بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Selasa, 05 Mei 2020

MEMBATALKAN RENCANA PERNIKAHAN SECARA SEPIHAK


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat (PNS/staf pengajar/dosen sebuah perguruan tinggi di Jawa Timur) telah menyampaikan pertanyaan via WhatsApp sebagai berikut: “Pak Imron, boleh tanya-tanya? Kalau ada laki-laki yang sudah melamar wanita X lalu pergi meninggalkan wanita tersebut (kemudian berpaling kepada) wanita Y dan tidak mengkonfirmasi wanita X, padahal undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan. Bagaimana hukumnya?”.

Saudaraku,
Tahapan awal ketika seseorang hendak menikah adalah proses khitbah. Al-Khitbah berarti pendahuluan “ikatan pernikahan” yang maknanya permintaan seorang laki-laki pada wanita untuk dinikahi. Dan tujuan meminang adalah untuk mengetahui pendapat yang dipinang maupun walinya, apakah setuju atau tidak. Dari sini, akhirnya akan terungkap sikap wanita yang akan dipinang serta keluarganya.

حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadlalah Telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?”. Beliau menjawab: “Bila ia diam tak berkata”. (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى عَائِشَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي قَالَ رِضَاهَا صَمْتُهَا. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ar Rabi' bin Thariq ia berkata; Telah mengabarkan kepada kami Al Laits dari Ibnu Abu Mulaikah dari Abu Amru bekas budak Aisyah, dari Aisyah bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu pemalu”. Beliau pun bersabda: “Ke-ridha-annya adalah diamnya”. (HR. Bukhari).

... فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٢﴾
“..., maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 232).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada dasarnya melihat wanita asing bagi lelaki dan sebaliknya (yaitu melihat laki-laki asing bagi wanita) hukumnya adalah haram. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat 30 – 31 berikut ini:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَـــٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ ﴿٣٠﴾ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَـــٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَـــٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّـــٰبِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣١﴾
(30) Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (31) Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An Nuur. 30 – 31).

Namun untuk orang yang meminang, boleh baginya untuk memandang wanita yang dipinangnya (demikian pula sebaliknya, yaitu bagi wanita untuk memandang laki-laki yang akan meminangnya), bahkan hal itu malah dianjurkan (dengan syarat karena memang benar-benar berniat untuk mengkhitbah).

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا قَالَ لَا قَالَ فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا. (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Yazid bin Kaisan dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata; Saya pernah berada di samping Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau seraya mengabarkan bahwa dirinya akan menikahi seorang wanita dari Anshar. Lantas Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: Apakah kamu telah melihatnya? Dia menjawab; Tidak. Beliau melanjutkan: Pergi dan lihatlah kepadanya, sesungguhnya di mata orang-orang Anshar ada sesuatu. (HR. Muslim).

Terkait hal ini, yang harus diperhatikan adalah bahwa orang yang meminang hanya boleh memandang wanita yang akan dipinangnya pada telapak tangan dan wajah saja, karena dari wajahnya sudah cukup untuk bukti kecantikannya dan dari kedua tangannya juga sudah cukup untuk bukti keindahan/kehalusan kulitnya. Sedangkan yang lebih jauh dari hal itu (misalnya tentang keindahan rambutnya, bau mulutnya, dll), maka hendaknya orang yang meminang mengutus ibunya atau saudara perempuannya untuk menyingkapnya (tidak boleh dilakukan sendiri).

Akan lebih baik lagi jika orang yang akan meminang, melihat wanita yang akan dipinang terlebih dahulu sebelum dia meminang (bisa melihat tanpa sepengetahuan wanita yang akan dipinang), sehingga jika dia merasa tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa menyakitinya (artinya dia bisa berpaling dari wanita tersebut sebelum proses peminangan dilakukan sehingga tidak sampai menyakitinya).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ قَالَ فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا. (رواه ابو داود)
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kamu meminang seorang wanita, jika ia bisa melihat sesuatu yang dapat membuatnya menikahinya, maka lihatlah”. Jabir berkata lagi: “Maka aku meminang seorang wanita, kemudian aku bersembunyi di sebuah tempat, sehingga aku dapat melihatnya, sehingga membuatku ingin menikahinya, maka setelah itu aku menikahinya”. (HR. Abu Dawud).

Dan akan jauh lebih baik lagi jika sebelum meminang, pihak lelaki mencari informasi tentang biografi, karakter, sifat atau hal lain dari wanita yang ingin dipinangnya (tidak hanya sekedar melihatnya) melalui orang yang mengenal dengan baik tentang wanita tersebut sehingga jika dia merasa tidak suka padanya, maka dia bisa berpaling dari wanita tersebut tanpa menyakitinya (artinya dia bisa berpaling dari wanita tersebut sebelum proses peminangan dilakukan sehingga tidak sampai menyakitinya). Hal yang sama juga bisa dilakukan oleh pihak wanita untuk mengenal lelaki yang berkeinginan untuk meminangnya sehingga bisa memudahkannya untuk mengambil keputusan (apakah menerima atau menolak pinangannya).

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا عُمَارَةُ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَلَ أُمَّ سُلَيْمٍ تَنْظُرُ إِلَى جَارِيَةٍ فَقَالَ شُمِّي عَوَارِضَهَا وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبِهَا. (رواه أحمد)
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur telah menceritakan kepada kami 'Umaroh dari Tsabit dari Anas, Pernah Nabi Shallallahu'alaihiwasallam mengutus Ummu SulaimRadliyallahu'anha untuk melihat wanita sahaya dan bersabda: “Ciumlah bau mulutnya dan amatilah tulang lunak diatas tumitnya (betisnya)”. (HR. Ahmad).

Bolehkah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak?

Saudaraku,
Sebagaimana penjelasan di atas, bahwa melamar/meminang itu maknanya permintaan seorang laki-laki kepada wanita untuk dinikahi. Dan tujuan meminang adalah untuk mengetahui pendapat yang dipinang maupun walinya, apakah setuju atau tidak. Dari sini, akhirnya akan terungkap sikap wanita yang akan dipinang serta keluarganya.

Pertunangan itu sendiri tidak mengikat, artinya boleh bagi keduanya membatalkan pertunangan jika memang tidak ada kecocokan di antara mereka berdua atau ada maslahat lain. Karena pertunangan memang hanyalah “keinginan”, bukan perjanjian yang mengikat sebagaimana akad nikah.

Sedangkan masalah berdosa atau tidak, bisa dilihat dari alasan pembatalan pertunangan tersebut. Jika memang salah satu pihak membatalkan pertunangan karena melihat ada maslahat yang lain, atau mungkin salah satu pihak sudah tidak lagi cocok dengan tunangannya karena melakukan kemaksiatan atau pelanggaran lainnya, maka ia tidak berdosa.

Namun jika pembatalan pertunangan terjadi dalam kasus dimana dari pihak laki-laki telah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak tanpa adanya alasan yang tepat disaat undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan sebagaimana kasus yang saudaraku sampaikan di atas, maka ia berdosa karena telah ingkar janji.

Saudaraku,
Undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan, hal ini menunjukkan bahwa laki-laki tersebut telah berjanji untuk menikahi pihak wanita pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.

Jadi bukan hanya sekedar mengutarakan keinginannya untuk menikahi pihak wanita, namun sudah berjanji untuk menikahi pihak wanita pada waktu dan tempat yang telah ditentukan. Sehingga jika yang bersangkutan telah membatalkan rencana pernikahan secara sepihak tanpa adanya alasan yang tepat disaat undangan sudah disebar dan gedung sudah dipesan, maka jelas ia berdosa karena telah ingkar janji.

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Israa’ pada bagian akhir ayat 34 berikut ini:

... وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولًا ﴿٣٤﴾
“... dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Israa’. 34).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy): “... (dan penuhilah janji) jika kalian berjanji kepada Allah atau kepada manusia (sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawaban)nya”.

Tafsir Ibnu Katsir:

... وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ ... ﴿٣٤﴾
“... dan penuhilah janji...”. (QS. Al Israa’. 34).

Yakni janji yang telah kamu adakan dengan orang lain dan transaksi­-transaksi yang telah kalian tanda-tangani bersama mereka dalam muama­lahmu. Karena sesungguhnya janji dan transaksi itu, masing-masing dari keduanya akan menuntut pelakunya untuk memenuhinya.

... إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولًا ﴿٣٤﴾
“... sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al Israa’. 34). Artinya, pelakunya akan dimintai pertanggungjawabannya.

Perhatikan pula penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian awal ayat 1 berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ ... ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu...” (QS. Al Maa-idah. 1).

Tafsir Jalalain: “(Hai orang-orang yang beriman, penuhilah olehmu perjanjian itu) baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia. ...”.

Tafsir Ibnu Katsir:

Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'uqud ialah perjanjian-perjanjian. Ibnu Jarir meriwayatkan akan adanya kesepakatan menge­nai makna ini. Ia mengatakan bahwa 'uqud artinya apa yang biasa mereka cantumkan dalam perjanjian-perjanjian mereka menyangkut masalah hilf (perjanjian pakta pertahanan bersama) dan lain-lainnya.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ...”. (QS. Al Maa-idah. 1); Yaitu janji-janji itu menyangkut hal-hal yang dihalalkan oleh Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya serta hal-hal yang difardukan oleh-­Nya dan batasan-batasan (hukum-hukum) yang terkandung di dalam Al Qur'an seluruhnya Dengan kata lain, janganlah kalian berbuat khianat dan janganlah kalian langgar hal tersebut

Kemudian Allah SWT. memperkuat hal tersebut dengan sanksi-sanksi yang keras melalui firman-Nya:

وَالَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللهِ مِن بَعْدِ مِيثَـــٰــقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الأَرْضِ أُوْلَـــٰــئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ ﴿٢٥﴾
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (QAS. Ar-Ra’d: 25)

Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah: 1); Bahwa yang dimaksud ialah hal-hal yang dihalalkan dan yang diha­ramkan oleh Allah, semua bentuk perjanjian yang diambil oleh Allah atas orang yang mengakui beriman kepada Nabi dan Al-Qur'an, yakni hendaklah mereka menunaikan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah atas diri mereka, berupa perkara halal dan haram.

Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “penuhilah aqad-aqad itu”(Al-Maidah: 1); Menurutnya ada enam perkara, yaitu: janji Allah, perjanjian pakta, transaksi syirkah, transaksi jual beli, akad nikah, dan janji sumpah.

Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa hal tersebut ada lima perkara, termasuk salah satunya ialah sumpah pakta di masa Jahiliah dan syarikat mufawadah. Sebagian ulama menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa tidak ada khiyar majelis dalam transaksi jual beli, yaitu firman-Nya: “penuhilah aqad-aqad itu”. (Al-Maidah: 1);

Ia mengatakan bahwa makna ayat ini menunjukkan kuatnya suatu transaksi yang telah dinyatakan dan tidak ada khiyar majelis lagi. Demikianlah menurut mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik. Tetapi Imam Syafii dan Imam Ahmad berpendapat berbeda, begitu pula jumhur ulama, Hujah mereka dalam masalah ini ialah sebuah hadis yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Ibnu Umar yang menga­takan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

البَيِّعان بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفرَّقا
“Dua orang yang bertransaksi jual-beli masih dalam khiyar1) selagi keduanya belum berpisah”.

Menurut lafaz yang lain yang juga oleh Imam Bukhari:

إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلَانِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا
“Apabila dua orang lelaki terlibat dalam suatu transaksi jual beli, maka masing-masing pihak dari keduanya boleh khiyar, selagi keduanya belum berpisah”.

Hal ini menunjukkan secara jelas adanya khiyar majelis seusai trans­aksi jual beli diadakan. Hal ini tidak bertentangan dengan ketetapan transaksi, bahkan khiyar majelis merupakan salah satu dari pendu­kung transaksi menurut syara'. Dengan menetapi khiyar majelis, ber­arti melakukan kesempurnaan bagi penunaian transaksi.

(Wallahu ta’ala a’lam).

قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ ﴿١٥﴾
Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku". (QS. Al An’aam. 15).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
1)  Khiyar menurut bahasa artinya “memilih yang terbaik”. Sedangkan pengertian khiyar menurut istilah syara’, “penjual dan pembeli boleh memilih antara meneruskan atau mengurungkan jual-belinya”. Tujuannya, agar kedua orang yang melakukan jual-beli tersebut dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak terjadi penyesalan di kemudian hari, karena masing-masing merasa puas terhadap jual-beli yang mereka lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞