Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang sahabat telah menyampaikan pesan via WhatsApp:
Assalamu’alaikum Pak
Imron Kuswandi, mudah-mudahan selalu dalam lindungan Allah SWT. Mohon
ijin saya ada pertanyaan tentangg
faraid, hukum dan
harta waris.
Seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan anak dan istri sebagai berikut:
√ Isteri pertama (sudah wafat), dari
pernikahan pertamanya memiliki anak
1 putra dan 1 putri. Istri pertama sudah
cerai sebelum
menikah dengan istri kedua.
√ Istri kedua (masih
hidup), memiliki 4 orang anak terdiri dari 2 anak laki-laki
dan 2 anak perempuan, sekarang
semua masih hidup.
Almarhum
meninggalkan harta dan
hutang:
a. 2 bidang tanah
warisan dari ayah-ibunya.
b. 1 bidang tanah dan bangunan hasil gono-gini dengan
istri kedua.
c. hutang.
Pertanyaan:
1. Bagaimana pembagian
harta pada poin a.
2. Bagaimana pembagian
harta poin b.
3. Bagaimana pembagian
tanggungan hutang pada poin c.
Sebenarnya hutang
almarhum sudah
dilunasi oleh istri kedua
saat meninggal dengan
mencari hutangan pula. Demikian, terima kasih.
Salam.
TANGGAPAN
Wa’alaikumussalam wr wb. Amin, ya rabbal ‘alamin. Do’a yang
sama juga kupanjatkan kepada panjenengan. Tak lupa kusampaikan terimakasih atas
kepercayaan yang telah diberikan untuk membahas pertanyaan tersebut. Semoga
saya bisa menjaga kepercayaan ini. Amin, ya rabbal ‘alamin.
Saudaraku,
Sebelum membahas kasus yang panjenengan tanyakan
tersebut, marilah kita perhatikan terlebih dahulu beberapa perkara terkait
pertanyaan panjenengan berikut ini:
1. Pengertian harta warisan
Saudaraku,
Yang dimaksud dengan harta warisan (harta pusaka) adalah harta yang ditinggalkan
oleh orang yang wafat
secara mutlak. Artinya hanya harta
yang secara mutlak dimiliki oleh orang yang wafat
saja
yang dibagikan sebagai harta warisan atau harta pusaka.
Berikut ini kusampaikan beberapa ayat yang mendasarinya, yang menisbatkan
harta dengan orang yang wafat:
... فَإِن كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ
اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا
النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ ...
﴿١١﴾
“... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, ...” (QS. An Nisaa’. 11).
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِن لَّمْ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...” (QS. An Nisaa’. 12).
2. Sebab seseorang bisa mendapatkan bagian warisan dari orang yang telah
meninggal dunia
Saudaraku,
Terdapat 3 sebab
seseorang bisa mendapatkan bagian warisan dari orang yang telah meninggal dunia. Ketiga sebab itu adalah hubungan kekerabatan atau nasab, pernikahan yang sah, dan kekerabatan karena
memerdekakan budak.
a. Hubungan
kekerabatan atau nasab, hal ini menyangkut anak kandung atau orang yang terkait
nasab dengan sang pemilik harta atau disebut juga sebagai sebab garis keturunan
atau yang lebih dikenal dengan garis nasab. Orang yang bisa mendapatkan warisan
dengan sebab nasab atau kekerabatan adalah kedua orang tua dan orang-orang yang
merupakan turunan keduanya seperti saudara laki-laki atau perempuan serta
anak-anak dari para saudara tersebut baik sekandung maupun seayah. Dalil-dalil warisan
karena sebab kekerabatan, antara lain terdapat pada surat An
Nisaa’ ayat 11, ayat 12 dan ayat 176.
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَــــٰــلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ
لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ
يَكُن لَّهَا وَلَدٌ فَإِن كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا
تَرَكَ وَإِن كَانُواْ إِخْوَةً رِّجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ
يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَن تَضِلُّواْ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿١٧٦﴾
Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh
harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An Nisaa’. 176).
b. Hubungan pernikahan
yang sah, yaitu adanya hubungan antara
orang yang mewarisi tersebut dengan seseorang akibat adanya pernikahan yang sah.
Sedangkan pasangan suami istri yang menikah dengan pernikahan yang fasid
(rusak), seperti pernikahan tanpa adanya wali atau dua orang saksi, keduanya
tidak bisa saling mewarisi. Demikian pula pasangan suami istri yang menikah
dengan nikah mut’ah. Dalilnya terdapat pada surat An Nisaa’ ayat 12.
c. Dikarenakan memerdekakan budak (wala'). Wala’ adalah
hubungan kekeluargaan yang timbul karena memerdekakan hamba sahaya. Para ahli
fiqih sering menyebutnya dengan nasab hukmi. Orang yang memerdekakan memperoleh
hak wala’ yakni berhak menjadi ahli waris dari budak tersebut.
Maksudnya,
orang yang memerdekakan budak lalu
suatu hari budaknya tersebut memiliki harta dan meninggal maka orang yang
memerdekakan tersebut berhak mendapatkan harta warisan dari budak yang telah
dimerdekakannya tersebut. Namun sebaliknya, seorang budak yang telah
dimerdekakan tidak bisa menerima warisan dari tuan yang telah memerdekakannya.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ
يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ
الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ فِي
بَرِيرَةَ ثَلَاثُ سُنَنٍ عَتَقَتْ فَخُيِّرَتْ وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ. (رواه
البخارى)
47.33/4707. Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Yusuf Telah mengabarkan kepada kami Malik dari Rabi'ah
bin Abu Abdurrahman dari Al Qasim bin Muhammad dari Aisyah radhiyallahu 'anha,
ia berkata; Pada Barirah terdapat tiga sunnah. Ia dimerdekakan, lalu diberi
pilihan. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya hak waris kepemilikan budak (wala') itu
adalah bagi yang memerdekakan”. (HR. Bukhari).
3. Status harta
dalam sebuah keluarga
Saudaraku,
Dalam Islam, status harta dalam
sebuah keluarga mempunyai tiga kemungkinan:
√
Harta milik suami saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami tanpa ada sedikit-pun kepemilikan istri pada harta itu. Misalnya harta
suami sebelum menikah, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada suami
secara khusus, atau harta yang diwariskan kepada suami, dan sebagainya.
√ Harta milik istri saja
Yaitu harta yang dimiliki oleh
istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu. Misalnya
harta milik istri sebelum menikah, atau mahar suami
kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa
harus mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang
lain khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri, dan sebagainya.
√ Harta milik bersama
Yaitu harta yang dimiliki oleh
suami-istri secara bersama-sama. Misalnya harta yang dihibahkan seseorang
kepada suami istri, atau harta benda semisal rumah, tanah, atau lainnya yang
dibeli dari uang mereka berdua, atau harta yang mereka peroleh setelah menikah
dan suami serta istri sama-sama bekerja yang menghasilkan pendapatan dan
sebagainya. Jenis harta yang ketiga inilah yang kemudian diistilahkan dengan
harta gono-gini.
4. Hukum syar’i
tentang harta gono-gini
Saudaraku,
Syariat Islam tidak membagi
harta gono-gini ini dengan bagian masing-masing secara pasti (artinya tidak ada
dalil khusus baik dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta
gono-gini secara pasti), misalnya istri 50% dan suami 50%.
Tidak ada dalil khusus baik
dari Al Qur’an maupun Hadits yang menjelaskan pembagian harta gono-gini secara
pasti, artinya tidak ada nash yang mewajibkan pembagian sama rata antara suami
- isteri.
Meskipun demikian, pembagiannya
bisa ditinjau dari beberapa kemungkinan berikut ini:
√ Jika diketahui secara pasti
perhitungan harta suami dan istri
Yaitu hasil kerja suami
diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil
kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat
jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
√ Jika tidak diketahui dengan
pasti perhitungan harta suami istri
Bagi suami istri yang sama-sama
bekerja atau saling bekerja sama dalam membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan
keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja mereka. Dalam kondisi seperti
ini, berapa bagian dari harta suami dan berapa bagian dari harta istri menjadi
tidak jelas. Kondisi seperti ini banyak terjadi dalam keluarga di negeri kita
Indonesia.
Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya, bahwa dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi
harta gono-gini,
khususnya jika perhitungan harta suami istri tidak diketahui dengan pasti.
Dalam hal ini, Islam hanya memberikan rambu-rambu secara umum dalam
menyelesaikan masalah bersama, yaitu berdasarkan kesepakatan antara suami dan
istri.
Kesepakatan ini dalam Al Qur’an
serta Al Hadits disebut dengan istilah “ash-shulhu” ( الصُّلْحُ ) yaitu perjanjian untuk
melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka
berselisih. Dengan kata lain, ash-shulh adalah kesepakatan antara suami istri
berdasarkan musyawarah atas dasar saling ridha.
Allah SWT. berfirman dalam Al
Qur’an surat An Nisaa’ ayat 128:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن
بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا
بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ ... ﴿١٢٨﴾
Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) ...”. (QS. An Nisaa’. 128).
Saudaraku,
Ayat di atas menerangkan
tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih.
Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya. Pada ayat
di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya.
Hal ini diperkuat dengan penjelasan
hadits berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ زَادَ أَحْمَدُ إِلَّا صُلْحًا أَحَلَّ حَرَامًا
أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا وَزَادَ سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. (رواه ابو
داود)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian antara kaum
muslim dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan perkara yang haram dan
perdamaian yang mengharamkan perkara yang halal”. (HR. Abu Daud).
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ
حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ
جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ
حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا
أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. (رواه الترمذى)
Hasan bin Ali Al Khallal
menceritakan kepada kami, Abu Amir Al Aqadi menceritakan kepada kami. Katsir
bin Abdullah bin Amr bin Auf Al Muzani menceritakan kepada kami dari bapaknya,
dari kakeknya bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Perdamaian
antara kaum muslimin adalah boleh, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram. Kaum muslimin harus melaksanakan syarat
yang mereka tetapkan. kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram”. (HR. At-Tirmidzi).
Saudaraku,
Para ‘ulama’ telah
membagi ash-shulh (perdamaian) menjadi beberapa macam:
♦ perdamaian antara muslim dan kafir,
♦ perdamaian antara suami dan istri,
♦ perdamaian antara kelompok yang bughat (dzalim) dan kelompok yang adil,
♦ perdamaian antara dua orang yang mengadukan permasalahan kepada
hakim,
♦ perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf
untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan
♦ perdamaian
untuk memberikan sejumlah harta milik bersama dan hak-hak.
Dengan demikian, jika suami
istri berpisah dan hendak membagi harta gono-gini di antara mereka, maka dapat
ditempuh jalan perdamaian (ash-shulh). Sebab, salah satu jenis perdamaian
adalah perdamaian antara suami istri, atau perdamaian tatkala ada persengketaan
mengenai harta bersama.
Memang dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang diterapkan dalam Peradilan Agama, harta gono-gini antar
suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Dalam pasal 97
KHI disebutkan: “Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua
dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Namun ketentuan dalam KHI ini
bukanlah suatu putusan hukum yang mutlak. Artinya
jika suami istri sepakat membagi harta dengan persentase tertentu, maka
kesepakatan dan keridhaan mereka didahulukan.
Saudaraku,
Berdasarkan uraian
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua harta yang ada saat suami
meninggal, maka yang dapat dibagi sebagai harta
warisan (harta pusaka) hanyalah harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup, diantaranya: harta suami sebelum menikah, harta yang dihibahkan
orang lain kepada suami secara khusus, harta yang diwariskan kepada suami, dan
sebagainya.
Sedangkan harta yang dimiliki
oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu seperti
harta milik istri sebelum menikah, atau mahar suami
kepada istrinya, atau harta hasil kerja yang diperoleh dari istri tanpa
mengganggu kewajibannya sebagai istri, atau harta yang dihibahkan orang lain
khusus untuknya, atau harta yang diwariskan kepada istri dan sebagainya, maka
harta yang seperti ini akan tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal
(artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atas harta jenis ini).
Adapun terkait harta gono-gini,
jika diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri yaitu hasil kerja
suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga
hasil kerja istri diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya
sangat jelas, yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
Dalam hal seperti ini, maka
hanya harta gono-gini yang menjadi bagian suami saja yang dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian dari harta istri
tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk harta
warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya).
Sedangkan jika harta gono-gini
tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri
karena suami istri yang sama-sama bekerja atau saling bekerja sama dalam membangun
ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja
mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan harta suami
bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) yang
telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.
Misalnya berdasarkan musyawarah antara suami istri (semasa keduanya masih
hidup), suami mendapat 30% dan istri 70% (boleh pula pembagian dengan nisbah/prosentase
yang lain). Maka dalam hal ini hanya 30% saja dari harta gono-gini yang bisa
dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan sisanya yang 70% tetap menjadi hak
isteri saat suami meninggal (tidak termasuk harta warisan) sehingga para ahli
waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.
Sedangkan apabila
semasa keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas
dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini bisa memakai
KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri dibagi
sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%.
Jika hal ini yang terjadi, maka hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi
kepada para ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri
saat suami meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris
lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.
√ Tidak ada harta gono-gini bagi isteri yang tidak
bekerja
Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya terkait harta gono-gini, jika
diketahui secara pasti perhitungan harta suami dan istri yaitu hasil kerja
suami diketahui secara pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga
hasil kerja istri diketahui dengan pasti, maka perhitungan harta gono-gininya
sangat jelas yaitu sesuai dengan perhitungan tersebut.
Dalam hal seperti ini, saat
suami wafat, maka hanya harta gono-gini yang menjadi bagian almarhum saja yang
dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian
dari isteri tetap menjadi haknya isteri saat suami meninggal (artinya tidak
termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak
atasnya).
Sedangkan jika harta gono-gini
tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri
karena suami-istri sama-sama bekerja atau saling bekerja-sama dalam membangun
ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari hasil kerja
mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan harta suami
bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling ridha) yang
telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.
Namun kesepakatan tersebut hanya
berlaku jika masing-masing dari suami-istri memang mempunyai andil dalam
pengadaan barang/harta yang telah menjadi milik bersama (biasanya ini terjadi
jika suami dan istri sama-sama bekerja).
Sedangkan jika istri di rumah
dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini
dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali
barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam).
Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan
Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan
Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah
Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com
Saudaraku,
Karena tidak
terdapat harta gono-gini (jika istri di rumah dan suami yang
bekerja) dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah
milik suami, maka saat suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan
kepada para ahli waris.
5. ‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ )
‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ ) adalah bentuk jamak dari ‘aashib ( عَاصِبٌ ), mereka adalah keturunan laki-laki dari seseorang dan
kerabatnya dari jalur ayah.
‘Ashabah sendiri adalah
orang yang diberikan kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh
mengambil bagian-bagiannya. Sedangkan yang dimaksud dengan ash-haabul furudh adalah
pemilik bagian pasti, yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar
yang telah ditentukan dalam kitabullah.
Apabila tidak
tersisa sedikit-pun dari mereka para ash-haabul furudh, maka mereka (‘ashabah)
tidak mengambil bagian sedikit-pun kecuali jika yang mendapatkan ‘ashabah
adalah anak laki-laki (ibn) karena sesungguhnya ia tidak terhalang dalam
keadaan apapun.
‘Ashabah juga
berarti orang-orang yang berhak mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak ada
seorang-pun dari ash-haabul furudh.
Perhatikan firman Allah
Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176 berikut ini:
... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن
لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).
Dalam ayat di atas, Allah telah
memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan
‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.
{ Bersambung; tulisan ke-1 dari 2
tulisan }