Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (dosen
sebuah perguruan tinggi negeri di Manado) telah menyampaikan
pesan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, kalau
seseorang yang agamanya Islam dan
dihatinya tetap ada keimanan,
tetapi
dalam kesehariannya lebih condong bahkan nyata-nyata mencintai orang-orang di luar
Islam termasuk
prilakunya. Contohnya ketika puasa di saat orang kafir
makan malah dia juga ikut bersama-sama
dengan mereka,
alasannya lagi tidak puasa. Atau terang-terangan
menjelekkan teman yang
seagama dengan dia dengan alasan tertentu. Itu termasuk apa Pak Imron dan bagaimana kita
menyikapinya?”.
Saudaraku,
Perhatikan prinsip al wala’ wal
baro’ (loyalitas kepada kaum muslimin dan kebencian kepada orang kafir)
yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam sebagaimana penjelasan
Al Qur’an dalam surat Al Mumtahanah ayat 4 berikut ini:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ
وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءٰؤُا مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ كَفَرْنَا
بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا
حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا بِاللهِ وَحْدَهُ ... ﴿٤﴾
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu
pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata
kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari
apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)-mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja. ..., (QS. Al Mumtahanah. 4).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Sesungguhnya telah ada suri teladan bagi kalian) lafal
uswatun dapat pula dibaca iswatun, artinya teladan atau panutan (yang baik pada
Ibrahim) yakni pada diri Nabi Ibrahim, baik perkataan maupun perbuatannya (dan
pada orang-orang yang bersama dia) dari kalangan orang-orang yang beriman
(ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri)
lafal bura-aa-u adalah bentuk jamak dari lafal barii'un, wazannya sama dengan
lafal zharifun yang jamaknya zhurafaa'u (dari kalian apa yang kalian sembah
selain Allah, kami ingkar kepada kekafiran kalian) kami membenci kekafiran
kalian (dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya) lafal wal baghdhaa'u abadan dapat dibaca secara tahqiq dan
dapat pula dibaca secara tashil, yakni mengganti huruf hamzah yang kedua
menjadi wau (sampai kalian beriman kepada Allah semata”...
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa prinsip al wala’ wal baro’ adalah salah satu
prinsip dalam agama Islam dan sebab tegaknya kemuliaan agama Islam di atas
seluruh agama di dunia ini.
Saudaraku,
Di dalam Al Qur’an, Allah
Ta’ala telah melarang
kaum muslimin untuk memberikan sikap wala’ (loyalitas) kepada orang kafir
dan menjadikan mereka sebagai teman setia. Dalam Al Qur’an surat Al Mumtahanah ayat
pertama, Allah
SWT. telah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي
وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا
بِمَا جَاءَكُم مِّنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَن
تُؤْمِنُوا بِاللهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَــٰــدًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ
إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنتُمْ
وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ ﴿١﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu
benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita
Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa
yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara
kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang
lurus.
(QS. Al Mumtahanah.
1)
Saudaraku,
Dari uraian di atas, maka dengan mudah bisa kita
simpulkan bahwa sikap teman saudaraku yang dalam kesehariannya lebih condong
bahkan nyata-nyata mencintai orang-orang di luar Islam (termasuk perilakunya)
di atas, jelas-jelas merupakan sikap terlarang karena Allah SWT telah melarang
kaum muslimin untuk memberikan sikap wala’ kepada orang kafir dan menjadikan
mereka sebagai teman setia.
Sedangkan terkait contoh perilaku teman saudaraku yang
mana ketika (bulan) puasa, di saat orang kafir makan malah dia juga ikut (makan)
bersama-sama dengan mereka (dengan) alasan sedang tidak puasa, hal ini bisa
diterjemahkan sebagai sikap berkasih sayang atau mencintai mereka. Perbuatan
seperti ini (sikap berkasih sayang atau mencintai mereka) jelas-jelas dilarang
dalam Islam, karena Allah telah berfirman dalam Al Qur’an surat Al Mujaadilah ayat 22:
لَا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ
اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ
إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَـــــٰـــئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ
الْإِيمَـــٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي
مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَـــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَــــٰــئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ ﴿٢٢﴾
Kamu tidak akan mendapati sesuatu
kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan
orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu
bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas
terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS. Al Mujaadilah. 22)
Sedangkan sikap teman saudaraku yang lain, yaitu sikap terang-terangan menjelekkan
teman yang
seagama dengan dia dengan alasan tertentu, hal ini juga merupakan perbuatan terlarang dalam agama
kita. Karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari yang
mengolok-olok. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Hujuraat ayat 11
berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن
قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن
نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا
أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَـــٰـبِ بِئْسَ الْاِسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَـــــٰـنِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَــــٰــئِكَ هُمُ الظَّـــــٰـلِمُونَ ﴿١١﴾
011. Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah
kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim. (QS. Al Hujuraat. 11).
Lebih dari itu, ketahuilah bahwa pada saat
kita sedang menjelekkan orang lain, maka pada saat itu tanpa kita sadari kita
telah merasa lebih baik dari padanya. Pada saat kita sedang memandang rendah
orang lain, maka pada saat itu pulalah tanpa kita sadari kita telah merasa
lebih tinggi dari padanya. Pada saat kita sedang meremehkan orang lain, maka
pada saat itu pula (tanpa kita sadari) kita telah merasa lebih hebat dari
padanya. Dan pada saat kita sedang menghina orang lain, maka pada saat itu pula
(tanpa kita sadari) kita telah merasa lebih mulia dari padanya. Demikian
seterusnya...
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَعَظَّمَ فِى نَفْسِهِ وَاَجْتَالَ فِى مِشْيَتِهِ
لَقِىَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ (رواه أحمد)
“Siapa yang merasa dirinya besar, lalu sombong dalam
jalannya, maka ia akan menghadap pada Allah, sedang Allah murka padanya”. (HR.
Ahmad).
Sedangkan dalam Al Qur’an
surat Al Hujuraat ayat12, Allah telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب
بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢﴾
“Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Hujuraat.
12).
Saudaraku,
Bertawadhu’lah, karena tawadhu’
(merendahkan diri) itu tidak akan menambah kepada seseorang, kecuali
ketinggian. Semoga Allah meninggikan derajatmu. Dan berilah ma’af, karena ma’af
itu tidak menambah sesuatu bagi seseorang, kecuali kemuliaan. Semoga Allah
memuliakan kamu. Dan bersedekahlah, karena sedekah itu tidak akan mengurangi
harta, melainkan justru akan bertambah banyak. Semoga Allah merahmatimu. Karena sesungguhnya
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلّٰهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ. (رواه مسلم)
“Tidaklah
sedekah akan membuat harta berkurang. Tidaklah Allah akan menambahkan pada
seorang hamba karena memaafkan (saudaranya) selain (bertambah) kemuliaan, dan
tidaklah seseorang merendahkan hatinya karena Allah, melainkan Allah akan
meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
Saudaraku bertanya: “Itu termasuk apa Pak Imron?”.
Jika benar bahwa teman saudaraku tersebut memang
berperilaku sebagaimana uraian di atas, maka dia termasuk orang fasik, yaitu
orang yang telah meninggalkan/telah keluar dari ketaatan kepada Allah SWT. dan
Rasul-Nya.
Fasik sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu fasik
kecil dan fasik besar. Fasik kecil adalah perbuatan kefasikan yang tidak sampai
pada derajat kekafiran.
وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ
فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْأَمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَـــٰــكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ
فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ
أُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ ﴿٧﴾
Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalangan kamu ada
Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan
benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta
kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan
kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah
orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, (QS. Al Hujuraat. 7).
Sedangkan fasik besar maknanya adalah kekafiran karena
Allah kontraskan dengan iman dan diberi ancaman siksa abadi di neraka
sebagaimana firman-Nya dalam surat As Sajdah. 18 – 20) berikut ini:
أَفَمَن كَانَ مُؤْمِنًا كَمَن كَانَ فَاسِقًا لَّا
يَسْتَوُونَ ﴿١٨﴾ أَمَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّـــٰــلِحَـــٰتِ فَلَهُمْ جَنَّــــٰتُ الْمَأْوَىٰ نُزُلًا بِمَا
كَانُوا يَعْمَلُونَ ﴿١٩﴾ وَأَمَّا الَّذِينَ فَسَقُوا فَمَأْوَىٰهُمُ النَّارُ كُلَّمَا أَرَادُوا أَن يَخْرُجُوا مِنْهَا
أُعِيدُوا فِيهَا وَقِيلَ لَهُمْ ذُوقُوا عَذَابَ النَّارِ الَّذِي كُنتُم بِهِ
تُكَذِّبُونَ ﴿٢٠﴾
(18) Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang
fasik (kafir)? Mereka tidak sama. (19) Adapun orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, maka bagi mereka surga-surga tempat kediaman,
sebagai pahala terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (20) Dan adapun
orang-orang yang fasik (kafir), maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali
mereka hendak ke luar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan
dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu
mendustakannya". (QS. As Sajdah. 18 – 20).
Saudaraku,
Jika benar bahwa teman saudaraku tersebut memang
berperilaku sebagaimana uraian di atas, maka dia termasuk orang fasik, namun
tidak sampai pada derajat kekafiran (fasik kecil).
Saudaraku juga bertanya: “Bagaimana kita menyikapinya?”.
Agar lebih mudah dalam pembahasannya, pertanyaan terakhir
yang telah saudaraku sampaikan tersebut, aku bagi menjadi dua bagian, yaitu:
(1) Bagaimana sikap kita terhadap orang kafir dan (2) Bagaimana sikap kita
terhadap saudara kita sesama muslim yang punya perilaku seperti uraian di atas.
1. Bagaimana
kita menyikapi orang kafir?
Saudaraku,
Meskipun prinsip al wala’ wal baro’
(loyalitas kepada kaum muslimin dan kebencian kepada orang kafir) adalah
salah satu prinsip dalam agama Islam dan sebab tegaknya kemuliaan agama Islam
di atas seluruh agama di dunia ini, namun hal itu bukanlah alasan untuk berbuat
sewenang-wenang terhadap orang kafir. Islam adalah agama yang indah dan penuh keadilan.
Oleh karena itulah, Allah SWT
tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik kepada orang kafir yang tidak
memerangi kaum muslimin (orang
kafir yang bersikap baik kepada kita), terlebih lagi jika hal itu dapat membuat mereka
tertarik memeluk agama Islam. Allah SWT
berfirman dalam surat
Al Mumtahanah ayat 8:
لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ
فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
”Allah tiada melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al Mumtahanah. 8).
Saudaraku,
Dalam konteks hubungan
sosial-kemasyarakatan, pergaulan dengan non-muslim (apapun agamanya) tidaklah
dilarang dalam agama Islam. Dalam ayat di atas, bahkan Allah mengakhirinya dengan kalimat:
... إِنَّ اللهَ
يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
“... Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil”.
(QS. Al Mumtahanah. 8).
Saudaraku,
Dengan berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka, hal
ini justru bisa kita jadikan sebagai sarana untuk mengenalkan Islam kepada
mereka sehingga akan timbul rasa simpati di hati mereka dan tidak muncul dugaan
negatif kepada Islam, karena sesungguhnya Islam itu tidak identik dengan
kekerasan. (Semoga Allah menjadikan kita sebagai jalan hidayah bagi orang
lain. Amin, ya rabbal
‘alamin).
2. Bagaimana sikap kita terhadap saudara kita sesama
muslim yang punya perilaku seperti uraian di atas.
Saudaraku,
Jika benar bahwa teman saudaraku tersebut memang berperilaku
sebagaimana uraian di atas, tentunya menjadi tugas kita untuk meluruskan
saudara kita tersebut.
Jika kita mempunyai kekuasaan untuk meluruskannya, hendaknya
kita luruskan/kita ubah dengan kekuasaan kita. Namun jika tidak mampu dengan tangan/kekuasaan, maka dengan lisan kita. Artinya jika
saudaraku mempunyai bekal ilmu yang cukup, sebaiknya saudaraku ajak untuk
berdiskusi dengan menyertakan hujjah (keterangan, alasan, bukti, atau argumentasi) yang
kuat disertai dengan dalil-dalil yang mendasarinya, dengan
harapan semoga yang bersangkutan bisa mendapatkan pemahaman yang benar tentang
Islam.
Sedangkan jika dengan lisanpun kita tidak mampu, maka dengan hati kita.
Artinya jika saudaraku tidak mempunyai bekal ilmu yang cukup
(sebagaimana penjelasan di atas), setidaknya hati saudaraku tidak
setuju dengan tindakan/sikapnya.
Dari Abu Sa’id Al Khudry
radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
“Barang
siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya.
Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan
lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Saudaraku,
Satu hal yang harus kita perhatikan saat menyampaikan
dakwah kepadanya (serta kepada saudara kita yang lainnya), bahwa disamping
harus kita sampaikan dengan cara yang baik (sebagaimana penjelasan surat An Nahl
ayat 125), kita juga musti belajar banyak terhadap apa yang telah dilakukan
oleh Nabi Musa AS., dimana Beliau telah menyampaikan dakwah kepada Fir’aun dengan
kata-kata yang lemah lembut sebagaimana perintah Allah SWT dalam surat Thaahaa
berikut ini:
اِذْهَبْ أَنتَ وَأَخُوكَ بِئَايَـــٰتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكْرِي ﴿٤٢﴾ اِذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ ﴿٤٣﴾ فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ ﴿٤٤﴾
(42) “Pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa
ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku”; (43) “Pergilah
kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”; (44) “maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut". (QS. Thaahaa. 42 – 44).
Nah, jika kepada Fir’aun saja Allah telah memerintahkan
Musa AS. untuk menyampaikan dakwah dengan kata-kata yang lemah lembut, apalagi
kepada saudara sesama muslim! Hal ini sebaiknya juga
saudaraku sampaikan kepada sahabat tersebut, tentang bagimana sikap kita dalam
mendakwahi saudara sesama muslim (kalau kepada Fir’aun saja seperti itu,
apalagi kepada sesama muslim) sehingga diharapkan yang bersangkutan tidak lagi berperilaku
buruk.
Saudaraku tidak perlu khawatir jika sahabat tersebut pada
akhirnya akan bersikap buruk kepada diri saudaraku (setelah saudaraku berupaya
menyampaikan dakwah kepadanya dengan cara yang baik). Kita tidak perlu takut,
karena sesungguhnya Allah beserta kita/Allah akan membantu kita!
قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَن يَفْرُطَ عَلَيْنَا
أَوْ أَن يَطْغَىٰ ﴿٤٥﴾ قَالَ لَا
تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَىٰ ﴿٤٦﴾
(45) Berkatalah mereka berdua: "Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah
melampaui batas". (46) Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua
khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan
melihat". (QS. Thaahaa. 45 – 46).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Berikut ini penjelasan surat An Nahl ayat
125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ ﴿١٢٥﴾
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah*
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk”. (QS. An Nahl. 125). *) Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar
yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.