بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Sabtu, 05 Juni 2021

MENIATKAN PAHALA MEMBACA AL QUR'AN UNTUK ORANG TUA YANG SUDAH WAFAT (II)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang sahabat (kakak kelas di SMAN 1 Blitar sekaligus juga kakak kelas di ITS) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp terkait artikel yang berjudul “Meniatkan Pahala Membaca Al Qur'an Untuk Orang Tua Yang Sudah Wafat (I)” dengan pertanyaan sebagai berikut: “Dengan analogi yang sama bahwa ibadah harus dikerjakan sendiri, terus hukum untuk badal haji sah apa tidak? Bagaimana menurut Mas Imron? Matur nuwun pencerahannya”.

Saudaraku,
Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 38 – 41 berikut ini:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ﴿٣٨﴾ وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
(38) (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, (39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (40) Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (41) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, (QS. An Najm. 38 – 41).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

(38) ("Yaitu bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain) dan seterusnya. Lafal An adalah bentuk Mukhaffafah dari Anna; artinya bahwa setiap diri itu tidak dapat menanggung dosa orang lain. (39) (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang sesungguhnya itu ialah (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya) yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia tidak akan memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang lain. (40) (Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di akhirat. (41) (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna") pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata, Jazaituhu Sa'yahu atau Bisa'yihi, artinya, "Aku memberikan balasan terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya." Dengan kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi'il Muta'addi atau Fi'il Lazim. (QS. An Najm. 38 – 41).

Tafsir Ibnu Katsir:

Kemudian Allah SWT menjelaskan apa yang telah Dia wahyukan kepada Ibrahim dan Musa yang termaktub di dalam lembaran-lembaran masing-masingnya. Untuk itu Allah SWT berfirman:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ﴿٣٨﴾
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm: 38)

Yakni tiap-tiap diri yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri karena melakukan kekufuran atau suatu dosa, maka sesungguhnya yang menanggung dosanya adalah dirinya sendiri, tiada seorang pun yang dapat menggantikannya sebagai penanggungnya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

... وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ... ﴿١٨﴾
 “... Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya ...”. (Fathir: 18)

Adapun firman Allah SWT:

وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (An-Najm: 39)

Yaitu sebagaimana tidak dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian pula dia tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri.

Berdasarkan ayat ini Imam Syafii dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al-Qur'an yang dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk amal perbuatannya dan tidak pula dari hasil upayanya. Karena itulah maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan hal ini, tidak memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, tidak pula memberi mereka petunjuk kepadanya, baik melalui nash hadits maupun makna yang tersirat darinya. Hal ini tidak pernah pula dinukil dari seseorang dari para sahabat yang melakukannya. Seandainya hal ini (bacaan Al-Qur’an untuk mayat) merupakan hal yang baik, tentulah kita pun menggalakkannya dan berlomba melakukannya.

Pembahasan mengenai amal taqarrub itu hanya terbatas pada apa-apa yang digariskan oleh nash-nash syariat, dan tidak boleh menetapkannya dengan berbagai macam hukum analogi dan pendapat manapun. Akan tetapi, berkenaan dengan do’a dan sedekah (yang pahalanya dihadiahkan buat mayat), maka hal ini telah disepakati oleh para ulama, bahwa pahalanya dapat sampai kepada mayat, dan juga ada nash dari syariat yang menyatakannya.

Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

"إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: مِنْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ مِنْ بَعْدِهِ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ"
Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariyah sesudah kepergiannya atau ilmu yang bermanfaat.

Ketiga macam amal ini pada hakikatnya dari hasil jerih payah yang bersangkutan dan merupakan buah dari kerjanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis:

"إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ"
Sesungguhnya sesuatu yang paling baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil upayanya dan sesungguhnya anaknya merupakan hasil dari upayanya.

Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya yang sejenis, juga merupakan hasil upaya amal dan wakafnya. Allah SWT telah berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ ... ﴿١٢﴾
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan ...”. (Yasin: 12)

Ilmu yang dia sebarkan di kalangan manusia, lalu diikuti oleh mereka sepeninggalnya, hal ini pun termasuk dari jerih payah dan amalnya. Di dalam kitab sahih disebutkan:

"مَنْ دَعَا إِلَى هَدْيٍ كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنِ اتَّبَعَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا".
Barang siapa yang menyeru kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi-pahala mereka barang sedikit pun.

Firman Allah SWT:

وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾
Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (An-Najm: 40). Yakni kelak di hari kiamat, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَـــٰــلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَـــٰـدَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُون ﴿١٠٥﴾
Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(At-Taubah: 105)

Yaitu kelak Dia akan memberitahukan kepada kalian amal perbuatan kalian dan membalaskannya terhadap kalian dengan pembalasan yang sempurna. Jika baik, maka balasannya baik; dan jika buruk, balasannya buruk. Demikian pula yang disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya:

ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (An-Najm: 41). Maksudnya, balasan yang penuh.

_____

Saudaraku,
Berdasarkan surat An Najm ayat 38 – 41 di atas, diperoleh penjelasan bahwa secara umum seseorang tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum/pada dasarnya semua ibadah/semua perkara yang menjadi kewajiban seseorang itu, harus dia sendiri yang melaksanakannya.

Terkait hal ini, ketahuilah bahwa apabila ada dalil umum yang menunjukkan hukum suatu amalan, maka seluruh bagian amalan tersebut masuk ke dalam keumuman dalil tersebut dan tidak boleh dikeluarkan sebagiannya kecuali dengan dalil khusus. Artinya apabila dalil umum menunjukkan anjuran, maka tidak boleh dilarang kecuali dengan dalil khusus yang melarangnya. Begitu juga sebaliknya, apabila dalil umum menunjukkan larangan, maka tidak boleh dianjurkan kecuali ada dalil khusus yang menganjurkannya.

Saudaraku,
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu memahami bahwa ditinjau dari bentuk pengorbanan seorang hamba, ibadah dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
   Ibadah murni badaniyah, yaitu semua ibadah yang modal utamanya adalah gerakan fisik. Seperti shalat, puasa, dzikir, adzan, membaca Al Qur’an, dst.
   Ibadah murni maliyah, yaitu semua ibadah yang pengorbanan utamanya adalah harta. Seperti zakat, infaq, sedekah, dst.
   Ibadah badaniyah maliyah. Ini merupakan gabungan antara ibadah fisik dan harta sebagai pendukung utamanya. Seperti jihad, haji atau umrah, dst.

Saudaraku,
Jika kita merujuk kembali kepada penjelasan Al Qur’an dalam surat An Najm ayat 38 – 41 di atas (bahwa secara umum seseorang tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri, yang mana hal ini juga menunjukkan bahwa secara umum/pada dasarnya semua ibadah/semua perkara yang menjadi kewajiban kita itu harus kita sendiri yang melaksanakannya), maka ketiga macam ibadah tersebut masuk ke dalam keumuman dalil di atas (artinya ketiga macam ibadah tersebut juga harus kita sendiri yang melaksanakannya) dan tidak boleh dikeluarkan sebagiannya (artinya tidak bisa diwakilkan/tidak bisa diwakili oleh orang lain/tidak bisa dikerjakan oleh orang lain), kecuali dengan dalil khusus yang membolehkannya. 

Terkait hal ini, karena untuk ibadah maliyah (seperti membayar hutang, sedekah, dst) atau ibadah yang dominan maliyah (seperti ibadah haji atau umrah) ternyata ada dalil khusus yang membolehkannya, maka ibadah-ibadah tersebut bisa diwakilkan/bisa diwakili oleh orang lain/bisa dikerjakan oleh orang lain.

Bisa diwakilkan/bisa diwakili oleh orang lain/bisa dikerjakan oleh orang lain, artinya ketika ibadah-ibadah tersebut telah diwakili oleh orang lain, maka ibadah-ibadah tersebut sah (artinya diterima oleh Allah) dan tentu saja pahalanya akan sampai kepada orang yang diwakili. Perhatikan dalil khusus yang membolehkannya pada beberapa Hadits berikut ini:

Membayar hutang

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu Hurairahradliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka sendiri, maka barangsiapa meninggal sedang ia mempunyai hutang dan tidak meninggalkan harta untuk melunasinya, kewajiban kamilah untuk melunasinya, dan barangsiapa meninggalkan harta, maka itu bagi ahli warisnya." (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا لَا فَصَلَّى عَلَيْهِ ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى فَقَالَ هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ قَالَ أَبُو قَتَادَةَ عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُولَ اللهِ فَصَلَّى عَلَيْهِ. (رواه البخارى)
22.7/2131. Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Yazid bin Abi 'Ubaid dari Salamah bin Al Akwa' radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dihadirkan kepada Beliau satu jenazah agar dishalatkan. Maka Beliau bertanya: Apakah orang ini punya hutang? Mereka berkata: Tidak. Maka Beliau menyolatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah lain kepada Beliau, maka Beliau bertanya kembali: Apakah orang ini punya hutang? Mereka menjawab: Ya. Maka Beliau bersabda: Shalatilah saudaramu ini. Berkata Abu Qatadah: Biar nanti aku yang menanggung hutangnya. Maka Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menyolatkan jenazah itu. (HR. Bukhari).

Sedekah

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu Daud dan At-Tirmidzi).

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha: Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu, maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq 'Alaih).

Haji atau umrah

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ اقْضُوا اللهَ الَّذِي لَهُ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ. (رواه البخاري)
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abbas r.a., bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya? Ia menjawab: Ya. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tunaikanlah hutang (janji) kepada Allah SWT. karena sesungguhnya hutang kepada Allah SWT. lebih berhak untuk dipenuhi”. (HR. Bukhari).

أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحُجِّي عَنْهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Bahwasanya seorang wanita dari Khos’am berkata kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya Rasulallah sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah SWT. dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung onta. Lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hajikanlah dia”. (HR. Muslim).

جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ. (رواه أحمد)
Artinya: “Seorang laki - laki dari bani Khos’am menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang diwajibkan, bolehkan aku menghajikannya? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apakah kamu anak tertua? Orang itu menjawab: Ya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang, lalu engkau membayar hutang itu untuknya, apakah itu cukup sebagai gantinya? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Hajikanlah dia”. (HR. Ahmad).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

Kamis, 03 Juni 2021

MENIATKAN PAHALA MEMBACA AL QUR'AN UNTUK ORANG TUA YANG SUDAH WAFAT (I)


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (teman alumni SMPN 1 Blitar) telah menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai berikut: “Mas Imron, bisakah kita meniatkan pahala membaca Al Qur'an untuk orang tua kita yang sudah meninggal? Niat dan hukumnya bagaimana?”.

Tanggapan

Sebelum menanggapi pertanyaan yang saudaraku sampaikan tersebut, marilah kita perhatikan terlebih dahulu uraian berikut ini:

Saudaraku,
Pada dasarnya semua ibadah/semua perkara yang menjadi kewajiban kita itu, harus kita sendiri yang melaksanakannya, khususnya jika tidak menyangkut hak orang lain. Harus kita sendiri yang melaksanakannya, artinya tidak bisa diwakilkan/tidak bisa diwakili oleh orang lain/tidak bisa dikerjakan oleh orang lain. Salah satu contohnya adalah shalat wajib lima waktu.

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَـــٰبِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
”Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al ’Ankabuut. 45)

Saudaraku,
Sholat wajib lima waktu adalah salah satu kewajiban yang mutlak harus dilaksanakan sendiri oleh seorang muslim dan tidak boleh diwakilkan kepada siapapun. Dan karena tidak bisa diwakilkan kepada siapapun, maka sholat wajib lima waktu harus dikerjakan sendiri, semaksimal yang bisa dilakukannya/sampai batas maksimal yang bisa dikerjakannya. Artinya jika masih mampu melaksanakannya dengan berdiri, maka harus melaksanakannya dengan berdiri. Namun jika tidak mampu, boleh melaksanakannya dengan duduk. Jika dengan dudukpun tetap tidak mampu, maka boleh dengan berbaring. Dan jika dengan berbaringpun tetap tidak mampu juga, maka boleh melaksanakannya dengan isyarat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ. (رواه البخارى)
“Shalatlah engkau dalam keadaan berdiri. Jika tidak bisa, duduklah. Jika tidak mampu juga, shalatlah dalam keadaan berbaring.” (HR. al-Bukhari).

Terakhir, jika dengan isyaratpun sudah tidak mampu lagi (artinya yang bersangkutan sudah wafat), maka yang bersangkutan akan disholatkan. (Wallahu a'lam).

   Meniatkan pahala membaca Al Qur'an untuk orang tua yang sudah meninggal

Terkait masalah yang saudaraku tanyakan di atas, yaitu tentang meniatkan pahala membaca Al Qur'an untuk orang tua yang sudah wafat, ketahuilah bahwa membaca Al Qur’an dengan maksud menghadiahkan pahalanya kepada orang tua yang sudah wafat merupakan masalah yang menjadi perselisihan para ‘ulama’. Terkait hal ini, ada dua pendapat di kalangan para ‘ulama’:
1.  Perbuatan ini tidak ada tuntunannya dalam syariat Islam dan orang yang sudah wafat tidak lagi memperoleh manfaat dari bacaan Al Qur’an.
2.  Orang yang sudah wafat memperoleh manfaat dari bacaan Al Qur’an tersebut. Seseorang boleh membaca dengan niat pahalanya untuk si A atau si B yang muslim, baik ia masih kerabat atau bukan kerabat.

Saudaraku,
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, untuk keluar dari khilaf, aku sendiri lebih memilih untuk bersandar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ مِن أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَٰلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا. (رواه مسلم) 
“Barangsiapa menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana pahala orang yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang menyeru (mengajak) kepada kesesatan, atasnya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi demikian itu dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa jika ada pertanyaan: “Dari mana kita mengenal Islam dan memeluk Agama Islam?”. Tentunya kebanyakan di antara kita akan mengatakan bahwa jawabannya adalah dari orang tua kita (kecuali saudara kita yang muallaf). Nah berawal dari sinilah, akhirnya kita bisa mengetahui apa yang namanya sholat, zakat, puasa, haji, dst.

Jika kemudian hal-hal ini kita tindak-lanjuti dengan perbuatan/kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka orang tua kita juga akan mendapatkan imbalan (pahala) dari Allah, sama seperti pahala yang Allah berikan kepada kita, tanpa mengurangi pahala kita sedikitpun. Mengapa demikian? Karena berawal dari orang tua kitalah, kita mengenal Islam dan mendapatkan petunjuk. (Baca kembali penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas).

Lebih dari itu, perhatikan pula penjelasan hadits tentang terputusnya amalan seseorang (apabila yang bersangkutan telah wafat) berikut ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ الَّذِي يَدْعُو لَهُ. (رواه مسلم)  
“Apabila manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).

Saudaraku,
Pada hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan “… atau anak shalih yang membaca Al Qur’an untuknya atau shalat untuknya atau puasa untuknya”, tetapi Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “…atau anak shalih yang mendo’akannya (yang berdo’a untuk kebaikannya)”.

Saudaraku,
Konteks kalimat ini berkaitan dengan amal. Hal ini menunjukkan bahwa do’a seorang anak untuk orang tuanya yang telah wafat adalah lebih baik daripada menghadiahkan amal shalih dirinya kepada keduanya.

Terlebih lagi jika hal ini kita kaitkan dengan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam Ibnu Majah berikut ini:

بَيْنَانَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ فَقَالَ يَارَسُولَ اللهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَمَوْتِهِمَا؟ فَقَالَ نَعَمْ: اَلصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالْإِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا. وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِى لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكرَامُ صَدِيْقِهِمَا (رواه ابو داود وابن ماجه)
Ketika kami duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tiba-tiba datang seorang dari Bani Salimah bertanya: “Ya Rasulullah, apakah ada amal untuk berbakti kepada kedua ayah atau ibu sesudah wafat keduanya?”. Jawab Rasulullah: Ya!
1.  mendo’akan keduanya*).
2.  dan meminta ampun untuk keduanya.
3.  dan memenuhi janji keduanya setelah keduanya meninggal dunia.
4.  menjalin hubungan silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin.
5.  dan memuliakan teman dekat keduanya.
(HR. Abu Daud no. 5142 dan Ibnu Majah no. 3664).

Saudaraku,
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kita masih tetap mempunyai kesempatan untuk berbakti kepada kedua orang tua kita manakala keduanya sudah wafat, yaitu dengan melaksanakan kelima perkara di atas.

Dan dari lima perkara di atas, yang pertama kali disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mendo’akan keduanya. Tentunya hal ini semakin menguatkan penjelasan sebelumnya, bahwa do’a seorang anak untuk orang tuanya yang telah wafat adalah lebih baik daripada menghadiahkan amal shalih dirinya kepada keduanya. Wallahu a’lam**).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
*)  Sekedar informasi, bahwa terdapat tiga makna shalat, yaitu:
   Shalat bermakna do’a.
   Shalat bermakna shalawat
   Shalat secara syar’i, adalah suatu pekerjaan/ibadah khusus yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW., yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam

   Secara bahasa, shalat itu bermakna do’a.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Al Qur’an dalam surat At Taubah ayat 103 berikut ini:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١٠٣﴾
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At Taubah. 103).

Dalam ayat tersebut, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdo’a.

   Shalat bermakna shalawat
Terkait hal ini, perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Ahzaab ayat 56 berikut ini:

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٥٦﴾
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al Ahzaab. 56).

   Shalat secara syar’i, adalah suatu pekerjaan/ibadah khusus yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam

Terkait masalah shalat (secara syar’i), perhatikan penjelasan 2 hadits berikut ini:

Dari Malik Ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي. (رواه البخارى)
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat shalatku.” (HR. Al-Bukhari).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: {إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ. ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَا ئِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ سْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا}. أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ وَلإِبْنِ مَاجَهْ بِإِسْنَادِ مُسْلِمٍ: {حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِمًا}.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadap qiblat, lalu bertakbir, bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an, kemudian ruku’lah secara thuma’ninah, lalu bangkit sampai lurus berdiri, kemudian sujud sampai thuma’ninah, kemudian bangkit hingga duduk dengan thuma’ninah, kemudian sujud kembali hingga thuma’ninah, kemudian lakukanlah yang demikian itu pada shalatmu seluruhnya”. Dikeluarkan oleh tujuh dan ini lafadz Al Bukhari. Dan riwayat Ibnu Majah dengan sanad Muslim: “Hingga berdiri dengan thuma’ninah”. (Shahih, diriwayatkan oleh Al Bukhari (6251) dalam Al Istidzaan, Muslim (397) dalam Ash Shalaah, Abu Dawud (856) dalam Ash Shalaah, At Tirmidzi (303) dalam Abwaab Ash Shlaah, An Nasa’i (884), Ibnu Majah (1060) dalam Iqaamatush ash Shalaah was Sunnah fiha, Ahmad (9352). At Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”).

**) Pada tulisan di atas, ku-akhiri dengan kalimat: ”Wallahu a'lam”. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan ilmu-ku adalah sangat terbatas.

... وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
 “... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al Israa’. 85).

Sedangkan yang lebih mengetahui bagaimana yang sebenarnya, tentunya hanya Allah semata. Karena Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas/meliputi segala sesuatu.

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا ﴿١١٠﴾
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya”. (QS. Thaahaa. 110).

اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 12).

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞