Assalamu’alaikum wr. wb.
Dalam sebuah diskusi terbuka di facebook, seorang
non-muslim dengan santainya telah membuat pernyataan sebagai berikut:
Saya sering bingung mengartikan
kalimat: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah”. Setahu saya, saksi
adalah “orang yang berada pada saat kejadian, sehingga dipercayai mampu
menceritakan kejadian yang sesungguhnya”. Saya jadi berfikir, orang-orang yang
berani mengucapkan kalimat tersebut berarti sudah melihat Allah di surga dan
sudah keliling dunia dan surga, sehingga dia berani bersaksi mengatakan bahwa “Tiada
Tuhan selain Allah”. Jika dia belum melihat langsung, apakah dia bisa dikatakan
sebagai saksi?
Seorang saksi harus berada di
tempat kejadian perkara. Jika
tidak, maka dia adalah "saksi palsu!". Jika bersaksi berdasarkan “feeling” atau perasaan saja
maka kesaksiannya tidak bisa dipercaya, atau pembohong.
-----
MARI KITA KAJI PERNYATAAN DI ATAS!
Saudaraku…,
Dari pernyataan di atas, nampak sekali kekurang-pahaman
dari yang bersangkutan akan makna persaksian. Lebih dari itu, dari pernyataan
di atas juga sangat kelihatan, betapa dalam pikirannya yang ada hanyalah
kedengkian yang timbul dari dirinya sendiri, setelah nyata kebenaran itu ada di
depannya. Dan
kedengkian itu, hanya akan menutup semua kebaikan yang seharusnya menghampiri dirinya. (Na’udzubillahi
mindzalika!).
Kita tidak perlu heran melihat hal ini, karena hal
seperti ini memang sering kita jumpai di kalangan Ahli Kitab dalam menyikapi
kebenaran yang datangnya dari Allah SWT., sebagaimana telah diisyaratkan dalam
Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 109 serta surat Asy Syuura ayat 14 berikut ini:
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُم
مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم مِّن بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ... ﴿١٠٩﴾
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka
dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki
yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran
...” (QS. Al Baqarah. 109).
وَمَا تَفَرَّقُوا إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ
الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِن رَّبِّكَ إِلَى
أَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الَّذِينَ أُورِثُوا الْكِتَابَ
مِن بَعْدِهِمْ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيبٍ ﴿١٤﴾
”Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan
sesudah datangnya pengetahuan kepada mereka karena kedengkian antara mereka*.
Kalau tidaklah karena sesuatu ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu dahulunya
(untuk menangguhkan azab) sampai kepada waktu yang ditentukan, pastilah mereka
telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka
Al-Kitab (Taurat dan Injil)** sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan
yang menggoncangkan tentang kitab itu”. (QS. Asy Syuura. 14).
*) Maksudnya: Ahli-ahli kitab itu berpecah belah sesudah
mereka mengetahui kebenaran dari nabi-nabi mereka. Sesudah datang Nabi Muhammad
SAW dan nyata kebenarannya, merekapun tetap berpecah belah dan tidak mempercayainya.
**) Yang dimaksud dengan ”orang-orang yang diwariskan
kepada mereka Al-Kitab” adalah ahli kitab yang hidup pada masa Nabi Muhammad
SAW.
Saudaraku…,
Terkait pernyataan di atas, marilah kita perhatikan dua
contoh kasus berikut ini:
1. Ketika didapati ada seseorang yang
telah meninggal secara tidak wajar sementara tidak ada seorangpun yang berada
di tempat kejadian perkara, untuk memastikan sebab-sebab kematiannya (apakah
karena dibunuh atau karena minum racun atau karena sebab-sebab yang lainnya), maka
bisa didatangkan seorang ahli forensik sebagai saksi ahli.
2. Dalam sebuah rumah tangga, telah
terjadi keributan. Sang suami telah menuduh istrinya berselingkuh dan tidak
mengakui anak yang telah lahir dari rahim sang istri sebagai anaknya, sementara
sang istri bersikukuh tidak melakukan perselingkuhan dengan siapapun dan juga
tetap bersikukuh bahwa anak yang telah lahir dari rahimnya adalah anaknya sang
suami juga.
Karena
keributan tak kunjung selesai, akhirnya keduanya sepakat untuk membawa kasus ini
ke pengadilan. Selanjutnya dari hasil tes DNA, seorang saksi (saksi ahli/orang
yang memiliki kepakaran di bidang tersebut) bisa dimintai kesaksiannya oleh
sang hakim untuk memastikan apakah sang suami benar-benar ayah dari anak
tersebut atau bukan.
Saudaraku…,
Dari kedua contoh kasus tersebut, nampaklah bahwa semua
saksi sama-sama tidak berada di tempat kejadian perkara dan juga sama-sama
tidak melihat secara langsung (dengan matanya sendiri) saat kejadian
berlangsung. Meskipun demikian mereka semua bukanlah saksi palsu, karena mereka
tidak bersaksi berdasarkan “feeling” atau perasaan saja. Namun mereka telah bersaksi
berdasarkan bukti-bukti yang sangat meyakinkan.
Saudaraku…,
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak benar jika untuk bisa bersaksi / untuk bisa
menjadi saksi, seseorang harus selalu berada di tempat kejadian perkara serta
melihat secara langsung (dengan matanya sendiri) saat kejadian berlangsung.
Yang benar adalah bahwa seseorang sudah bisa bersaksi / sudah bisa menjadi saksi,
hanya berdasarkan bukti-bukti yang sangat meyakinkan (tidak harus selalu berada
di tempat kejadian perkara serta tidak harus selalu melihat secara langsung
saat kejadian berlangsung). Dengan demikian, maka terbantahlah pernyataan yang
telah disampaikan oleh orang non muslim di atas.
HIKMAH YANG BISA KITA PETIK DARI KAJIAN INI
Kita harus senantiasa waspada* terhadap semua pernyataan/sikap/tindakan dari para Ahli
Kitab, khususnya jika hal itu terkait dengan masalah aqidah. Hati-hati, karena
tidak bisa dipungkiri bahwa bisa jadi pernyataan/sikap/tindakan dari para Ahli
Kitab tersebut telah dirancang sedemikian rupa sehingga (jika kita tidak
berhati-hati) kita akan dibuat ragu-ragu terhadap kebenaran agama kita!
Mengapa
demikian? Karena sebagian besar di antara mereka para Ahli Kitab
itu menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kita kepada kekafiran setelah kita
beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi
mereka kebenaran (sebagaimana penjelasan surat Al Baqarah ayat 109 di atas).
Berikut ini kusampaikan beberapa ayat / hadits yang bisa
kita jadikan sebagai bahan renungan terkait dengan kajian di atas. Semoga kita semua
senantiasa berada dalam bimbingan-Nya, dijauhkan dari tipu daya syaitan serta
senantiasa berada di jalan-Nya yang lurus. Amin, ya rabbal ‘alamin!
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحاً
وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى
وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى
الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَن يَشَاءُ
وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَن يُنِيبُ ﴿١٣﴾
“Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy Syuura. 13).
Ubadah bin Shamit radhiyallahu
'anhu yang mengatakan, Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
مَنْ
شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ
حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ الْعَمَلِ
"Barangsiapa bersyahadat (bersaksi) bahwa tiada Ilah (Tuhan)
yang berhak disembah kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, dan (bersyahadat) bahwa Isa adalah hamba
Allah dan utusan-Nya, kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam dan ruh
daripada-Nya; dan (bersyahadat) pula bahwa surga benar adanya dan neraka benar
adanya; pasti Allah memasukkannya ke dalam surga betapapun amal yang telah
diperbuatnya."
(Muttafaq 'Alaih).
Dari Abu Hurairah Radliyallah
'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
أَشْهَدُ
أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ لَا يَلْقَى اللهَ بِهِمَا
عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه مسلم)
"Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang berhak diibadahi)
selain Allah dan aku adalah utusan Allah, tiada-lah seorang hamba bertemu Allah
(meninggal dunia) dengan membawa keduanya tanpa ada keraguan sedikitpun pasti
ia akan masuk surga."
(HR. Muslim).
...
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ ﴿١١﴾
“... Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy
Syuura. 11)
إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا
فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي ﴿١٤﴾
”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaahaa.
14).
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Yang dimaksud dengan sikap waspada*
itu tidaklah identik dengan sikap membenci atau memusuhi. Sebagai ilustrasi, jika kita mempunyai seorang teman dan jelas-jelas
kita ketahui bahwa teman kita tersebut suka mencuri, maka sebaiknya kita tetap
berteman / tetap menjaga hubungan baik dengannya / tidak lantas membencinya.
Namun pada saat yang sama, kita juga harus senantiasa waspada terhadap setiap
gerak-geriknya. Semoga dengan sikap seperti ini, kita tetap memiliki kesempatan
untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar /
berdakwah kepadanya.
Dan semoga Allah menjadikan kita sebagai jalan hidayah bagi orang lain. Amin, ya rabbal ‘alamin!
{Bersambung;
tulisan ke-1 dari 2 tulisan}