Seorang akhwat telah bertanya: “Mas Imron... Saya mohon pencerahan mas. Apa yang harus saya lakukan pada saat hati galau seperti ini. Sungguh tidak menyangka, ketika sudah menemukan calon yang saya rasa cocok diusia yang tidak muda ini, saya malah menjadi kacau. Pekerjaan terbengkalai, keimanan menurun karena terlalu cemburu dan terlalu mencintainya. Mohon saya diberi doa yang bisa mengembalikan saya seperti saya yang dulu. Mandiri, kuat ibadah dan cinta Allah. Saat ini saya ingin lari. Lari dari semua ini. Saya takut jatuh kedua kali dan saya takut disakiti lagi. Saya memang butuh suami, tapi saya lebih butuh imam dalam hidup saya sehingga membaikkan dunia akhirat saya.. Mohon bantuan mas. Mohon maaf kalau kurang berkenan. Wassalam.”
-----
Saudaraku yang dicintai Allah...,
Memang begitulah pada umumnya keadaan seseorang ketika sedang dilanda cinta. Tak peduli berapapun usianya. Ketika cinta sedang menggelora, rasanya setiap saat selalu ingat padanya. Perasaan senang, cemburu, cemas / takut kehilangan dia, dst. bercampur menjadi satu.
Jika keadaan seperti ini berlangsung sebentar saja, tentu wajar-wajar saja. Sebagaimana halnya ketika seseorang baru saja ditinggal pergi oleh orang-orang tercinta (ibunya/ayahnya baru saja wafat, dst) maka adalah wajar jika yang bersangkutan mengalami kesedihan yang mendalam. Namun jika yang bersangkutan terus larut dalam kesedihan tersebut dalam waktu yang lama, tentunya hal ini menjadi tidak baik.
Saudaraku...,
Silahkan bersuka cita, tetapi janganlah kita terlalu bersuka cita / terlalu bergembira dengan apa saja yang telah berhasil kita raih / telah berhasil kita miliki. Termasuk kepada sang calon suami (dan saya ikut berdo’a semoga bisa berakhir hingga ke pelaminan, amin). Cobalah untuk menata hati kembali agar perasaan cinta yang menggelora kepadanya tersebut jangan berlangsung terlalu lama. Silahkan mencintainya, tapi jangan terlalu mencintainya. Bersikaplah yang sewajarnya saja, karena semuanya itu (termasuk calon suami), pada hakekatnya hanyalah titipan Allah semata.
Sebaliknya: silahkan berduka cita, tetapi jangan terlalu berduka cita (apalagi sampai larut di dalamnya) terhadap segala sesuatu yang luput dari kita, apakah itu berupa kehilangan jabatan, pekerjaan, harta kekayaan, orang-orang yang kita cintai, dll., termasuk jika saudaraku harus mendapati kemungkinan terburuk / tidak jadi menikah dengannya (dan saya ikut berdo’a semoga hal ini tidak sampai terjadi, amin). Ingatlah, bahwa pada hakekatnya semuanya itu hanyalah titipan Allah semata. Karena sesungguhnya Allah-lah pemilik seluruh alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga kita. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Hadiid ayat 23 berikut ini:
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira* terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. Al Hadiid. 23). *) Yang dimaksud dengan terlalu gembira disini adalah gembira yang telah melampaui batas, yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan, dan lupa kepada Allah.
Saudaraku...,
Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita, bahwa sebagai seorang muslim / muslimah yang baik, maka seharusnya cinta kita 100% hanya untuk Allah semata.
Kalaupun kita harus mencintai istri (suami) kita, termasuk cinta kita kepada orang tua, anak, saudara, dll., maka semuanya itu hanyalah dalam rangka memenuhi perintah Allah semata (sebagai perwujudan cinta kita kepada-Nya). Dan jika suatu ketika Allah memerintahkan kita untuk menceraikan istri (suami) kita, maka (karena cinta kita kepada Allah) kita juga harus menceraikannya. Misal: ketika tiba-tiba sang istri (suami) murtad, maka terlebih dahulu kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengajaknya kembali. Namun jika ternyata sang istri tetap tidak mau, maka kita harus tinggalkan dia. Sekalipun kecantikannya masih membuat kita terpesona, juga kelembutan sikapnya, dll. (Semoga hal ini tidak sampai terjadi pada istri/suami kita. Amin...!!!)
Saudaraku mengatakan: ”Saat ini saya ingin lari. Lari dari semua ini. Saya takut jatuh kedua kali dan saya takut disakiti lagi”.
Mengapa harus lari dari semua ini? Bukankah tidak ada satupun diantara kita yang mampu menghindar dari masalah selama kita masih menjalani kehidupan di dunia ini? Dan seandainya saudaraku lari dari semuanya ini, apakah bisa dipastikan bahwa saudaraku tidak akan ketemu dengan masalah yang baru lagi? Tidak, bukan?
Oleh karena itu sebaiknya hadapi saja, wahai saudaraku. Sambil terus berdo’a kepada-Nya agar diberikan jalan terbaik. Jika memang dia benar-benar calon suami yang baik yang mampu membimbing saudaraku dalam menggapai ridho-Nya, mohonlah kepada-Nya agar dimudahkan jalan hingga ke jenjang pernikahan. Sedangkan jika ternyata dia bukanlah calon suami yang baik, mohonlah kepada-Nya agar segera ditunjukkan tanda-tandanya sebelum akad nikah dilaksanakan.
Saudaraku…,
Setelah kita berupaya secara maksimal, maka apapun yang akan terjadi, terimalah dengan hati yang lapang. Kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa kita menjadi tenang. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS. Al Fajr. 27-28).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kekurangan / kesalahan.
Semoga bermanfaat.
Dari saudara seiman: Imron Kuswandi M.
NB.
Artikel terkait, silahkan klik di sini: http://imronkuswandi.blogspot.com/2008/04/nikah.html. Semoga bermanfaat.