Assalamu’alaikum
wr. wb.
Seorang akhwat (dosen
fakultas ekonomi sebuah perguruan tinggi negeri di Sumatera) telah
menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai berikut: “Kenapa ya Pak Imron, saya
sering banget gagal saat buka usaha? Semua sudah saya perhitungkan, zakat sudah
saya bayar. Apa yang salah dalam usaha saya? Matursuwun, Pak Imron”.
Saudaraku,
Sebelum aku menanggapi
pertanyaan panjenengan, marilah kita perhatikan terlebih dahulu penjelasan
hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ كِلَاهُمَا عَنْ
الْأَسْوَدِ بْنِ عَامِرٍ قَالَ أَبُو بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
عَائِشَةَ وَعَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ
قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُمْ قَالُوا قُلْتَ
كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ. (رواه مسلم)
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan 'Amru An Naqid seluruhnya
dari Al Aswad bin 'Amir; Abu Bakr berkata; Telah menceritakan kepada kami Aswad
bin 'Amir; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Hisyam bin
'Urwah dari Bapaknya dari 'Aisyah dan dari Tsabit dari Anas bahwa Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan
pohon kurma lalu beliau bersabda: “Sekiranya mereka tidak melakukannya, kurma
itu akan (tetap) baik”. Tapi setelah itu, ternyata kurma tersebut tumbuh dalam
keadaan rusak. Hingga suatu saat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melewati
mereka lagi dan melihat hal itu beliau bertanya: “Ada apa dengan pohon kurma
kalian?” Mereka menjawab: “Bukankah anda telah mengatakan hal ini dan hal itu?”
Beliau lalu bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. (HR. Muslim).
Saudaraku,
Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan tanggapan tentang cara mengawinkan pohon kurma
supaya berbuah, bisa jadi petani kurma itu telah menganggap bahwa beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam sudah memasukkan otoritas agama untuk urusan duniawi di mana
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendapatkan wahyu atau kewenangan
untuk itu.
Tapi
ternyata dalam masalah menanam kurma tersebut, pendapat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam keliru. Pohon kurma itu malah menjadi mandul.
Maka para petani kurma tersebut
mengadu lagi
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meminta pertanggungjawaban
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari kesalahan tanggapannya waktu itu dan
dengan rendah hati berkata:
“Kalau itu berkaitan dengan urusan agama ikutilah aku, tetapi kalau itu berkaitan dengan
urusan dunia kamu, maka:
antum a’lamu bi
umuri dunyaakum (kamu
sekalian lebih mengetahui urusan duniamu)”.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengakui
keterbatasannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah penentu untuk segala hal. Rasul bukanlah
orang yang paling tahu untuk segala hal. Bahkan untuk urusan dunia di jaman
beliau-pun, beliau bukanlah orang yang
paling tahu.
Jadi
tidak mungkin jika kita menuntut Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
untuk mengetahui
segala sesuatu hal tentang urusan dunia. Apalagi kalau mengurusi urusan kita di
jaman modern ini. Lhawong di jamannya saja Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
menyatakan bahwa
ada hal-hal yang tidak beliau pahami dan hendaknya tidak mengikuti pendapat
beliau dalam “urusan
duniamu”
tersebut.
Saudaraku,
Dalam
hadits di atas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu
dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja secara alami.
Permasalahan kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak tidaklah terkait dengan
tanggapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan
makna perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “wa antum a’lamu bi amri dunyakum (dan kamu sekalian lebih
mengetahui urusan-urusan duniamu)”
, yang dimaksud “urusan dunia” di
sini adalah khusus
urusan disiplin ilmu tertentu atau pengetahuan tertentu di luar ilmu agama,
seperti dalam hadits tersebut adalah ilmu pertanian, ilmu pengetahuan manusia
dalam membantu perkawinan kurma.
Saudaraku,
Setelah memperhatikan uraian
di atas, mari kita kaji pertanyaan yang saudaraku sampaikan.
Dari pertanyaan yang
saudaraku sampaikan, aku melihat bahwa pertanyaan tersebut ada kemiripan dengan
apa yang terjadi pada para petani dalam hadits di atas. Yaitu sama-sama
menyangkut “urusan dunia”. Jika dalam hadits di atas yang dimaksud dengan
urusan dunia adalah terkait ilmu pertanian, pada pertanyaan yang saudaraku
sampaikan, banyak terkait dengan ilmu ekonomi.
“Kenapa ya Pak Imron, saya
sering banget gagal saat buka usaha?”.
Saudaraku,
Sering gagal saat buka usaha,
bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor. Antara lain: kurang cakap dalam
mengatur keuangan, kurangnya modal cadangan, pemilihan lokasi usaha yang kurang
tepat, layanan kepada pelanggan yang kurang baik, rencana bisnis yang kurang
memadai, kemampuan untuk mengenali peluang yang kurang memadai serta kurang
fleksibel untuk beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi,
pemasaran yang tidak efektif, meremehkan kompetisi, terlalu fokus pada hal-hal
yang kurang penting, serta networking yang kurang bagus.
Mohon maaf, disamping hanya
itu yang bisa kusampaikan, bisa jadi apa yang kusampaikan tersebut masih
terlalu teoritis (tidak aplikatif) dan juga tidak tertutup kemungkinan masih
banyak kesalahan di sana-sini. Harap maklum, karena latar belakang pendidikan
formalku adalah ilmu teknik, bukan ilmu ekonomi.
Dalam hal ini, aku lebih
senang untuk kembali mengacu kepada perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada hadits di atas: “wa antum a’lamu bi amri dunyakum (dan kamu sekalian
lebih mengetahui urusan-urusan duniamu)”.
Saudaraku mengatakan: “...,
zakat sudah saya bayar. Apa yang salah dalam usaha saya?”.
Saudaraku,
Mengaitkan pembayaran zakat
dengan kesuksesan usaha, tentunya akan sangat membahayakan “keselamatan” amalan
saudaraku.
Saudaraku,
Ada dua kunci utama agar
semua ibadah yang kita lakukan diterima Allah SWT., yaitu ikhlas dan ittiba’.
Ikhlas berarti melakukannya semata-mata karena Allah, sedangkan ittiba’ berarti
mengikuti cara peribadatan yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan.
قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَّهُ دِينِي ﴿١٤﴾
”Katakanlah: "Hanya
Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agamaku". (QS. Az Zumar. 14).
Sedangkan dalam rangkaian
ittiba’ kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mari kita mengkaji
firman Allah SWT. pada bagian akhir ayat 7 dari surat Al
Hasyr berikut ini:
...
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya”. (QS Al Hasyr. 7).
Sehingga dari uraian tersebut,
dengan mudah dapat kita simpulkan bahwa mengaitkan pembayaran zakat dengan
kesuksesan usaha, tentunya akan sangat membahayakan “keselamatan” amalan
saudaraku. Artinya kita tidak akan beroleh apapun dari amalan
zakat yang kita lakukan (kita tidak akan mendapatkan
pahala dari Allah, na’udzubillahi mindzalika).
Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:
عَنْ
عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ
عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ
وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (رواه
البخارى)
Dari
Alqamah bin Waqash dari Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap
orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah
dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan
yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan”. (HR. Bukhari).
Saudaraku,
Hadits
tersebut menunjukkan bahwa niat itu merupakan timbangan penentu kesahihan amal.
Apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik. Sedangkan
apabila niatnya buruk, maka amalnya-pun menjadi buruk. Sedangkan
yang dimaksudkan di sini adalah terkait dengan ”keikhlasan” kita dalam
melaksanakan perintah Allah.
Dalam hadits di atas,
dijelaskan bahwa jika hijrahnya karena dunia yang
ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya adalah kepada apa yang dia diniatkan, artinya yang bersangkutan tidak
akan memperoleh apapun dari Allah (tidak akan
mendapatkan pahala dari Allah) dari hijrah yang dia lakukan.
Demikian juga pada saat
bersedekah. Hal ini-pun harus kita niatkan karena Allah semata agar bisa
membuahkan pahala. Sedangkan jika kita berniat karena ingin mendapat pujian
dari orang lain/riya’ atau karena yang lainnya, maka akan
rusaklah amalan kita tersebut. Artinya kita tidak akan beroleh apapun dari
sedekah yang kita lakukan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُبْطِلُواْ صَدَقَــــٰــتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي
يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ
صَلْدًا لَّا يَقْدِرُونَ عَلَىٰ شَيْءٍ مِّمَّا
كَسَبُواْ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَـــٰــفِرِينَ ﴿٢٦٤﴾
”Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. Al Baqarah. 264).
Sehingga dari uraian di atas,
dengan mudah dapat dipahami bahwa untuk menjaga kemurnian ibadah saudaraku, maka
pada saat saudaraku membayar zakat, jangan kaitkan sama sekali dengan
kesuksesan dalam usaha saudaraku, agar amalan yang saudaraku lakukan tidak
sia-sia.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَــٰــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا
شَرِيكَ لَهُ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ
أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
“Katakanlah:
"Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam”, (QS. Al An’aam. 162). “tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian
itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al An’aam. 163).
Sekali lagi, apapun yang saudaraku
lakukan (termasuk dalam berzakat), cukuplah jika semuanya itu saudaraku niatkan
hanya karena Allah semata agar amalan yang saudaraku lakukan tidak sia-sia.
Saudaraku,
Mohon
maaf, hanya itu yang bisa kusampaikan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan
ilmuku.
Aku
melihat pertanyaan saudaraku tersebut memang sulit, karena tidak murni masalah
agama namun juga banyak terkait dengan bidang ilmu ekonomi. Seandainya
pertanyaan yang saudaraku sampaikan adalah murni masalah agama, biasanya kita
dengan mudah bisa mencari solusinya dengan merujuk kepada Al Qur'an atau Al
Hadits.
Beliau
mengatakan: “Wa’alaikumussalam. Alhamdulillah, penjelasannya sangat lengkap.
Saya yang selama ini salah memahami antara zakat dan kesuksesan. Saya meminta
balasan atas amalan saya. Astagfirullah... Matur nuwun, Pak Imron”.
Alhamdulillah, Ya Rabb!
Engkau telah memberi
kesempatan kepada hamba untuk berbagi ilmu kepada saudara hamba.
Semoga Engkau berkenan memberi kekuatan kepada hamba, sehingga hamba tetap
mampu untuk terus menebar kebaikan kepada sesama, hingga akhir hayat hamba.
Amin, ya rabbal ‘alamin!
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Jabir r.a berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “..., Dan sebaik-baik manusia ialah
yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain”. (HR. at-Thabrani).
Semoga bermanfaat.