Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat (staf
pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Sumatera)
telah menyampaikan pesan via WhatsApp sebagai berikut: “Bagaimana caranya ya Pak Imron, agar kita bisa hijrah dari
takut kehilangan duniawi?”.
Saudaraku,
Semakin kita mencintai sesuatu, maka hal ini akan membuat
kita semakin takut kehilangan sesuatu itu. Sebaliknya, semakin kita tidak
mencintai sesuatu, maka hal ini akan membuat kita semakin tidak takut
kehilangan sesuatu itu. Dan pada puncaknya, ketika kita tidak lagi mencintai
sesuatu, maka hal ini akan membuat kita tidak takut lagi akan kehilangan
sesuatu itu.
Demikian pula halnya dengan kecintaan kita kepada dunia
ini. Semakin kita mencintai dunia ini, maka hal itu juga akan membuat kita
semakin takut kehilangan dunia ini. (Dan sudah menjadi tabiat manusia untuk
mencintai dunia ini).
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ
الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ
وَالْحَرْثِ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَاٰبِ ﴿١٤﴾
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga). (QS. Ali ‘Imraan. 14).
Maka kurangilah cinta kita kepada dunia ini, agar kita
semakin tidak takut kehilangan dunia ini. Dan jika upaya ini (upaya untuk
mengurangi rasa cinta kita kepada dunia ini) terus-menerus kita lakukan hingga
kita tidak lagi mencintai dunia ini, maka (jika kita
sudah mencapai tahapan ini) kita juga akan menjadi tidak takut lagi kehilangan
dunia ini.
Terkait hal ini, setidaknya ada empat hal yang harus kita
lakukan, yaitu: (1) cintailah Allah dan Rasul-Nya
melebihi yang lain, (2) ikutilah anjuran Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menjadi musafir di dunia
ini, (3) sering-seringlah mengingat kematian sebagai pemutus kelezatan dunia
ini, dan (4) jadikan akhirat sebagai tujuan hidup kita.
1. Mencintai Allah dan Rasul-Nya
melebihi yang lain
Saudaraku,
Untuk bisa mengurangi rasa cinta kita kepada dunia ini,
tumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah (dan Rasul-Nya). Pupuklah rasa cinta
kita kepada Allah terus-menerus agar rasa cinta kita kepada-Nya dapat terus
tumbuh dan terus tumbuh hingga melebihi rasa cinta kita kepada dunia ini. Dan
jika kita sudah sampai pada tahapan ini (yaitu ketika kita sudah bisa mencintai
Allah dan Rasul-Nya melebihi dunia ini), maka kita akan menjadi lebih takut
kehilangan (rahmat) Allah daripada kehilangan dunia ini.
Saudaraku,
Agar kita bisa semakin mencintai Allah (dan Rasul-Nya) hingga
melebihi cinta kita kepada dunia ini/agar kita bisa lebih takut kehilangan
rahmat-Nya melebihi rasa takut kita akan kehilangan dunia ini, maka kita musti
banyak-banyak menyebut dan mengingat diri-Nya (serta banyak-banyak membaca shalawat
untuk Rasul-Nya).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا
كَثِيرًا ﴿٤١﴾
Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al Ahzaab. 41).
إِنَّ اللهَ وَمَلَـــٰــئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا ﴿٥٦﴾
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat
untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al Ahzaab. 56).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا. (رواه مسلم)
“Siapa yang bershalawat untukku satu kali, maka Allah
akan bershalawat untuknya sepuluh kali (Allah akan memberikan kerahmatan padanya sepuluh kali
dengan sebab sekali shalawat tadi).” (HR. Muslim).
Saudaraku,
Jika kita sudah sampai pada tahapan ini (yaitu jika kita
sudah mampu untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi cinta kita kepada
dunia ini), niscaya kita akan mendapatkan manisnya iman.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam
hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ
وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْأَ لَا
يُحِبُّهُ إِلَّا لِلّٰهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ
إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ. (رواه
البخارى و مسلم)
“Tiga hal yang jika ketiganya ada
pada diri seseorang niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman: hendaklah Allah dan Rasul-Nya
lebih ia cintai daripada selain keduanya, hendaklah dia mencintai seseorang
serta tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci
untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu
sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Dan jika kita sudah bisa merasakan manisnya iman, maka
kita akan bisa merasakan kelezatan didalam ketaatan dan mengemban beban-beban
dalam mendapatkan ridho Allah dan Rasul-Nya serta lebih mendahulukan keridho-an
tersebut daripada perhiasan-perhiasan dunia ini. Karena ridho Allah adalah
lebih baik dari dunia seisinya, bahkan lebih baik dari surga yang di bawahnya
mengalir sungai-sungai.
وَعَدَ اللهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَـــٰتِ جَنَّـــٰتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَـــٰــلِدِينَ فِيهَا وَمَسَـــٰــكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّـــٰتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللهِ أَكْبَرُ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿٧٢﴾
“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mu'min lelaki
dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai,
kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga
`Adn. Dan
keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (QS.
At Taubah. 72).
Saudaraku,
Perhatikan penjelasan surat At Taubah pada bagian akhir
ayat 72 di atas:
... وَرِضْوَانٌ مِّنَ اللهِ
أَكْبَرُ ذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿٧٢﴾
“... Dan
keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar”. (QS.
At Taubah. 72).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “... (Dan keridhaan Allah adalah lebih besar)
lebih agung daripada kesemuanya itu (itu adalah keberuntungan yang besar)”.
Lebih dari itu semua, kita juga akan terbebas dari
ancaman Allah dalam Al Qur’an surat At Taubah ayat 24 berikut ini:
قُلْ إِن كَانَ ءَابَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ
اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَـــٰــرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَـــٰـكِنُ تَرْضَوْنَهَا
أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُواْ
حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللهُ
بِأَمْرِهِ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴿٢٤﴾
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat
tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya
dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.
(QS. At Taubah. 24).
2. Ikuti anjuran Rasulullah untuk menjadi musafir di dunia ini
Ibn Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memegang bahuku lalu bersabda:
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ
أَوْعَابِرُسَبِيْلٍ (رواه البخارى)
“Jadilah kamu di dunia ini
bagaikan orang gharib (orang asing) atau orang yang hanya lalu di jalanan”.
(HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
لِي وَلِلدُّنْيَا مَا مَثَلِي وَمَثَلُ الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ سَارَ فِي
يَوْمٍ صَائِفٍ فَاسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ ثُمَّ رَاحَ
وَتَرَكَهَا. (رواه أحمد)
”Apa urusanku dengan dunia? Aku
dan dunia ibarat seorang pengendara yang melakukan perjalanan di siang hari,
berteduh dan bernaung di sebuah pohon kemudian melanjutkan perjalanan dan
meninggalkan tempat
tersebut.” (HR. Ahmad).
Saudaraku,
Ambillah dunia ini sesuai
dengan hajat kebutuhan kita. Janganlah kita sampai rakus dan tamak terhadapnya,
hingga berusaha mendapatkan/mengumpulkannya dengan berbagai cara. Ingatlah
wahai saudaraku, bahwa barangsiapa yang mengambil lebih dari hajat
kebutuhannya, berarti dia telah mengambil sesuatu yang membinasakannya dengan
tidak merasa. Na’udzubillahi mindzalika!
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي
حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي
الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ ﴿٢٠﴾
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan
Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan
di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada
baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (QS. Asy Syuura. 20).
Saudaraku,
Semoga kisah berikut ini (aku ambil
dari buku: “Irsyadul ‘Ibad Ila Sabilirrasyad”) dapat menambah pemahaman kita
akan hakekat kehidupan dunia ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.
Allaits
meriwayatkan, dari Jarir berkata:
Seseorang datang kepada Nabi
Isa A. S. dan berkata: “ Saya ingin bersahabat dan selalu bersamamu”. Maka
berjalanlah keduanya di tepi sungai dan makanlah mereka berdua tiga potong
roti, Nabi Isa A. S. satu potong dan satu potong untuk orang itu, sisa satu
potong.
Kemudian Nabi Isa A. S. pergi
minum ke sungai dan kembali, roti yang sepotong itu tidak ada lalu ditanyakan
kepada orang itu: “Siapakah yang mengambil sepotong roti?”. Jawab orang itu:
“Tidak tahu”.
Maka berjalanlah keduanya.
Tiba-tiba (mereka) melihat rusa dengan kedua anaknya. Maka dipanggil satu anak
rusa itu lalu disembelih lalu dibakar kemudian dimakan berdua. Lalu Nabi Isa A.
S. menyuruh anak rusa yang telah dimakan itu supaya hidup kembali, maka
hiduplah dengan izin Allah. Lalu Nabi Isa A. S. bertanya: “Demi Allah yang
memperlihatkan kepadamu bukti kekuasaan-Nya itu, siapakah yang mengambil
sepotong roti itu?”. Jawab orang itu: “Tidak tahu”.
Kemudian berjalan terus
hingga sampai ke tepi sungai. Lalu Nabi Isa A. S. memegang tangan orang itu dan
mengajaknya berjalan di atas air hingga sampai di seberang, lalu ditanya: “Demi
Allah yang memperlihatkan kepadamu bukti ini, siapakah yang mengambil sepotong
roti itu?”. Jawab orang itu: “Tidak tahu”.
Kemudian ketika berada di
hutan dan duduk berdua, Nabi Isa A. S. mengambil tanah atau kerikil, lalu
diperintah: “Jadilah emas dengan seizin Allah”, maka menjadi emas lalu dibagi
tiga. Nabi
Isa A. S. berkata: “Untukku sepertiga, dan kamu sepertiga. Dan yang sepertiga
ini untuk orang yang mengambil roti”. Maka ia jawab: “Akulah yang mengambil
roti itu!”. Nabi Isa A. S. berkata: “Maka ambillah semua untukmu!”. Lalu
berpisah keduanya.
Kemudian orang itu didatangi
oleh dua orang (yang) akan merampok harta orang itu dan (akan) membunuhnya.
Lalu ia berkata: “Lebih baik kami bagi tiga saja”. Maka setuju ketiganya. Lalu
menyuruh seorang (di antara mereka) untuk pergi ke pasar berbelanja makanan.
Maka timbul perasaan orang yang
berbelanja itu: “Untuk apa kita membagi uang (emas). Lebih baik makanan ini
saya isi racun, supaya keduanya mati dan aku ambil semua harta ini”. Lalu
diracunnya makanan itu. Sedang kedua orang yang tinggal itu berkata: “Untuk apa
kami membagi harta ini. Lebih baik jika ia datang, kami bunuh, lalu harta ini
kami bagi berdua”.
Maka ketika datang orang yang
berbelanja, segera dibunuh oleh keduanya. Lalu hartanya dibagi dua. Kemudian
keduanya makan dari makanan yang beracun itu. Maka matilah keduanya. Dan
tinggallah uang (emas) itu di hutan, sedang mereka bertiga mati di sekitar uang
itu.
Kemudian ketika Nabi Isa A. S. berjalan
di hutan dan menemukan (melihat) hal itu, berkata kepada sahabat-sahabatnya:
“Inilah contoh dunia. Maka berhati-hatilah kamu daripadanya”.
Saudaraku,
Sebagai tambahan, berikut ini aku
kutipkan penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا
الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا
عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا
تَنَافَسُوهَا فَتُهلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم. (رواه البخارى ومسلم)
“Bukanlah kefakiran yang aku
takutkan atas kalian. Tetapi aku khawatir akan dibuka lebar (pintu) dunia
kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang sebelum kalian. Nanti
kalian akan saling bersaing untuk mendapatkannya sebagaimana mereka telah
bersaing untuknya. Nantinya (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian seperti
telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3.
Mengingat kematian sebagai pemutus kelezatan dunia
Saudaraku,
Hidup di dunia ini tidaklah selamanya. Akan datang masanya kita berpisah dengan dunia beserta seluruh isinya. Perpisahan itu
terjadi saat kematian menjemput kita,
tanpa ada seorang-pun
yang dapat menghindar darinya. Karena Allah SWT. telah berfirman
dalam surat Ali ‘Imran ayat 185, surat An Nisaa’ ayat 78, serta surat Al-Anbiyaa` ayat 35 berikut ini:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ... ﴿١٨٥﴾
”Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. ...”. (QS. Ali ‘Imran. 185).
أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ
الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ ... ﴿٧٨﴾
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, ...”. (QS. An Nisaa’.
78).
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ
وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ ﴿٣٥﴾
Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS.
Al Anbiyaa’. 35).
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa mengingat kematian itu akan
dapat melembutkan hati dan
menghancurkan ketamakan kita terhadap
dunia ini.
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا
الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْتَ.
(رواه الترمذى)
Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Al Fadhl bin
Musa menceritakan kepada kami. dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari
Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus
kenikmatan”. (HR. At-Tirmidzi). Yang dimaksud di sini adalah kematian. Kematian disebut haadzim (pemutus)
karena ia menjadi pemutus kelezatan dunia.
Saudaraku,
Orang yang selalu mengingat kematian itu tidaklah identik
dengan orang yang selalu murung, frustasi dan penuh dengan keputus-asaan karena
serasa maut benar-benar di depan mata. Yang terjadi justru sebaliknya. Kepada
siapapun, dimanapun, kapanpun, dia akan selalu berusaha untuk berkarya dan
memberikan persembahan
terbaik (yang semuanya itu dilakukan karena Allah semata). Karena dia khawatir,
jangan-jangan hari ini adalah kesempatan terakhir!
Di sisi lain, dia juga
senantiasa bekerja keras mempersiapkan bekal untuk menghadapinya. Seolah tidak
ada waktu untuk tidak mengingat Allah
(dzikrullah). Seolah tidak ada waktu untuk bersantai, apalagi sampai bermaksiat
kepada-Nya. Karena dia tahu, bahwa maut bisa datang menjemputnya, kapan saja,
di mana saja.
Pada saat yang sama, dia juga
tidak mudah silau oleh gemerlapnya kehidupan dunia ini. Karena dia tahu, bahwa
masa depannya yang sesungguhnya bukanlah di sini, di alam dunia ini. Tetapi
nanti, di alam akhirat, dimana dia akan tinggal untuk selamanya di sana.
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَـهْوٌ
وَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ
لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ ﴿٣٢﴾
“Dan tiadalah kehidupan dunia
ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.
(QS. Al An’aam: 32).
4. Menjadikan akhirat sebagai tujuan hidup kita
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
كاَنَتِ الْأَخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ، وَجَمَعَ لَهُ
شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ؛ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا
هَمَّهُ، جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ،
وَلَمْ يأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ. (رواه الترمذى)
“Siapa yang menjadikan akhirat sebagai maksud dan
tujuannya, niscaya Allah akan menjadikan kekayaannya dalam hatinya dan Allah
akan mengumpulkan urusannya yang tercerai-berai, bersamaan dengan itu dunia
datang kepadanya dalam keadaan hina dan rendah. Sebaliknya, siapa yang
menjadikan dunia sebagai maksud dan tujuannya, niscaya Allah akan menjadikan
kefakirannya di hadapan kedua matanya, dan Allah akan mencerai-beraikan
urusannya yang semula terkumpul, sementara dunia tidak datang kepadanya selain
sebatas apa yang telah ditetapkan untuknya.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan
dalam ash-Shahihah no. 949)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ
شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ، وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا
هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ
وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ. (رواه الترمذى وابن
ماجه)
“Siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah SWT. pasti
meletakkan rasa kaya (cukup) di dalam hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia datang
kepadanya padahal dia (dunia itu) tidak menyukainya. Sebaliknya, siapa yang
dunia menjadi tujuannya, Allah pasti meletakkan kemiskinan di depan matanya,
dan mencerai-beraikan urusannya, sementara itu dunia tidak mendatanginya selain
apa yang sudah ditentukan baginya.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.