Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (PNS/staf
pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Jawa) telah menyampaikan
pesan via WhatsApp sebagai berikut: “Saya adalah istri yang meninggalkan rumah, Pak
Imron. In sya Allah apa yang
dinasehatkan Pak Imron
sudah saya jalani, sudah
saya
rasakan. Hingga
kini saya
merasakan kedholiman itu. Subhanallah! Hanya yakin dan bersandar pada Allah
Ta'ala. Allah ‘Azza Wa Jalla yang Maha Tahu dan Maha Melihat.
Beliau mengatakan: “Proses talak saya hingga kasasi, selama
3 tahun saya jalani proses itu. (Namun) mantan suami masih belum menerima dan (belum) mengakui semuanya. Saya
hanya bisa bersabar. Bersandar pada Allah ‘Azza
Wa Jalla semata”.
Tanggapan
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa ketika terjadi pertikaian dalam rumah
tangga, bila masih dimungkinkan untuk menyatukan, maka seorang wanita tidak
boleh menempuh jalur memutuskan tali pernikahan dengan meminta (menggugat)
cerai dari suaminya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ سَاَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ
الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta
perceraian dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya aroma
surga”. (Hadits
riwayat Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al-Hakim, al-Baihaqi, dari sahabat
Tsaubân).
Sedangkan
dalam surat An Nisaa’ ayat 128, diperoleh penjelasan sebagai berikut:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ
إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا
وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ
وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا ﴿١٢٨﴾
Dan jika
seorang wanita khawatir akan nusyuz1 atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik
dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An Nisaa’. 128).
Tafsir
Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
{ وَإِنِ امرأة } مرفوع بفعل يفسره { خَافَتْ } توقعت { مِن
بَعْلِهَا } زوجها { نُشُوزًا } ترفعا عليها بترك مضاجعتها والتقصير في نفقتها
لبغضها وطموح عينه إلى أجمل منها { أَوْ إِعْرَاضًا } عنها بوجهه { فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَن يُصّالحا } فيه إدغام التاء في الأصل في الصاد ، وفي قراءة (
يُصلحا ) من ( أصلح ) { يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا } في القسم والنفقة بأن
تترك له شيئًا طلبًا لبقاء الصحبة فإن رضيت بذلك وإلا فعلى الزوج أن يوفيها حقها
أو يفارقها { والصلح خَيْرٌ } من الفرقة والنشوز والإعراض ، قال تعالىللهُ في بيان
ما جبل عليه الإنسان { وَأُحْضِرَتِ الأنفس الشح } شدّة البخل أي جبلت عليه فكأنها
حاضرته لا تغيب عنه ، المعنى أن المرأة لا تكاد تسمح بنصيبها من زوجها والرجل لا
يكاد يسمح عليها بنفسه إذا أحب غيرها { وَإِن تُحْسِنُواْ } عشرة النساء {
وَتَتَّقُواْ } الجور عليهن { فَإِنَّ الله كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا }
فيجازيكم به .
(Dan jika
seorang wanita) imra-atun marfu' oleh fi'il yang menafsirkannya (takut) atau
khawatir (dari suaminya nusyuz) artinya sikap tak acuh hingga berpisah ranjang
daripadanya dan melalaikan pemberian nafkahnya, adakalanya karena marah atau
karena matanya telah terpikat kepada wanita yang lebih cantik dari istrinya itu
(atau memalingkan muka) daripadanya (maka tak ada salahnya bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenarnya). Ta yang terdapat pada asal kata
diidgamkan pada shad, sedang menurut qiraat lain dibaca yushliha dari ashlaha.
Maksud perdamaian itu ialah dalam bergilir dan pemberian nafkah, misalnya
dengan sedikit mengalah dari pihak istri demi mempertahankan kerukunan. Jika si
istri bersedia, maka dapatlah dilangsungkan perdamaian itu, tetapi jika tidak,
maka pihak suami harus memenuhi kewajibannya atau menceraikan istrinya itu.
(Dan perdamaian itu lebih baik) daripada berpisah atau dari nusyuz atau sikap
tak acuh. Hanya dalam menjelaskan tabiat-tabiat manusia, Allah berfirman:
(tetapi manusia itu bertabiat kikir) artinya bakhil, seolah-olah sifat ini
selalu dan tak pernah lenyap daripadanya. Maksud kalimat bahwa wanita itu
jarang bersedia menyerahkan haknya terhadap suaminya kepada madunya, sebaliknya
pihak laki-laki jarang pula yang memberikan haknya kepada istri bila ia
mencintai istri lain. (Dan jika kamu berlaku baik) dalam pergaulan
istri-istrimu (dan menjaga diri) dari berlaku lalim atau aniaya kepada mereka
(maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan) hingga akan
memberikan balasannya. (QS. An Nisaa’. 128).
Namun apabila perbedaan sudah sedemikian meruncing/sudah sedemikian
sulit untuk dijembatani lagi sehingga menyebabkan suasana kehidupan rumah
tangga kian hari justru tidak semakin baik, maka Islam memberi keluasan.
Terlebih lagi saudaraku menyatakan bahwa selama 18 tahun
berumah tangga dengannya, lebih banyak mudharatnya dibandingkan manfaatnya.
Dalam hal ini, ketahuilah bahwa Islam telah memberikan solusi dan jalan bagi
mereka yang tidak mampu lagi menemukan kebahagiaan dalam berumah tangga dengan
cara yang halal (meskipun hal tersebut dibenci), yaitu cerai.
...
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ
اللهِ فَأُوْلَـــٰــئِكَ هُمُ الظَّـــٰــلِمُونَ ﴿٢٢٩﴾
“... Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqarah. 229).
Saudaraku,
Jika seorang isteri mendapati adanya perlakuan
suami yang membahayakan dirinya, seperti: suami sering berbuat aniaya terhadap isteri (terjadi KDRT/memukul
isteri tanpa alasan yang benar, dll) serta menahan infaqnya, maka dalam kondisi seperti ini, boleh
bagi isteri untuk meminta kepada qadhi2 (قاضي) untuk
menceraikannya secara paksa agar bahaya dan kezhaliman tersebut
dapat dihindarkan dari dirinya.
Sebuah gugatan cerai dapat disahkan oleh agama (artinya
dibenarkan/dibolehkan sehingga bukan merupakan perbuatan dosa) bila ada alasan
syar’i seperti ini.
...
وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لَّتَعْتَدُواْ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُواْ ءَايَـــٰتِ اللهِ هُزُوًا وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ
وَمَا أَنزَلَ عَلَيْكُمْ مِّنَ الْكِتَـــٰبِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِ وَاتَّقُواْ اللهَ
وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٢٣١﴾
“... Janganlah kamu tahan mereka
untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.
Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan.
Dan ingatlah ni`mat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran
kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah. 231).
Saudaraku,
Benar bahwa keputusan atas gugatan istri berada di tangan
suami (artinya hak talak itu ada pada suami). Namun ketika perkaranya sudah
masuk kepada qadhi/hakim, maka hakim dapat memaksa suami untuk menceraikan
istrinya. Perhatikan penjelasan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
berikut ini:
حَدَّثَنَا أَزْهَرُ بْنُ جَمِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ
فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ
قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْبَلْ
الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Azhar bin Jamil Telah menceritakan kepada
kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi Telah menceritakan kepada kami Khalid dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas bahwasanya; Isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, Wahai Rasulullah, tidaklah aku
mencela Tsabit bin Qais atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatir
kekufuran dalam Islam. Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Apakah kamu mau mengembalikan
kebun miliknya itu? Ia menjawab, Ya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia dengan talak satu. (HR. Bukhari). (Wallahu
a'lam).
Saudaraku,
Terhadap semua ketetapan di atas (serta terhadap semua ketetapan
lainnya yang datangnya dari Allah serta rasul-Nya), sebagai orang yang
menyatakan beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka sikap kita adalah: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (kami mendengar dan kami patuh). Artinya
apapun yang datang dari-Nya serta rasul-Nya, kita terima dan kita laksanakan
apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun.
Perhatikan firman Allah SWT. dalam Al Qur’an surat An
Nuur ayat 51 berikut ini:
إِنَّمَا
كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ
بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُوْلَـــٰـــئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nuur. 51)
Sedangkan dalam Al Qur’an surat Al Ahzaab ayat 36 berikut
ini, Allah SWT. berfirman:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia
telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36)
Saudaraku mengatakan: “Proses talak saya hingga kasasi, selama
3 tahun saya jalani proses itu. (Namun) mantan suami masih belum menerima dan (belum) mengakui semuanya. Saya
hanya bisa bersabar. Bersandar pada Allah ‘Azza
Wa Jalla semata”.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Ketahuilah bahwa sikap mantan suami yang tetap tidak mau
mengakui keputusan tersebut, tidak akan dapat mengubah keputusan/ketetapan
tersebut. Karena Islam memang telah memberikan kewenangan kepada hakim untuk memaksa
seorang suami untuk menceraikan istrinya jika memang isteri mengajukan gugatan
cerai dan terbukti/didapati adanya perlakuan suami yang membahayakan diri
isteri, seperti: seorang suami yang sering berbuat aniaya terhadap isterinya (terjadi
KDRT, seperti memukul isteri tanpa alasan yang benar, dll) serta
menahan infaqnya (sebagaimana uraian di atas).
Mengapa demikian?
Mengapa sikap mantan suami yang tetap tidak mau mengakui keputusan/ketetapan
tersebut tidak akan dapat mengubah keputusan/ketetapan tersebut?
Karena Allah
menetapkan hukum menurut kehendak-Nya (termasuk pemberian kewenangan kepada
hakim untuk memaksa seorang suami untuk menceraikan istrinya sebagaimana uraian
di atas). Dan
tidak ada satu pihakpun yang dapat menolak ketetapan-Nya. Demikian penjelasan
Allah dalam Al Qur'an surat
Ar Ra’d ayat 41:
أَوَلَمْ يَرَوْاْ أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ
نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِـحُكْمِهِ وَهُوَ
سَرِيعُ الْحِسَابِ ﴿٤١﴾
“Dan apakah mereka tidak melihat
bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami
kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan
Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak
ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya”. (QS. Ar Ra’d. 41).
Dengan demikian, saudaraku tidak perlu khawatir terhadap
sikap mantan suami yang sampai saat ini masih belum menerima dan belum mengakui semuanya.
Sebagai penutup,
Dari rangkaian uraian di atas, nampak betapa indahnya
Islam. Karena dengan solusi seperti ini, maka Islam telah membuka kesempatan
bagi wanita sebagai bekal persiapan untuk menyelamatkan dirinya dari kekerasan
suami dan penyelewengan kekuasaan suami yang tidak benar.
وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلًّا مِّن سَعَتِهِ
وَكَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيمًا ﴿١٣٠﴾
Jika keduanya
bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan
karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. (QS.
An Nisaa’. 130).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Nusyuz (meninggalkan kewajiban
bersuami isteri): merupakan kesombongan istri, seperti menolak suaminya
dari jima’ atau menyentuh badannya atau menolak pindah bersama suaminya atau
menutupi pintu terhadap suaminya yang mau masuk atau minta cerai atau keluar
dari rumah tanpa ijin dari suaminya (tentunya semuanya itu jika tanpa disertai dengan
alasan yang dibenarkan agama)..
2) Yang dimaksud dengan qadhi (قاضي) adalah seorang hakim yang membuat keputusan
berdasarkan syari’at Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar