بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Kamis, 01 September 2022

KEWAJIBAN BAPAK YANG SUDAH BERCERAI TERHADAP ANAK


Assalamu’alaikum wr. wb.

Seorang akhwat*) telah menyampaikan pertanyaan via messenger dengan pertanyaan sebagai berikut: “Pak Imron, mohon ijin bertanya. Apakah hukumnya jika seorang bapak tidak menafkahi anak kandungnya lahir dan bathin setelah melakukan perceraian terhadap istrinya? Dan apakah hukumnya jika seorang bapak lebih mendahulukan dan mengutamakan anak yatim daripada darah dagingnya sendiri? Terimakasih atas kesediannya untuk menjawab”.

Tanggapan

Dari apa yang saudaraku sampaikan tersebut, nampaknya saudaraku telah menanyakan dua hal, yaitu: (1) Apakah hukumnya jika seorang bapak tidak menafkahi anak kandungnya lahir dan bathin setelah melakukan perceraian terhadap istrinya? Dan (2) Apakah hukumnya jika seorang bapak lebih mendahulukan dan mengutamakan anak yatim daripada darah dagingnya sendiri?

1.  Apakah hukumnya jika seorang bapak tidak menafkahi anak kandungnya lahir dan bathin setelah melakukan perceraian terhadap istrinya?

Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta surat Al Baqarah ayat 233 berikut ini:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ...”. (QS. An Nisaa’. 34).

... وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).

Adapun dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini:

حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda miliknya?”. Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya”. Maka beliau bersabda: “Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu”. (HR. Bukhari).

Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada istri dan anaknya.

Sedangkan ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai, maka wanita yang dulunya berstatus istri, kini berubah statusnya menjadi mantan istri (kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan suaminya). Nah karena kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan suaminya, maka sang mantan suami sudah tidak lagi wajib memberi nafkah kepada mantan istrinya.

Namun hak nafkah bagi anak tidaklah terputus, karena perceraian tersebut tidak akan pernah memutuskan hubungan orangtua dengan anaknya. Tidak ada istilah mantan anak bagi pasangan yang sudah bercerai (tidak seperti hubungan suami-istri yang terputus akibat perceraian sehingga statusnya menjadi mantan suami/mantan istri).

Nah karena perceraian tersebut tidak akan pernah memutuskan hubungan orangtua dengan anaknya, maka ayah tetap berkewajiban untuk memberi nafkah/menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal bersama mantan istrinya. Sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa seorang bapak yang tidak menafkahi anaknya karena sang bapak telah bercerai dengan sang ibu, jelas hal ini adalah perbuatan dosa.

2.  Apakah hukumnya jika seorang bapak lebih mendahulukan dan mengutamakan anak yatim daripada darah dagingnya sendiri?

Saudaraku,
Terkait prioritas dalam menafkahkan harta, perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 215 berikut ini:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَـــٰــمَىٰ وَالْمَسَــٰـكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ ﴿٢١٥﴾
Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS. Al Baqarah. 215).

Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):

(Mereka bertanya kepadamu) hai Muhammad (tentang apa yang mereka nafkahkan) Yang bertanya itu ialah Amar bin Jamuh, seorang tua yang hartawan. Ia menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang akan dinafkahkan dan kepada siapa dinafkahkannya? (Katakanlah) kepada mereka (Apa saja harta yang kamu nafkahkan) 'harta' merupakan penjelasan bagi 'apa saja' dan mencakup apa yang dinafkahkan yang merupakan salah satu dari dua sisi pertanyaan, tetapi juga jawaban terhadap siapa yang akan menerima nafkah itu, yang merupakan sisi lain dari pertanyaan dengan firman-Nya, (maka bagi ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan), artinya mereka lebih berhak untuk menerimanya. (Dan apa saja kebaikan yang kamu perbuat) baik mengeluarkan nafkah atau lainnya, (maka sesungguhnya Allah mengetahuinya) dan akan membalasnya.

Saudaraku,
Terkait prioritas dalam menafkahkan harta, perhatikan pula penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i (hadits no. 2499 dan hadits no. 2488) berikut ini:

أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَعْتَقَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عُذْرَةَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَكَ مَالٌ غَيْرُهُ قَالَ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الْعَدَوِيُّ بِثَمَانِ مِائَةِ دِرْهَمٍ فَجَاءَ بِهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ عَنْ أَهْلِكَ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ بَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ. (رواه النساءى)
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Abu Az Zubair dari Jabir dia berkata; "Seseorang dari bani Udzrah -menjanjikan- untuk memerdekakan budaknya setelah ia meninggal, lalu hal itu sampai kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka beliau bertanya: 'Apakah kamu memiliki harta selain dia? ' Ia menjawab; 'Tidak'. Lalu Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam bertanya: 'Siapakah yang membelinya dariku? ' Lalu Nu'man bin Abdullah Al Adawi membelinya dengan harga delapan ratus Dirham. Ia datang dengan membawa uang tersebut kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu beliau memberikan kepadanya, kemudian beliau bersabda: 'Mulailah dengan dirimu, bersedekahlah padanya. Jika ada kelebihan, maka untuk keluargamu. Jika ada kelebihan dari keluargamu, maka untuk kerabatmu. Jika ada kelebihan dari kerabatmu, maka begini dan begini -beliau bersabda: - yang ada di hadapanmu, di samping kananmu dan di samping kirimu. (HR. An-Nasa’i no. 2499).

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقُوا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ عِنْدِي دِينَارٌ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ. (رواه النساءى)
Telah mengabarkan kepada kami 'Amru bin 'Ali dan Muhammad bin Al Mutsanna dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu 'Ajlan dari Sa'id dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda: "Bersedekahlah kalian", lalu seseorang berkata ya Rasulullah aku hanya memiliki satu dinar, beliau menjawab: "Bersedekahlah dengannya untuk dirimu, " ia berkata aku mempunyai yang lain, beliau bersabda: "Bersedekahlah untuk istrimu, " ia berkata aku mempunyai yang lain, beliau bersabda: "Bersedekahlah untuk anakmu, " ia berkata aku memiliki yang lain, beliau bersabda: "Bersedekahlah untuk pembantumu, " ia berkata aku memiliki yang lain, beliau bersabda: "Engkau lebih tahu yang berhak engkau beri." (HR. An-Nasa’i no. 2488).

Saudaraku,
Berdasarkan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 215 serta penjelasan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i di atas, kita bisa mengetahui bahwa ibu, bapak, keluarga (isteri serta anak) dan kaum kerabat merupakan prioritas utama/yang diutamakan terlebih dulu saat hendak menafkahkan harta (artinya mereka lebih berhak untuk menerimanya).

Prioritas berikutnya adalah anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sedangkan jika masih ada kelebihan, selanjutnya bisa diberikan kepada pihak mana saja yang kita lebih mengetahuinya.

Dengan demikian, tindakan bapak di atas yang lebih mendahulukan dan mengutamakan anak yatim daripada anak kandungnya sendiri, jelas hal ini telah menyalahi tuntunan yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Saudaraku,
Sesungguhnya Allah telah menjadikan kita berada di atas suatu syariat/peraturan dari urusan/agama yang lurus. Maka ikutilah syariat itu semuanya (tanpa terkecuali) dan janganlah mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.

ثُمَّ جَعَلْـنَـــٰـكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨﴾
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al Jaatsiyah. 18).

Sedangkan menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dan tidak ada satu pihakpun yang dapat menolak ketetapan-Nya.

قُلْ إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ مَا عِندِي مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلّٰهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَـــٰـصِلِينَ ﴿٥٧﴾
Katakanlah: "Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (Al Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (QS. Al An’aam. 57).

أَوَلَمْ يَرَوْاْ أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ ﴿٤١﴾
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya”. (QS. Ar Ra’d. 41).

Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.

Semoga bermanfaat.

NB.
*)  Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ ) yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama' yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim yang kharismatik”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞