بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Sabtu, 03 September 2022

INGIN DIWALI-NIKAHKAN OLEH KAKAK KANDUNG LAKI-LAKI


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat*) telah menyampaikan pertanyaan via messenger dengan pertanyaan sebagai berikut: “Satu lagi boleh ya Pak Imron aku bertanya. Salahkah bila seorang anak perempuan diwali-nikahkan oleh kakak laki-lakinya? Karena dengan sebab bahwa bapak kandungnya (yang sudah bercerai dengan ibu kandungnya) tidak pernah menafkahi dan (tidak pernah) bertemu dengan anak perempuan tersebut. Sedang jika bapaknya menghendaki, bapaknya bisa saja menjumpai anak perempuan tersebut. Maaf Pak Imron, katakanlah si bapak tersebut dipengaruhi oleh istri barunya sehingga lupa akan anak perempuan tersebut. Bagaimana menurut Pak Imron? Mohon kajiannya Pak. Terimakasih”.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali. Demikian penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut ini:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR. At-Tirmidzi).

Dan ketahuilah pula bahwa yang berhak menikahkan seorang wanita adalah ayah kandung dari wanita tersebut. Siapapun tidak pernah punya hak untuk melakukan akad yang bukan berada di dalam wewenangnya. Kalaupun dilakukan juga, maka pernikahan itu menjadi tidak sah. Tidak sah artinya jika pasangan tersebut nekad menikah juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan zina.

Sehingga siapapun (termasuk kakak kandung laki-lakinya) yang mengangkat diri menjadi wali tanpa adanya izin dari ayah kandung lalu menikahkannya, maka dia akan masuk neraka karena telah menghalalkan perzinaan yang secara nyata dilarang oleh agama.

Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
“Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan yang lainnya).

Lalu apakah kedudukan ayah kandung sebagai wali nikah tersebut tidak pernah tergantikan buat selama-lamanya?

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa ayah kandung itu tidak akan pernah tergantikan kedudukannya sebagai wali nikah hingga kapanpun, meski ayah kandung tersebut tidak pernah memberi nafkah sama sekali. Kecuali jika terdapat tiga hal berikut ini (posisi ayah kandung sebagai wali nikah bisa gugur jika terdapat tiga hal berikut ini):

   Adanya pemberian wewenang/hak perwalian
Apabila ayah kandung bersedia memberikan hak perwaliannya kepada seseorang (mewakilkan kepada orang lain), baik orang itu masih famili atau bukan, maka orang itu secara sah boleh dan punya wewenang untuk menikahkan dengan ketentuan orang tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai wali nikah, yaitu: muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka.

   Tidak terpenuhinya syarat sebagai wali nikah
Bila syarat-syarat sebagai wali nikah (yaitu muslim, aqil, baligh, laki-laki, adil dan merdeka) tidak dapat dipenuhi, maka gugurlah hak ayah kandung sebagai wali nikah. Misalnya, seorang ayah kandung tidak beragama Islam (baik karena sejak awal memang bukan muslim atau karena murtad), maka haknya sebagai wali nikah gugur dengan sendirinya. Atau misalnya ayah kandung menjadi gila dan hilang ingatan, maka syarat sebagai ‘aqil tidak terpenuhi sehingga gugurlah haknya untuk menjadi wali nikah.

   Dengan meninggalnya ayah kandung
Bila ayah kandung telah wafat, maka status ayah kandung sebagai wali nikah akan digantikan oleh orang lain (sesuai dengan urutan wali nikah, yaitu: 1. ayah kandung, 2. kakek, atau ayah dari ayah dan seterusnya ke atas, 3. saudara laki-laki (kakak/adik) seayah dan seibu, 4. saudara laki-laki (kakak/adik) seayah saja, 5. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah dan seibu, 6. anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja, 7. saudara laki-laki ayah, dan 8. anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah.

Saudaraku menyampaikan bahwa anak perempuan tersebut ingin diwali-nikahkan oleh kakak laki-lakinya karena bapak kandungnya (yang sudah bercerai dengan ibu kandungnya) tidak pernah menafkahi dan tidak pernah bertemu dengan anak perempuan tersebut.

Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa tidak ada sedikitpun alasan untuk menggantikan status ayah kandungnya sebagai wali nikah karena perkara yang saudaraku sampaikan tersebut memang tidak bisa menggugurkan statusnya (satus bapak kandung) sebagai wali nikah.

Kalaupun dilakukan juga (yaitu jika pernikahan tetap dilaksanakan dengan wali nikah kakak kandung sedangkan masih ada ayah kandung padahal tidak ada satu perkarapun yang bisa menggugurkan haknya sebagai wali nikah), maka pernikahan menjadi tidak sah. Artinya jika pasangan tersebut nekad menikah juga bahkan melakukan kegiatan pribadi suami-istri, maka keduanya dihukumi telah melakukan perbuatan zina.

Lalu apakah ada dalil yang menyebutkan jika ada persengketaan antara anak dan bapak, maka pernikahan si anak ini boleh diwalikan oleh pihak yang lain?

Saudaraku,
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa persengketaan antara anak dengan bapak karena sang bapak tidak pernah memberi nafkah kepadanya adalah sama sekali tidak bisa menggugurkan status ayah kandung sebagai wali nikah sehingga pernikahan si anak perempuan ini tidak boleh diwalikan oleh pihak lain, baik kakak kandung laki-laki maupun wali hakim.

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa tidak semua orang bisa menjadi wali nikah. Allah menghargai hubungan kekeluargaan/kekerabatan manusia. Oleh karena itu, keluarga lebih berhak untuk mengatur daripada orang lain yang bukan kerabat. Perhatikan penjelasan Allah dalam Al Qur’an surat Al Anfaal pada bagian akhir ayat 75 berikut ini:

... وَأُوْلُواْ الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِي كِتَــــٰبِ اللهِ إِنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٧٥﴾
“... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al Anfaal. 75).

Bagian dari hak “mengatur” tersebut adalah hak perwalian. Karena itu, kerabat lebih berhak menjadi wali dibandingkan yang bukan kerabat. Lebih dari itu, kerabat yang berhak menjadi wali juga ada urutannya. Sehingga orang yang lebih dekat hubungan kekerabatannya dengan calon mempelai wanita, dia lebih berhak untuk menjadi wali nikah bagi si wanita itu. Tidak boleh kerabat yang lebih jauh menjadi wali nikah sementara masih ada kerabat yang lebih dekat, karena hal semacam ini sama saja dengan merampas hak perwalian sehingga nikahnya menjadi tidak sah.

Saudaraku,
Terkait hal ini, ada satu hal yang harus kita perhatikan. Bahwa boleh saja anak perempuan tersebut tidak suka terhadap perbuatan bapak kandungnya, namun anak perempuan tersebut harus tetap berlaku adil kepadanya (kepada bapak kandungnya).

Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian tengah ayat 2 berikut ini:

... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ ... ﴿٢﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). ...”. (QS. Al Maa-idah. 2).

Tafsir Ibnu Katsir: “... Jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum yang dahulunya pernah menghalang-halangi kalian untuk sampai ke Masjidil Haram yang terjadi pada tahun perjanjian Hudaibiyah mendorong kalian melanggar hukum Allah terhadap mereka. Lalu kalian mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Tetapi kalian harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapapun. ...”.

Saudaraku,
Dari surat Al Maa-idah ayat 2 di atas, diperoleh penjelasan bahwa kebencian kaum muslimin kepada orang-orang yang dahulunya pernah menghalang-halangi kaum muslimin untuk sampai ke Masjidil Haram, tidak boleh mendorong kaum muslimin untuk melanggar hukum Allah terhadap mereka orang-orang yang menghalangi pelaksanaan agama tersebut hingga hal ini bisa menjadi sebab kaum muslimin mengadakan balas dendam terhadap mereka secara aniaya dan permusuhan. Yang benar adalah bahwa kaum muslimin harus tetap memutuskan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka, yaitu bersikap adil dalam perkara yang hak terhadap siapapun.

Saudaraku,
Pesan keadilan di atas begitu pentingnya, sehingga ditegaskan kembali dalam surat yang sama (yakni surat Al Maa-idah) pada ayat 8 berikut ini:

... وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
“... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maa-idah. 8).

Saudaraku,
Anak perempuan tersebut harus dapat mengambil pelajaran dari uraian di atas. Bahwa boleh saja anak perempuan tersebut tidak suka terhadap perbuatan bapak kandungnya yang tidak pernah menafkahi dan tidak pernah bertemu dengannya, namun sang anak harus tetap berlaku adil kepada ayahnya. Salah satu diantaranya adalah terkait haknya sebagai wali nikah bagi sang anak.

Saudaraku,
Tidak mau menikah dengan wali nikah bapak kandung tanpa alasan yang syar’i, hal ini sama saja dengan merampas hak perwaliannya. Dan jika ini yang dilakukan, maka itu artinya anak perempuan tersebut telah berlaku dzolim kepada ayahnya.

Oleh karena itu sampaikan kepada anak perempuan tersebut, bahwa jangan sampai ketidak-sukaannya kepada ayah kandungnya telah mendorongnya untuk melanggar hukum Allah.

Sampaikan kepada anak perempuan tersebut bahwa yang bersangkutan tidak perlu khawatir jika ayah kandungnya ternyata punya itikad buruk dengan bersikukuh untuk tidak merestui pernikahannya tanpa alasan yang jelas, setelah anak perempuan tersebut berupaya untuk berlaku adil kepada ayah kandungnya dengan memberikan haknya sebagai wali nikah.

Santai saja wahai saudaraku, karena Islam telah memberikan solusi jika sampai terjadi kemungkinan terburuk seperti ini. Perhatikan penjelasan hadits berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابو داود)   
Diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap wanita yang menikah tanpa izin dari walinya, maka pernikahannya batal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Apabila ia telah menggaulinya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar (mas kawin). Apabila terjadi perselisihan, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”. (HR. Abu Dawud).

Saudaraku,
Berdasarkan hadits di atas, maka penguasa (dalam hal ini pejabat negara yang bertugas mengurusi pernikahan), berhak untuk menjadi wali nikah jika calon mempelai wanita tidak mempunyai wali atau jika wali khusus/wali nasab (yaitu kerabat) tidak ada yang memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena terjadi persengketaan dimana walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya (walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i).

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa pada saat wali tidak mau menikahkan, maka harus dilihat dahulu alasannya apakah alasannya syar’i atau tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh agama, misalnya anak gadisnya sudah dilamar orang lain dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (non-muslim), atau orang fasik (misalnya pezina atau pemabok), atau mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya.

Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali (dalam hal ini adalah ayah kandungnya) wajib ditaati dan kewaliannya tidak bisa berpindah kepada pihak lain (baik kakak kandung laki-laki maupun wali hakim).

Jika seorang perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad nikahnya jelas tidak sah alias batil. Sebab hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan ayah kandungnya, tidak berpindah kepada kakak kandung laki-laki maupun wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah tanpa wali, sehingga nikahnya batil.

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه الترمذى)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali”. (HR. At-Tirmidzi).

Namun adakalanya wali menolak menikahkan putrinya dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan yang tidak dibenarkan oleh agama. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajahnya tidak rupawan, dan sebagainya. Termasuk jika penolakannya hanya dilandasi balas dendam dari wali nikah (ayah kandung) terkait masa lalu hingga beliau bersikukuh untuk tidak merestui pernikahan sang anak tanpa alasan yang jelas.

Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali yang seperti ini disebut wali ‘adhol. Makna ‘adhol adalah menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya tanpa alasan yang syar’i, jika perempuan itu telah menuntut nikah.

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَن يَنكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْاْ بَيْنَهُم بِالْمَعْرُوفِ ذَٰلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ مِنكُمْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَٰلِكُمْ أَزْكَىٰ لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٢٣٢﴾
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma`ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al Baqarah. 232).

Saudaraku,
Jika wali tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya akan berpindah kepada wali hakim. Sehingga anak perempuan tersebut tidak perlu khawatir seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpanya setelah yang bersangkutan berupaya untuk berlaku adil kepada ayah kandungnya dengan memberikan haknya sebagai wali nikah. (Doaku: semoga hal seperti ini tidak sampai terjadi padanya. Amin, ya rabbal ‘alamin).

Dan seandainya kondisi terburuk seperti ini menimpa anak perempuan tersebut dan yang bersangkutan berkeinginan untuk mendapatkan wali hakim, maka yang bersangkutan bisa datang ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon mempelai perempuan (anak perempuan tersebut) tinggal. Nantinya ada beberapa persyaratan serta serangkaian prosedur yang harus dilalui. Untuk lebih jelasnya, bisa ditanyakan langsung di KUA setempat.

   Menyikapi ayah kandung yang telah berlaku dholim

Saudaraku,
Tentunya sangat bisa dimaklumi jika kemudian timbul rasa benci sang anak kepada ayahnya jika sang ayah memang telah berperilaku buruk serta mengkhianatinya sehingga menimbulkan luka yang sangat dalam. Meskipun demikian, sebaiknya jangan terlalu berlebihan dalam membencinya. Silakan tidak suka (benci) kepada sang ayah, namun bencilah sekedarnya saja.

حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أُرَاهُ رَفَعَهُ قَالَ أَحْبِبْ حَبِيبَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ بَغِيضَكَ يَوْمًا مَا وَأَبْغِضْ بَغِيضَكَ هَوْنًا مَا عَسَى أَنْ يَكُونَ حَبِيبَكَ يَوْمًا مَا. (رواه الترمذى)
Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Suwaid bin Amr AI Kalbi menceritakan kepada kami, dari Hamad bin Salamah, dari Ayyub, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah – menurutku Abu Hurairah meriwayatkan hadits secara marfu' kepada rasul – ia (Abu Hurairah) berkata, "Cintailah orang yang kamu cintai sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah orang yang kamu benci sekedarnya saja. (Sebab) boleh jadi suatu hari ia akan menjadi orang yang kamu cintai." (HR. At-Tirmidzi).

Saudaraku,
Terlalu berlebihan dalam membenci sang ayah hanya akan menimbulkan kelelahan berpikir, stres, serta membuat pikiran kita dipenuhi kekesalan.

Daripada membenci yang terlalu berlebihan yang pasti akan sangat banyak menguras pikiran, tentunya akan lebih bermanfaat jika bisa melapangkan dada untuk memaafkannya. Semoga kelapangan dadanya dalam menghadapi keadaan yang demikian sulit ini, dapat dilihat oleh Allah SWT. sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaannya kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَـــٰـدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِن تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤﴾
(14) “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿١٥﴾
(15) “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ... ﴿١٦﴾
 (16) “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta`atlah; dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. ...”. (QS. At Taghaabun. 14 – 16).

Sedangkan jika luka itu memang teramat dalam sehingga sang anak sudah tidak mampu lagi untuk memaafkan kesalahannya, maka kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa ini menjadi tenang.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS. Al Fajr. 27 – 28).

Sekali lagi kusampaikan, bahwa jika luka itu memang teramat dalam sehingga anak perempuan tersebut sudah tidak mampu lagi untuk memaafkan kesalahan ayahnya, maka kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa ini menjadi tenang. Yakinlah, bahwa Allah SWT. pasti akan memberikan keputusan yang terbaik diantara kita semua. Karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Bijaksana, sebagaimana janji-Nya dalam Al Qur’an surat Al An’aam ayat 18:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ ﴿١٨﴾
”Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al An’aam. 18).

Sedangkan Allah tidak akan pernah menyalahi janji-Nya, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Ar Ruum ayat 6:

... لَا يُخْلِفُ اللهُ وَعْدَهُ وَلَـــٰـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ ﴿٦﴾
“... Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar Ruum. 6).

Saudaraku,
Sampaikan kepada anak perempuan tersebut bahwa dia tidak perlu galau menghadapi situasi yang benar-benar sulit seperti ini. Karena masih ada Allah SWT., yang kepada-Nya kita bisa mengadukan segala kesusahan/kesedihan serta semua permasalahan hidup ini.

قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ ﴿٨٦﴾
Ya`qub menjawab: "Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya." (QS. Yusuf. 86).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
*)  Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim yang kharismatik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞