بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Sabtu, 05 September 2015

MENYIKAPI SUAMI YANG BERHUBUNGAN LAGI DENGAN MANTAN PACAR



Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat telah bertanya:
Mohon maaf sebelumnya Kang Im kalau kita belum pernah kenal secara pribadi sebelumnya. Saya mohon bantuan Kang Im untuk memberi pencerahan atas masalah yang sedang saya hadapi. Bila suami berhubungan lagi secara sembunyi-sembunyi dengan mantan pacarnya, bagaimana hukumnya Kang Im?

Saya kenal banget dengan mantan pacar suami saya karena kita dulu teman kuliah, dan terus terang saya merasa tidak nyaman dengan sikap suami saya tersebut. Saya tidak tahu berapa sering mereka berhubungan karena suami selalu menghapus pesan + log telpon di hape-nya. Cuma beberapa kali saya sempat melihatnya, itupun buru-buru dihapus oleh suami. Suami berdalih tidak ada apa-apa diantara mereka, semua laporan sengaja dihapus supaya saya tidak berpikir macam-macam.

Tapi namanya seorang istri, mana bisa percaya begitu saja ‘kan, Kang Im. Wong sama mantan pacar lhooo. Beberapa yang sempat kubaca memang sedikit nostalgia dengan masa lalu sih, dan itu sempat membuat hati saya terluka. Bagi saya, masa lalu biarlah berlalu, jangan lagi dihadirkan dalam masa sekarang.

Saya sudah minta ke suami untuk jujur dan terbuka tentang sms maupun pembicaraan mereka ditelpon, tapi suami tidak pernah mau bicara sedikitpun. Setiap kali saya secara tak sengaja mengetahuinya, kita selalu berantem. Bukan karena saya tidak suka mereka berhubungan, tapi karena ketidakjujuran suami saya.

Saya tidak melarang mereka menjalin silaturrahim, tapi saya hanya ingin suami terbuka sama saya, tidak menghapus sms maupun laporan telp-nya di hape-nya agar saya yakin dan percaya bahwa diantara mereka memang tidak ada apa-apa. Saya tahu, menjalin silaturrahim itu baik, tapi kalau berpotensi menimbulkan konflik dalam rumah tangga kami, bagaimana saya harus menyikapinya Kang Im?

Maksud saya, saya hanya ingin diberi pencerahan masalah adab berhubungan dengan mantan pacar agar tidak mengganggu keharmonisan rumah tangga pasangan masing-masing. Begitu Kang Im, matur nuwun.

Sampai saat ini saya juga belum pernah menegur mantan pacar suami tersebut, meskipun saya tahu dia yang lebih sering menghubungi suami saya duluan. Bagaimana sebaiknya sikap saya terhadap mantan pacar suami saya itu Kang Im, saya ingin tetap memegang etika berteman meskipun sebetulnya saya pengen sekali menegurnya.

Atas segala bantuan Kang Im, sebelumnya saya ucapkan banyak terimakasih.

-----

Saudaraku yang dicintai Allah,
Sebagai sesama muslim yang terikat dalam tali persaudaraan yang kuat dalam iman dan Islam, saya ikut merasakan apa yang saudaraku rasakan. Semoga kesabaran dan ketabahan saudaraku dalam menghadapi sikap suami tersebut, dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin!

Saudaraku,
Chatting dengan lawan jenis yang bukan mahram sama halnya dengan berbicara melalui telepon, SMS, dan berkiriman surat. Semuanya ada persamaan, yaitu sama-sama berbicara antara lawan jenis yang bukan mahram. Persamaan ini  juga mengandung adanya persamaan hukum.

Sebenarnya berbicara antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram pada dasarnya tidak dilarang apabila pembicaraan itu memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh syara'. Seperti pembicaraan yang mengandung kebaikan, menjaga adab-adab kesopanan, tidak menyebabkan fitnah dan tidak berkhalwat.

Dalam sejarah, kita bisa lihat bahwa isteri-isteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan para sahabat, ketika menjawab pertanyaan yang mereka ajukan tentang hukum agama. Bahkan ada diantara isteri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi guru para sahabat selepas wafatnya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Sayyidatina Aisyah radhiyallahu ‘anha.


Saudaraku,
Perhatikan firman Allah SWT. dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 32 berikut ini:

يَــــٰــنِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا ﴿٣٢﴾
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”, (QS. Al Ahzaab. 32).

Imam Qurtubi menafsirkan kata  'Takhdha'na  (tunduk) dalam ayat di atas dengan arti lainul qaul (melembutkan suara) yang memberikan rasa ikatan dalam hati. Yaitu menarik hati orang yang mendengarnya atau membacanya adalah dilarang dalam agama kita.

Saudaraku,
Jelaslah sekarang, bahwa pembicaraan yang menyebabkan fitnah dengan melembutkan suara merupakan pembicaraan yang dilarang. Termasuk di sini adalah kata-kata yang diungkapkan dalam bentuk tulisan. Karena dengan tulisan, seseorang juga bisa mengungkapkan kata-kata yang menyebabkan seseorang merasakan hubungan istimewa, kemudian menimbulkan keinginan yang tidak baik.

Adapun khalwat, hukumnya dilarang dalam agama Islam. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini:

لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَــٰــذَا عَلَى مُغِيْبَةٍ إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ. (رواه مسلم) 
“Sekali-kali tidak boleh setelah hariku ini seorang lelaki masuk menemui wanita yang sedang ditinggal pergi oleh suaminya, kecuali jika bersamanya ada satu atau dua orang lelaki lagi.” (HR. Muslim no. 5641).

Yang tampak dari hadits ini, kata al-Imam an-Nawawi, menunjukkan bolehnya dua atau tiga orang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita. Namun, yang masyhur menurut ulama mazhab kami (yakni mazhab Syafi’iyah), khalwat yang seperti itu tetap haram. Adapun hadits di atas ditafsirkan bahwa hal itu dibolehkan hanya pada orang-orang yang amat jauh kemungkinannya terjatuh dalam perbuatan fahisyah/keji karena kesalehan mereka, muru’ah (penjagaan kewibawaan) mereka, atau hal lainnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. (رواه البخارى ومسلم)   
“Janganlah sekali-kali seorang lelaki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama mahram si wanita.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Khalwat adalah perbuatan menyepi yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram dan tidak diketahui oleh orang lain. Perbuatan ini dilarang karena ia dapat menyebabkan atau memberikan peluang kepada pelakunya untuk terjatuh dalam perbuatan yang dilarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ. (رواه البخارى ومسلم)   
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali ia berduaan dengan wanita yang tidak ada mahram bersamanya, karena yang ketiganya adalah setan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Khalwat bukan saja dengan duduk berduaan. Tetapi berbual-bual melalui  telepon di luar keperluan syar'i, juga termasuk berkhalwat. Karena mereka sepi dari kehadiran orang lain, meskipun secara fisik mereka tidak berada dalam satu tempat. Namun melalui telepon mereka lebih bebas membicarakan apa saja selama berjam-jam tanpa merasa dikawal oleh orang lain. Apalagi jika hal itu dilakukan dengan mantan pacar.

Dan  haram juga ialah perkara-perkara syahwat yang membangkitkan hawa nafsu seperti yang dilakukan oleh dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dimana sms atau email atau facebook atau yang serupa dengannya telah menjadi alat untuk memadu kasih yang memuaskan nafsu di antara keduanya. Memperbincangkan perkara-perkara yang berbau pornografi, lebih-lebih lagi hukumnya adalah haram.

Saudaraku,
Dari uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa hukum chatting sama dengan menelepon, sebagaimana yang sudah kita terangkan di atas. Artinya chatting di luar keperluan yang syar'i termasuk khalwat. Begitu juga dengan sms.

Namun bila ada tuntutan syar'i yang darurat, maka itu diperbolehkan sesuai keperluan. Di sinilah dituntut adanya kejujuran kita kepada Allah SWT. dalam mengukur sejauhmana urusan kita tersebut, apakah benar-benar karena tuntutan syar'i atau hanya sekedar mengikuti hawa nafsu belaka. Dan kejujuran itu bergantung sejauhmana iman kita kepada Allah. Jika muraqabatillah kita kuat (yakni merasa diri sentiasa dalam pandangan Allah), maka itu yang akan menjadi pengawal kita. Jika tidak, maka kita akan hanyut bersama orang-orang yang terpedaya dengan teknologi modern ini. Na’udzubillahi mindzalika!

-----

Tentang sikap saudaraku kepada suami untuk jujur dan terbuka tentang sms maupun pembicaraan mereka ditelpon, tentu saja ini merupakan langkah yang benar. Karena dengan demikian, maka suami akan merasa dikawal oleh orang lain sehingga dapat terhindar dari berkhalwat yang memang dilarang dalam agama kita (sebagaimana uraian di atas).

Saudaraku mengatakan bahwa menjalin tali silaturrahim itu baik. Dan memang demikianlah faktanya. Karena dalam sebuah Hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barangsiapa yang suka dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung hubungan rahimnya (hendaklah ia senantiasa menjaga hubungan silaturrahim).” (Muttafaqun ‘alaih).

Namun dalam upaya menjalin tali silaturrahim tersebut, tentu ada adabnya (sebagaimana uraian di atas). Terlebih lagi jika hal itu dilakukan oleh dua orang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

-----

Saudaraku,
Sudah menjadi sesuatu yang wajar jika kita berharap agar semuanya berjalan baik-baik saja. Jika itu terkait dengan suami, maka kita berharap agar sang suami tetap setia untuk selamanya, dst.

Namun jika dalam perjalanan waktu kemudian ada kekhilafan dari suami tercinta, maka berdo’alah kepada-Nya agar dia segera mendapat petunjuk dan bimbingan dari-Nya sehingga bisa segera belajar dari kesalahannya selama ini untuk kemudian segera bisa berubah ke arah yang lebih baik sehingga pernikahan ini dapat dipertahankan untuk selamanya.

Dan jika pada akhirnya sang suami menyadari kesalahannya kemudian mulai belajar untuk berubah ke arah yang lebih baik, sebaiknya maafkanlah kesalahannya. Semoga kelapangan dada kita dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan kita kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin!

Namun jika ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan kondisinya semakin memburuk) sehingga saudaraku tidak mampu untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya. Yakinlah, bahwa Allah akan memberikan keputusan terbaik diantara kita. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana, sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Al An’aam ayat 18:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾
”Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam. 18).

Sedangkan Allah tidak akan pernah menyalahi janji-Nya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ar Ruum ayat 6:

وَعْدَ اللهِ لَا يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَــٰــكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
"(sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum. 6).

Ya… Tuhan kami,
Berilah kekuatan kepada kami, sehingga kami benar-benar dapat ridha dengan apa yang telah Engkau berikan kepada kami. Cukuplah Engkau bagi kami. Sesungguhnya kami hanya berharap kepada Engkau. Semoga Engkau berikan karunia-Mu kepada kami. Amin, ya rabbal ‘alamin!

وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوْاْ مَا ءَاتَــــٰــهُمُ اللهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللهُ سَيُؤْتِينَا اللهُ مِن فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللهِ رَاغِبُونَ ﴿٥٩﴾
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At Taubah. 59).

Terakhir, marilah kita bersama-sama merenungi perjalanan hidup sepasang suami-isteri di dunia ini:

Saudaraku,
√ Bagi sepasang suami-isteri, khususnya bagi suami yang bekerja sendirian (isteri tidak bekerja), maka sang istri tidak boleh memberikan harta suaminya kepada siapapun, kecuali dengan izinnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ فِي الْمَرْأَةِ تَصَدَّقُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا قَالَ لَا إِلَّا مِنْ قُوتِهَا وَالْأَجْرُ بَيْنَهُمَا وَلَا يَحِلُّ لَهَا أَنْ تَصَدَّقَ مِنْ مَالِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِهِ. (رواه ابو داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, tentang seorang wanita yang bersedekah dari rumah suaminya, ia berkata: "Tidak dibolehkan kecuali dari makanannya sendiri, dan ganjarannya dibagi untuk keduanya (istri dan suami). Tidak dihalalkan bagi istri untuk bersedekah dari harta suaminya kecuali atas izinnya”. (HR. Abu Dawud).

Larangan memberikan harta suami kepada orang lain itu demikian ditekankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai sekedar memberikan makananpun juga dilarang tanpa seizin suami.

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا شُرَحْبِيلُ بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خُطْبَتِهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَقُولُ لَا تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الطَّعَامُ قَالَ ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا. (رواه الترمذى)
Hannad menceritakan kepada kami, Ismail bin Ayasi memberitahukan kepada kami bahwa Syurahbil bin Muslim Al Bahil berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda didalam khutbahnya pada haji wada': “Janganlah seorang istri menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izinnya”. Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, tidak juga makanan?” Beliau menjawab: “Makanan adalah harta kita yang paling utama”. (HR. At-Tirmidzi).

Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri dan anak-anaknya (beserta ahli waris lainnya, jika ada) bebas menggunakan harta tersebut tanpa memerlukan izin dari suami karena setelah suami meninggal, maka kepemilikan harta tersebut telah berpindah kepada ahli warisnya yang berhak.

√ Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup dan belum bercerai, maka isteri tidak boleh menikah lagi karena Islam mengharamkan poliandri, yaitu satu istri bersuamikan dua orang atau lebih.

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللهِ عَلَيْكُمْ ... ﴿٢٤﴾
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. ...”. (QS. An Nisaa’. 24).

Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri boleh menikah lagi dengan laki-laki lain setelah melewati masa iddahnya.

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al Baqarah. 234).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Orang-orang yang wafat) atau meninggal dunia (di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri, maka mereka menangguhkan), artinya hendaklah para istri itu menahan (diri mereka) untuk kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh), maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai yang hamil, maka iddah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu, menurut hadis. (Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya, (mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan (secara baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin”.

Bolehnya menikah lagi itu menunjukkan bahwa sang istri memang sudah bukan lagi berstatus istri almarhum. Seandainya statusnya masih istri almarhum, tentu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain, karena Islam mengharamkan poliandri (sebagaimana penjelasan di atas).

√ Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup, saat anak perempuannya akan menikah, maka dia memerlukan ijin darinya selaku wali nikahnya.

قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR. At-Tirmidzi).

Namun ketika suami telah wafat, maka saat sang anak perempuannya akan menikah, dia tidak lagi memerlukan ijin darinya karena statusnya sebagai wali nikah telah digantikan oleh orang lain (sesuai dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau ayah dari ayah dan seterusnya ke atas, 3. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah dan seibu, 4. saudara (kakak/adik laki-laki) seayah saja, 5. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah/sepupu).

Demikian seterusnya. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kepemilikan seorang suami terhadap hartanya serta terhadap isteri dan anak-anaknya, hanyalah sebatas nyawa masih dikandung badan (tentunya hal ini juga berlaku bagi seorang isteri).

Karena ketika seseorang telah wafat, maka semuanya itu akan dia tinggalkan untuk kemudian dia akan melanjutkan perjalanan berikutnya (di alam kubur) sendirian. Hingga pada tahap selanjutnya, dia akan datang menghadap kepada Allah SWT. dengan sendiri-sendiri untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.

وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَــٰــمَةِ فَرْدًا ﴿٩٥﴾
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (QS. Maryam. 95).

Setelah berada di Padang Mahsyar, maka selanjutnya semua akan dihisab satu persatu.

إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ ﴿٢٥﴾ ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ ﴿٢٦﴾
”Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka,” (QS. Al Ghaasyiyah. 25). ” kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.”. (QS. Al Ghaasyiyah. 26).

Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa kebersamaan kita dengan pasangan hidup kita ternyata sangatlah sebentar. Karena berapapun usia kita saat ini, sesungguhnya sisa umur kita tetaplah sangat sedikit. Karena kita tidak tinggal di dunia ini, melainkan hanya sebentar saja.

قَالَ إِن لَّبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا لَّوْ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١١٤﴾
Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui". (QS. Al Mu’minuun. 114).

Ayat tersebut semakin menegaskan, bahwa sesungguhnya kebersamaan kita dengan pasangan hidup kita ternyata sangatlah sebentar, meskipun kebersamaan itu dapat bertahan hingga akhir hayat kita.

Oleh karenanya, silahkan berduka cita tetapi jangan terlalu berduka cita (apalagi sampai larut di dalamnya) terhadap segala sesuatu yang luput dari kita, apakah itu berupa kehilangan jabatan, pekerjaan, harta kekayaan, orang-orang yang kita cintai, dll., termasuk jika saudaraku harus mendapati kemungkinan terburuk (kehilangan suami tercinta karena beliau wafat, atau karena pergi meninggalkan saudaraku begitu saja atau sebab-sebab lainnya). Ingatlah, bahwa pada hakekatnya semuanya itu hanyalah titipan Allah semata. Karena sesungguhnya Allah-lah pemilik seluruh alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga kita.

لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَـــٰــكُمْ وَاللهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ ﴿٢٣﴾
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira* terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. Al Hadiid. 23). *) Yang dimaksud dengan terlalu gembira disini adalah gembira yang telah melampaui batas, yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan, dan lupa kepada Allah.

Saudaraku,
Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita, bahwa sebagai seorang muslim/muslimah yang baik, maka seharusnya cinta kita 100% hanya untuk Allah semata.

Kalaupun kita harus mencintai istri (suami) kita, termasuk cinta kita kepada orang tua, anak, saudara, dll., maka semuanya itu hanyalah dalam rangka memenuhi perintah Allah semata (sebagai perwujudan cinta kita kepada-Nya). Dan jika suatu ketika Allah memerintahkan kita untuk menceraikan istri (suami) kita, maka (karena cinta kita kepada Allah) kita juga harus menceraikannya. Misal: ketika tiba-tiba sang istri (suami) murtad, maka terlebih dahulu kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengajaknya kembali. Namun jika ternyata sang istri tetap tidak mau, maka kita harus tinggalkan dia. Sekalipun kecantikannya masih membuat kita terpesona, juga kelembutan sikapnya, dll. (Semoga hal ini tidak sampai terjadi pada istri/suami kita. Amin, ya rabbal ‘alamin!)

Sedangkan terkait sikap mantan pacar suami yang lebih sering menghubungi suami duluan, maka terhadap hal ini saudaraku bisa bersandar pada hadits berikut ini:

Dari Abu Sa’id Al Khudry radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
“Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Jadi, tidak masalah jika saudaraku menegur mantan pacar suami agar tidak lagi menghubungi suami. Kalaupun harus menghubungi suami, maka sampaikan adabnya (sebagaimana uraian di atas).

Saudaraku,
Satu hal yang harus kita perhatikan saat menyampaikan dakwah kepadanya (serta kepada saudara kita yang lainnya), bahwa kita musti berendah diri dan berlaku lemah lembut. Sikap merendahkan diri serta berlaku lemah lembut dihadapannya, jelas akan lebih dapat mendatangkan simpati dibandingkan sikap angkuh dan kasar. Demikian contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dalam berdakwah, sebagaimana telah diperintahkan Allah SWT. dalam surat Asy Syu’araa’ ayat 215:

وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ ﴿٢١٥﴾
“dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (QS. Asy Syu’araa’. 215).

Sedangkan dalam ayat yang lain, kita juga diperintahkan untuk berdakwah bil hikmah (dengan hikmah) dan memberi pelajaran yang baik atau nasihat yang lembut dan membantahnya dengan bantahan yang baik pula, dengan hujjah-hujjah (keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi) yang jelas.

اُدْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah* dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An Nahl. 125). *) Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

Disamping harus kita sampaikan dengan cara yang baik sebagaimana penjelasan surat Asy Syu’araa’ ayat 215 serta surat An Nahl ayat 125 di atas, kita juga musti belajar banyak terhadap apa yang telah dilakukan oleh Nabi Musa AS., dimana beliau telah menyampaikan dakwah kepada Fir’aun dengan kata-kata yang lemah lembut sebagaimana perintah Allah SWT dalam surat Thaahaa berikut ini:

اِذْهَبْ أَنتَ وَأَخُوكَ بِآيَاتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي ﴿٤٢﴾ اِذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ ﴿٤٤﴾
(42) “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku”; (43) “Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”; (44) “maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaahaa. 42 – 44).

Nah, jika kepada Fir’aun saja Allah telah memerintahkan Musa AS. untuk menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi kepada saudara sesama muslim!

Saudaraku tidak perlu khawatir jika mantan pacar suami tersebut pada akhirnya akan bersikap buruk kepada diri saudaraku (setelah saudaraku berupaya menyampaikan dakwah kepadanya dengan cara yang baik). Kita tidak perlu takut, karena sesungguhnya Allah beserta kita/Allah akan membantu kita!

قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَن يَطْغَىٰ ﴿٤٥﴾ قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَىٰ ﴿٤٦﴾
(45) Berkatalah mereka berdua: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas". (46) Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (QS. Thaahaa. 45 – 46).

Beliau mengatakan: “Alhamdulillah. Terimakasih sekali atas segala bantuan Pak Imron, sudah terasa lega hati saya dengan pencerahan njenengan, in sya Allah saya bisa lebih sabar dan ikhlas dalam menghadapi masalah saya. Semoga Allah SWT melimpahkan segala kebaikan untuk Pak Imron dan keluarga. Aamiin. Matur nuwun sanget Pak Im”.

Alhamdulillah, Ya Rabb!
Engkau telah memberi kesempatan kepada hamba untuk menguatkan saudara hamba yang saat ini sedang mengalami cobaan yang teramat berat ini!

Ya Rabb!
Semoga Engkau berkenan memberi kekuatan kepada hamba, sehingga hamba tetap mampu untuk terus menebar kebaikan kepada sesama, hingga akhir hayat hamba. Amin, ya rabbal ‘alamin!

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Jabir r.a berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “..., Dan sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain”. (HR. at-Thabrani).

Demikian hasil dialog ini,
Semoga bermanfaat!

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞