Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang mahasiswi telah menyampaikan
pertanyaan via messenger sebagai berikut: “Mohon maaf
sebelumnya Pak Imron kalau saya mengganggu. Saya mau tanya apa sih yang
dimaksud dengan setia?”.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), arti kata setia adalah:
1. Berpegang teguh (pada janji,
pendirian, dan sebagainya); patuh; taat.
Contoh: Bagaimanapun
berat tugas yang harus dijalankannya, ia tetap setia melaksanakannya.
Ia tetap setia memenuhi janjinya.
2. Tetap dan teguh hati (dalam
persahabatan dan sebagainya).
Contoh: Telah sekian
lama suaminya merantau, ia tetap setia menunggu.
3. Berpegang teguh (dalam pendirian,
janji, dan sebagainya).
Contoh: Walau hujan
turun dengan lebatnya, ia tetap setia memenuhi
janji pergi ke rumah kawannya.
♦ Kesetiaan mutlak itu hanya untuk Allah dan Rasul-Nya
Saudaraku yang dicintai Allah,
Dalam Islam, kesetiaan mutlak itu hanya kepada Allah dan
Rasul-Nya saja. Bahwa
kesetiaan, ketaatan,
ketundukan dan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mutlak, untuk membuktikan
keimanan kita secara benar. Mutlak artinya apapun yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya, kita terima dan kita laksanakan apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya
tawar menawar sedikitpun.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al
An’aam ayat 162 – 163 berikut ini:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّٰهِ رَبِّ الْعَـــٰـــلَمِينَ ﴿١٦٢﴾ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ ﴿١٦٣﴾
(162) “Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”, (163) “tiada
sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah
orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. Al An’aam. 162
– 163).
Ya, apapun yang kita lakukan (shalat kita, ibadah kita,
hidup kita dan mati kita), semuanya hanyalah untuk Allah semata. Dan sebagai
konsekuensi logis dari hal ini, bahwa apapun yang datang dari Allah dan
Rasul-Nya, maka sikap kita adalah: سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (kami mendengar dan kami
patuh). Artinya apapun yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, kita terima dan
kita laksanakan apa adanya (seutuhnya) tanpa adanya tawar menawar sedikitpun.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nuur ayat
51, surat Al Ahzaab ayat 36, serta dalam surat Al
Hasyr ayat 7 berikut ini:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى
اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا وَأُوْلَـــٰـــئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ ﴿٥١﴾
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu'min, bila mereka
dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka ialah ucapan: "Kami mendengar dan kami patuh". Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. An Nuur. 51)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ
وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ
اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـــٰــلًا مُّبِينًا ﴿٣٦﴾
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat,
sesat yang nyata”. (QS. Al Ahzaab. 36).
...
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS Al
Hasyr. 7).
Sedangkan apabila kita mengikuti/menta’ati Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya kita juga telah
menta`ati Allah SWT.
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَن
تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرْسَلْنَـــٰـكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ﴿٨٠﴾
“Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
(QS An Nisaa’. 80).
Saudaraku yang dicintai Allah,
Perhatikan tauladan yang telah diberikan oleh Nabi
Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, yaitu tatkala Nabi Ibrahim AS mendapat perintah
dari Allah SWT. untuk menyembelih putranya, maka beliaupun menyampaikannya
kepada putranya supaya ia menurut, mau disembelih, dan taat kepada
perintah-Nya. Mendengar hal itu, putra Nabi Ibrahim-pun (yaitu Nabi Ismail AS) menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; in sya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴿١٠٣﴾
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya)”. (QS.
Ash Shaffaat. 103).
“Tatkala keduanya telah berserah diri” artinya: tunduk
dan patuh kepada perintah Allah SWT. “dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipisnya”. Nabi Ismail AS dibaringkan pada salah satu pelipisnya (setiap
manusia memiliki dua pelipis dan di antara keduanya terdapat jidat). Kejadian
ini di Mina; kemudian Nabi Ibrahim AS menggorokkan pisau besarnya ke leher Nabi
Ismail AS, akan tetapi berkat kekuasaan Allah pisau itu tidak mempan
sedikitpun. (Tafsir Jalalain).
وَنَــــٰـدَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ ﴿١٠٤﴾ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١٠٥﴾ إِنَّ هَــٰــذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ ﴿١٠٦﴾ وَفَدَيْنَـــٰـهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ ﴿١٠٧﴾
(104) “Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim”, (105) “sesungguhnya
kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi
balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (106) “Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata”. (107) “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang
besar”. (QS. Ash Shaffaat. 104 – 107).
“Dan Kami tebus anak itu”, maksudnya anaknya Nabi Ibrahim
AS yang diperintahkan untuk disembelih yaitu Nabi Ismail AS “dengan seekor
sembelihan” yakni dengan domba “yang besar” dari surga, yaitu domba yang sama
dengan domba yang dijadikan kurban oleh Habil (anaknya Nabi Adam AS). Domba itu
dibawa oleh malaikat Jibril, lalu Nabi Ibrahim AS menyembelihnya seraya membaca
takbir. (Tafsir Jalalain).
Saudaraku yang dicintai Allah,
Dari kisah
di atas, nampak jelas betapa Nabi Ibrahim AS benar-benar telah menunjukkan kesetiaan
total/kesetiaan mutlak kepada Allah SWT., yaitu dengan tunduk patuh terhadap
apapun yang datang dari-Nya, sekalipun perintah itu sangat berat dilaksanakan jika
memperturutkan hawa nafsu (bagaimana tidak, ketika anak yang dinanti tersebut
telah tumbuh hingga mencapai usia tertentu sehingga dapat membantu beliau
bekerja, beliau malah diperintah Allah untuk menyembelihnya). Beliau terima dan
laksanakan apa adanya (seutuhnya) perintah dari Allah tersebut tanpa adanya
tawar menawar sedikitpun (beliau tidak pernah memohon kepada Allah agar menunda
perintah tersebut atau memohon agar yang disembelih bukan anaknya melainkan
diganti dengan yang lainnya, dll).
Demikian pula halnya dengan tauladan yang telah diberikan
oleh sang putra (yakni Nabi Ismail AS). Beliaupun dengan ikhlas menerima apapun
ketentuan yang datang dari Allah. Bahkan beliau justru menyampaikan kepada Nabi
Ibrahim AS agar tidak ragu-ragu dalam menjalankan perintah Allah tersebut.
وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ ﴿١٠٨﴾ سَلَامٌ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ ﴿١٠٩﴾ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١١٠﴾ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا
الْمُؤْمِنِينَ ﴿١١١﴾
(108) “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di
kalangan orang-orang yang datang kemudian”, (109) “(yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas
Ibrahim". (110) “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang
berbuat baik”. (111) “Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”. (QS.
Ash Shaffaat. 108 – 111).
♦ Konsekuensi dari kesetiaan mutlak kepada Allah dan
Rasul-Nya
Saudaraku yang dicintai Allah,
Disamping harus menerima dan melaksanakan apapun yang
datang dari Allah dan Rasul-Nya, sebagai orang yang beriman, maka kita juga harus
lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُواْ
بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُواْ
إِلَى الطَّــــٰغُوتِ وَقَدْ
أُمِرُواْ أَن يَكْفُرُواْ بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَـــٰنُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَـــٰــلًا بَعِيدًا ﴿٦٠﴾ وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَـــٰـفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا ﴿٦١﴾
(60) Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada
apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud
menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (61) Apabila dikatakan
kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah
turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS An Nisaa’. 60 – 61).
Saudaraku yang dicintai Allah,
Sekali lagi kusampaikan bahwa berdasarkan fakta-fakta di
atas, sebagai orang yang beriman, maka kita harus lebih mendahulukan hukum
Allah daripada yang lain. Lebih mendahulukan hukum Allah daripada yang lain
artinya jika kita menemui adanya pertentangan antara syari’ah Islam dengan
hukum/aturan/perintah dan larangan dari pemimpin kita/lainnya, maka syari’ah
Islam-lah yang harus kita ikuti.
ثُمَّ جَعَلْنَـــٰـكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ
الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨﴾
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at
(peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jaatsiyah.
18).
♦ Tidak ada kesetiaan mutlak kepada selain Allah dan
Rasul-Nya
Saudaraku yang dicintai Allah,
Berbeda dengan kesetiaan mutlak kepada Allah dan
Rasul-Nya, kesetiaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya tidaklah mutlak. Artinya
kesetiaan kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu bersyarat. Kesetiaan kepada
selain Allah dan Rasul-Nya itu hanya berlaku selama tidak ada syari’at Islam
yang dilanggar (selama tidak bertentangan dengan syari’at Islam).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan
hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)”. (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا
أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ. (رواه البخارى)
“Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau
benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk
bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat”. (HR. Bukhari).
أُمِّ
الْحُصَيْنِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ
وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللهِ. (رواه ابن ماجه)
Dari Ummi Hushain, ia berkata,
"Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"Apabila kalian diperintah oleh seorang hamba sahaya dari golongan Habasy
yang cacat, maka dengarkanlah dan taatlah kepadanya, yaitu selama dia memimpin
kalian dengan Al Qur'an." (HR.
Ibnu Majah).
Berikut ini aku sampaikan beberapa contoh
kesetiaan/ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya:
1. Kesetiaan/ketaatan kepada kedua orang-tua
Saudaraku yang dicintai Allah,
Perhatikan penjelasan sebuah Hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim serta penjelasan Al Qur’an dalam surat Al ‘Ankabuut ayat 8 dan surat
Luqman ayat 15 berikut ini:
Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu
berkata:
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَارَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقَّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِى؟ قَالَ: أُمُّكَ.
قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. فَقَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ
ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوكَ. (رواه البخارى و مسلم)
Seseorang datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
bertanya: “Ya Rasulullah, siapakah yang berhak untuk aku layani (untuk aku
patuhi)?”. Jawab Rasulullah: “Ibumu!”. Kemudian siapa?”. Jawab
Rasulullah: “Ibumu!”. Kemudian siapa?”. Jawab Rasulullah: “Ibumu!”. Kemudian
siapa?”. Jawab Rasulullah: “Ayahmu!”. (HR. Bukhari, Muslim).
وَوَصَّيْنَا
الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ
لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا
كُنتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“Dan Kami wajibkan manusia
(berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang
itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-lah kembalimu,
lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Al ‘Ankabuut.
8).
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا
تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ
أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ
تَعْمَلُونَ ﴿١٥﴾
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah
jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Luqman. 15).
Saudaraku,
Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Imam Muslim serta surat Al ‘Ankabuut ayat 8 dan surat Luqman ayat 15 di
atas, diperoleh penjelasan bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk berbakti
kepada keduanya/mempergauli keduanya di dunia ini dengan baik. Namun ketika
mereka berdua berbuat syirik serta memaksa kita untuk berbuat syirik (mempersekutukan
Allah), maka tidak ada kewajiban sedikitpun bagi kita untuk mengikuti keduanya.
2. Kesetiaan/ketaatan kepada suami
Saudaraku yang dicintai Allah,
Perhatikan penjelasan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dan Imam Ahmad serta Al Khathib berikut ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
قِيلَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ
وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا
يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling
menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak
menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR.
An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini hasan shahih)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا بِغَيْرِ
إِذْنِ زَوْجِهَا كَانَتْ فِى سُخْطِ اللهِ حَتَّى تَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهَا أَوْ
يَرْضَى عَنْهَا زَوْجُهَا. (وَفِى رِوَايَةٍ) لَعَنَهَا كُلُّ مَلَكٍ فِى
السَّمَاءِ وَكُلُّ شَىْءٍ مَرَّتْ عَلَيْهِ غَيْرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ حَتَّى
تَرْجِعَ. (رواه الخطيب)
“Tiap isteri yang keluar dari rumah suaminya tanpa ijin
suaminya tetap berada dalam murka Allah sehingga kembali ke rumahnya atau
dima’afkan oleh suaminya”. (HR. Al Khathib). Dilain riwayat: “Dikutuk oleh semua
malaikat di langit dan semua apa yang dilaluinya selain manusia dan jin,
sehingga kembali”.
Saudaraku yang dicintai Allah,
Isteri
harus setia/taat kepada suami karena suami adalah pemimpin bagi isteri, sebagaimana penjelasan Al Qur’an surat An Nisaa’
pada bagian awal ayat 34 berikut ini:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), ...”
(QS. An Nisaa’. 34).
Namun ketahuilah bahwa sebagai konsekuensi
dari kedudukannya sebagai pemimpin bagi isteri, maka suami adalah yang paling bertanggung-jawab akan baik-buruknya isteri
dan keluarganya. Dia wajib membimbing/mengarahkan isteri dan keluarganya untuk
menggapai ridho-Nya sehingga (atas rahmat-Nya) bisa menggapai surga yang
dipenuhi kenikmatan abadi serta terhindar dari api neraka Jahannam. Benar-benar
sebuah tanggung-jawab yang sangat berat!
Dikisahkan
oleh Abdullah bin ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَلاَ
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيْرُ الَّذِي
عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ
عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى
بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ
عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعِ
وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ. (رواه البخارى ومسلم)
“Ketahuilah,
setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung
jawabnya. Maka seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab
dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung
jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri
adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya dan kelak akan
ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak
dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab
dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَـــٰــئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahriim. 6).
Lebih dari itu, suami juga wajib mempergauli isterinya dengan cara yang baik, sebagaimana penjelasan
Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 19 serta hadits yang riwayat oleh
Imam At-Tirmidzi berikut ini:
...
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...﴿١٩﴾
“... Dan bergaullah dengan mereka secara patut. ...”.
(QS. An Nisaa’. 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ
لِنِسَائِهِمْ. (رواه الترمذى)
“Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling bagus akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. at-Tirmidzi).
Saudaraku yang dicintai Allah,
Sekali lagi kusampaikan bahwa isteri harus setia/taat
kepada suami karena suami adalah pemimpin bagi isteri. Namun Agama Islam hanya membatasi ketaatan dalam hal-hal
ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah saja. Sedangkan perintah-perintah suami yang bertentangan
dengan hal tersebut, maka tidak ada sedikitpun kewajiban bagi sang isteri untuk memenuhinya, bahkan
dia harus
menolaknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا
الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
“Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan
hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat)”. (HR. Bukhari).
3. Kesetiaan/ketaatan kepada pemimpin
Saudaraku,
Ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul-Nya serta para ulil
amri di antara kita. Kemudian jika mereka itu (para ulil amri) berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul-Nya
(Hadits).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَطِيعُواْ اللهَ
وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَـــٰــــزَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan
ta`atilah Rasul-(Nya), dan ulil amri* di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
(QS. An Nisaa’. 59).
*) Menurut Prof. Dr. KH. M. Roem Rowi (ahli tafsir Al Qur’an/Guru
Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya; S1
Universitas Islam Madinah, S2 – S3 Universitas Al-Azhar) yang dimaksud dengan
ulil amri (pemegang-pemegang urusan) adalah orang-orang yang berpengetahuan
agama/para ‘ulama’, bisa pula orang tua kita, pimpinan di kantor tempat kita bekerja,
pimpinan negara, dst.
أُمِّ
الْحُصَيْنِ قَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ إِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ
وَأَطِيعُوا مَا قَادَكُمْ بِكِتَابِ اللهِ. (رواه ابن ماجه)
2328-2912. Dari
Ummi Hushain, ia berkata, "Aku pernah mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Apabila kalian
diperintah oleh seorang hamba sahaya dari golongan Habasy yang cacat, maka
dengarkanlah dan taatlah kepadanya, yaitu selama dia memimpin kalian dengan Al
Qur'an." (HR.
Ibnu Majah).
Kecuali jika pemimpin tersebut telah memerintahkan kita untuk bermaksiat kepada Allah, maka kita dilarang untuk
mendengar dan mentaati mereka.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad,
telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Ubaidillah, telah menceritakan
kepada kami Nafi', dari Abdullah ibnu Umar, dari Rasulullah
Shallallahu'alaihiWasallam yang telah bersabda: Tunduk dan patuh
diperbolehkan bagi seorang muslim dalam semua hal yang disukainya dan yang
dibencinya, selagi ia tidak diperintahkan untuk maksiat. Apabila
diperintahkan untuk maksiat, maka tidak boleh tunduk dan tidak boleh patuh.
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ نُمَيْرٍ
وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَأَبُو سَعِيدٍ الْأَشَجُّ وَتَقَارَبُوا فِي اللَّفْظِ
قَالُوا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَرِيَّةً وَاسْتَعْمَلَ عَلَيْهِمْ رَجُلًا مِنْ
الْأَنْصَارِ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَسْمَعُوا لَهُ وَيُطِيعُوا فَأَغْضَبُوهُ فِي
شَيْءٍ فَقَالَ اجْمَعُوا لِي حَطَبًا فَجَمَعُوا لَهُ ثُمَّ قَالَ أَوْقِدُوا
نَارًا فَأَوْقَدُوا ثُمَّ قَالَ أَلَمْ يَأْمُرْكُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَسْمَعُوا لِي وَتُطِيعُوا قَالُوا بَلَى قَالَ
فَادْخُلُوهَا قَالَ فَنَظَرَ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ فَقَالُوا إِنَّمَا
فَرَرْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ النَّارِ
فَكَانُوا كَذَلِكَ وَسَكَنَ غَضَبُهُ وَطُفِئَتِ النَّارُ فَلَمَّا رَجَعُوا
ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَوْ
دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ و
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ وَأَبُو
مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ.
(رواه مسلم)
34.37/3425. Dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair dan Zuhair bin Harb
dan Abu Sa'id Al Asyaj sedangkan lafadznya saling berdekatan, mereka berkata;
telah menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami Al A'masy
dari Sa'd bin 'Ubaidah dari Abu Abdurrahman dari 'Ali dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengutus
suatu ekspedisi dan mengangkat seorang laki-laki dari Anshar sebagai
pemimpinnya, mereka diperintahkan untuk taat dan mendengar kepadanya, suatu
ketika pemimpinnya marah terhadap anak buahnya karena suatu perkara, dia
berkata, Kumpulkanlah kayu bakar. Setelah kayu bakar terkumpul dia berkata, Bukankah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memerintahkan kepada
kalian untuk mendengarkanku dan mentaatiku? Mereka
menjawab, Ya. Dia berkata, Oleh
karena itu masuklah kalian ke dalam api tersebut.
Ali berkata, Lalu sebagian yang lain saling memandang kepada yang
lainnya, sambil berkata, Kita harus lari kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari api tersebut. Anak buahnya
masih saja (dalam kebimbangan) seperti itu, hingga kemarahannya mereda dan api
dimatikan. Ketika mereka kembali, mereka memberitahukan peristiwa itu kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: Sekiranya kalian masuk ke dalamnya, niscaya kalian tidak
akan dapat keluar dari api tersebut, ketaatan itu hanya dalam kebajikan.
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Waki' dan Abu Mu'awiyah dari Al A'masy dengan isnad seperti ini.
(HR. Muslim).
Demikian yang bisa kusampaikan, mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.