Seorang akhwat telah bertanya: ”Maaf Pak, mengganggu. Saya mau tanya, saya kan pernah mendengar bahwa orang yang ikhlas itu setan-pun tak ’kan bisa menggoda. Tapi kenapa keikhlasan itu masih bisa goyah? Bener ‘nggak sich...?
-----
Saudaraku…,
Sebelumnya aku sampaikan terimakasih atas kesediaannya untuk bersama-sama belajar. Dan semoga semangat untuk belajar tidak pernah padam hingga akhir hayat kita. Amin...!!!
Saudaraku…,
Mukhlis artinya orang yang ikhlas. Seseorang dengan kualitas mukhlis adalah orang yang hatinya bersih dari keinginan memperoleh pujian dari orang lain. Semua amal perbuatannya atau apapun yang dilakukannya (shalatnya, ibadahnya, hidupnya, matinya, dst.) semata-mata dilakukan hanya untuk Allah SWT. Baginya, pujian orang lain tidak akan membuatnya berbangga hati, sedangkan hujatan / celaan / hinaan / caci maki orang lain juga tidak akan membuatnya surut.
“Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, (QS. Al An’aam. 162).
Saudaraku…,
Jika seseorang mampu mempertahankan dirinya dalam predikat kualitas mukhlis, maka semua amal perbuatannya tidak akan mengalami kesia-siaan. Karena semua amal perbuatannya hanya dia ikhlaskan kepada-Nya, dia benar-benar memurnikan ketaatannya hanya kepada-Nya. Sedangkan dia adalah seseorang yang hanya berharap kepada-Nya.
“Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati”, (QS. Al Baqarah. 139).
”Katakanlah: "Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku". (QS. Az Zumar. 14).
”Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”. (QS. Alam Nasyrah. 8).
Seseorang yang mampu mempertahankan dirinya dalam predikat kualitas mukhlis, juga akan terhindar dari godaan syaitan yang terkutuk, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Hijr ayat 39 – 40):
“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma`siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya”, (QS. Al Hijr. 39). ”kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis* di antara mereka". (QS. Al Hijr. 40).
*) Yang dimaksud dengan “mukhlis” ialah orang-orang yang diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah (*catatan kaki no. 799, Al Qur'an Terjemahan versi Departemen Agama RI).
Dari deretan predikat kualitas seseorang dengan urutan: muslim, mu'min, 'alim (orang terpelajar), ’amil (yang beramal) dan mukhlis, maka selain mukhlis, seseorang masih berpeluang untuk mengalami kesia-siaan terhadap amal perbuatannya.
Seseorang dengan kualitas mukhlis adalah orang yang produktif bagi dirinya, meski bisa saja tidak diketahui oleh orang lain. Sementara seorang 'alim yang 'amil (orang berilmu / pandai yang banyak berbuat / beramal) tetapi tidak mukhlis adalah kontra produktif bagi dirinya, karena amal perbuatannya akan menjadi sia-sia (artinya dia tidak akan beroleh apapun dari amalan yang telah dilakukannya), meskipun memperoleh banyak penghargaan / pujian dari orang lain / masyarakat. Orang mukhlis berbuat sesuatu demi Allah semata, tidak peduli apakah diketahui oleh penglihatan orang lain atau tidak, bahkan dia akan lebih suka menyembunyikan perbuatannya dari penglihatan orang lain. Sedangkan orang riya’ melakukannya demi pujian orang lain.
Di sisi lain, Allah juga telah mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya syaitan itu akan selalu berupaya mendatangi kita dari segala arah, dalam upayanya untuk menyesatkan kita. Dalam Al Qur’an surat Al A’raaf ayat 16 – 17, diperoleh keterangan bahwa: “Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at)”. (QS. Al A’raaf. 16 – 17).
Oleh karena itu, tetaplah berpegang pada tali-Nya yang tak akan mungkin putus, kecuali kita sendiri melepaskannya.
”Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan”. (QS. Luqman. 22).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kekurangan / kesalahan.
Semoga bermanfaat.
saya suka kutipan ini.. "tetaplah berpegang pada tali-Nya yang tak akan mungkin putus, kecuali kita sendiri melepaskannya.", kalimat bijak yg bagus... makasih pak imron...
BalasHapusTerimakasih kembali, Bu Yuyu. (^_^)
HapusSemoga bermanfaat!