Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat*)
telah menyampaikan pertanyaan via messenger dengan pertanyaan sebagai berikut: “Pak Imron, mohon ijin bertanya. Apakah
hukumnya jika seorang bapak tidak menafkahi anak kandungnya lahir dan bathin
setelah melakukan perceraian terhadap istrinya? Dan
apakah hukumnya jika seorang bapak lebih mendahulukan dan mengutamakan anak
yatim daripada darah dagingnya sendiri? Terimakasih
atas kesediannya untuk menjawab”.
Tanggapan
Dari apa yang saudaraku sampaikan tersebut, nampaknya
saudaraku telah menanyakan dua hal, yaitu: (1) Apakah hukumnya
jika seorang bapak tidak menafkahi anak kandungnya lahir dan bathin setelah
melakukan perceraian terhadap istrinya? Dan (2) Apakah hukumnya jika seorang bapak lebih
mendahulukan dan mengutamakan anak yatim daripada darah dagingnya sendiri?
1. Apakah hukumnya jika
seorang bapak tidak menafkahi anak kandungnya lahir dan bathin setelah
melakukan perceraian terhadap istrinya?
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa dalam Islam, kewajiban memberi nafkah itu
dibebankan kepada ayah dan bukan kepada ibu. Dalam Islam, seorang ayah wajib
menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya. Perhatikan penjelasan Al Qur’an
dalam surat An Nisaa’ ayat 34 serta surat Al Baqarah ayat 233 berikut ini:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ... ﴿٣٤﴾
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. ...”. (QS. An Nisaa’. 34).
... وَعلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... ﴿٢٣٣﴾
“... Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. ...”. (QS. Al Baqarah. 233).
Adapun
dalil khusus yang menunjukkan bahwa ayah wajib memberi nafkah kepada anaknya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari berikut ini:
حَدَّثَنَا ابْنُ مُقَاتِلٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ
أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ جَاءَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ فَقَالَتْ يَا
رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ مِسِّيكٌ فَهَلْ عَلَيَّ حَرَجٌ أَنْ
أُطْعِمَ مِنْ الَّذِي لَهُ عِيَالَنَا قَالَ لَا إِلَّا بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Ibnu Muqatil Telah mengabarkan kepada kami Abdullah Telah mengabarkan kepada
kami Yunus dari Ibnu Syihab Telah mengabarkan kepadaku Urwah bahwa Aisyah
radliallahu 'anha berkata; Hindun binti Utbah datang seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya Abu Shufyan adalah seorang laki-laki yang pelit.
Berdosakah aku, bila aku memberi makan keluarga kami dari harta benda miliknya?”.
Beliau menjawab: “Tidak. Dan kamu mengambilnya secara wajar”. (HR. Bukhari).
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا
يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ
عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ
وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ
لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ. (رواه البخارى)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Al Mutsanna Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Hisyam ia
berkata; Telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Aisyah bahwa Hindu binti Utbah
berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang pelit. Ia
tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku, kecuali jika aku mengambil
dari hartanya dengan tanpa sepengetahuannya”. Maka beliau bersabda: “Ambillah
dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu”.
(HR. Bukhari).
Saudaraku,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam mengizinkan istri untuk mengambil harta suaminya di luar pengetahuan
suaminya, karena suami tidak memberikan nafkah yang cukup bagi istri dan
anaknya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam harta suami, ada bagian yang wajib diberikan kepada
istri dan anaknya.
Sedangkan ketika terjadi perceraian dan masa iddah sudah selesai,
maka wanita
yang dulunya berstatus
istri,
kini berubah statusnya
menjadi mantan istri (kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan
suaminya).
Nah karena kini statusnya sudah bukan lagi istri dari mantan suaminya, maka
sang mantan suami sudah tidak lagi wajib memberi nafkah kepada mantan istrinya.
Namun hak nafkah bagi anak
tidaklah terputus, karena
perceraian tersebut tidak akan pernah memutuskan hubungan orangtua dengan
anaknya. Tidak ada istilah mantan anak bagi pasangan yang sudah bercerai (tidak
seperti hubungan suami-istri yang terputus akibat perceraian sehingga statusnya
menjadi mantan suami/mantan istri).
Nah karena perceraian tersebut tidak akan pernah
memutuskan hubungan orangtua dengan anaknya, maka ayah tetap berkewajiban untuk
memberi nafkah/menanggung semua kebutuhan anak, sekalipun anak itu tinggal
bersama mantan istrinya. Sehingga dengan mudah dapat disimpulkan bahwa seorang bapak
yang tidak menafkahi anaknya karena sang bapak telah bercerai dengan sang ibu,
jelas hal ini adalah perbuatan dosa.
2. Apakah
hukumnya jika seorang bapak lebih mendahulukan dan mengutamakan anak yatim
daripada darah dagingnya sendiri?
Saudaraku,
Terkait prioritas dalam menafkahkan harta, perhatikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 215 berikut ini:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلْ مَا أَنفَقْتُم مِّنْ
خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَـــٰــمَىٰ وَالْمَسَــٰـكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُواْ مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيمٌ ﴿٢١٥﴾
Mereka bertanya kepadamu
tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa
saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya. (QS.
Al Baqarah. 215).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Mereka bertanya kepadamu) hai Muhammad (tentang apa yang
mereka nafkahkan) Yang bertanya itu ialah Amar bin Jamuh, seorang tua yang
hartawan. Ia menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang akan
dinafkahkan dan kepada siapa dinafkahkannya? (Katakanlah) kepada mereka (Apa
saja harta yang kamu nafkahkan) 'harta' merupakan penjelasan bagi 'apa saja'
dan mencakup apa yang dinafkahkan yang merupakan salah satu dari dua sisi
pertanyaan, tetapi juga jawaban terhadap siapa yang akan menerima nafkah itu,
yang merupakan sisi lain dari pertanyaan dengan firman-Nya, (maka bagi
ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang sedang dalam perjalanan), artinya mereka lebih berhak untuk menerimanya.
(Dan apa saja kebaikan yang kamu perbuat) baik mengeluarkan nafkah atau
lainnya, (maka sesungguhnya Allah mengetahuinya) dan akan membalasnya.
Saudaraku,
Terkait prioritas dalam menafkahkan harta, perhatikan
pula penjelasan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i (hadits
no. 2499 dan
hadits no. 2488) berikut ini:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ
أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَعْتَقَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي عُذْرَةَ
عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَكَ مَالٌ غَيْرُهُ قَالَ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ الْعَدَوِيُّ بِثَمَانِ مِائَةِ دِرْهَمٍ فَجَاءَ بِهَا رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ ابْدَأْ
بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ
فَضَلَ شَيْءٌ عَنْ أَهْلِكَ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي
قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ بَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ
وَعَنْ شِمَالِكَ. (رواه النساءى)
Telah
mengabarkan kepada kami Qutaibah dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Al
Laits dari Abu Az Zubair dari Jabir dia berkata; "Seseorang dari bani
Udzrah -menjanjikan- untuk memerdekakan budaknya setelah ia meninggal, lalu hal
itu sampai kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka beliau
bertanya: 'Apakah kamu memiliki harta selain dia? ' Ia menjawab; 'Tidak'. Lalu
Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam bertanya: 'Siapakah yang membelinya
dariku? ' Lalu Nu'man bin Abdullah Al Adawi membelinya dengan harga delapan
ratus Dirham. Ia datang dengan membawa uang tersebut kepada Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam, lalu beliau memberikan kepadanya, kemudian beliau
bersabda: 'Mulailah dengan dirimu, bersedekahlah padanya. Jika ada kelebihan,
maka untuk keluargamu. Jika ada kelebihan dari keluargamu, maka untuk
kerabatmu. Jika ada kelebihan dari kerabatmu, maka begini dan begini -beliau
bersabda: - yang ada di hadapanmu, di samping kananmu dan di samping kirimu. (HR. An-Nasa’i no.
2499).
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
تَصَدَّقُوا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللهِ عِنْدِي دِينَارٌ قَالَ تَصَدَّقْ
بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ
قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ
قَالَ تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ قَالَ عِنْدِي آخَرُ قَالَ أَنْتَ أَبْصَرُ.
(رواه النساءى)
Telah
mengabarkan kepada kami 'Amru bin 'Ali dan Muhammad bin Al Mutsanna dia
berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ibnu 'Ajlan dari Sa'id dari
Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Sallam bersabda:
"Bersedekahlah kalian", lalu seseorang berkata ya Rasulullah aku
hanya memiliki satu dinar, beliau menjawab: "Bersedekahlah dengannya untuk
dirimu, " ia berkata aku mempunyai yang lain, beliau bersabda:
"Bersedekahlah untuk istrimu, " ia berkata aku mempunyai yang lain,
beliau bersabda: "Bersedekahlah untuk anakmu, " ia berkata aku
memiliki yang lain, beliau bersabda: "Bersedekahlah untuk pembantumu,
" ia berkata aku memiliki yang lain, beliau bersabda: "Engkau lebih
tahu yang berhak engkau beri." (HR. An-Nasa’i no. 2488).
Saudaraku,
Berdasarkan penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah
ayat 215 serta penjelasan Hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i di atas,
kita bisa mengetahui bahwa ibu, bapak, keluarga (isteri
serta anak) dan kaum kerabat merupakan prioritas utama/yang diutamakan terlebih
dulu saat hendak menafkahkan harta (artinya mereka lebih berhak untuk menerimanya).
Prioritas berikutnya adalah anak-anak yatim, orang-orang
miskin, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sedangkan jika masih ada
kelebihan, selanjutnya bisa diberikan kepada pihak mana
saja yang kita lebih mengetahuinya.
Dengan demikian, tindakan bapak di atas yang lebih mendahulukan dan mengutamakan anak yatim daripada anak kandungnya
sendiri, jelas hal ini telah menyalahi tuntunan yang diberikan oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Saudaraku,
Sesungguhnya Allah
telah menjadikan kita berada di atas suatu syariat/peraturan dari urusan/agama
yang lurus. Maka ikutilah syariat itu semuanya (tanpa terkecuali) dan janganlah
mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
ثُمَّ جَعَلْـنَـــٰـكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ﴿١٨﴾
Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui. (QS. Al Jaatsiyah. 18).
Sedangkan menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dan tidak ada
satu pihakpun yang dapat menolak ketetapan-Nya.
قُلْ
إِنِّي عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّي وَكَذَّبْتُم بِهِ مَا عِندِي مَا
تَسْتَعْجِلُونَ بِهِ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلّٰهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ
خَيْرُ الْفَـــٰـصِلِينَ ﴿٥٧﴾
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku (berada) di atas hujjah yang nyata (Al Qur'an) dari
Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku (untuk menurunkan azab)
yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi
keputusan yang paling baik. (QS. Al An’aam. 57).
أَوَلَمْ يَرَوْاْ أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ
نَنقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ
سَرِيعُ الْحِسَابِ ﴿٤١﴾
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami
mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah
itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum
(menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah
Yang Maha cepat hisab-Nya”. (QS. Ar Ra’d. 41).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Akhwat ini sebenarnya adalah bentuk jamak dari
ukhti, namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia, telah terjadi
pergeseran. Sama halnya dengan kata: ‘ulama' ( عُلَمَاءُ )
yang juga merupakan bentuk jamak dari ‘alim ( عَالِمٌ ), namun setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia juga telah
mengalami pergeseran. Sehingga kita sangat familiar mendengar kalimat berikut
ini: “Beliau adalah seorang ‘ulama'
yang kharismatik”. Dan malah terdengar aneh di telinga kita saat mendengar
kalimat berikut ini: “Beliau adalah seorang ‘alim
yang
kharismatik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar