Assalamu’alaikum wr. wb.
Berikut ini kelanjutan dari artikel “Pembagian Harta Warisan Seorang Suami Yang
Telah Wafat (I)”:
♦ PEMBAHASAN KASUS YANG PANJENENGAN TANYAKAN
Panjenengan menanyakan tentang pembagian harta warisan
dari seorang
laki-laki yang meninggal dunia dan meninggalkan anak dan istri sebagai berikut:
√ Isteri pertama (sudah wafat), dari
pernikahan pertamanya memiliki anak
1 putra dan 1 putri. Istri pertama sudah
cerai sebelum
menikah dengan istri kedua.
√ Istri kedua (masih
hidup), memiliki 4 orang anak terdiri dari 2 anak laki-laki
dan 2 anak perempuan, sekarangg
semua masih hidup.
Almarhum
meninggalkan harta dan
hutang:
a. 2 bidang tanah
warisan dari ayah-ibunya.
b. 1 bidang tanah dan bangunan hasil gono-gini dengan
istri kedua.
c. hutang.
Saudaraku,
Setelah kita memperhatikan uraian di atas, sekarang
marilah kita bahas kasus yang panjenengan tanyakan satu per satu.
1. Terkait hutang
almarhum
Saudaraku,
Ketahuilah bahwa para ahli waris tidak berhak mendapat
bagian warisan kecuali setelah dilunasi utang-utang tersebut. Maksudnya sebelum
harta warisan bisa dibagi kepada para ahli waris, maka semua hutang almarhum
harus dilunasi terlebih dahulu dengan cara mengambil sebagian harta yang
ditinggalkan almarhum.
Setelah semua hutang almarhum dilunasi dengan cara
mengambil sebagian harta yang ditinggalkan almarhum, maka sisanya baru bisa
dibagi kepada para ahli waris. Dengan demikian isteri kedua tidak perlu
melunasi semua hutang almarhum dari hartanya sendiri (cukup dilunasi dengan
cara mengambil sebagian harta yang ditinggalkan almarhum, sebelum dibagi kepada
para ahli waris). Perhatikan firman Allah dalam surat An Nisaa’ ayat 11 berikut
ini:
... مِن
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ... ﴿١١﴾
“... (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
Saudaraku,
Para ahli waris tidak berhak
mendapat apapun dari harta yang diwariskannya kecuali setelah dilunasi hutang-hutangnya. Sedangkan
jika
harta warisan itu telah dibagikan karena para ahli waris tidak tahu lalu
setelah itu mereka tahu, maka masing-masing ahli waris wajib mengembalikan sebagian harta yang telah
diterimanya untuk melunasi hutang
tersebut.
2. Bagian isteri
pertama
Saudaraku,
Isteri pertama bukanlah ahli
waris karena sudah lama bercerai sebelum suaminya wafat sehingga sudah habis masa iddahnya. Karena bukan
ahli waris, maka beliau tidak berhak atas harta warisan dari mantan suaminya.
Hal ini berbeda jika isteri pertama telah bercerai dan cerainya
adalah talak raj’i1) maka selama masih dalam masa iddah, isteri masih merupakan tanggungan suaminya apabila
perceraian dilakukan atas inisiatif suaminya (bukan karena li’an2) atau khuluk3)).
Tanggungan suami itu berupa nafkah lahiriyah papan, sandang dan pangan.
1) Talak raj’i yaitu talak yang bisa kembali
rujuk ketika masa ‘iddah.
2) Li’an adalah sumpah yang diucapkan suami ketika dia menuduh istrinya
telah berzina atau penolakannya terhadap kehamilan istri darinya, sedangkan ia
tidak mempunyai empat orang saksi yang melihat sendiri perbuatan itu dengan
empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya,
kemudian pada sumpah kesaksian yang ke lima ia meminta kutukan Allah seandainya
ia berdusta. Kemudian pihak istri juga bersumpah empat kali bahwa dirinya tidak
berbuat sebagaimana yang di tuduhkan suaminya, pada sumpah yang kelima ia
bersedia menirima murka Allah bila tuduhan suaminya ternyta benar.
3) Khuluk ialah talak yang dijatuhkan
sebab keinginan dan desakan dari pihak istri. Hal semacam itu disyariatkan
dengan jalan khuluk, yakni pihak istri menyanggupi membayar seharga kesepakatan
antara dirinya dengan suami, dengan (standard) mengikuti mahar yang telah
diberikan.
Saudaraku,
Selama masa iddah, beliau tidak boleh dipinang, apalagi
dinikahi orang lain. Apabila suaminya meninggal dunia saat masih dalam masa iddah, maka dia berhak atas warisan
dari mantan suaminya berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat Al
Baqarah ayat 228 serta dalam surat
Ath Thalaaq ayat 1 berikut ini:
وَالْمُطَلَّقَـــٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَـــٰـــثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلَــــٰحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ ﴿٢٢٨﴾
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu
menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al Baqarah. 228).
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا
الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا
يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَـــٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللهَ يُحْدِثُ بَعْدَ
ذَٰلِكَ أَمْرًا ﴿١﴾
Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah
Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. (QS. Ath Thalaaq. 1).
Disamping itu beliau juga sudah
wafat lebih dulu sebelum mantan suaminya wafat sehingga karenanya isteri
pertama bukanlah ahli waris. Karena dalam hukum waris, ada sebuah aturan bahwa
yang memberi warisan harus meninggal terlebih dahulu dan yang menerima warisan
harus masih hidup pada saat pemberi warisan meninggal.
2. Bagian isteri
kedua
a. 2 bidang tanah
warisan dari ayah-ibunya.
Untuk 2 bidang
tanah warisan dari ayah-ibunya almarhum, maka istri
mendapat 1/8 dari total harta warisan (setelah
dikurangi untuk melunasi semua hutang almarhum) karena suami mempunyai
anak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam surat
An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 12 berikut ini:
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“...
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”.
(QS. An Nisaa’.
12).
b. 1 bidang tanah dan bangunan hasil gono-gini dengan
istri kedua.
√ Jika
isteri tidak bekerja
Saudaraku,
Terkait harta gono-gini jika
istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono-gini
dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali
barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam).
Demikian pendapat Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan
Syari’ah Islamiyah di Islamic University of Medina 1996, S2 Jurusan
Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan S3 Jurusan Syari’ah
Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com
Karena tidak
terdapat harta gono-gini (jika istri di rumah dan suami yang
bekerja) dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah
milik suami, maka saat suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan
kepada para ahli waris.
Meskipun demikian, jika kasus seperti ini
diselesaikan di pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di
negara kita Indonesia, dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai
berikut: “Janda atau duda cerai masing- masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh
selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari
suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal
dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai
berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang
bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa
keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan
(musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal
ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini
antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun
isteri tidak bekerja).
Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami
meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atasnya.
Tetaplah berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka
saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat
An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan
dari Allah Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan bagian harta
yang lebih sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka
solusinya mudah saja. Toh
selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu
kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris.
√ Jika
isteri juga bekerja
Saudaraku,
Jika diketahui secara pasti
perhitungan harta suami dan istri yaitu hasil kerja suami diketahui secara
pasti dikurangi nafkah untuk keluarganya, demikian juga hasil kerja istri
diketahui dengan pasti. Maka perhitungan harta gono-gininya sangat jelas, yaitu
sesuai dengan perhitungan tersebut.
Dalam hal seperti ini, maka
hanya harta gono-gini yang menjadi bagian suami saja yang dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan harta gono-gini yang menjadi bagian dari harta istri
tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk harta
warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya).
Sedangkan jika harta gono-gini
tersebut tidak diketahui dengan pasti perhitungan/persentase harta suami dan istri
karena suami istri yang sama-sama bekerja atau saling bekerja sama dalam
membangun ekonomi keluarga dan kebutuhan keluarga-pun ditanggung berdua dari
hasil kerja mereka, maka untuk menentukan berapa persen bagian harta isteri dan
harta suami bisa didasarkan pada kesepakatan (musyawarah atas dasar saling
ridha) yang telah dibuat oleh suami-isteri saat keduanya masih hidup.
Misalnya berdasarkan musyawarah antara suami istri (semasa keduanya masih
hidup), suami mendapat 30% dan istri 70% (boleh pula pembagian dengan nisbah/prosentase
yang lain). Maka dalam hal ini hanya 30% saja dari harta gono-gini (setelah dikurangi untuk melunasi semua hutang almarhum) yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan sisanya
yang 70% tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (tidak termasuk harta
warisan) sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya.
Sedangkan apabila
semasa keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan (musyawarah atas
dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal ini bisa memakai
KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini antar suami-istri dibagi
sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50%. Jika hal ini yang terjadi, maka hanya 50% saja dari harta gono-gini (setelah dikurangi untuk melunasi semua hutang almarhum) yang bisa dibagi kepada para ahli waris. Sedangkan yang
50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (tidak termasuk harta
warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atasnya).
Selanjutnya
dari harta
gono-gini yang menjadi haknya suami semasa hidupnya tersebut, istri mendapat 1/8 dari total harta warisan karena suami
mempunyai anak. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat
An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 12 berikut ini:
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“...
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
3. Bagian anak
Saudaraku,
Baik anak dari isteri pertama
maupun dari isteri kedua, semuanya adalah anak kandung dari almarhum. Oleh
karena itu semuanya mempunyai kedudukan yang sama sebagai ahli waris.
Dan karena pada kasus di atas sudah tidak ada
lagi ash-haabul furudh (yaitu orang yang mendapatkan warisan berdasarkan kadar
yang telah ditentukan dalam kitabullah) selain isteri almarhum, maka 7/8 bagian sisanya (setelah dikurangi 1/8 bagian yang menjadi haknya isteri
almarhum) menjadi hak anak-anak almarhum karena anak
laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah.
Kemudian dari sisa sebesar 7/8 bagian tersebut, selanjutnya dibagi dengan
perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Perhatikan penjelasan Al
Qur’an dalam surat An Nisaa’ pada bagian awal ayat 11 berikut ini:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan, ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
Dan karena jumlah anak kandung
almarhum adalah 6 orang yang terdiri dari 3 anak laki-laki dan 3 anak
perempuan, maka setiap anak laki-laki mendapat 2/9 dari sisa harta warisan
sedangkan setiap anak perempuan mendapat 1/9 dari sisa harta warisan.
Sebagai penutup, berikut ini kusampaikan
penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nisaa’ ayat 29 serta penjelasan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Tirmidzi dan Ibnu Hibbân agar kita lebih berhati-hati
terhadap penggunaan harta warisan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأْكُلُواْ
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ ... ﴿٢٩﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, ...”. (QS. An Nisaa’. 29)
Rasulullah
shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ لَحْمٍ
نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Setiap
daging yang tumbuh dari yang tidak halal, maka neraka lebih berhak baginya. (HR. Ahmad,
Tirmidzi, dan Ibnu Hibbân).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.
{Tulisan ke-2 dari 2
tulisan}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar