Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (staf
pengajar/dosen sebuah universitas negeri terkemuka di Padang, Sumatera Barat)
telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Maaf
Pak Imron, saya mau bertanya sedikit mengenai masalah sedekah. Apakah
ada pahalanya jika kita bersedekah dengan mengatas-namakan ayah yang sudah wafat, Pak? Almarhum ‘kan ada pensiunnya,
jadi ‘kan diterima sama
ibu. Terus mau bersedekah
memakai uang
pensiun tersebut. Terimakasih sebelumnya ya Pak Imron”.
Saudaraku,
Pada
dasarnya semua ibadah/semua perkara yang
menjadi kewajiban kita itu, harus kita sendiri yang melaksanakannya,
khususnya jika tidak menyangkut hak orang lain. Harus
kita sendiri yang melaksanakannya, artinya tidak bisa diwakilkan/tidak
bisa diwakili oleh orang lain/tidak bisa dikerjakan oleh orang lain. Salah satu contohnya
adalah shalat wajib lima waktu.
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَـــٰبِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
”Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al
’Ankabuut. 45)
Saudaraku,
Sholat wajib lima waktu adalah salah satu kewajiban yang mutlak harus
dilaksanakan sendiri oleh seorang muslim dan tidak boleh diwakilkan kepada
siapapun. Dan karena tidak bisa
diwakilkan kepada siapapun, maka sholat wajib lima waktu harus
dikerjakan sendiri, semaksimal yang bisa dilakukannya/sampai batas maksimal
yang bisa dikerjakannya. Artinya jika masih mampu melaksanakannya dengan
berdiri, maka harus melaksanakannya dengan berdiri. Namun jika tidak mampu, boleh melaksanakannya dengan duduk. Jika
dengan dudukpun tetap tidak mampu, maka boleh dengan berbaring. Dan jika dengan
berbaringpun tetap tidak mampu juga, maka boleh melaksanakannya dengan isyarat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلِّ
قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ. (رواه البخارى)
“Shalatlah engkau dalam keadaan
berdiri. Jika tidak bisa, duduklah. Jika tidak mampu juga, shalatlah dalam
keadaan berbaring.” (HR. al-Bukhari)
Terakhir, jika dengan isyaratpun sudah tidak mampu
lagi (artinya yang bersangkutan sudah wafat), maka yang bersangkutan akan
disholatkan. (Wallahu a'lam).
Meskipun demikian, ada beberapa pengecualiannya. Karena
sebagian diantaranya (khususnya yang menyangkut hak orang lain)
bisa diwakilkan/bisa diwakili oleh orang lain/bisa
dikerjakan oleh orang lain. Artinya ada sebagian dari kewajiban kita yang apabila
telah diwakilkan/telah dikerjakan/telah dilaksanakan oleh orang lain, maka
gugurlah kewajiban kita atasnya.
Contoh: ketika kita mempunyai hutang kepada seseorang, maka kita
wajib untuk mengembalikannya. Namun, jika ada saudara kita yang lain yang telah
mengembalikan hutang kita tersebut (baik sepengetahuan kita maupun tanpa
sepengetahuan kita), maka gugurlah kewajiban kita untuk mengembalikan hutang
tersebut. Artinya kita sudah tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan
hutang tersebut, karena sudah dikembalikan/sudah dibayar oleh orang lain (baik
sepengetahuan kita maupun tanpa sepengetahuan kita).
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ
حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ
مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ وَلَمْ يَتْرُكْ وَفَاءً
فَعَلَيْنَا قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Abdan telah mengabarkan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami
Yunus dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah dari Abu
Hurairahradliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Saya lebih utama menjamin orang-orang mukmin daripada diri mereka
sendiri, maka barangsiapa meninggal sedang ia mempunyai hutang dan tidak
meninggalkan harta untuk melunasinya, kewajiban kamilah untuk melunasinya, dan
barangsiapa meninggalkan harta, maka itu bagi ahli warisnya." (HR. Bukhari).
Contoh yang lainnya adalah
kewajiban orang tua untuk membimbing anak-anaknya. Jika orang tua
tidak mampu untuk melaksanakannya sendiri, maka hal ini bisa diwakilkan kepada
orang lain. Misalnya: diserahkan kepada pondok pesantren/lembaga
pendidikan lainnya untuk dibina oleh para ulama’/para guru
di sana dengan harapan agar anak-anak tersebut bisa tumbuh menjadi anak yang sholeh/sholihah.
Bersedekah
Dengan Mengatas-namakan Ayah Yang
Sudah Wafat
Saudaraku,
Terkait masalah yang
saudaraku tanyakan di atas yaitu tentang bersedekah
dengan mengatas-namakan ayah yang sudah wafat (atau atas nama ibu/atas nama kedua orang tua yang sudah
wafat), maka in sya Allah pahalanya akan sampai kepada ayah/ibu/keduanya.
♦ Anak
merupakan hasil usaha kedua orang tuanya
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa jika ada pertanyaan: “Dari mana kita
mengenal Islam dan memeluk Agama Islam?”. Tentunya kebanyakan di antara kita
akan mengatakan bahwa jawabannya adalah dari orang tua kita (kecuali saudara
kita yang muallaf). Nah berawal dari sinilah, akhirnya kita bisa mengetahui apa
yang namanya sholat, zakat, puasa, haji, dst.
Jika kemudian hal-hal ini kita tindak-lanjuti dengan
perbuatan/kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka orang tua
kita juga akan mendapatkan imbalan (pahala) dari Allah sama seperti pahala yang
Allah berikan kepada kita, tanpa mengurangi pahala kita sedikitpun. Mengapa
demikian? Karena berawal dari orang tua kitalah, kita mengenal Islam dan
mendapatkan petunjuk. Perhatikan penjelasan sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ
يَنْقُصُ مِن أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ
مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ
شَيْئًا. (رواه مسلم)
“Barangsiapa
menyeru (mengajak) kepada petunjuk, baginya pahala sebagaimana pahala orang
yang mengikutinya, tidak berkurang pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
yang menyeru (mengajak) kepada kesesatan, atasnya dosa semisal dosa orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi demikian itu dari dosa mereka sedikitpun”. (HR.
Muslim).
Saudaraku,
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di atas, diperoleh
penjelasan bahwa setiap kali kita melakukan ibadah (termasuk saat bersedekah),
maka kedua orang tua kita juga akan diberi pahala oleh Allah dengan pahala yang
sama dengan pahala yang Allah berikan kepada kita tanpa mengurangi sedikitpun
pahala yang kita peroleh dari ibadah yang kita lakukan tersebut. (Wallahu a'lam).
Sebagai
tambahan, perhatikan pula penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud,
at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim berikut ini:
Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya sebaik-baik apa
yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan
sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya. (HR. Ahmad, Abu Dawud,
at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
♦ Manusia hanya
memperoleh apa yang telah diusahakannya
Saudaraku,
Perhatikan firman Allah dalam Al Qur’an surat An Najm
ayat 39 – 41 berikut ini:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَىٰهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
(39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya. (40) Dan bahwasanya usahanya itu kelak
akan diperlihatkan (kepadanya). (41) Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna, (QS. An Najm. 39 – 41).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): (39) (Dan bahwasanya) bahwasanya perkara yang
sesungguhnya itu ialah (seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya) yaitu memperoleh kebaikan dari usahanya yang baik, maka dia
tidak akan memperoleh kebaikan sedikit pun dari apa yang diusahakan oleh orang
lain. (40) (Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan) kepadanya di
akhirat. (41) (Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang
paling sempurna") pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata,
Jazaituhu Sa'yahu atau Bisa'yihi, artinya, "Aku memberikan balasan
terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya." Dengan
kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi'il Muta'addi atau Fi'il
Lazim. (QS. An Najm. 39 – 41).
Sedangkan dalam tiga buah hadits di bawah ini, diperoleh
penjelasan sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا
وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara
mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu,
maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq
'Alaih).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا فَقَالَ نَعَمْ قَالَ
فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى)
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu:
Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dunia,
apakah berguna jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Iya" Laki-laki tersebut berkata, "Aku mempunyai sebuah kebun
yang sedang berbuah dan aku ingin engkau menyaksikan bahwa aku telah
menyedekahkan kebun tersebut untuk ibuku." (Shahih: Bukhari)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ
أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي
مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا.
(رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan
kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq
memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan
kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki
bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah
bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang
itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan
kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu
Daud dan At-Tirmidzi).
Berikut ini aku kutibkan
keterangan yang terdapat dalam Kitab Shahih Sunan Tirmdizi:
Abu Isa berkata: “Hadits ini
hasan”. Dalam masalah ini para ‘ulama’ mempunyai pendapat: “Tidak ada sesuatu
yang sampai kepada orang yang telah meninggal dunia kecuali sedekah dan doa”.
Sebagian ‘ulama’ meriwayatkan hadits ini dari Amr bin Dinar, dari Ikrimah, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal*. Ia berkata: “Makna
makhrafan adalah kebun”.
Saudaraku,
Ketiga hadits di atas menunjukkan bahwa sedekah dari anak
itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah keduanya wafat meski tanpa
adanya wasiat dari keduanya, dan pahalanya-pun akan sampai kepada kedua-nya.
Hal ini mengandung arti bahwa ke-umum-an firman Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 berikut ini,
dikhususkan oleh ketiga hadits di atas.
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain
apa yang telah diusahakannya”. (QS. An Najm. 39).
Sekali lagi, hal ini mengandung arti bahwa ke-umum-an firman Allâh
Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 tersebut,
dikhususkan oleh ketiga hadits di atas. Maksudnya adalah bahwa seorang manusia
itu tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya, kecuali sedekah
dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah keduanya wafat
meski tanpa adanya wasiat dari keduanya. (Wallahu
a'lam)**.
Demikian
yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata
karena keterbatasan ilmuku***.
Tanggapan seorang kyai sepuh di Kota Blitar (usia beliau
80-an tahun dan masih sehat wal afiat): “Mas Imron, semua apa yang kamu tulis
kaitannya dengan shodaqoh dimaksud itu cukup bagus bahkan begitu luas dan saya
sendiri sejalan seperti itu karena dasar-dasar yang kita pegangi dan sebenarnya
masalah ini kan masalah klasik tetapi selalu up to date walau sering dijawab
pasti muncul kembali dilain waktu”.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Hadits mursal
adalah hadits yang di akhir sanad yaitu di atas tabi’in terputus.
**) Jawaban di atas
kusarikan dari kajian-kajian yang diberikan oleh guru-guru ngajiku, baik di Al
Falah maupun yang lainnya (jadi bukan pendapatku pribadi). Biasanya saat
mengikuti kajian, saya senang mencatat hal-hal penting + dalil-dalil yang
mendasarinya.
***) Ada pula yang
berpendapat bahwa sedekah seseorang (meskipun bukan anaknya) atas nama
orang lain (meskipun bukan orang tuanya) yang sudah wafat itu akan sampai tanpa
adanya wasiat dari orang yang sudah wafat tersebut (Wallahu
a'lam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar