Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat (PNS/staf
pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur) telah menyampaikan
pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron,
boleh
tanya-tanya? Kalau ada
laki-laki yang sudah melamar wanita X lalu pergi meninggalkan wanita tersebut
(kemudian berpaling kepada) wanita Y dan tidak mengkonfirmasi wanita X, padahal
undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan. Bagaimana hukumnya?”.
Saudaraku,
Tahapan awal ketika seseorang hendak menikah adalah proses khitbah.
Al-Khitbah berarti pendahuluan “ikatan pernikahan” yang maknanya permintaan
seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan tujuan meminang adalah
untuk mengetahui
pendapat yang dipinang maupun walinya, apakah setuju atau tidak. Dari
sini, akhirnya akan terungkap sikap
wanita yang akan dipinang
serta
keluarganya.
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ
عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى
تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Mu'adz bin Fadlalah Telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu
Salamah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahi
hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga
dimintai izinnya”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, seperti apakah
izinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam tak berkata”. (HR.
Bukhari).
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ
أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى
عَائِشَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الْبِكْرَ
تَسْتَحِي قَالَ رِضَاهَا صَمْتُهَا. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Amru bin Ar Rabi' bin Thariq ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Al Laits
dari Ibnu Abu Mulaikah dari Abu Amru bekas budak Aisyah, dari Aisyah bahwa ia
berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu pemalu”. Beliau pun
bersabda: “Ke-ridha-annya adalah diamnya”. (HR. Bukhari).
...
فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم
بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٢﴾
“..., maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka
kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara
mereka dengan cara yang ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 232).
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada dasarnya melihat wanita asing bagi
lelaki dan sebaliknya (yaitu melihat laki-laki asing bagi wanita) hukumnya
adalah haram. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 30 – 31
berikut ini:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَـــٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ ﴿٣٠﴾ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـــٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـــٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّـــٰبِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ
لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا
يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا
الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
(30) Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat". (31) Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS.
An Nuur. 30 – 31).
Namun untuk orang yang meminang, boleh baginya untuk
memandang wanita yang dipinangnya (demikian pula sebaliknya, yaitu bagi wanita
untuk memandang laki-laki yang akan meminangnya), bahkan hal itu malah dianjurkan
(dengan syarat karena memang benar-benar berniat untuk mengkhitbah).
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ
فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قَالَ لَا قَالَ
فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا.
(رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami
Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Yazid bin Kaisan dari
Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata; Saya pernah berada di samping Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau
seraya mengabarkan bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apakah
kamu telah melihatnya? Dia menjawab; Tidak. Beliau melanjutkan: Pergi dan
lihatlah kepadanya, sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu.
(HR. Muslim).
Terkait hal ini, yang harus diperhatikan adalah bahwa
orang yang meminang hanya boleh memandang wanita yang akan dipinangnya pada
telapak tangan dan wajah saja, karena dari wajahnya sudah cukup untuk bukti
kecantikannya dan dari kedua tangannya juga sudah cukup untuk bukti
keindahan/kehalusan kulitnya. Sedangkan yang lebih jauh dari hal itu (misalnya
tentang keindahan rambutnya, bau mulutnya, dll), maka hendaknya orang yang
meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk menyingkapnya (tidak
boleh dilakukan sendiri).
Akan lebih baik lagi jika orang yang akan meminang,
melihat wanita yang akan dipinang terlebih dahulu sebelum dia meminang (bisa
melihat tanpa sepengetahuan wanita yang akan dipinang), sehingga jika dia
merasa tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa
menyakitinya (artinya dia bisa berpaling dari wanita tersebut sebelum proses
peminangan dilakukan sehingga tidak sampai menyakitinya).
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا
يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا
حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا
فَتَزَوَّجْتُهَا. (رواه ابو داود)
Diriwayatkan oleh Jabir bin
Abdullah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat
sesuatu yang dapat membuatnya menikahinya, maka lihatlah”. Jabir berkata lagi:
“Maka aku meminang seorang wanita, kemudian aku bersembunyi di sebuah tempat,
sehingga aku dapat melihatnya, sehingga membuatku ingin menikahinya, maka
setelah itu aku menikahinya”. (HR. Abu Dawud).
Dan akan jauh lebih baik lagi
jika sebelum meminang, pihak lelaki mencari informasi tentang biografi,
karakter, sifat atau hal lain dari wanita yang ingin dipinangnya (tidak hanya
sekedar melihatnya) melalui orang yang mengenal dengan baik tentang wanita
tersebut sehingga jika dia merasa tidak suka padanya, maka dia
bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa menyakitinya (artinya dia bisa
berpaling dari wanita tersebut sebelum proses peminangan dilakukan sehingga
tidak sampai menyakitinya). Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh pihak wanita
untuk mengenal lelaki yang berkeinginan untuk meminangnya sehingga bisa
memudahkannya untuk mengambil keputusan (apakah menerima atau menolak
pinangannya).
حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ أُمَّ سُلَيْمٍ تَنْظُرُ
إِلَى جَارِيَةٍ فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami
Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami 'Umaroh dari Tsabit dari Anas,
Pernah Nabi Shallallahu'alaihiwasallam mengutus Ummu SulaimRadliyallahu'anha
untuk melihat wanita sahaya dan bersabda: “Ciumlah bau mulutnya
dan amatilah tulang lunak diatas tumitnya (betisnya)”. (HR. Ahmad).
Bolehkah membatalkan
rencana pernikahan secara sepihak?
Saudaraku,
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa melamar/meminang itu
maknanya permintaan seorang laki-laki kepada wanita untuk dinikahi. Dan tujuan
meminang adalah untuk mengetahui pendapat yang dipinang maupun
walinya,
apakah setuju atau tidak. Dari sini, akhirnya akan terungkap sikap wanita yang akan
dipinang serta keluarganya.
Pertunangan itu sendiri tidak
mengikat, artinya boleh bagi keduanya membatalkan pertunangan jika memang tidak
ada kecocokan di antara mereka berdua atau ada maslahat lain. Karena
pertunangan memang hanyalah “keinginan”, bukan perjanjian yang mengikat
sebagaimana akad nikah.
Sedangkan masalah berdosa atau
tidak, bisa dilihat dari alasan pembatalan pertunangan tersebut. Jika memang
salah satu pihak membatalkan pertunangan karena melihat ada maslahat yang lain,
atau mungkin salah satu pihak sudah tidak lagi cocok dengan tunangannya karena
melakukan kemaksiatan atau pelanggaran lainnya, maka ia tidak berdosa.
Namun jika pembatalan
pertunangan terjadi dalam kasus dimana dari pihak laki-laki telah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak
tanpa adanya alasan yang tepat disaat
undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan sebagaimana kasus
yang saudaraku sampaikan di atas, maka ia berdosa karena telah ingkar janji.
Saudaraku,
Undangan sudah
disebar dan gedung sudah dipesan, hal ini menunjukkan bahwa laki-laki tersebut
telah berjanji untuk menikahi pihak wanita pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan.
Jadi bukan
hanya sekedar mengutarakan keinginannya untuk menikahi pihak wanita, namun
sudah berjanji untuk menikahi pihak wanita pada waktu dan tempat yang telah
ditentukan. Sehingga jika yang bersangkutan telah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak tanpa adanya alasan yang tepat disaat undangan
sudah disebar dan gedung sudah dipesan, maka jelas ia berdosa karena
telah ingkar janji.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat Al Israa’ pada bagian akhir ayat 34 berikut ini:
... وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولًا
﴿٣٤﴾
“... dan penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Israa’.
34).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin
As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “... (dan penuhilah
janji) jika kalian berjanji kepada Allah atau kepada manusia (sesungguhnya
janji itu pasti akan diminta pertanggungjawaban)nya”.
Tafsir Ibnu Katsir:
... وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ ... ﴿٣٤﴾
“... dan penuhilah janji...”. (QS.
Al Israa’. 34).
Yakni janji yang telah kamu
adakan dengan orang lain dan transaksi-transaksi yang telah kalian tanda-tangani bersama mereka dalam
muamalahmu. Karena sesungguhnya janji dan transaksi itu, masing-masing dari
keduanya akan menuntut pelakunya untuk memenuhinya.
... إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولًا ﴿٣٤﴾
“... sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Israa’. 34). Artinya, pelakunya
akan dimintai pertanggungjawabannya.
Perhatikan pula penjelasan Al
Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian awal ayat 1 berikut ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ ...
﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...”
(QS. Al Maa-idah. 1).
Tafsir Jalalain: “(Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang
terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia. ...”.
Tafsir Ibnu Katsir:
Ibnu
Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan 'uqud ialah perjanjian-perjanjian. Ibnu Jarir
meriwayatkan akan adanya kesepakatan mengenai makna ini. Ia mengatakan
bahwa 'uqud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam
perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian
pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.
Ali
ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ...”. (QS.
Al Maa-idah. 1); Yaitu janji-janji
itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang
diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-Nya dan batasan-batasan
(hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al Qur'an seluruhnya Dengan kata lain,
janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut
Kemudian
Allah SWT. memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui
firman-Nya:
وَالَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللهِ
مِن بَعْدِ مِيثَـــٰــقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ
وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـــٰــئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ
الدَّارِ ﴿٢٥﴾
Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam). (QAS. Ar-Ra’d: 25)
Ad-Dahhak
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah:
1); Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh
Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah atas orang yang mengakui
beriman kepada Nabi dan Al-Qur'an, yakni hendaklah mereka menunaikan
fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara
halal dan haram.
Zaid
ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “penuhilah
aqad-aqad itu”. (Al-Maidah: 1); Menurutnya ada enam perkara,
yaitu: janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual
beli, akad nikah, dan janji sumpah.
Muhammad
ibnu Ka'b mengatakan bahwa hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah
satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat
mufawadah. Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak
ada khiyar majelis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya: “penuhilah
aqad-aqad itu”. (Al-Maidah: 1);
Ia
mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah
dinyatakan dan tidak ada khiyar majelis lagi. Demikianlah menurut
mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad
berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini
ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui
Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
البَيِّعان بِالْخِيَارِ مَا لَمْ
يَتَفرَّقا
“Dua
orang yang bertransaksi jual-beli masih dalam khiyar1) selagi
keduanya belum berpisah”.
Menurut
lafaz yang lain yang juga oleh Imam Bukhari:
إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Apabila
dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka masing-masing
pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum berpisah”.
Hal
ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majelis seusai transaksi
jual beli diadakan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi,
bahkan khiyar majelis merupakan salah satu dari pendukung transaksi
menurut syara'. Dengan menetapi khiyar majelis, berarti melakukan
kesempurnaan bagi penunaian transaksi.
(Wallahu ta’ala a’lam).
قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ
عَظِيمٍ ﴿١٥﴾
Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari
yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku". (QS. Al An’aam.
15).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
1) Khiyar menurut bahasa artinya “memilih yang terbaik”. Sedangkan
pengertian khiyar menurut istilah syara’, “penjual dan pembeli boleh memilih
antara meneruskan atau mengurungkan jual-belinya”. Tujuannya, agar kedua orang
yang melakukan jual-beli tersebut dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing
lebih jauh, supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari, karena
masing-masing merasa puas terhadap jual-beli yang mereka lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar