Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku…,
Marilah kita perhatikan kembali penjelasan Al Qur'an surat An Nisaa’ ayat 3 berikut
ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُواْ ﴿٣﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.
(QS. An Nisaa’. 3).
Disitu dengan jelas
tertulis: "maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja".
Artinya kita memang diperintahkan untuk mengawini
wanita-wanita yang kita senangi: dua, tiga atau empat. Namun jika kita takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka sangat disarankan untuk mengawini seorang
saja.
Memang berat berlaku adil terhadap dua, tiga atau empat istri itu. Tetapi yang
perlu diingat adalah, bahwa yang dimaksud dengan adil disini tidaklah sama dengan
keadilan sebagaimana adilnya Allah kepada seluruh hamba-Nya. Sebab jika ini yang
dimaksudkan, tentunya perintah pada QS. An Nisaa’ ayat 3 tersebut akan mubadzir
(sia-sia), karena tidak mungkin bisa dilaksanakan. Maha
Suci Allah dari melakukan sesuatu / membuat aturan / perintah dengan sia-sia.
(Wallahu ta'ala a'lam).
Saudaraku…,
Sepanjang pengetahuanku, pada umumnya kita diperintahkan yang maksimal dahulu.
Baru jika tidak mampu, kita diperbolehkan mengambil di "bawah"nya.
Dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. (رواه البخارى)
“Apabila aku melarangmu dari
sesuatu maka jauhi dia. Bila aku perintahkan kamu suatu perkara maka
tunaikanlah semampumu.” (HR. Al-Bukhari, no. 7288)
Dalam memerangi kemungkaran, misalnya. Jika kita mampu memeranginya dengan
tangan kita (dengan kekuasaan), maka lakukan itu. Namun
jika tidak mampu, lakukan dengan kata-kata. Dan jika dengan kata-katapun tetap
tidak mampu, maka minimal dengan hati kita (hati kita tidak menyetujui
kemungkaran itu). Dan yang terakhir ini adalah selemah-lemahnya iman. Demikian
penjelasan Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya.
Dari Abu Sa’id Al Khudry
radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ. (رواه ومسلم)
“Barang
siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya.
Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan
lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Contoh perintah yang lain: dalam melaksanakan sholat 5 waktu, maka kita
diperintahkan untuk melaksanakannya dengan berdiri. Namun bagi yang tidak mampu, boleh melaksanakannya dengan
duduk. Dan jika dengan dudukpun tetap tidak mampu, maka boleh dengan berbaring.
Dan jika dengan berbaringpun tetap tidak mampu, maka boleh melaksanakannya
dengan isyarat.
Rasulullah SAW. bersabda:
صَلِّ
قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ. (رواه البخارى)
“Shalatlah engkau dalam keadaan
berdiri. Jika tidak bisa, duduklah. Jika tidak mampu juga, shalatlah dalam
keadaan berbaring.” (HR. al-Bukhari no. 1117)
Terakhir, jika dengan isyaratpun sudah tidak mampu
lagi (artinya yang bersangkutan sudah wafat), maka yang bersangkutan akan
disholatkan. (Wallahu a'lam).
Hal ini senada dengan
penjelasan Al Qur'an surat
An Nisaa’ ayat 3 di atas. Karena memimpin dua, tiga atau empat istri itu luar
biasa berat, maka bagi yang mampu, lakukan itu. Namun bagi yang tidak mampu, maka
sangat disarankan untuk mengawini seorang saja. (Wallahu ta'ala a'lam).
-----
Ya… Tuhan kami,
Bimbinglah kami,
Sehingga kami tetap
mampu untuk mendapatkan pemahaman yang benar tentang semua ajaran Islam, sesuai
dengan yang Engkau ajarkan kepada kami.
اللَّهُّمَ
أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا
وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
“Ya Allah, tampakkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai
kebenaran dan karuniakanlah kami untuk mengikutinya. Dan tampakkanlah kebatilan itu
sebagai kebatilan dan karuniakanlah kami untuk menjauhinya.”
Ya… Tuhan kami,
اهدِنَــــا الصِّرَاطَ
الْمُستَقِيمَ ﴿٦﴾ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ﴿٧﴾
“Tunjukilah
kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
ni`mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat”. (QS. Al Faatihah. 6 – 7).
Semoga bermanfaat!
{Bersambung;
tulisan ke-2 dari 6 tulisan}