بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Selasa, 05 September 2023

HAK WARIS BAGI ANAK DARI HASIL PERNIKAHAN SEBELUMNYA (II)

Assalamu’alaikum wr. wb.
 
   PEMBAHASAN KASUS YANG PANJENENGAN TANYAKAN
 
Panjenengan menanyakan tentang anak-anak dari pernikahan sebelumnya apakah juga punya hak waris? 
 
Seperti kasus berikut ini: suami bawa 1 anak laki-laki dan istri bawa 1 anak laki-laki kemudian nikah ada 1 anak lagi (wanita), maka yang punya hak waris anak hasil pernikahan saja atau juga anak yang dibawa dari pernikahan sebelumnya (anak sambung)? Sedangkan yang bekerja mencari nafkah hanya sang suami (istri di rumah/tidak bekerja). 
 
Bagaimana juga dengan harta dari suami yang diperoleh sebelum menikah? Sebagai informasi tambahan, pihak suami mempunyai 1 saudara kandung wanita dan pihak isteri mempunyai 4 saudara kandung (1 laki-laki dan 3 wanita). Suami masih punya orang tua yaitu ibu, sedangkan orang tua isteri sudah meninggal semua.
 
Saudaraku,
Setelah kita memperhatikan uraian sebelumnya, sekarang marilah kita bahas kasus yang panjenengan tanyakan tersebut satu per satu.
 
I. JIKA YANG WAFAT ADALAH SUAMI
 
Saudaraku,
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua harta yang ada saat suami meninggal, maka yang dapat dibagi sebagai harta warisan (harta pusaka) hanyalah harta yang secara mutlak milik suami saat suami masih hidup, yaitu:
   harta yang diwariskan kepada suami (harta yang diperoleh suami yang berasal dari warisan orangtuanya suami yang sudah wafat dan/atau dari saudara kandungnya suami yang sudah wafat dan/atau dari anak-anaknya suami yang sudah wafat, dll)
   harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus (jika ada),
   serta harta dari suami yang diperoleh sebelum menikah dengan ibu tersebut (harta suami yang dibawa sebelum menikah dengan ibu tersebut).
 
Sedangkan harta yang dimiliki oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu, seperti harta milik istri sebelum menikah dengannya, atau mahar suami kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, serta harta yang diwariskan kepada istri, maka harta yang seperti ini akan tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atas harta jenis ini).
 
Harta gono-gini (yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada dalam ikatan pernikahan)
 
Saudaraku,
Terkait harta gono-gini jika istri di rumah (tidak bekerja) dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam). Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah  Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com
 
Saudaraku,
Karena tidak terdapat harta gono-gini (jika istri di rumah dan suami yang bekerja) dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, maka saat suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan kepada para ahli waris.
 
Meskipun demikian jika kasus seperti ini diselesaikan di pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di negara kita Indonesia, dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda cerai masing- masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
 
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).
 
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
 
Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun isteri tidak bekerja). 
 
Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.
 
Tetaplah berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam syariat Islam
 
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam syariat Islam. 
 
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah Ta’ala:
 
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An Nisaa’. 13 – 14).
 
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan bagian harta yang lebih sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka solusinya mudah saja. Toh selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris yang lainnya. 
 
1. Bagian isteri
 
Saudaraku,
Dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), maka istri mendapat 1/8 dari total harta warisan karena suami mempunyai anak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 12 berikut ini:
 
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“... Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
 
2. Bagian ibunya suami
 
Saudaraku,
Dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), maka ibu kandungnya suami mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 11 berikut ini:
 
... وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
 
3. Bagian dari anak yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami yang wafat (suami kedua)
 
Saudaraku,
Anak tiri adalah anak yang didapat dari pernikahan seseorang dengan pasangannya yang telah memiliki anak di masa lalu atau anak yang diperoleh dari pernikahannya terdahulu. Anak tiri ini bisa merupakan anak dari sang wanita (istri) ataupun anak dari sang pria (suami). Biasanya pernikahan yang menimbulkan anak tiri adalah pernikahan dengan janda atau duda yang sudah memiliki anak. Anak tiri juga merupakan hasil dari perceraian orangtua terdahulunya karena ayahnya menjatuhkan talak pada ibunya atau salah satu dari keduanya meninggal.
 
Anak tiri (yaitu anak yang didapatkan dari pernikahan terdahulu) sama sekali tidak mendapatkan jatah warisan karena anak tiri tidak berstatus sebagai ahli waris (anak tiri tidak disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al Qur’an dan Hadits). Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki hubungan atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya. 
 
Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel bagian pertama, terdapat 3 sebab seseorang bisa mendapatkan bagian warisan dari orang yang telah meninggal dunia. Ketiga sebab itu adalah hubungan kekerabatan atau nasab, pernikahan yang sah, dan kekerabatan karena memerdekakan budak.
 
1.  Hubungan kekerabatan atau nasab, hal ini menyangkut anak kandung atau orang yang terkait nasab dengan sang pemilik harta atau disebut juga sebagai sebab garis keturunan atau yang lebih dikenal dengan garis nasab. Orang yang bisa mendapatkan warisan dengan sebab nasab atau kekerabatan adalah kedua orang tua dan orang-orang yang merupakan turunan keduanya seperti saudara laki-laki atau perempuan serta anak-anak dari para saudara tersebut baik sekandung maupun seayah.
 
2.  Hubungan pernikahan yang sah, yaitu adanya hubungan antara orang yang mewarisi tersebut dengan seseorang akibat adanya pernikahan yang sah. Sedangkan pasangan suami istri yang menikah dengan pernikahan yang fasid (rusak), seperti pernikahan tanpa adanya wali atau dua orang saksi, keduanya tidak bisa saling mewarisi. Demikian pula pasangan suami istri yang menikah dengan nikah mut’ah.
 
3.  Dikarenakan memerdekakan budak. Orang yang memerdekakan budak lalu suatu hari budaknya tersebut memiliki harta dan meninggal maka orang yang memerdekakan tersebut berhak mendapatkan harta warisan dari budak yang telah dimerdekakannya tersebut. Namun sebaliknya, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak bisa menerima warisan dari tuan yang telah memerdekakannya.
 
Saudaraku,
Dengan melihat ke-3 sebab waris diatas, maka dapat disimpulkan bahwa anak tiri tidak berhak atau tidak dapat mewarisi harta orang tua tirinya. Dia hanya bisa mendapatkan waris dari orangtua yang sedarah dengannya (baik ibu kandung maupun ayah kandungnya).
 
Anak tiri tidak berhak mendapatkan harta warisan, dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ An Nisaa’ ayat 7 berikut ini:
 
لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا ﴿٧﴾
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An Nisaa’. 7).
 
4. Bagian dari anak yang dibawa suami sebelum menikah dengan ibu tersebut
 
Saudaraku,
Anak yang dibawa suami sebelum menikah dengan ibu tersebut memang merupakan anak tiri bagi ibu tersebut, namun merupakan anak kandung dari suami. 
 
Dan karena yang meninggal adalah suami, maka anak tersebut mempunyai hak waris sebagaimana anak kandung suami yang lainnya dari pernikahannya dengan ibu tersebut. Artinya, anak yang dibawa suami dari pernikahan sebelumnya maupun anak dari pernikahan dengan ibu tersebut, mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan.
 
5. Bagian anak dari pernikahan suami dengan ibu tersebut
 
Saudaraku,
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa semua anak suami baik dari pernikahan sebelumnya maupun dari pernikahannya dengan ibu tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan. 
 
Dan karena suami mempunyai anak laki-laki, maka anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah (anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menghabiskan semua harta warisan yang tersisa setelah dibagikan kepada para ash-haabul furudh). 
 
Firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176:
 
... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).
 
Dalam ayat di atas, Allah telah memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan ‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.
 
Saudaraku,
‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ ) adalah bentuk jamak dari ‘aashib ( عَاصِبٌ ), mereka adalah keturunan laki-laki dari seseorang dan kerabatnya dari jalur ayah.
 
‘Ashabah sendiri adalah orang yang diberikan kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh mengambil bagian-bagiannya. Apabila tidak tersisa sedikit-pun dari mereka, maka mereka (‘ashabah) tidak mengambil bagian sedikit-pun kecuali jika yang mendapatkan ‘ashabah adalah anak laki-laki (ibn) karena sesungguhnya anak laki-laki tidak terhalang dalam keadaan apapun. ‘Ashabah juga berarti orang-orang yang berhak mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak ada seorang-pun dari ash-haabul furudh. 
 
Sedangkan yang dimaksud dengan ash-haabul furudh adalah ahli waris yang mendapat bagian yang pasti dari harta warisan. Contohnya: ayah dan ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan jika yang meninggal mempunyai anak, isteri mendapatkan ¼ bagian dari total harta warisan jika suami yang wafat tidak mempunyai anak atau mendapatkan 1/8 bagian dari total harta warisan jika suami yang wafat mempunyai anak, suami mendapatkan ½ bagian dari total harta warisan jika isteri yang wafat tidak mempunyai anak atau mendapatkan ¼ bagian dari total harta warisan jika isteri yang wafat mempunyai anak, dst.
 
Saudaraku,
Karena pada kasus di atas sudah tidak ada lagi ash-haabul furudh selain isterinya almarhum dan ibunya almarhum, maka dari sisa harta warisan tersebut (yaitu setelah diambil bagian isteri almarhum serta bagian ibu kandung almarhum), selanjutnya dibagi dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1.
 
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
 
6. Bagian saudara kandungnya suami
 
Saudara kandungnya almarhum mahjub*) (mahjub hirman) karena ada anak laki-laki {saudara kandung almarhum terhalang dengan maksud hak warisnya hilang sepenuhnya (mahjub hirman) karena ada anak laki-laki}. Maksudnya satu orang wanita saudara kandungnya almarhum tersebut tidak mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kekerabatannya dengan almarhum, yaitu anak laki-laki almarhum.
 
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَــــٰــلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak ...”. (QS. An Nisaa’. 176).
 
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
 
(Mereka meminta fatwa kepadamu) mengenai kalalah, yaitu jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan bapak dan anak (Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah; jika seseorang) umru-un menjadi marfu' dengan fi'il yang menafsirkannya (celaka) maksudnya meninggal dunia (dan dia tidak mempunyai anak) dan tidak pula bapak yakni yang dimaksud dengan kalalah tadi (tetapi mempunyai seorang saudara perempuan) baik sekandung maupun sebapak (maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan dia) maksudnya saudaranya yang laki-laki (mewarisi saudaranya yang perempuan) pada seluruh harta peninggalannya (yakni jika ia tidak mempunyai anak). Sekiranya ia mempunyai seorang anak laki-laki, maka tidak satu pun diperolehnya, tetapi jika anaknya itu perempuan, maka saudaranya itu masih memperoleh kelebihan dari bagian anaknya. Dan sekiranya saudara laki-laki atau saudara perempuan itu seibu, maka bagiannya ialah seperenam sebagaimana telah diterangkan di awal surah. (QS. An Nisaa’. 176).
 
*)  Orang yang menghalangi disebut hajib, dan orang yang terhalang disebut mahjub, sedangkan keadaan menghalangi disebut hijab. Hijab ada dua, yaitu hijab nuqsan dan hijab hirman.
1. Hijab nuqsan, yaitu yang menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang mahjub. Contoh suami, seharusnya menerima bagian 1/2, karena ada anak perempuan bagiannya terkurangi menjadi ¼.
2. Hijab hirman, yaitu menghalangi secara total. Hak-hak waris si mahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli waris yang menghijab. Misalnya saudara perempuan sekandung semula berhak menerima bagian ½, tetapi karena bersama anak laki-laki, menjadi tertutup sama sekali.
 
7. Kesimpulan. 
 
Dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), pembagiannya adalah sebagai berikut:
   Istri mendapat 1/8 dari total harta warisan karena suami mempunyai anak.
   Ibunya suami mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan.
   Anak yang dibawa ibu tersebut dari pernikahan sebelumnya tidak mendapatkan jatah warisan karena memang tidak berstatus sebagai ahli waris.
   Saudara kandungnya almarhum mahjub hirman (tidak mendapatkan warisan sama sekali).
   Sisanya sebesar: 1 – (1/8 + 1/6)
= 1 – (3/24 + 4/24)
= 1 – 7/24
= 17/24 bagian (atau 70,83% dari total harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena suami mempunyai 2 anak kandung (1 anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 1 anak wanita dari pernikahannya dengan ibu tersebut), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
   Satu anak laki-laki mendapat bagian warisan sebesar 2/3 dari 70,83% = 47,22% dari total harta warisan.
   Satu anak perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/3 dari 70,83% = 23,61% dari harta warisan.
 
II. JIKA YANG WAFAT ADALAH ISTERI
 
Saudaraku,
Karena isteri tidak bekerja, maka tidak ada tidak terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri. Meskipun demikian jika kasus seperti ini diselesaikan di pengadilan, maka solusinya sama seperti jika suami yang wafat (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Oleh karena itu tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam syariat Islam.
 
Dan karena tidak ada tidak terdapat harta gono-gini, maka harta yang dimiliki oleh istri saja (tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu) yang dapat dibagi sebagai harta warisan/harta pusaka, seperti harta milik istri sebelum menikah dengannya, atau mahar suami kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, serta harta yang diwariskan kepada istri.
 
Sedangkan harta yang dimiliki oleh suami saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan isteri pada harta itu, maka harta yang seperti ini akan tetap menjadi hak suami saat isteri meninggal (artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atas harta jenis ini).
 
1. Bagian suami
 
Saudaraku,
Dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh isteri (yaitu harta yang secara mutlak milik isteri saat isteri masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), maka suami mendapat 1/4 dari total harta warisan karena isteri mempunyai anak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 12 berikut ini:
 
... فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“... Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
 
2. Bagian dari anak yang dibawa suami sebelum menikah dengan isteri yang wafat (isteri kedua)
 
Anak tiri (yaitu anak yang didapatkan dari pernikahan terdahulu) sama sekali tidak mendapatkan jatah warisan karena anak tiri tidak berstatus sebagai ahli waris (anak tiri tidak disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al Qur’an dan Hadits). Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki hubungan atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya. 
 
3. Bagian dari anak yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami kedua
 
Saudaraku,
Anak yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami kedua tersebut memang merupakan anak tiri bagi sang suami, namun merupakan anak kandung dari isteri. 
 
Dan karena yang meninggal adalah isteri, maka anak tersebut mempunyai hak waris sebagaimana anak kandung isteri yang lainnya dari pernikahannya dengan suami kedua. Artinya, anak yang dibawa isteri dari pernikahan sebelumnya maupun anak dari pernikahan dengan suami kedua, mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan.
 
4. Bagian anak dari pernikahan isteri dengan suami kedua
 
Saudaraku,
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa semua anaknya isteri baik dari pernikahan sebelumnya maupun dari pernikahannya dengan suami kedua mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan. 
 
Dan karena isteri mempunyai anak laki-laki, maka anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah (anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menghabiskan semua harta warisan yang tersisa setelah dibagikan kepada para ash-haabul furudh). 
 
5. Bagian saudara kandungnya isteri
 
Saudaraku,
Saudara kandungnya almarhumah mahjub*) (mahjub hirman) karena ada anak laki-laki {saudara kandung almarhumah terhalang dengan maksud hak warisnya hilang sepenuhnya (mahjub hirman) karena ada anak laki-laki}. Maksudnya keempat saudara kandungnya almarhumah tersebut semuanya tidak mendapatkan warisan sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kekerabatannya dengan almarhumah, yaitu anak laki-laki almarhumah.
 
6. Kesimpulan. 
 
Dari seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh isteri (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), pembagiannya adalah sebagai berikut:
   Suami mendapat 1/4 dari total harta warisan karena isteri mempunyai anak.
   Anak yang dibawa suami dari pernikahan sebelumnya tidak mendapatkan jatah warisan karena memang tidak berstatus sebagai ahli waris.
   Saudara kandungnya almarhumah mahjub hirman (tidak mendapatkan warisan sama sekali).
   Sisanya sebesar: 1 –1/4
= 3/4 bagian (atau 75% dari total harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena isteri mempunyai 2 anak kandung (1 anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 1 anak wanita dari pernikahannya dengan suami kedua), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
   Satu anak laki-laki mendapat bagian warisan sebesar 2/3 dari 75% = 50% dari total harta warisan.
   Satu anak perempuan mendapat bagian warisan sebesar 1/3 dari 75% = 25% dari harta warisan.
 
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
 
Semoga bermanfaat.
 
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku. 
 
{Tulisan ke-2 dari 2 tulisan}
 

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞