, baik di Al Falah maupun yang lainnya (jadi bukan pendapatku pribadi). Biasanya saat mengikuti kajian, saya senang mencatat hal-hal penting + dalil-dalil yang mendasarinya.
***) Ada pula yang berpendapat bahwa sedekah seseorang (meskipun bukan anaknya) atas nama orang lain (meskipun bukan orang tuanya) yang sudah wafat itu akan sampai tanpa adanya wasiat dari orang yang sudah wafat tersebut (Wallahu a'lam).

Jumat, 03 Mei 2019

DIKALA SUAMI TAK TERIMA GUGATAN CERAI DARI ISTERI (II)



Assalamu’alaikum wr. wb.

Berikut ini kelanjutan dari artikelDikala Suami Tak Terima Gugatan Cerai Dari Isteri (I)”

Tanggapan beliau:
Inggih maturnuwun Pak Imron, atas atensi dan pencerahannya. Sebetulnya masalah (yang saya hadapi) bukan hanya soal statement mantan (suami) tentang perceraian kami (saja), (namun) juga masalah anak. Hingga kini karena hubungan belum baik, soal anak saya juga harus sabar. Saya bisa menemui (anak-anak) di sekolah kalau sekiranya aman (saat) tidak ada ayahnya.

Lebaran, Ramadhan, mau(pun) liburan, tidak ada kesempatan saya bersama anak. Jangan dikira (saya) tidak berusaha mengambil atau mengajak anak, tapi semua memang sulit situasinya dan saya mengalah.

Apalagi saya pergi (dari rumah) dan hanya tinggal di tempat kost. Orang tua sudah meninggal dan saya belum bisa memberi tempat berteduh yang nyaman dan permanen buat anak-anak. Jadi saya (hanya) pasrah saja.

Kalau hingga saat ini anak dijadikan bagian alat intimidasi mantan suami pada saya, saya nrimo saja. Pasrah dan tawakal hanya pada Allah ‘Azza Wa Jalla.

Tanggapan

Saudaraku yang dicintai Allah,
Membaca pesan yang saudaraku sampaikan di atas, seolah tak percaya akan kesabaran dan ketabahan saudaraku dalam menghadapi cobaan yang teramat berat ini. Semoga kesabaran dan ketabahan saudaraku tersebut, dilihat oleh Allah SWT. sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin!

Saudaraku,
Dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 2 – 3, diperoleh penjelasan bahwa tidaklah seseorang itu menyatakan telah beriman, kecuali akan Allah berikan ujian kepadanya sehingga bisa dibedakan antara orang-orang yang benar dalam keimanan mereka dengan orang-orang yang dusta dalam keimanannya (dan Allah adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui).

أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴿٣﴾
(2) Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (3) Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. Al ‘Ankabuut. 2 – 3).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

(2) (Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan) mengenai ucapan mereka yang mengatakan, ("Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi?) diuji lebih dulu dengan hal-hal yang akan menampakkan hakikat keimanan mereka. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang masuk Islam, kemudian mereka disiksa oleh orang-orang musyrik.
(3) (Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar) di dalam keimanan mereka dengan pengetahuan yang menyaksikan (dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta) di dalam keimanannya. (QS. Al ‘Ankabuut. 2 – 3).

Bahkan beragam ujian juga menimpa para nabi dan rasul, orang-orang yang shiddiq (jujur keimanannya), para syuhada (yang mati syahid), serta hamba-hamba-Nya yang saleh dan yang beriman, yang mulia disisi-Nya.

أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُواْ الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْاْ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَآءُ وَالضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُواْ حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللهِ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبٌ ﴿٢١٤﴾
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. Al Baqarah. 214).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

Ayat berikut diturunkan mengenai susah payah yang menimpa kaum muslimin: (Ataukah), maksudnya apakah (kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga. Padahal belum) maksudnya belum (datang kepadamu seperti) yang datang (kepada orang-orang yang terdahulu sebelum kamu) di antara orang-orang beriman berupa bermacam-macam cobaan, lalu kamu bersabar sebagaimana mereka bersabar? (Mereka ditimpa oleh); kalimat ini menjelaskan perkataan yang sebelumnya (malapetaka), maksudnya kemiskinan yang memuncak, (kesengsaraan) maksudnya penyakit, (dan mereka diguncang) atau dikejutkan oleh bermacam-macam bala, (hingga berkatalah) baris di atas atau di depan artinya telah bersabda (Rasul dan orang-orang yang beriman yang bersamanya) yang menganggap terlambatnya datang bantuan disebabkan memuncaknya kesengsaraan yang menimpa mereka, ("Bilakah) datangnya (pertolongan Allah) yang telah dijanjikan kepada kami?" Lalu mereka mendapat jawaban dari Allah, ("Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat") kedatangannya. (QS. Al Baqarah. 214).

Saudaraku,
Nampaklah sekarang, bahwa ternyata saudaraku tidaklah sendiri. Karena ternyata beragam ujian juga menimpa para nabi dan rasul, orang-orang yang shiddiq, para syuhada, serta hamba-hamba-Nya yang saleh dan yang beriman, yang bahkan jika kita mau jujur, beragam cobaan yang menimpa saudaraku (dan juga kita semua) tidaklah bisa dibandingkan dengan ujian yang menimpa mereka orang-orang yang mulia disisi-Nya.

Jika sudah demikian (dengan melihat fakta-fakta di atas), semoga saudaraku akan bisa lebih tegar dalam menghadapi cobaan yang teramat berat ini, sehingga semangat hidup-pun dapat tumbuh kembali.

Lebih dari itu, ketahuilah bahwa adanya cobaan yang teramat berat yang menimpa saudaraku tersebut, hal ini justru menunjukkan betapa Allah teramat sayang kepada saudaraku karena Allah telah menghendaki kebaikan bagi saudaraku.

Saudaraku,
Adakah yang lebih beruntung daripada orang yang Allah kehendaki kebaikan bagi dirinya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ. (رواه البخارى)
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Al Bukhari(.

Disamping itu semua, jika pada saat ini saudaraku ditimpa cobaan yang teramat berat, maka ketahuilah bahwa hal ini sekaligus juga menunjukkan betapa kuatnya agama saudaraku. Mengapa demikian?

Karena seseorang itu akan diberi cobaan oleh Allah SWT. sesuai dengan keadaan agamanya. Jika agamanya kuat, Allah SWT. akan berikan kepadanya cobaan yang berat. Sedangkan jika agamanya masih lemah, ia juga akan diuji sesuai dengan agamanya. Sehingga jika pada saat ini saudaraku ditimpa cobaan yang teramat berat, hal ini sekaligus juga menunjukkan betapa kuatnya agama saudaraku.

وَأَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ  رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling keras dikenai cobaan?” Jawab beliau, “Para nabi, lantas yang semisal, dan yang semisal. Seseorang akan tertimpa cobaan sesuai dengan keadaan agamanya. Jika agamanya kuat, cobaan itu pun keras. Jika agamanya masih lemah, ia akan diuji sesuai dengan agamanya. Tiadalah cobaan itu senantiasa menimpa seorang hamba sampai ia meninggalkan si hamba berjalan di muka bumi tanpa ada dosa padanya.” (HR. At-Tirmidzi, hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya).

Berbahagialah engkau wahai saudaraku, karena dalam hal ini bukan aku yang menilai, namun yang menilai adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (baca kembali hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi di atas).

Sedangkan segala yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (termasuk dalam hal ini), tidak lain adalah wahyu semata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkata-kata tidaklah mengikuti hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada Beliau.

قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ الصُّمُّ الدُّعَاءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ ﴿٤٥﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al Anbiyaa’. 45).

Saudaraku,
Terkait cobaan yang teramat berat yang menimpa saudaraku tersebut, perhatikan pula penjelasan Allah dalam surat Al Baqarah ayat 286 berikut ini:

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا...
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...”. (QS. Al Baqarah ayat 286).

Berdasarkan ayat tersebut, sebenarnya kita juga bisa berpikir dari arah sebaliknya. Artinya, ayat tersebut sebenarnya juga menunjukkan bahwa seberat apapun beban hidup yang saat ini sedang mendera kita, pasti Allah telah siapkan bekal kepada kita untuk menghadapinya. Bukankah: ”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya?”

Dengan demikian, jika pada saat ini saudaraku sedang mendapati adanya cobaan yang teramat berat, masalah demi masalah yang datang silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan yang seolah datang tiada henti, maka tidak sepantasnya bagi saudaraku (dan juga bagi kita semua) untuk mengeluhkannya. Karena dalam hal ini, pasti Allah telah siapkan bekal kepada kita untuk menghadapinya.

Dengan kata lain, jika pada saat ini saudaraku sedang mendapati adanya cobaan yang teramat berat, masalah demi masalah yang datang silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan yang seolah datang tiada henti, maka hal itu semua justru sebagai pertanda bahwa Allah SWT. hendak memberikan kebaikan/nikmat/kekuatan/kemudahan/rezeki kepada saudaraku.

Jadi, ketika cobaan datang secara bertubi-tubi, masalah demi masalah juga datang silih berganti, serta kesulitan demi kesulitan seolah datang tiada henti, maka seharusnya kita justru bertanya:
   Ya Allah, nikmat apa lagi yang hendak Engkau berikan kepada kami, sedangkan tanda-tandanya sudah nampak jelas di depan mata?
   Ya Allah, kemudahan apa lagi yang hendak Engkau berikan kepada kami, sedangkan tanda-tandanya sudah begitu jelas di depan mata?
   Ya Allah, rezeki apa lagi yang hendak Engkau anugerahkan kepada kami, sedangkan tanda-tandanya sudah sangat jelas di depan mata?
   Ya Allah, ..., dst.

Saudaraku,
Jika cara berpikir kita seperti ini, tentunya tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk mengeluh, bagaimanapun situasi/kondisi yang sedang kita hadapi. Yang terjadi justru sebaliknya. Apalagi jika hal ini kita kaitkan dengan salah satu hadits qudsi dimana Ahmad, Ibn Majah dan Albaihaqi meriwayatkan, bahwa Allah berfirman: “Aku selalu mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Jika ia berprasangka baik, maka untung baginya. Dan jika berprasangka buruk, maka ia akan terkena bahayanya”.

Oleh karena itu, jadilah mukmin yang kuat (dalam menjalani beragam ujian yang sedang menimpa), karena mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَلَا تَعْجِزْ فَإِنْ غَلَبَكَ أَمْرٌ فَقُلْ قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ وَإِيَّاكَ وَاللَّوْ فَإِنَّ اللَّوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ. (رواه ابن ماجه)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sampai kepadanya berita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan dalam masing-masing (sifat itu) terdapat kebaikan. Maka bersungguh-sungguhlah kamu terhadap sesuatu yang bermanfaat, dan janganlah merasa lemah. Jika suatu perkara mengalahkanmu, maka katakanlah, 'Ketentuan (qadar) Allah (telah menentukan), dan apa yang Allah kehendaki, tentu Dia akan melaksanakannya.' Dan jauhkanlah ucapan, "Seandainya." Karena ucapan, "Seandainya," membuka (peluang) pekerjaan syetan." (HR. Ibnu Majah(.

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴿٢٨﴾
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. (QS. Al Kahfi. 28).

Sedangkan terkait sikap mantan suami yang tidak memberi kesempatan kepada saudaraku untuk menemui/bersama dengan anak-anak tercinta, ketahuilah bahwa ini adalah sebuah kedholiman yang teramat sangat. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut ini:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَانْطَلَقَ لِحَاجَتِهِ فَرَأَيْنَا حُمَّرَةً مَعَهَا فَرْخَانِ فَأَخَذْنَا فَرْخَيْهَا فَجَاءَتْ الْحُمَرَةُ فَجَعَلَتْ تُفَرِّشُ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بِوَلَدِهَا رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا وَرَأَى قَرْيَةَ نَمْلٍ قَدْ حَرَّقْنَاهَا فَقَالَ مَنْ حَرَّقَ هَذِهِ قُلْنَا نَحْنُ قَالَ إِنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلَّا رَبُّ النَّارِ. (رواه ابو داود)
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, "Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan, lalu beliau pergi untuk melaksanakan hajatnya, kemudian kami melihat seekor burung yang berbulu merah dengan dua telurnya dan langsung kami mengambil kedua telurnya, kemudian datanglah burung itu dan membentangkan sayapnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda, 'Siapakah yang telah menyakiti burung ini demi anaknya? Kembalikanlah anak tersebut kepadanya.' Beliau melihat sarang semut yang telah kami bakar, lalu beliau bersabda, 'Siapakah yang membakar ini?' Kami berkata, 'Kami.' Maka beliau bersabda, 'Sesungguhnya tidak layak bagi siapapun untuk menyiksa dengan api, kecuali Dzat yang memiliki api." (HR. Abu Dawud).

Saudaraku,
Jika memisahkan anak burung dengan induknya saja adalah perbuatan terlarang, apalagi memisahkan seorang anak manusia dengan ibunya? Dari hadits tersebut, diperoleh informasi bahwa induk burung saja merasa susah dan khawatir dengan keadaan anaknya, lantas bagaimana lagi dengan seorang ibu terhadap anaknya?

Sehingga pantaslah jika tindakan/sikap mantan suami yang tidak memberi kesempatan kepada saudaraku untuk menemui/bersama dengan anak-anak tercinta, merupakan sebuah kedholiman yang teramat sangat, sehingga pelakunya diancam dengan ancaman yang sangat berat oleh Allah SWT. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut ini:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ الشَّيْبَانِيُّ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي حُيَيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (رواه الترمذى)
Umar bin Hafsh Asy-Syaibani menceritakan kepada kami. Abdullah bin Wahab mengabarkan kepada kami, ia berkata, Huyay bin Abdullah mengabarkan kepada saya, dari Abu Abdurrahman Al Hubuli, dari Abu Ayyub, ia berkata. "Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Barangsiapa yang memisahkan antara ibu dan anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara ia dan para kekasihnya pada hari Kiamat nanti." (HR. At-Tirmidzi).

Mengapa mantan suami tetap bersikeras untuk tidak memberi kesempatan kepada saudaraku untuk menemui/bersama dengan anak-anak tercinta? Bisa jadi mantan suami lupa, bahwa di atas kita semua masih ada Allah SWT. yang selalu mengawasi setiap gerak langkah kita.

...إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿١﴾
“… Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (QS. An Nisaa’. 1).

Saudaraku,
Menghadapi situasi yang demikian sulit ini, jika saudaraku mempunyai kemampuan untuk memberantas semua kedholiman ini, maka saudaraku harus lakukan semaksimal mungkin.

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـــٰــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿١٠٤﴾
”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf1 dan mencegah dari yang munkar2 merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali ’Imran. 104).

Namun jika kebetulan saudaraku berada pada pihak yang lemah, sehingga saudaraku tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi situasi yang demikian sulit ini, maka saudaraku tidak perlu berkecil hati. Karena sesungguhnya, Allah adalah Tuhan Yang Maha Adil.

اللهُ الَّذِي أَنزَلَ الْكِتَـــٰبَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ ... ﴿١٧﴾
”Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan) ...” (QS. Asy Syuura. 17).

Dan cepat atau lambat, Allah pasti akan menunjukkan keadilan-Nya. Karena sesungguhnya janji-janji Allah adalah “pasti”. Dan Allah lebih mengetahui kapan saat yang tepat untuk melaksanakan janji-janji-Nya.

... وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ ...﴿١١١﴾
"... Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? ...” (QS. At Taubah. 111).

Sebagai penutup,
Teruslah berdo’a, memohon kepada Allah SWT. agar semua permasalahan yang demikian pelik ini, segera ada jalan keluarnya.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ ﴿٦٠﴾
Dan Tuhanmu berfirman: "Berdo`alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (QS. Ghafir. 60)

Dan bersabarlah dalam berdo’a/jangan tergesa-gesa, agar do’a dikabulkan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُسْتَجَابُ لِأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ فَيَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِي. (رواه ابو داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan dikabulkan (doa) seseorang dari kamu selama dia tidak tergesa-gesa, yaitu berkata, Aku telah berdoa, tapi juga belum dikabulkan bagiku”. (HR. Abu Daud no. 1484).

Yang dimaksudkan dengan tergesa-desa di sini adalah, ketika seseorang telah berdo’a dan berdo’a, namun kemudian dia berkata: “Aku telah berdoa, aku telah berdoa, tetapi mengapa aku tidak melihat tanda-tanda do’aku dikabulkan? Sehingga dia lelah dalam berdo’a dan akhirnya meninggalkan do’anya tersebut.

Serta tetaplah bertaqwa kepada-Nya. Karena selama saudaraku tetap bertaqwa kepada-Nya, maka saudaraku tidak perlu merasa bimbang akan kelanjutan masa-masa yang akan datang. Mengapa demikian? Karena Allah akan memberi jalan keluar bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang tiada disangka-sangka, sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Ath Thalaaq berikut ini:

... وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾
”... Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).

وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَـــٰـلِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا ﴿٣﴾
”Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).

Ya Tuhan kami,
Berilah kekuatan kepada kami, sehingga kami benar-benar dapat ridha dengan apa yang telah Engkau berikan kepada kami. Cukuplah Engkau bagi kami. Sesungguhnya kami hanya berharap kepada Engkau. Semoga Engkau berikan karunia-Mu kepada kami. Amin, ya rabbal ‘alamin.

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوْاْ مَا ءَاتَــــٰـهُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللهُ سَيُؤْتِينَا اللهُ مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللهِ رَاغِبُونَ ﴿٥٩﴾
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At Taubah. 59).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
1)  Yang dimaksud dengan ma’ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah.
2)  Sedangkan yang dimaksud dengan munkar adalah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya.

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞