Assalamu’alaikum wr. wb.
Beliau (teman dari Indramayu)
mengatakan: ”Saya maklum, tapi maksud saya suaminya lagi panas karena masih dalam
pertengkaran, tiba-tiba istrinya pergi menginap lagi tanpa sms sekatapun, takutnya
sang suami ’nggak ridho karena amarahnya. Apakah sang istri tidak berdosa kalau
saat itu suami marah dan benar-benar ’nggak ridho, Mas. Yang ditakutkan itu
istri jadi punya dosa. Mohon saran untuk istri tersebut, agar tidak terulang
kembali karena hal ini di ulang-ulang terus Mas. Terimakasih, Mas”.
-----
Saudaraku...,
Sesungguhnya pertengkaran
yang dialami oleh sepasang suami-istri tersebut, biasanya tidaklah
berdiri-sendiri. Karena kemungkinan besar ada rangkaian masalah /
peristiwa-peristiwa sebelumnya yang melatarbelakangi pertengkaran tersebut. Dan
hal ini sangat menentukan solusi / penyelesaian kasus tersebut.
Oleh karena itu, kiranya akan
lebih baik jika dikonsultasikan secara langsung (bertatap muka langsung/tidak
melalui tulisan) kepada para ulama’ agar bisa diperoleh solusi terbaik hingga
tuntas. Seandainya saudaraku tinggal di Surabaya, maka saudaraku berdua dengan
istri bisa datang ke Masjid Al Falah, Jl. Raya Darmo 137A Surabaya (sebuah
masjid besar di dekat Kebun Binatang Surabaya). Di sana mempunyai satu lembaga yang
memberikan pelayanan / konsultasi seputar masalah pernikahan yang diasuh oleh
para ulama’ yang sudah berpengalaman.
Saudaraku...,
Satu hal yang harus kita perhatikan,
bahwa seringkali ada kecenderungan pada diri kita kaum lelaki untuk bersikap subyektif
dalam melihat hukum-hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah. Tanpa kita sadari, seringkali ada kecenderungan pada diri
kita kaum lelaki untuk mengambil sebagian saja
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu hukum-hukum yang kita
senangi saja (hukum-hukum yang menguntungkan bagi kita kaum lelaki). Sementara
hukum-hukum yang lain yang tidak kita senangi kita buang begitu saja / tidak
kita lihat sama sekali.
Padahal
Allah telah berfirman dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 208, yang artinya
adalah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al Baqarah. 208).
Dari
Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 208 tersebut, diperoleh penjelasan bahwa kita
diperintahkan untuk masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya. Artinya kita
tidak boleh mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh
Allah, yaitu hukum-hukum yang kita senangi saja. Sementara hukum-hukum yang
lain yang tidak kita senangi kita buang begitu saja. Jika hal ini yang kita
lakukan (yaitu mengambil sebagian hukum-hukum Allah dan membuang sebagian yang
lainnya), maka tanpa kita sadari, kita telah memperturutkan langkah-langkah
syaitan. Padahal, sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kita. Na’udzubillahi
mindzalika!
Sebagai
tambahan, berikut ini aku sampaikan satu ilustrasi tentang
pernikahan:
Sepasang remaja telah memutuskan untuk
melangsungkan pernikahan. Setelah menikah, ternyata sang suami hanya memberi
nafkah kepada sang istri selama 2 bulan saja. Selanjutnya sang suami tidak
pernah memberi nafkah lahir batin kepada sang istri. Bahkan telah
mentelantarkannya begitu saja dalam jangka waktu yang lama. Artinya sang suami
telah berbuat aniaya kepada sang istri (sang suami telah teramat menyakiti sang
istri).
Dalam kasus seperti ini, jika sang istri tidak
terima dengan perlakuan sang suami, maka sang istri bisa mengajukan gugatan
cerai di Pengadilan Agama. (Wallahu a’lam).
Meskipun
demikian, jika suatu saat sang suami insyaf dan sang istri ridho / memaafkan
kesalahan sang suami, maka sang suami dapat langsung kembali kedalam pelukan
sang istri tanpa harus melalui proses pernikahan lagi, karena keduanya masih tetap
dalam ikatan tali pernikahan yang syah. Perbuatan aniaya yang telah dilakukan
sang suami tersebut tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan itu. Selama
syarat dan rukun nikahnya terpenuhi, maka pernikahan tersebut tetap syah.
Saudaraku...,
Dari ilustrasi tersebut,
nampaklah bahwa dalam situasi tertentu, istri-pun bisa
mengajukan gugatan cerai, satu hal yang (mungkin) selama ini kita pikir hanya
ada di tangan kita.
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kekurangan / kesalahan.
Semoga bermanfaat.
{Bersambung;
tulisan ke-2 dari 3 tulisan}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar