Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut:
“Pak Imron, mohon maaf
pagi-pagi sudah menganggu. Ini masalah pribadi, Pak Imron. Mau
konsultasi. Saat
ini aku mengasuh anak dan urusan rumah tangga aku urus sendiri. Ada keinginan untuk menikah lagi. Bagaimana dari sisi agama,
masyarakat dan hukum? Bolehkah nikah lagi? Terus pantas nggak, isteri baru 4
bulan wafat?
Sebelum menanggapi pertanyaan yang saudaraku sampaikan
tersebut, marilah kita perhatikan terlebih dahulu uraian berikut ini:
Saudaraku,
Bagi sepasang suami-isteri, saat suami masih hidup dan
belum bercerai, maka isteri tidak boleh menikah lagi karena Islam mengharamkan
poliandri (yaitu satu isteri bersuamikan dua orang atau lebih).
وَالْمُحْصَنَـــٰتُ مِنَ النِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ
أَيْـمَـــٰــنُكُمْ كِتَـــٰبَ اللهِ عَلَيْكُمْ ... ﴿٢٤﴾
“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami,
kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai
ketetapan-Nya atas kamu. ...”. (QS. An Nisaa’. 24).
Namun ketika suami telah wafat, maka sang isteri boleh
menikah lagi dengan laki-laki lain setelah
melewati masa ‘iddahnya.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ ﴿٢٣٤﴾
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al
Baqarah. 234).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Orang-orang yang wafat) atau meninggal
dunia (di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, maka mereka
menangguhkan), artinya hendaklah para isteri itu menahan (diri mereka) untuk
kawin setelah suami mereka yang meninggal itu (selama empat bulan dan sepuluh),
maksudnya hari. Ini adalah mengenai wanita-wanita yang tidak hamil. Mengenai
yang hamil, maka iddah mereka sampai melahirkan kandungannya berdasarkan ayat
At-Thalaq, sedangkan bagi wanita budak adalah setengah dari yang demikian itu,
menurut hadis. (Apabila waktu mereka telah sampai), artinya habis masa idahnya,
(mereka tiada dosa bagi kamu) hai para wali (membiarkan mereka berbuat pada
diri mereka), misalnya bersolek dan menyiapkan diri untuk menerima pinangan
(secara baik-baik), yakni menurut agama. (Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa
yang kamu lakukan), baik yang lahir maupun yang batin”.
Bolehnya menikah lagi itu menunjukkan bahwa sang isteri memang
sudah tidak
lagi berstatus isteri almarhum. Seandainya statusnya masih isteri
almarhum, tentu tidak boleh menikah dengan laki-laki lain, karena Islam memang mengharamkan
poliandri (sebagaimana penjelasan di atas).
Saudaraku,
Hal penting yang ingin kusampaikan terkait penjelasan di
atas adalah bahwa ketika suami telah wafat, maka sang isteri sudah tidak lagi berstatus sebagai isteri
almarhum. Karena seandainya
statusnya masih isteri almarhum, tentu tidak boleh menikah dengan laki-laki
lain, karena
Islam mengharamkan poliandri.
Tentunya hal yang sama juga berlaku bagi seorang suami.
Bagi sepasang suami-isteri, ketika isteri telah wafat, maka sang suami sudah tidak lagi berstatus sebagai suami
almarhumah. Sehingga dengan statusnya yang sudah bukan lagi suami dari
almarhumah, tentunya tidak ada halangan sama sekali seandainya yang
bersangkutan berkeinginan untuk membina rumah tangga baru.
Terlebih lagi, dalam Islam seorang
laki-laki diperbolehkan memiliki istri hingga 4 orang. Perhatikan penjelasan
Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ ayat 3 berikut
ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَـــٰمَىٰ فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَـــٰثَ وَرُبَـــٰعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً ... ﴿٣﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, …” (QS. An
Nisaa’. 3).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim) sehingga sulit bagi kamu untuk
menghadapi mereka lalu kamu takut pula tidak akan dapat berlaku adil di antara
wanita-wanita yang kamu kawini (maka kawinilah) (apa) dengan arti siapa (yang
baik di antara wanita-wanita itu bagi kamu dua, tiga atau empat orang) boleh
dua, tiga atau empat tetapi tidak boleh lebih dari itu. (kemudian jika kamu
tidak akan dapat berlaku adil) di antara mereka dalam giliran dan pembagian
nafkah (maka hendaklah seorang saja) yang kamu kawini ...”.
Selain penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat An Nisaa’
ayat 3 di atas, dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Daud
berikut ini juga menegaskan bahwa seorang laki-laki boleh memiliki isteri
maksimal sebanyak 4 orang.
Saudaraku,
Ibnu Majah dan Abu Daud telah meriwayatkan, dimana salah
seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Qais
ibnul Harits radhiyallahu ‘anhu, berkata, “Aku masuk Islam, sementara waktu itu
aku beristri delapan. Aku
pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan kepada beliau
tentang hal itu. Beliau pun bersabda:
اخْتَرْ
مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
‘Pilihlah saja empat dari
mereka.”
Hadits tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنْ
قَيْسِ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِى ثَمَانِ نِسْوَةٍ فَأَتَيْتُ
النَّبِىَّ -صلى
الله عليه وسلم - فَقُلْتُ
ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ: اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا
Dari Qois bin Al Harits,
berkata, “Ketika aku masuk Islam, aku memiliki delapan orang istri. Aku pun
mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut, lalu
beliau bersabda: Pilihlah empat saja dari mereka.” (HR. Ibnu Majah dan Abu
Daud).
Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa secara syar’i,
seorang suami lebih leluasa jika punya keinginan untuk membina rumah tangga
baru dibandingkan dengan seorang isteri. Jika seorang isteri berkeinginan untuk
membina rumah tangga baru (ingin menikah lagi), syaratnya adalah: isteri harus
sudah bercerai dengan suaminya atau sang suami sudah wafat (sehingga statusnya
sudah bukan lagi isteri seseorang) dan telah habis masa `iddahnya, maka syarat
seperti itu tidak berlaku bagi seorang suami.
Kecuali jika seorang suami sudah mempunyai 4 orang
isteri, jika yang bersangkutan berkeinginan untuk membina rumah tangga baru
lagi (ingin menikah lagi), maka syaratnya adalah bahwa yang bersangkutan harus
sudah bercerai dengan salah seorang isterinya atau salah seorang isteri sudah
wafat sehingga statusnya sudah bukan lagi beristeri 4 orang. Nah karena
statusnya sudah bukan lagi beristeri 4 orang, maka yang bersangkutan boleh
membina rumah tangga baru lagi/boleh menikah lagi, karena dalam
Islam seorang laki-laki diperbolehkan memiliki istri hingga 4 orang
(sebagaimana uraian di atas).
Saudaraku yang dicintai Allah,
Dari rangkaian penjelasan di atas, nampak dengan jelas
bahwa tidak ada satu dalilpun yang melarang saudaraku jika saudaraku memang
berkeinginan untuk menikah lagi. Yang ada justru sebaliknya. Perhatikan
penjelasan berikut ini:
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Islam telah menyampaikan
kepada kita semua agar saudara-saudara kita (baik laki-laki maupun
wanita-wanita) yang sendirian (artinya yang tidak beristeri/bersuami, baik yang
masih perawan atau janda/yang masih bujang maupun duda), dibantu agar mereka
dapat segera menikah. Demikian
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur pada bagian awal ayat 32 berikut ini:
وَأَنكِحُوا الْأَيَـــٰـمَىٰ مِنكُمْ ... ﴿٣٢﴾
“Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu, …” (QS. An Nuur. 32).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian) lafal Ayaama adalah
bentuk jamak dari lafal Ayyimun artinya wanita yang tidak mempunyai suami, baik
perawan atau janda, dan laki-laki yang tidak mempunyai istri; ....”.
Bahkan seandainya mereka/saudara-saudara kita yang masih
sendiri tersebut miskin, Allah akan memampukan mereka dengan adanya pernikahan
itu dengan karunia-Nya. Karena Allah Maha Luas pemberian-Nya kepada makhluk-Nya
lagi Maha Mengetahui. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam
surat An Nuur pada bagian akhir ayat 32 berikut
ini:
... إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ
وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٣٢﴾
“... Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui”. (QS. An Nuur. 32).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “(Jika mereka) yakni orang-orang yang merdeka
itu (miskin Allah akan memampukan mereka) berkat adanya perkawinan itu (dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas) pemberian-Nya kepada makhluk-Nya (lagi Maha
Mengetahui) mereka.
Sedangkan bagi
saudara-saudara kita yang tidak mampu menikah, hendaklah mereka menjaga kesucian dirinya, sehingga
Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Hal ini sejalan dengan penjelasan
pada ayat berikutnya:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ ... ﴿٣٣﴾
“Dan orang-orang yang tidak
mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan
mereka dengan karunia-Nya. ...” (QS. An Nuur. 33).
Sedangkan terkait wanita yang akan dinikahi, maka
sebaiknya dipilih
wanita yang agamanya baik.
Karena bila tidak, maka mereka akan celaka. Demikian penjelasan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari
dan Imam Muslim berikut
ini:
تُنْكَحُ
الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا،
فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita
itu (menurut kebiasaan) dinikahi karena empat hal: Bisa jadi karena hartanya,
karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah
olehmu wanita yang memiliki agama. Karena bila tidak, engkau akan celaka”. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim
berikut ini semakin menegaskan hal itu:
اَلدُّنْيَا كُلُّهَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا
الْمَرْأَةُالصَّالِحَةُ (رواه أحمدومسلم)
“Dunia ini semuanya sebagai hiburan, dan sebaik-baik
hiburannya ialah wanita (istri) yang shalihah”. (H. R. Ahmad, Muslim).
Saudaraku,
Dari uraian di atas, nampaklah bahwa Islam telah
menyampaikan kepada kita agar saudara-saudara kita yang masih sendirian,
sebaiknya disarankan untuk segera menikah karena menikah
itu dapat menundukkan penglihatan dan menjaga kemaluan dari yang haram.
Meskipun demikian, jika ternyata mereka memang
belum sanggup untuk menunaikannya atau memang berkeinginan untuk tidak menikah lagi (bagi
yang duda maupun janda) karena ingin lebih fokus untuk membesarkan anak-anaknya,
maka hendaklah berpuasa untuk menjaga diri dari zina, karena
puasa itu sebagai pencegahnya.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
(رواه البخارى و مسلم)
“Hai para pemuda, siapa yang sanggup menunaikan kewajiban
perkawinan, maka hendaklah kawin. Karena kawin itu dapat menundukkan
penglihatan dan menjaga kemaluan dari yang haram. Dan siapa yang belum dapat,
maka hendaklah berpuasa (menjaga diri dari zina) karena puasa itu sebagai
pencegahnya”. (HR.
Bukhari, Muslim).
Saudaraku bertanya: “Bagaimana dari sisi agama, masyarakat
dan hukum? Bolehkah nikah lagi?”.
Untuk bagian pertama yaitu dari sisi agama, alhamdulillah
sudah kujelaskan. Sedangkan untuk bagian yang kedua yaitu dari sisi masyarakat,
ketahuilah bahwa pandangan masyarakat terhadap suatu perkara itu sangat
dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat.
Saudaraku,
Dari penjelasan di atas, nampaklah bahwa budaya itu merupakan
cara hidup yang berkembang serta dimiliki bersama oleh kelompok orang serta
diwariskan dari generasi ke generasi dan
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Karena salah satu komponen utama pembentuk budaya adalah akal
manusia, sedangkan pada dasarnya pengetahuan manusia itu sangatlah terbatas,
maka sangat terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan dari produk
budaya sebuah masyarakat.
...
وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا ﴿٨٥﴾
“... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit". (QS. Al Israa’. 85).
Sangat terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan-kesalahan
dari produk budaya sebuah masyarakat, artinya sesuatu yang dipandang benar oleh
budaya sebuah masyarakat, pada hakekatnya belum tentu benar
menurut pandangan Allah (Tuhan yang ilmu-Nya meliputi segala sesuatu
sehingga segala sesuatu yang bersumber dari-Nya, kebenarannya adalah mutlak).
اللهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ
مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عِلْمًا ﴿١٢﴾
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu
pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya
benar-benar meliputi segala sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 12).
Saudaraku,
Berdasarkan fakta-fakta di atas, sebagai orang yang beriman,
maka kita harus lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain. Dan hal ini
(yaitu lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain) termasuk salah satu tanda
orang-orang yang beriman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS Al Hujuraat. 1).
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُواْ
بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ
إِلَى الطَّــــٰغُوتِ وَقَدْ
أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَـــٰنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَـــٰــلًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَـــٰـفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا ﴿٦١﴾
(60) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada
apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (61) Apabila
dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah
telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang
munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An Nisaa’. 60 – 61).
Saudaraku,
Sekali lagi kusampaikan bahwa berdasarkan fakta-fakta di
atas, sebagai orang yang beriman, maka kita harus lebih mendahulukan hukum
Allah daripada yang lain. Lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain,
artinya jika kita menemui adanya pertentangan antara syari’ah Islam dengan
(budaya) masyarakat, maka syari’ah Islam-lah yang harus kita ikuti.
ثُمَّ جَعَلْنَـــٰـكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ
الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨﴾
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jaatsiyah.
18).
Sehingga ketika saudaraku bertanya: “Bolehkah nikah lagi? Terus pantas nggak, isteri baru 4
bulan wafat?”.
Terkait hal ini, bisa jadi menurut budaya masyarakat
kita, jawabannya adalah tidak pantas. Namun jika kita mengacu pada syari’at
Islam, tidak ada satu dalilpun yang menyatakan demikian. Kecuali bagi seorang
isteri yang ditinggal wafat suaminya, maka untuk bisa menikah lagi, dia harus
menunggu hingga masa ‘iddahnya habis, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam
surat Al Baqarah ayat 234 di atas. Sedangkan untuk suami, tidak ada yang
namanya masa ‘iddah tersebut.
Mungkin yang akan menjadi kendala adalah sikap orangtua
maupun sikap anak-anak serta anggota keluarga yang lain terkait keinginan
saudaraku untuk membina rumah tangga baru tersebut.
Kemungkinan kalau orangtua ditanya, bisa jadi mereka
masih terpengaruh oleh kebiasaan yang turun-temurun tanpa mengetahui apakah ini
ada dasarnya atau tidak dalam Islam. Oleh karena itu berbicaralah secara hati-hati
kepada mereka karena hal ini menyangkut kepercayaan yang bisa jadi sudah
berurat-berakar, bisa jadi orangtua merasa tidak enak pada tetangga, atau
khawatir apa kata orang.
Demikian juga dengan anak-anak. Dengan melihat saudaraku (sebagai
ayah mereka) yang ingin menikah lagi, bisa jadi mereka menganggap saudaraku (sebagai
ayah mereka) telah mengkhianati almarhumah ibu mereka.
Padahal jika kesimpulannya seperti ini (jika seorang
suami/isteri yang telah ditinggal wafat oleh pasangannya kemudian menikah lagi
dianggap sebagai bentuk pengkhianatan kepada pasangannya yang sudah wafat
tersebut), tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin
menikahi para janda yang telah ditinggal wafat suaminya, yang artinya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengijinkan janda-janda tersebut untuk
mengkhianati suaminya yang telah wafat, untuk kemudian menikah dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Faktanya, sebagian isteri Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah janda yang telah ditinggal wafat suaminya.
Lebih dari itu, jika anak-anak tetap melarang saudaraku
untuk menikah lagi, maka beri pengertian kepada mereka bahwa sesungguhnya menikah
itu adalah suatu kenikmatan yang Allah berikan kepada seorang laki-laki dan
seorang wanita yang ingin berhubungan dengan cara halal (hal seperti ini
tentunya baru bisa disampaikan kepada anak-anak jika mereka sudah dewasa/baligh*).
Termasuk di dalamnya adalah seorang wanita yang telah
ditinggal wafat suaminya atau telah dicerai oleh suaminya maupun seorang
laki-laki yang telah ditinggal wafat isterinya (sebagaimana yang terjadi pada
saudaraku), maka dia memiliki hak untuk menikah lagi. Kita semua
(termasuk anak-anak)
tidak boleh mengingkari syariat ini dan tidak boleh mengharamkan sesuatu yang Allah sendiri
tidak mengharamkannya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تُحَرِّمُواْ طَــيِّـبَـــٰتِ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُواْ إِنَّ اللهَ
لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٨٧﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas. (QS. Al Maa-idah. 87).
Jika ayahnya (dalam hal ini adalah saudaraku) ingin
menikah lagi, maka anak-anak harus mengizinkan untuk menikah lagi, karena ini
adalah hak ayahnya (dalam hal ini adalah hak saudaraku), sebagaimana hak ini
dimiliki juga oleh laki-laki/wanita-wanita yang lainnya yang telah ditinggal
wafat oleh pasangannya.
Saudaraku,
Beri pengertian kepada mereka (anak-anak) bahwa setiap wanita
maupun laki-laki memiliki psikologis yang berbeda-beda. Ada wanita/laki-laki
yang tahan untuk menjanda/menduda selama bertahun-tahun karena sangat sayang
dengan suaminya/isterinya yang telah meninggal. Sebagian lagi ada yang tidak
tahan untuk menjanda/menduda
dan sangat membutuhkan suami/isteri
sebagai tempat penyaluran
kebutuhan biologis dengan cara yang halal. Sebagian lagi membutuhkan untuk
menikah karena ingin mendapatkan teman hidup yang bisa meluruskan jika dia
lalai, yang bisa dijadikan sebagai tempat curhat, dll. Jadi dengan banyak tipe
wanita/laki-laki,
sehingga
kita semua (termasuk anak-anak)
tidak boleh menyamakan wanita janda/laki-laki
duda
yang satu dengan yang lainnya.
Saudaraku,
Memang untuk memahamkan hal-hal seperti ini perlu waktu
dan strategi, yang tentu saja dimulai dari pengetahuan orangtua serta anak-anak
serta sejauh mana keimanan mereka. Kiranya para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dahulu juga mengalami benturan seperti ini pada masa-masa
awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa risalah Islam, dimana
mereka harus meninggalkan kebiasan-kebiasaan jahiliyahnya. Bagi yang tipis
keimanannya,
tentu tak mudah meninggalkan hal yang sudah turun-temurun yang merupakan
tradisi jahiliyyah.
Saudaraku,
Sebagai salah satu bukti keimanan seseorang kepada Allah SWT
adalah ridho terhadap segenap ketentuan-Nya, dan hal inilah yang perlu dipahamkan
pada orangtua maupun anak-anak.
Jika saudaraku merasa berat/tidak mampu untuk memberikan
pemahaman kepada mereka, saudaraku bisa meminta bantuan kepada orang-orang
terdekat atau pihak-pihak yang sekiranya dapat mendekati dan memahamkan mereka.
Biasanya
kalau orangtua mendapat dukungan dari keluarga besar, maka akan lebih
mudah dan mantap dalam melangkah.
Untuk berbeda dengan orang pada umumnya, memang butuh kemauan
yang kuat, apalagi ini mempunyai nilai da’wah yang pasti akan mendapat
tantangan dari pihak-pihak yang tidak suka. Nilai dakwahnya adalah saudaraku
dan keluarga dapat menunjukkan mana aturan Islam yang benar dan mana yang
tidak. Do’aku mengiringi perjuanganmu, wahai saudaraku.
Saudaraku juga bertanya tentang bagaimana dari sisi hukum?
Saudaraku,
Terkait seputar pernikahan, alhamdulillah hukum di negara
kita sudah mengadopsi hukum pernikahan Islam. Artinya seseorang yang beragama
Islam tidak mungkin menikah di luar hukum pernikahan Islam. Dengan demikian, terkait
keinginan saudaraku untuk menikah lagi, in sya Allah tidak akan bertentangan
dengan hukum negara.
Semoga bermanfaat.
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2
tulisan }
NB.
*) Baligh
adalah anak yang sudah mencapai usia yang mengalihkannya dari masa kanak-kanak
menuju masa kedewasaan. Masa ini biasanya ditandai dengan nampaknya beberapa
tanda-tanda fisik, seperti mimpi basah (ihtilam), mengandung dan haidh. Apabila
tanda-tanda tersebut tidak nampak, maka masa baligh ditandai dengan sampainya
seorang anak pada usia 15 tahun (menurut pendapat madzhab Syafi'i).