Assalamu’alaikum wr. wb.
Saat menyampaikan kuliah subuh di Kota Blitar, salah
seorang di antara jama’ah telah menyampaikan pertanyaan berikut ini: “Pak Imron, mohon dijelaskan arti surat Faathir
ayat 18 serta hubungannya dengan anak shalih?”.
Saudaraku,
Berikut ini surat Faathir ayat 18 beserta artinya:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا
قُرْبَىٰ إِنَّمَا تُنذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُم
بِالغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَمَن تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ ﴿١٨﴾
Dan orang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil
(orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya
sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang
dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya
(sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan
barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk
kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali(mu). (QS. Faathir. 18).
Untuk bisa memahami ayat di atas, berikut ini aku
sampaikan Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu
Ahmad Al-Mahalliy) serta serta Tafsir Ibnu Katsir.
Tafsir Jalalain:
(Dan tidaklah menanggung) setiap diri (Yang telah berbuat
dosa) yakni ia tidak akan menanggung (dosa) diri (orang lain. Dan jika
memanggil) seseorang yang (diberati) oleh dosanya (untuk memikul dosa itu)
yaitu memanggil orang lain untuk ikut memikul sebagian dari dosanya (tiadalah
akan dipikul untuknya sedikit pun) orang yang dipanggil itu tidak akan mau
memikulnya walau sedikit-pun (meskipun – yang dipanggil itu – kaum kerabatnya)
seperti ayah dan anaknya; tidak adanya penanggungan dosa dari kedua belah pihak
ini berdasarkan keputusan dari Allah.
(Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya
orang-orang yang takut kepada azab Rabbnya – sekalipun mereka tidak
melihat-Nya) mereka tetap takut kepada-Nya sekalipun mereka tidak melihat-Nya,
sebab hanya merekalah orang-orang yang dapat mengambil manfaat dari adanya
peringatan itu (dan mereka mendirikan shalat) mereka melestarikannya (Dan
barang siapa yang menyucikan dirinya) dari kemusyrikan dan dosa-dosa lainnya
(sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya) karena kemaslahatannya
akan kembali kepada dirinya sendiri. (Dan kepada Allahlah kembali kalian) kelak
di alam akhirat Dia akan membalas amal perbuatan kalian. (Tafsir Jalalain surat Faathir ayat 18).
Tafsir Ibnu Katsir:
{ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ }
Dan orang-orang
yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (QS. Faathir:
18). Yaitu kelak di hari kiamat saat dilakukan perhitungan amal perbuatan.
{ وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا }
Dan
jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk
memikul dosa itu. (QS. Faathir: 18)
Maksudnya,
jika seorang yang banyak dosanya memanggil orang lain untuk sama-sama memikul
dosa-dosanya yang berat agar menjadi ringan, atau untuk memikul sebagian dari dosa-dosanya,
{ لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ }
tiadalah
akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya
itu) kaum kerabatnya. (QS. Faathir: 18)
Yakni
sekalipun yang dimintai pertolongannya itu adalah kerabatnya sendiri, dan
sekalipun dia adalah ayah atau anaknya; masing-masing orang di hari (itu) sibuk
dengan urusan dan keadaannya sendiri.
Ikrimah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya “Dan jika seseorang yang
berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosa itu” (QS.
Faathir: 18), hingga akhir ayat. Bahwa seseorang dipegangi
tetangganya kelak di hari kiamat, lalu orang yang dipeganginya berkata: “Ya
Tuhanku, tanyakanlah kepada orang ini mengapa dia menutup pintunya di hadapanku”.
Dan
sesungguhnya orang kafir benar-benar bergantung kepada orang mukmin, lalu orang
kafir berkata: “Hai orang mukmin, sesungguhnya aku mempunyai jasa kepadamu,
engkau telah mengetahui bagaimana jasaku terhadap dirimu sewaktu di dunia, dan
sekarang pada hari ini aku memerlukan pertolonganmu”. Maka orang mukmin itu
terus-menerus memohonkan syafaat bagi orang kafir itu di hadapan Tuhannya,
tetapi pada akhirnya orang kafir itu dikembalikan ke tempat yang lebih rendah
daripada tempat orang mukmin itu, yaitu di neraka.
Dan
sesungguhnya seorang ayah benar-benar bergantung kepada anaknya kelak di hari
kiamat, lalu si ayah berkata: “Hai Anakku, siapakah diriku ini?”. Lalu si anak
memujinya dengan pujian yang baik. Si ayah berkata: “Hai Anakku, sesungguhnya
sekarang aku memerlukan kebaikanmu, walaupun hanya seberat biji sawi, agar aku
dapat selamat dari azab seperti yang engkau lihat sekarang ini”. Lalu si anak
menjawabnya: “Wahai Ayahku, betapa mudahnya permintaanmu, tetapi saya merasa
takut sebagaimana takut yang melanda dirimu. Maka aku tidak dapat memberikan
sesuatu kebaikan pun kepadamu”.
Kemudian
orang itu bergantung kepada istrinya dan mengatakan kepadanya: “Hai istriku,
siapakah aku ini?”. Lalu si wanita itu memujinya dengan pujian yang baik.
Kemudian di lelaki berkata: “Sesungguhnya aku meminta suatu kebaikan darimu,
sudilah engkau memberikannya kepadaku, barangkali saja dengan kebaikan itu aku
dapat selamat dari penderitaanku seperti yang kamu lihat sendiri”. Lalu si
istri menjawab: “Betapa mudahnya permintaanmu, tetapi aku tidak mampu memberimu
sesuatu apa-pun, karena sesungguhnya aku-pun sama merasa takut seperti
ketakutan yang melanda dirimu”. Allah SWT. berfirman:
{ وَإِن تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَىٰ حِمْلِهَا }
Dan
jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk
memikul dosa itu. (QS. Faathir: 18), hingga akhir ayat.
{لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ
وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا}
seorang
bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak
dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. (Luqman: 33)
Dan
firman Allah SWT.:
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ
﴿٣٤﴾ وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ ﴿٣٥﴾ وَصَـــٰحِبَتِهِ وَبَنِيهِ ﴿٣٦﴾ لِكُلِّ امْرِئٍ
مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ ﴿٣٧﴾
(34)
pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, (35) dari ibu dan bapaknya, (36)
dari isteri dan anak-anaknya. (37) Setiap orang dari mereka pada hari itu
mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (QS. ‘Abasa. 34 – 37).
Ibnu
Abu Hatim rahimahullah telah meriwayatkan dari Abu Abdullah
Az-Zahrani, dari Hafs ibnu Umar, dari Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah. Kemudian
Allah SWT. berfirman:
{إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ}
Sesungguhnya
yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab
Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan
salat. (QS. Faathir: 18)
Yakni
sesungguhnya yang mau menerima apa yang disampaikan olehmu hanyalah orang-orang
yang mempunyai akal dan pandangan hati lagi takut kepada Tuhannya dan
mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka.
{وَمَنْ تَزَكَّىٰ فَإِنَّمَا يَتَزَكَّىٰ لِنَفْسِهِ}
Dan
barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk
kebaikan dirinya sendiri. (QS. Faathir: 18). Maksudnya, barang siapa yang beramal saleh,
maka sesungguhnya manfaat dari amal salehnya itu kembali kepada dirinya
sendiri.
{وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ}
Dan
kepada Allah-lah kembali(mu). (QS. Faathir:
18)
Yaitu
hanya kepada-Nyalah semua makhluk dikembalikan, Dia Maha Cepat perhitungan-Nya,
dan setiap orang akan mendapat balasan amal perbuatannya masing-masing. Jika amal
perbuatannya baik, maka balasannya baik; dan jika amal perbuatannya buruk, maka
balasannya buruk pula.
_____
Saudaraku,
Dari penjelasan kedua kitab tafsir di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada saat itu (pada hari kiamat) setiap orang akan menanggung
dosanya sendiri. Tidak seorangpun yang mau/bersedia untuk ikut
menanggung/memikul dosanya (walau sedikitpun), meskipun yang bersangkutan
adalah kaum kerabatnya sendiri (orang tuanya, anak-anaknya, isteri/suaminya,
kakek/neneknya, dst).
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ
وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِي وَالِدٌ عَن وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ
عَن وَالِدِهِ شَيْئًا ... ﴿٣٣﴾
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah
suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan
seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. ...”. (QS.
Luqman. 33).
وَاتَّقُواْ يَوْمًا لَّا تَجْزِي نَفْسٌ عَن نَّفْسٍ شَيْئًا
وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَـــٰــعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنصَرُونَ ﴿٤٨﴾
“Dan jagalah dirimu dari
(`azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang
lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa`at1) dan tebusan
daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong”. (QS. Al Baqarah. 48).
...
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ... ﴿١٦٤﴾
“...
dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. ...”. (QS. Al An’aam. 164).
... وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ... ﴿١٥﴾
“.... Dan seorang yang berdosa
tidak dapat memikul dosa orang lain, ...”. (QS. Al Israa’. 15).
Karena pada hari itu (pada hari kiamat) setiap orang mempunyai urusan yang cukup
menyibukkannya.
لِكُلِّ
امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ ﴿٣٧﴾
Setiap
orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya. (QS.
‘Abasa. 37).
Saudaraku,
Memang benar bahwa pada hari itu kita
dikumpulkan bersama dengan seluruh umat manusia dan tidak ketinggalan
seorangpun.
...
أَيْنَ مَا تَكُونُواْ يَأْتِ بِكُمُ اللهُ جَمِيعًا إِنَّ اللهَ عَلَىٰ كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ ﴿١٤٨﴾
”...Di mana saja kamu berada
pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Baqarah. 148).
... ذَٰلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوعٌ لَّهُ النَّاسُ وَذَٰلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُودٌ ﴿١٠٣﴾
”...
Hari kiamat itu adalah suatu hari yang semua manusia dikumpulkan untuk
(menghadapi)-nya, dan hari itu adalah suatu hari yang disaksikan (oleh segala
makhluk”). (QS.
Huud. 103).
وَيَوْمَ
نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَـــٰــهُمْ فَلَمْ
نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا ﴿٤٧﴾
“Dan (ingatlah) akan hari (yang
ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan melihat bumi itu datar
dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari
mereka”. (QS. Al Kahfi. 47).
Namun pada hakekatnya kita tetaplah sendirian
(sendiri-sendiri), yaitu datang menghadap kepada Allah dengan sendiri-sendiri
untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatan kita sendiri-sendiri.
وَكُلُّهُمْ ءَاتِيهِ يَوْمَ الْقِيَـــٰمَةِ فَرْدًا ﴿٩٥﴾
“Dan tiap-tiap mereka akan
datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri”. (QS. Maryam. 95).
Hubungan Surat Faathir Ayat 18 dengan Anak Sholih
Saudaraku,
Jika pada hari kiamat seorang anak (sekalipun dia adalah anak sholih) tidak
dapat menolong orangtuanya, tidak demikian halnya jika sang anak masih hidup di
dunia ini. Karena anak yang sholih yang masih hidup di dunia ini, dapat
menolong kedua orangtuanya yang sudah wafat melalui do’a-do’anya. Demikian penjelasan
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ؛ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ،
أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ الَّذِي يَدْعُو لَهُ. (رواه
مسلم)
“Apabila
manusia telah mati, terputuslah amalannya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu
yang bermanfaat,
atau anak shalih yang mendo’akannya.”
(HR. Muslim(.
Bahkan disaat orang yang sudah wafat sangat menginginkan
agar diberi kesempatan untuk hidup kembali supaya bisa bersedekah (dan tidak
mungkin Allah menghidupkan kembali sehingga orang yang sudah wafat tidak
mungkin bisa bersedekah lagi), namun anak yang shalih bisa membantu kedua
orangtuanya yang sudah wafat agar tetap bisa bersedekah, yaitu dengan cara bersedekah
atas nama kedua orang tua yang sudah wafat (atau atas nama salah satu
diantara keduanya/atas nama ayah saja atau atas nama ibu saja).
Saudaraku,
Dalam Al Qur’an surat Al Munaafiquun ayat 10,
diperoleh penjelasan bahwa orang yang sudah wafat sangat menginginkan agar
diberi kesempatan untuk hidup kembali supaya bisa bersedekah, namun tidak
mungkin Allah menghidupkannya kembali sehingga orang yang sudah wafat sudah
tidak mungkin lagi bisa bersedekah.
وَأَنفِقُوا مِن مَّا رَزَقْنَـــٰــكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ
فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّـــٰــلِحِينَ ﴿١٠﴾
Dan belanjakanlah sebagian
dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak
menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat
bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?" (QS. Al
Munaafiquun. 10).
Sekali lagi kusampaikan bahwa orang yang sudah wafat
sangat menginginkan agar diberi kesempatan untuk hidup kembali supaya bisa
bersedekah (dan tidak mungkin Allah menghidupkan kembali sehingga orang yang
sudah wafat tidak mungkin bisa bersedekah), namun anak yang sholih bisa
membantu kedua orangtuanya yang sudah wafat agar tetap bisa bersedekah, yaitu
dengan cara bersedekah atas nama kedua orang tua yang sudah wafat (atau atas
nama salah satu diantara keduanya/atas nama ayah saja atau atas nama ibu saja).
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ
امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا
وَلَوْلَا ذَلِكَ لَتَصَدَّقَتْ وَأَعْطَتْ أَفَيُجْزِئُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهَا
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ فَتَصَدَّقِي عَنْهَا
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
Seorang perempuan berkata, "Wahai Rasulullah! Ibuku meninggal dunia secara
mendadak. Jika tidak demikian tentu dia akan bersedekah dan memberi sesuatu,
maka apakah aku boleh bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Iya, bersedekahlah untuknya”. (Muttafaq
'Alaih).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي
تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا فَقَالَ نَعَمْ قَالَ
فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا. (رواه البخارى)
Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu:
Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, Ibuku meninggal dunia,
apakah berguna jika aku bersedekah untuknya?" Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Iya" Laki-laki tersebut berkata, "Aku mempunyai sebuah kebun
yang sedang berbuah dan aku ingin engkau menyaksikan bahwa aku telah
menyedekahkan kebun tersebut untuk ibuku." (HR. Bukhari)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ
حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَقَ حَدَّثَنِي
عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ
أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِي
مَخْرَفًا فَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا.
(رواه البخارى وابو داود والترمذى)
Ahmad bin Mani' menceritakan
kepada kami, Rauh bin Ubadah memberitahukan kepada kami, Zakariya bin Ishaq
memberitahukan kepada kami, ia berkata, "Amr bin Dinar menceritakan
kepadaku dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas: Sesungguhnya ada seseorang laki-laki
bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah
bermanfaat bila aku bersedekah untuknya?”. Beliau menjawab: “Ya, ada”. Orang
itu berkata: “Sesungguhnya aku mempunyai sebidang kebun, maka aku persaksikan
kepada engkau bahwa aku menyedekahkannya atas nama ibuku”. (HR. Bukhari, Abu
Daud dan At-Tirmidzi).
Berikut ini aku kutibkan
keterangan yang terdapat dalam Kitab Shahih Sunan Tirmdizi:
Abu Isa berkata: “Hadits ini
hasan”. Dalam masalah ini para ‘ulama’ mempunyai pendapat: “Tidak ada sesuatu
yang sampai kepada orang yang telah meninggal dunia kecuali sedekah dan doa”.
Sebagian ‘ulama’ meriwayatkan hadits ini dari Amr bin Dinar, dari Ikrimah, dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mursal2). Ia
berkata: “Makna makhrafan adalah kebun”.
Saudaraku,
Benar bahwasanya seorang manusia itu tidak akan memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat
An Najm berikut ini:
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَـــٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ﴿٣٩﴾ وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَىٰ ﴿٤٠﴾ ثُمَّ يُجْزَىٰهُ الْـجَزَاءَ الْأَوْفَىٰ ﴿٤١﴾
(39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya. (40) Dan bahwasanya usahanya itu kelak
akan diperlihatkan (kepadanya). (41) Kemudian akan diberi balasan kepadanya
dengan balasan yang paling sempurna, (QS. An Najm. 39 – 41).
Namun jika kita melihat kembali penjelasan ketiga hadits di
atas, menunjukkan bahwa sedekah dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang
tuanya setelah keduanya wafat meski tanpa adanya wasiat dari keduanya, dan pahalanya-pun
akan sampai kepada kedua-nya. Hal ini mengandung arti bahwa ke-umum-an firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 tersebut,
dikhususkan oleh ketiga hadits di atas.
Sekali lagi, hal ini mengandung arti bahwa ke-umum-an firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Najm ayat 39 tersebut,
dikhususkan oleh ketiga hadits di atas. Maksudnya adalah bahwa seorang manusia
itu tidak akan memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya, kecuali sedekah
dari anak itu bisa sampai kepada kedua orang tuanya setelah keduanya wafat
meski tanpa adanya wasiat dari keduanya3). (Wallahu
a'lam).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ أَطْـيَبَ مَـا أَكَـلَ الرَّجُلُ مِـنْ كَـسْبِهِ، وَإِنَّ وَلَـدَهُ مِنْ كَسْبِـهِ.
Sesungguhnya sebaik-baik apa
yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil usahanya sendiri, dan
sesungguhnya anaknya adalah hasil usahanya. (HR. Ahmad, Abu Dawud,
at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku4).
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Yang dimaksud dengan syafa`at ialah usaha
perantaraan dalam memberikan sesuatu manfa’at bagi orang lain atau mengelakkan
sesuatu mudharat bagi orang lain.
2) Hadits mursal
adalah hadits yang di akhir sanad yaitu di atas tabi’in terputus.
3) Ada pula yang
berpendapat bahwa sedekah seseorang (meskipun bukan anaknya) atas nama
orang lain (meskipun bukan orang tuanya) yang sudah wafat itu akan sampai tanpa
adanya wasiat dari orang yang sudah wafat tersebut (Wallahu
a'lam).
4) Bagaimanapun
sampai saat ini aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat
terbatas. Oleh karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada
'alim/'ulama’ di sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan
penjelasan/jawaban yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para
'ulama') lebih banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.