Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku,
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa setiap
menjelang akhir tahun masehi, natal akan tiba. Sebagai seorang muslim/muslimah
yang baik, kita musti berhati-hati dalam menyikapi hal ini.
Misalnya: saat menjelang natal tiba, seorang tetangga yang Nasrani telah
meminta untuk
membantu membuat pohon natal beserta pernak-perniknya. Mendapat permintaan seperti
ini, tentunya
kita harus mengambil sikap sangat hati-hati, meskipun Islam juga mengajarkan adanya
toleransi antar umat beragama.
Saudaraku,
Benar, bahwa bahwa segala amal itu tergantung pada
niatnya. Sehingga apabila niatnya baik, maka amal menjadi baik dan apabila
niatnya jelek, amalnya-pun menjadi jelek.
عَنْ
عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ عَنْ
عُمَرَأَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ
وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (رواه
البخارى)
Dari Alqamah bin Waqash dari
Umar, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan
tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang
diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena
dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan”. (HR. Bukhari).
Dari
hadits tersebut menunjukkan bahwa niat itu merupakan timbangan penentu kesahihan
amal. Apabila niatnya baik maka amal menjadi baik, sedangkan
apabila niatnya buruk maka amalnya-pun menjadi buruk. Namun yang dimaksudkan
di sini adalah terkait dengan ”keikhlasan” kita dalam melaksanakan perintah
Allah. Contohnya pada
saat kita bersedekah, maka hal ini harus kita niatkan karena Allah semata agar bisa
membuahkan pahala. Sedangkan jika kita berniat karena ingin mendapat pujian
dari orang lain/riya’, maka akan rusaklah amalan kita tersebut. Artinya kita
tidak akan beroleh apapun dari sedekah yang kita lakukan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لَا تُبْطِلُواْ
صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ
وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ
عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَّا يَقْدِرُونَ عَلَى
شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ﴿٢٦٤﴾
”Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. Al Baqarah. 264).
Namun hal itu semua tidak
berlaku untuk amalan-amalan yang dilarang Allah. Contohnya berjudi. Sekalipun
niatnya baik (karena diniatkan untuk memenuhi kewajibannya dalam memberi nafkah
bagi keluarganya) maka hal ini tetap terlarang.
Demikian juga halnya dengan
keinginan untuk membantu membuatkan pohon natal bagi tetangga yang beragama
Nasrani. Sekalipun niatnya hanya karena
didorong oleh keinginan untuk membina persahabatan dengannya/membina hubungan baik
dengan tetangga, juga untuk mewujudkan kerukunan beragama di lingkungan kita.
Saudaraku,
Membantu membuat pohon natal,
dapat diartikan sebagai sikap mendukung peribadatan mereka. Hal ini dapat menimbulkan
kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengkaburan akidah. Karena
sikap seperti ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan “ketuhanan” Nabi Isa
Al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam.
Mungkin diantara kita ada yang bertanya: “Bukankah Islam
juga mengajarkan adanya toleransi beragama?”
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa yang menjadi acuan kita adalah
Al Qur’an. Bukankah Al Qur’an sudah menjelaskannya dalam surat Al Kaafiruun
ayat 6?
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Untukmulah agamamu, dan
untukkulah, agamaku". (QS. Al Kaafiruun: 6).
Jadi dalam bertoleransi,
cukuplah kita mengatakan: ”Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. Kalau
dia mau merayakan ibadah natal, biarlah dia merayakannya tanpa adanya gangguan
dari kita. Dalam urusan akidah/keyakinan, biarlah semuanya berjalan
sendiri-sendiri, sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tidak boleh ada kerja
sama, tidak boleh ada intervensi (campur tangan) dari pihak lain.
-----
Seorang ibu (non-muslim) telah memberi komentar sebagai
berikut: “Minim toleransi, ck ck ck ck ck ck. Untukmu agamamu, untukku agamaku.
So, apa masalahnya? Maaf jika Bapak merasa dengan menjadi Islam masuk surga, ya
tinggal dijalankan dengan benar tanpa merendahkan agama lain. Maaf jika tak
berkenan”.
Santai
saja, Bu.
Pada
dasarnya kami kaum muslimin tidak dilarang untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang non-muslim yang tiada memerangi kami karena agama dan
tidak pula mengusir kami dari negeri kami (non-muslim yang bersikap baik kepada
kami). Demikian penjelasan Al Qur’an
surat Al Mumtahanah ayat 8:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah tiada melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah.
8).
Dalam konteks hubungan
sosial-kemasyarakatan, pergaulan dengan non-muslim (apapun agamanya) tidaklah
dilarang dalam agama Islam, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al
Mumtahanah di atas. Dengan berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka yang
non-muslim, hal ini meunjukkan bahwa Islam itu tidak identik dengan kekerasan.
Bahkan Al Qur’an
secara tegas juga melarang kami yang beragama Islam untuk memaki
sembahan-sembahan pemeluk agama lain:
وَلَا تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن
دُونِ اللهِ فَيَسُبُّواْ اللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ...﴿١٠٨﴾
“Dan janganlah kamu
memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan...” (QS. Al An’aam:
108).
Dan kalaupun
kami harus berdebat dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), Al Qur'an juga
telah memerintahkan kami kaum muslimin untuk berdebat dengan cara yang paling
baik.
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزِلَ
إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ
مُسْلِمُونَ ﴿٤٦﴾
”Dan
janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling
baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan katakanlah:
"Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan
yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya
kepada-Nya berserah diri". (QS. Al ‘Ankabuut.
46*).
Meskipun demikian,
dalam urusan akidah/keyakinan, sesungguhnya antara yang muslim dengan
non-muslim harus ada batas pemisah
yang jelas. Dalam urusan akidah/keyakinan, biarlah semuanya berjalan
sendiri-sendiri, sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tidak boleh ada kerja
sama, tidak boleh ada intervensi (campur tangan) dari pihak lain. Terkait hal ini,
kiranya uraian di bawah ini sudah
cukup untuk menjelaskannya.
TOLERANSI BERAGAMA
Terkait
masalah toleransi beragama, Al Qur’an sudah menjelaskannya dalam surat Al
Kaafiruun ayat 6 sebagai berikut:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Untukmulah
agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS. Al Kaafiruun: 6).
Berdasarkan
penjelasan ayat tersebut di atas, maka dalam bertoleransi, cukuplah kita
mengatakan: ”Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku”. Kalau mereka mau
merayakan ibadah Natal (bagi yang beragama Nasrani), biarlah mereka
merayakannya tanpa adanya gangguan dari kita. Demikian juga halnya ketika
mereka mau merayakan Waisak (bagi yang beragama Buddha), Nyepi (bagi yang
beragama Hindu), dst., biarlah mereka merayakannya tanpa adanya gangguan dari
kita.
Dalam urusan
akidah/keyakinan, biarlah semuanya berjalan sendiri-sendiri, sesuai dengan
keyakinan masing-masing. Tidak boleh ada kerja sama, tidak boleh ada intervensi
(campur tangan) dari pihak lain. Yang dimaksud
dengan kerja sama di sini, antara lain: orang-orang yang beragama Hindu
bekerjasama dengan orang-orang Nasrani menyembah Yesus, dst. Sedangkan
yang dimaksud
dengan intervensi di sini, antara lain: kami ikut
mengatur/memasukkan unsur-unsur Islam dalam peribadatan mereka yang non-muslim
atau sebaliknya. Contohnya: setiap memulai peribadatan mereka yang non-muslim, kami paksakan
untuk membaca basmalah. Atau sebaliknya, ketika seseorang hendak sholat di
masjid, kemudian orang lain yang non-muslim telah memaksakannya untuk memakai
salib. Atau dilakukan kompromi: saat ini seorang muslim dipersilahkan menyembah
Allah, tetapi lain waktu menyembah sembahan-sembahan mereka selain Allah.
Demikian juga mereka yang non-muslim melakukan hal yang sama secara bergantian
sebagai jalan tengahnya untuk menuju kedamaian. Jadi, biarlah
semuanya berjalan sendiri-sendiri, sesuai dengan keyakinan masing-masing,
sebagaimana sudah dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Kaafiruun ayat 6 di atas.
Sekali
lagi, dalam urusan akidah/keyakinan,
biarlah semuanya berjalan sendiri-sendiri, sesuai dengan keyakinan
masing-masing. Tidak boleh ada kerja sama, tidak boleh ada intervensi (campur
tangan) dari pihak lain. Kita persilahkan mereka percaya pada agama mereka.
Tidak ada paksaan dalam beragama. Karena menurut Al Qur’an, hak Allah-lah untuk
memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
... قُل لِّلَّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
”... Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa
yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (QS. Al Baqarah: 142).
Jika mereka
menganggap Al Kitab atau Bible adalah segala-galanya (bagi yang beragama
Nasrani), juga kita persilahkan. Itu adalah hak mereka. Dan kita menghormati
hal itu. Demikian juga jika mereka menyakini bahwa Tripitaka adalah
satu-satunya kitab suci yang benar (bagi yang beragama Buddha), demikian halnya
jika mereka menyakini bahwa Veda sebagai sebuah kitab suci (bagi
yang beragama Hindu), juga kita persilahkan. Itu adalah hak mereka. Dan kita
menghormati hal itu (sikap yang sama juga kita tujukan terhadap agama yang
lain).
Dan
tentunya, adalah hak kita juga untuk meyakini bahwa Al Qur'an adalah
satu-satunya kitab suci yang masih terjamin kesucian dan kemurniannya dari
campur tangan manusia. Tidak ada satu-pun kitab suci di dunia ini yang susunan
redaksinya benar-benar sama (bahkan hingga susunan maupun jumlah hurufnya)
untuk semua edisi di seluruh dunia dan di sepanjang masa. Kecuali
hanya Al Qur'an.
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena
keterbatasan ilmuku.
Beliau mengatakan: “Saya ucapkan ribuan terima kasih
untuk penjabarannya. Bagi saya agama itu hubungan saya dengan Tuhan. Jadi apapun
agamanya, yang penting mengajarkan kebaikan monggo dikerjakan sebaik mungkn.
Moga Indonesia bebas diskriminasi. Selamat malam bapak”.
Terima kasih kembali, Bu.
Terjadi sedikit kesalahpahaman, itu hal biasa. Tak usah dibesar-besarkan.
Harapan kita semua: semoga kerukunan antar umat beragama tetap terbina di
negara kita tercinta. Amin, ya rabbal 'alamin!
-----
Demikian hasil dialog ini,
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Yang
membedakan antara kita kaum muslimin dengan Ahli Kitab (kaum Yahudi dan kaum
Nasrani) adalah sebagaimana penjelasan Al Qur'an dalam surat At Taubah ayat 30
berikut ini:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللهِ
وَقَالَتْ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللهِ ذَلِكَ قَوْلُهُم بِأَفْوَاهِهِمْ
يُضَاهِؤُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
﴿٣٠﴾
”Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata:
"Al Masih itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dila`nati
Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (QS. At Taubah. 30).