Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat telah bertanya tentang pembagian harta waris pada seorang
isteri yang ditinggal wafat suaminya, dimana sang suami sudah tidak mempunyai
orang tua (kedua orang tuanya sudah wafat) serta mempunyai 3 orang anak wanita dan
mempunyai saudara kandung (seibu-seayah) yang terdiri dari 1 saudara wanita
serta 2 saudara laki-laki. Keterangan lainnya, baik suami maupun isteri adalah
sama-sama pensiunan PNS.
Tanggapan
Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk
membahas pertanyaan tersebut. Semoga aku bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya
rabbal ‘alamin.
1. Pengertian harta warisan
Saudaraku,
Yang dimaksud dengan harta warisan (harta pusaka) adalah harta yang ditinggalkan
oleh orang yang wafat
secara mutlak. Artinya hanya harta
yang secara mutlak dimiliki oleh orang yang wafat
saja
yang dibagikan sebagai harta warisan atau harta pusaka.
Berikut ini kusampaikan beberapa ayat yang mendasarinya, yang menisbatkan
harta dengan orang yang wafat:
... فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ ...
﴿١١﴾
“... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, ...” (QS. An Nisaa’. 11).
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...” (QS. An Nisaa’. 12).
2. Status harta dalam sebuah keluarga
Saudaraku,
Dalam Islam, status harta dalam
sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:
●
Harta milik suami saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami tanpa ada sedikit-pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta
suami sebelum menikah, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami
secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
● Harta milik istri saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya
harta milik istri sebelum menikah, atau mahar suami
kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa
harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang
lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan sebagainya.
● Harta milik bersama
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami-istri secara bersama-sama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang
kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang
dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah
dan suami serta istri sama-sama bekerja yang menghasilkan pendapatan dan
sebagainya. Jenis harta yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan
harta gono-gini.
3. Hukum
syar’i tentang harta gono-gini
Saudaraku,
Syariat Islam tidak membagi
harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti (artinya tidak ada
dalil khusus baik dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta
gono-gini secara pasti), misalnya istri 50% dan suami 50%.
Tidak ada dalil khusus baik
dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta gono-gini secara
pasti, artinya tidak ada nash yang mewajibkan pembagian sama rata antara suami
- isteri. Meskipun demikian, pembagiannya bisa ditinjau dari beberapa
kemungkinan berikut ini:
♦ Jika diketahui secara pasti
perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami
diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil
kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat
jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
♦ Jika tidak diketahui dengan
pasti perhitungan harta suami istri
Bagi suami istri yang sama-sama
bekerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan
keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. Dalam kondisi seperti
ini, berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri menjadi tidak
jelas. Kondisi seperti ini banyak terjadi dalam keluarga di negeri kita Indonesia.
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi
harta gono-gini,
khususnya jika perhitungan harta suami istri tidak diketahui dengan pasti.
Dalam hal ini, Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam
menyelesaikan masalah bersama, yaitu berdasarkan kesepakatan antara suami dan
istri.
Kesepakatan ini dalam Al Qur’an
serta Al Hadits disebut dengan istilah “ash-shulhu” ( الصُّلْحُ ) yaitu perjanjian untuk
melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka
berselisih. Dengan kata lain, ash-shulh adalah kesepakatan antara suami istri
berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha.
Allah SWT. berfirman dalam Al
Qur’an surat An Nisaa’ ayat 128:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ... ﴿١٢٨﴾
Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) ...”. (QS. An Nisaa’. 128).
Saudaraku,
Ayat di atas menerangkan
tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih.
Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya. Pada ayat
di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya.
Hal ini diperkuat dengan penjelasan
hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ زَادَ أَحْمَدُ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا
أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. (رواه ابو
داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian antara kaum
muslim dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara yang haram dan
perdamaian yang mengharamkan perkara yang halal”. (HR. Abu Daud).
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. (رواه الترمذى)
Hasan bin Ali Al Khallal
menceritakan kepada kami, Abu Amir Al Aqadi menceritakan kepada kami. Katsir
bin Abdullah bin Amr bin Auf Al Muzani menceritakan kepada kami dari bapaknya,
dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian
antara kaum muslimin adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat
yang mereka tetapkan. kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”. (HR. At-Tirmidzi).
Saudaraku,
Para ulama telah
membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam:
• perdamaian antara
muslim dan kafir,
• perdamaian antara
suami dan istri,
• perdamaian antara
kelompok yang bughat (dzalim) dan kelompok yang adil,
• perdamaian antara
dua orang yang mengadukan permasalahan kepada hakim,
• perdamaian dalam
masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf untuk sanksi harta yang mestinya
diberikan, dan
• perdamaian untuk memberikan
sejumlah harta milik bersama dan hak-hak.
Dengan demikian, jika suami
istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, maka dapat
ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaian
adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan
mengenai harta bersama.
Memang dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar
suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97
KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Namun ketentuan dalam KHI ini
bukanlah suatu putusan hukum yang mutlak. Artinya
jika suami istri sepakat membagi harta dengan persentase tertentu, maka
kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
4. Bagian isteri
dan anak-anak almarhum
Saudaraku,
Berdasarkan uraian
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua harta yang ada saat suami
meninggal, maka yang dapat dibagi sebagai harta
warisan/harta pusaka hanyalah harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup, diantaranya: harta suami sebelum menikah, harta yang dihibahkan
orang lain kepada suami secara khusus, harta yang diwariskan kepada suami, dan
sebagainya.
Sedangkan harta yang dimiliki
oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu seperti
harta milik istri sebelum menikah, atau mahar suami
kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa
mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain
khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri dan sebagainya, maka
harta yang seperti ini akan tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal
(artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atas harta jenis ini).
Adapun terkait harta gono-gini,
jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri yaitu hasil kerja
suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga
hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya
sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut. Dalam hal seperti ini,
maka hanya harta gono-gini yang menjadi bagian suami saja yang dibagi kepada
para ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian dari harta istri
tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk harta
warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya).
Sedangkan jika harta gono-gini
tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri
karena suami istri yang sama-sama bekerja atau saling bekerja sama dalam
membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari
hasil kerja mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan
harta suami bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling
ridha) yang telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.
Misalnya berdasarkan musyawarah antara suami istri (semasa keduanya masih
hidup), suami mendapat 30% dan istri 70% (boleh pula pembagian dengan nisbah/prosentase
yang lain). Maka dalam hal ini hanya 30% saja dari harta gono-gini yang bisa
dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan sisanya yang 70% tetap menjadi hak
isteri saat suami meninggal (tidak termasuk harta warisan) sehingga para ahli
waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.
Sedangkan apabila semasa
keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas
dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini bisa memakai
KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri dibagi
sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Jika hal ini yang terjadi, maka hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi
kepada para ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri
saat suami meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya
sama sekali tidak berhak atasnya.
Selanjutnya dari
seluruh harta warisan yang ditinggalkan oleh suami, yaitu harta yang menjadi milik suami saja saat
suami masih hidup (harta suami sebelum menikah, harta yang dihibahkan oleh
orang lain kepada suami secara khusus, serta harta yang diwariskan kepada suami)
ditambah dengan 50% dari harta gono-gini yang
menjadi haknya suami semasa hidup, pembagiannya adalah sebagai berikut:
♦ Istri mendapat 1/8 dari harta warisan tersebut karena suami punya anak.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat
An-Nisaa’ ayat 12.
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“...
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
♦ Anak-anak almarhum, karena
ada 3 anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki, maka ketiga anak perempuan
tersebut mendapatkan 2/3 bagian dari total harta warisan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 11.
... فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ... ﴿١١﴾
“... jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan ...”. (QS.
An Nisaa’. 11).
5. ‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ )
‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ ) adalah bentuk jamak dari ‘aashib ( عَاصِبٌ ), mereka adalah keturunan laki-laki dari seseorang dan
kerabatnya dari jalur ayah.
‘Ashabah sendiri adalah
orang yang diberikan kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh
(pemilik bagian pasti) mengambil bagian-bagiannya. Apabila tidak tersisa
sedikit-pun dari mereka, maka mereka (‘ashabah) tidak mengambil bagian sedikit-pun
kecuali jika yang mendapatkan ‘ashabah adalah anak laki-laki (ibn) karena
sesungguhnya ia tidak terhalang dalam keadaan apa pun. ‘Ashabah juga berarti
orang-orang yang berhak mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak ada seorang-pun
dari ash-haabul furudh.
Firman Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176:
... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن
لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).
Dalam ayat di atas, Allah telah
memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan
‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.
6. Kesimpulan.
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh suami, yaitu harta yang menjadi milik suami saja saat suami masih
hidup (harta suami sebelum menikah, harta yang dihibahkan oleh orang lain kepada
suami secara khusus, serta harta yang diwariskan kepada suami) ditambah dengan 50% dari harta gono-gini yang menjadi haknya suami
semasa hidup, pembagiannya adalah sebagai berikut:
♦ Istri mendapat 1/8 dari harta warisan tersebut karena suami punya anak.
♦ Ketiga anak perempuan almarhum
mendapatkan 2/3 bagian dari
total harta warisan.
♦ Sisanya sebesar:
= 1 – (1/8 + 2/3)
= 1 – (3/24 + 16/24)
= 1 – 19/24
= 5/24 bagian (atau 20,83%) dari harta
warisan tersebut menjadi hak saudaranya suami. (Dalam
kasus ini, saudara laki-laki bersatu dengan saudara perempuan menjadi ‘ashabah).
Selanjutnya dari saudaranya suami tersebut, masing-masing
akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
♦ Setiap satu orang saudara laki-laki mendapat bagian warisan sebesar 2/5 dari 20,83% = 8,33% dari harta warisan.
♦ Satu orang saudara wanita mendapat
bagian warisan masing-masing sebesar 1/5 dari 20,83% = 4,17% dari harta warisan.
Sebagai penutup, berikut ini kusampaikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati
terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan dari Allah
Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.