Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang teman telah bertanya: “Mas Imron, setelah saya
membaca artikel tentang timbangan dan kkn, saya punya kasus. Saya sekarang
bekerja di perusahaan asing. Saya masuk kerja dititipkan oleh saudara yang
kebetulan punya hubungan dekat dengan salah satu pimpinan di perusahaan tempat
saya bekerja sekarang, tentunya melalui proses. Saudara saya berpesan kepada
bos: tolong didik dan besarkan, kalau dia mampu/bisa silahkan pekerjakan dan
apabila tidak mampu ya dipertimbangkan. Sepupu saya bilang ke saya, saya hanya
membuka jalan untuk selanjutnya semua ada di kamu. Yang saya tanyakan: apakah saya
menempuh jalan salah? Bagaimana solusinya?”
-----
Saudaraku…,
Secara umum, pengambilan keputusan itu bisa dibedakan menjadi
2 macam: a) pengambilan keputusan berdasarkan logika, akan menghasilkan
keputusan yang logis, dan b) pengambilan keputusan berdasarkan intuisi (bisikan
hati/gerak hati), akan menghasilkan keputusan yang intuitif.
Jika hasil dari suatu keputusan harus
dipertanggungjawabkan kepada pihak lain, maka keputusan harus diambil
berdasarkan
logika sehingga bisa
dihasilkan
keputusan yang logis. Sedangkan jika hasil dari suatu keputusan tidak harus dipertanggungjawabkan
kepada pihak lain, maka keputusan bisa diambil berdasarkan logika maupun berdasarkan
intuisi (bisikan hati/gerak hati).
Contoh: seseorang bekerja sebagai karyawan sebuah toko milik
orang lain. Pemilik toko telah memberitahu bahwa supaya bisa mendapatkan
keuntungan yang cukup pada salah satu jenis barang tertentu, barang tersebut
harus dijual minimal dengan harga Rp 100.000,-. Maka dalam posisinya sebagai
karyawan toko, dia harus mengambil keputusan berdasarkan logika sehingga bisa
dihasilkan keputusan yang logis. Artinya agar bisa mendapatkan keuntungan yang
cukup, maka ketika ada pembeli yang datang untuk membeli barang tersebut, dia
harus menjualnya minimal dengan harga Rp 100.000,-. Dia tidak boleh melepas
barang tersebut ketika pembeli menawarnya dengan harga kurang dari Rp 100.000,-
sekalipun pembeli yang datang adalah saudara sendiri atau ketika dia merasa iba
setelah melihat kondisi si pembeli. Hal ini mengingat bahwa hasil dari
keputusan tersebut harus dia pertanggungjawabkan kepada pemilik toko.
Hal yang berbeda terjadi jika posisinya adalah sebagai
pemilik toko. Jika dia ingin mendapatkan keuntungan yang cukup, maka secara
logika dia juga harus menjualnya minimal dengan harga Rp 100.000,-. Namun
ketika pembeli yang datang adalah saudara sendiri atau ketika dia merasa iba
setelah melihat kondisi si pembeli sehingga tergerak hatinya untuk menjualnya
dengan harga yang sangat murah atau bahkan memberikan barang tersebut secara
cuma-cuma, tentunya hal ini tak masalah karena hasil dari keputusan tersebut
tidak akan dia pertanggungjawabkan kepada pihak lain (karena dia adalah pemilik
toko).
Saudaraku…,
Hal tersebut di atas, juga berlaku pada lingkup yang
lebih luas. Sebagaimana kita ketahui bahwa bagi kita yang berstatus
mukallaf*, maka semua yang telah kita perbuat selama masa hidup di dunia ini harus
kita pertanggung-jawabkan kepada Allah SWT., pemilik seluruh alam semesta ini. Hal
ini dapat kita lihat pada penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Muddatstsir ayat
38:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ ﴿٣٨﴾
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya”, (QS. Al Muddatstsir. 38).
Nah, karena kita harus mempertanggung-jawabkan semua yang telah kita
perbuat (yang telah kita putuskan) selama masa hidup kita di dunia ini
kepada Allah SWT., maka secara logika semua perbuatan (semua keputusan)
juga harus kita lakukan berdasarkan aturan/tuntunan yang datang dari-Nya serta
dari Rasul-Nya.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى
لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ ...﴿١٨٥﴾
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil) ...” (QS. Al Baqarah. 185).
...
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS Al
Hasyr. 7).
Hal yang
berbeda terjadi pada seseorang yang masih kecil (belum dewasa) serta bagi orang
gila maupun orang yang sedang tidur. Bagi ketiganya, maka semua
perbuat mereka tidak akan dicatat/tidak akan dimintai
tanggung-jawab oleh Allah SWT. Sehingga ketika seorang anak kecil
tiba-tiba tergerak hatinya untuk mencuri dan kemudian menindaklanjutinya dengan
tindakan nyata, maka tidak ada dosa baginya. Demikian juga ketika orang gila
yang tiba-tiba memperturutkan gerak hatinya untuk memakan bangkai anjing, maka
tidak ada dosa baginya. Hal yang sama juga terjadi pada orang yang sedang
tidur. Ketika dalam tidurnya (dalam mimpinya) tiba-tiba dia memperturutkan bisikan
hatinya untuk memukul istrinya dan ternyata istri yang tidur disampingnya
benar-benar mendapat pukulan darinya hingga berdarah, maka juga tidak ada dosa
baginya.
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau
bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ
عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ
الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
"Al-Qolam diangkat (tidak dicatat) pada tiga orang: orang tidur hingga
terbangun,
anak kecil hingga ihtilam (keluar mani) dan dari orang gila hingga
sadar." (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud).
-----
Terkait
dengan pesan yang saudaraku sampaikan di atas, maka kita bisa melihat apakah
keputusan yang telah diambil oleh salah satu pimpinan di perusahaan tersebut
dalam merekrut saudaraku sebagai karyawan bisa dipertanggung-jawabkan kepada
pemilik perusahaan. Artinya jika pemilik perusahaan merestui keputusan
tersebut, tentunya tidak ada yang salah dalam hal ini (artinya saudaraku tidak
menempuh jalan yang salah).
Hal ini sangat berbeda jika terjadi pada badan usaha
milik negara/BUMN/BUMD (termasuk pada lembaga-lembaga milik negara lainnya,
seperti lembaga pendidikan negeri, lembaga kepolisian, dll). Karena milik
negara, sedangkan pemilik negara ini adalah seluruh rakyat/warga negara, maka
semua keputusan yang diambil (termasuk perekrutan karyawan BUMN/BUMD maupun CPNS
pada lembaga-lembaga milik negara yang lain) juga harus bisa
dipertanggung-jawabkan kepada pemiliknya/masyarakat.
Nah karena pada umumnya masyarakat ingin mendapatkan yang
terbaik dari BUMN/BUMD maupun dari lembaga-lembaga negara yang lainnya (masyarakat
ingin mendapatkan pelayanan yang baik di bidang
kesehatan/pendidikan/keamanan/bidang-bidang yang lainnya), maka
keputusan-keputusan yang diambil (termasuk perekrutan karyawan BUMN/BUMD maupun
CPNS pada lembaga-lembaga milik negara yang lain) tidak boleh dilakukan berdasarkan
intuisi (bisikan hati/gerak hati) yang pada akhirnya hanya akan mendorong
terjadinya nepotisme.
Saudaraku…,
Perekrutan karyawan BUMN/BUMD maupun CPNS berdasarkan
nepotisme hanya akan melahirkan karyawan/PNS yang kurang cakap, karena nepotisme
berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan
berdasarkan kemampuannya. Sehingga pada akhirnya masyarakat tidak akan mendapatkan
yang terbaik, yang mana hal ini sudah menjadi haknya.
Maka seseorang yang menjadi karyawan BUMN/BUMD maupun PNS
via nepotisme, sudah pasti dia telah merampas hak orang lain yang lebih cakap
dari dirinya (yang sebenarnya lebih berhak untuk menempati posisinya yang
sekarang). Disamping itu, dia juga telah merampas hak masyarakat secara umum
untuk mendapatkan yang terbaik dari BUMN/BUMD maupun dari lembaga-lembaga milik
negara yang lainnya. Jika sudah demikian, maka semua penghasilannya juga
menjadi haram karena sebenarnya dia tidak berhak atasnya. Oleh
karenanya, dia harus mengembalikannya kepada yang berhak. Jika dia
tidak bersedia untuk mengembalikannya ketika masih hidup di dunia ini, maka
kelak di akhirat nanti dia tetap harus mengembalikannya karena
pada hakekatnya dia tetap tidak pernah berhak untuk memilikinya.
Rasulullah SAW. bersabda:
مَنْ
كَانَ عِنْدَهُ لِأَخِيْهِ مَظْلَمَةٌ فَلْيَتَحَلَّلْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ
لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا. إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ
مِنْ حَسَناَتِهِ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٍ
أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. (رواه البخارى)
“Siapa yang memiliki kezaliman
terhadap saudaranya, hendaklah ia meminta kehalalan saudaranya tersebut pada
hari ini, sebelum datang suatu hari saat tidak berlaku lagi dinar dan tidak
pula dirham. Jika ia memiliki amal saleh, akan diambil dari kebaikannya sesuai
dengan kadar kezaliman yang diperbuatnya lalu diserahkan kepada orang yang
dizaliminya. Apabila ia tidak memiliki kebaikan, akan diambil kejelekan
saudaranya yang dizaliminya lalu dibebankan kepadanya.” (HR. al-Bukhari)
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena
keterbatasan ilmuku. (Wallahu a'lam).
Beliau mengatakan: “Alhamdulillah, alhamdu lillahi rabbil
‘alamin. Assalamu ‘allaikum saudaraku, yang saya cintai. Terimakasih atas
penjelasannya yang sangat jelas, saya mohon saudaraku bisa memberikan
kajian-kajian seperti dulu. Saya ucapkan terimakasih, wassallamu’alaikum warahmatullahi
wabarakatuh”.
Alhamdulillah, Ya Rabb...!!!
Engkau telah memberi
kesempatan kepada hamba untuk berbagi ilmu kepada saudara hamba.
Semoga Engkau berkenan memberi kekuatan kepada hamba, sehingga hamba tetap
mampu untuk terus menebar kebaikan kepada sesama, hingga akhir hayat hamba.
Amin, ya rabbal ‘alamin!
عَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ...، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
Dari Jabir r.a berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “..., Dan sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi
manusia yang lain”. (HR. at-Thabrani)
-----
Demikian hasil dialog ini,
Semoga
bermanfaat!
NB.
*) Mukallaf
adalah muslim yang dikenai kewajiban untuk menjalankan
perintah serta menjauhi larangan agama (pribadi muslim yang sudah dapat dikenai hukum). Seseorang berstatus
mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar