Assalamu’alaikum wr. wb.
♦ PEMBAHASAN KASUS YANG PANJENENGAN TANYAKAN
Panjenengan menanyakan tentang anak-anak dari pernikahan sebelumnya apakah juga punya hak waris?
Seperti
kasus berikut ini: suami bawa 1 anak laki-laki dan istri bawa 1 anak laki-laki kemudian
nikah ada 1 anak lagi (wanita), maka yang punya hak waris anak hasil pernikahan
saja atau juga anak yang dibawa dari pernikahan sebelumnya (anak sambung)? Sedangkan
yang bekerja mencari nafkah hanya sang suami (istri di rumah/tidak bekerja).
Bagaimana
juga dengan harta dari suami yang diperoleh sebelum menikah? Sebagai informasi
tambahan, pihak suami mempunyai 1 saudara kandung wanita dan pihak isteri
mempunyai 4 saudara kandung (1 laki-laki dan 3 wanita). Suami masih punya orang
tua yaitu ibu, sedangkan orang tua isteri sudah meninggal semua.
Saudaraku,
Setelah kita memperhatikan uraian sebelumnya, sekarang
marilah kita bahas kasus yang panjenengan tanyakan tersebut satu per satu.
I. JIKA YANG WAFAT
ADALAH SUAMI
Saudaraku,
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa dari semua harta yang ada
saat suami meninggal, maka yang dapat dibagi sebagai harta warisan (harta
pusaka) hanyalah harta yang secara mutlak milik suami saat suami masih hidup,
yaitu:
√ harta yang diwariskan kepada suami (harta yang diperoleh suami
yang berasal dari warisan orangtuanya suami yang sudah wafat dan/atau dari
saudara kandungnya suami yang sudah wafat dan/atau dari anak-anaknya suami yang
sudah wafat, dll)
√ harta yang dihibahkan orang lain kepada suami secara khusus (jika
ada),
√ serta harta dari suami yang diperoleh sebelum
menikah dengan ibu tersebut (harta suami yang dibawa sebelum menikah
dengan ibu tersebut).
Sedangkan harta yang dimiliki
oleh istri saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan suami pada harta itu, seperti
harta milik istri sebelum menikah dengannya, atau mahar
suami kepada istrinya, atau harta yang dihibahkan orang lain khusus
untuknya, serta harta yang diwariskan kepada istri, maka harta yang seperti ini
akan tetap menjadi hak isteri saat suami meninggal (artinya tidak termasuk
harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama sekali tidak berhak atas
harta jenis ini).
♦ Harta
gono-gini (yaitu harta yang diperoleh selama keduanya masih hidup dan berada
dalam ikatan pernikahan)
Saudaraku,
Terkait harta gono-gini jika
istri di rumah (tidak bekerja) dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak
terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua yang dibeli
oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan
kepada istri maka menjadi milik istri (wallahu a’lam). Demikian pendapat Dr. Ahmad
Zain An-Najah, MA. (S1 Jurusan Syari’ah Islamiyah di Islamic University
of Medina 1996, S2 Jurusan Syari’ah di Universitas Al Azhar Kairo 2001 dan
S3 Jurusan Syari’ah Universitas Al Azhar Kairo Mesir 2007) dalam m.hidayatullah.com
Saudaraku,
Karena tidak
terdapat harta gono-gini (jika istri di rumah dan suami yang
bekerja) dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah
milik suami, maka saat suami wafat, harta tersebut sepenuhnya bisa dibagikan
kepada para ahli waris.
Meskipun demikian jika kasus seperti ini
diselesaikan di pengadilan, maka para hakim akan menggunakan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menjadi “kitab rujukan” bagi seluruh Pengadilan Agama di
negara kita Indonesia, dimana dalam dalam Pasal 97 KHI berbunyi sebagai
berikut: “Janda atau duda cerai masing- masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang dimaksud dengan harta bersama (harta gono gini) adalah semua harta yang diperoleh
selama perkawinan, tanpa memperhatikan apakah harta tersebut berasal dari
suami-isteri (karena suami dan isteri sama-sama bekerja) atau hanya berasal
dari suami saja (karena isteri tidak bekerja).
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tersebut berbunyi sebagai
berikut: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”.
Sehingga jika kasus seperti ini (hanya suami yang
bekerja) diselesaikan di pengadilan, apabila semasa
keduanya (suami-isteri) masih hidup tidak terjadi/tidak dibuat kesepakatan
(musyawarah atas dasar saling ridha) terkait harta gono-gini, maka dalam hal
ini para hakim akan memakai KHI (Kompilasi Hukum Islam), dimana harta gono-gini
antar suami-istri dibagi sama rata, yaitu masing-masing mendapat 50% (meskipun
isteri tidak bekerja).
Sehingga hanya 50% saja dari harta gono-gini yang bisa dibagi kepada para
ahli waris. Sedangkan yang 50% sisanya tetap menjadi hak isteri saat suami
meninggal/tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atasnya.
♦ Tetaplah berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam
Saudaraku,
Tentu saja hal seperti ini bisa menyebabkan terjadinya
perselisihan. Terkait hal ini (jika hal seperti ini sampai terjadi), maka
saranku adalah dengan tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam
syariat Islam.
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat
An Nisaa’ ayat 13 – 14, agar kita berhati-hati terhadap hukum-hukum/ketentuan-ketentuan
dari Allah Ta’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّــــٰتٍ تَجْرِي مِن
تَحْتِهَا الْأَنْهَــٰــرُ خَــٰــلِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١٣﴾ وَمَن يَعْصِ اللهَ
وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَــٰــلِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
(13) (Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang
besar. (14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS.
An Nisaa’. 13 – 14).
Sedangkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya
gejolak (karena dalam kasus seperti ini isteri akan mendapatkan bagian harta
yang lebih sedikit jika diselesaikan sesuai dengan syariat Islam), maka
solusinya mudah saja. Toh
selain pembagian warisan masih ada cara-cara lain untuk bisa memberi sesuatu
kepada beliau. Misalnya dengan sedekah dari para ahli waris yang lainnya.
1. Bagian isteri
Saudaraku,
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), maka istri
mendapat 1/8 dari total harta warisan karena suami mempunyai anak. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ pada bagian tengah
ayat 12 berikut ini:
... وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ فَإِن كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ
الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُم مِّن بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ ...
﴿١٢﴾
“...
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. ...”. (QS. An Nisaa’. 12).
2. Bagian ibunya suami
Saudaraku,
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), maka ibu kandungnya suami mendapatkan
1/6 bagian dari total harta warisan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat
An-Nisaa’ pada bagian tengah ayat 11 berikut ini:
... وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ
وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ ... ﴿١١﴾
“... Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak
...”. (QS. An Nisaa’. 11).
3. Bagian dari anak
yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami yang wafat (suami kedua)
Saudaraku,
Anak tiri adalah anak yang
didapat dari pernikahan seseorang dengan pasangannya yang telah memiliki anak
di masa lalu atau anak yang diperoleh dari pernikahannya terdahulu. Anak tiri ini bisa merupakan anak dari sang wanita (istri) ataupun anak dari sang pria (suami). Biasanya pernikahan yang menimbulkan anak tiri
adalah pernikahan dengan janda atau duda yang sudah memiliki anak. Anak tiri
juga merupakan hasil dari perceraian orangtua terdahulunya karena ayahnya
menjatuhkan talak pada
ibunya atau salah satu dari keduanya meninggal.
Anak tiri (yaitu anak yang
didapatkan dari pernikahan terdahulu) sama sekali tidak mendapatkan jatah warisan karena anak tiri tidak berstatus sebagai ahli waris (anak tiri tidak disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al Qur’an
dan Hadits). Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki
hubungan atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya.
Saudaraku,
Sebagaimana telah dijelaskan pada
artikel bagian pertama, terdapat 3 sebab seseorang bisa
mendapatkan bagian warisan dari orang yang telah meninggal dunia. Ketiga sebab itu adalah hubungan kekerabatan atau nasab, pernikahan yang sah, dan kekerabatan karena
memerdekakan budak.
1. Hubungan
kekerabatan atau nasab, hal ini menyangkut anak kandung atau orang yang terkait
nasab dengan sang pemilik harta atau disebut juga sebagai sebab garis keturunan
atau yang lebih dikenal dengan garis nasab. Orang yang bisa mendapatkan warisan
dengan sebab nasab atau kekerabatan adalah kedua orang tua dan orang-orang yang
merupakan turunan keduanya seperti saudara laki-laki atau perempuan serta
anak-anak dari para saudara tersebut baik sekandung maupun seayah.
2. Hubungan pernikahan
yang sah, yaitu adanya hubungan antara
orang yang mewarisi tersebut dengan seseorang akibat adanya pernikahan yang sah.
Sedangkan pasangan suami istri yang menikah dengan pernikahan yang fasid
(rusak), seperti pernikahan tanpa adanya wali atau dua orang saksi, keduanya
tidak bisa saling mewarisi. Demikian pula pasangan suami istri yang menikah
dengan nikah mut’ah.
3. Dikarenakan
memerdekakan budak. Orang yang memerdekakan budak lalu suatu hari budaknya
tersebut memiliki harta dan meninggal maka orang yang memerdekakan tersebut
berhak mendapatkan harta warisan dari budak yang telah dimerdekakannya
tersebut. Namun sebaliknya, seorang budak yang telah dimerdekakan
tidak bisa menerima warisan dari tuan yang telah memerdekakannya.
Saudaraku,
Dengan
melihat ke-3 sebab
waris diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa anak tiri tidak berhak atau tidak dapat
mewarisi harta orang tua
tirinya. Dia
hanya bisa mendapatkan waris dari orangtua yang sedarah dengannya (baik ibu kandung maupun
ayah kandungnya).
Anak tiri tidak berhak
mendapatkan harta warisan, dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ An Nisaa’ ayat 7 berikut ini:
لِّلرِّجَالِ نَصيِبٌ مِّمَّا
تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ
الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا
مَّفْرُوضًا ﴿٧﴾
Bagi laki-laki ada hak bagian
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian
(pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan. (QS. An Nisaa’. 7).
4. Bagian dari anak
yang dibawa suami sebelum menikah dengan ibu tersebut
Saudaraku,
Anak yang dibawa
suami sebelum menikah dengan ibu tersebut memang merupakan anak tiri bagi ibu
tersebut, namun merupakan anak kandung dari suami.
Dan karena yang meninggal adalah suami, maka anak tersebut mempunyai hak waris sebagaimana anak kandung
suami yang lainnya dari pernikahannya dengan ibu tersebut. Artinya, anak yang
dibawa suami dari pernikahan sebelumnya maupun anak dari pernikahan dengan ibu
tersebut, mempunyai kedudukan yang sama dalam hal pembagian harta warisan.
5. Bagian anak dari
pernikahan suami dengan ibu tersebut
Saudaraku,
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa semua anak
suami baik dari pernikahan sebelumnya maupun dari pernikahannya dengan ibu
tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam hal
pembagian harta warisan.
Dan karena suami mempunyai anak laki-laki,
maka anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah (anak
laki-laki bersatu dengan anak perempuan menghabiskan semua harta warisan yang
tersisa setelah dibagikan kepada para ash-haabul furudh).
Firman Allah Ta’ala
dalam Al Qur’an surat An Nisaa’ pada bagian tengah ayat 176:
... وَهُوَ يَرِثُهَا إِن
لَّمْ يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“… Dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak
mempunyai anak …”. (QS. An-Nisaa’. 176).
Dalam ayat di atas, Allah telah
memberikan seluruh warisan kepada saudara laki-laki ketika ia sendirian, dan
‘ashabah yang lain diqiyaskan kepadanya.
Saudaraku,
‘Ashabah ( اَلْعَصَبَةُ ) adalah bentuk jamak dari ‘aashib ( عَاصِبٌ ), mereka adalah keturunan laki-laki dari seseorang dan
kerabatnya dari jalur ayah.
‘Ashabah sendiri adalah
orang yang diberikan kepadanya sisa (tarikah) setelah para ash-haabul furudh
mengambil bagian-bagiannya. Apabila tidak tersisa sedikit-pun dari mereka, maka
mereka (‘ashabah) tidak mengambil bagian sedikit-pun kecuali jika yang mendapatkan
‘ashabah adalah anak laki-laki (ibn) karena sesungguhnya anak laki-laki tidak
terhalang dalam keadaan apapun. ‘Ashabah juga berarti orang-orang yang berhak
mendapatkan seluruh tarikah apabila tidak ada seorang-pun dari ash-haabul
furudh.
Sedangkan yang
dimaksud dengan ash-haabul furudh adalah ahli waris yang mendapat bagian yang
pasti dari harta warisan. Contohnya: ayah
dan ibu masing-masing mendapatkan 1/6 bagian dari total harta warisan jika yang meninggal mempunyai anak, isteri mendapatkan ¼ bagian dari total harta warisan jika suami yang wafat tidak mempunyai anak atau
mendapatkan 1/8 bagian dari total harta warisan
jika suami yang wafat mempunyai anak, suami
mendapatkan ½ bagian dari total harta warisan
jika isteri yang wafat tidak mempunyai anak atau mendapatkan ¼ bagian
dari total harta warisan jika isteri yang wafat
mempunyai anak, dst.
Saudaraku,
Karena pada kasus di atas sudah tidak ada
lagi ash-haabul furudh selain isterinya almarhum dan ibunya almarhum, maka dari
sisa harta warisan tersebut (yaitu setelah diambil bagian isteri almarhum serta
bagian ibu kandung almarhum), selanjutnya dibagi dengan perbandingan anak
lelaki : anak perempuan = 2 : 1.
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلَـــٰـدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنثَيَيْنِ ... ﴿١١﴾
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian
dua orang anak perempuan; ...”. (QS. An Nisaa’. 11).
6. Bagian saudara kandungnya
suami
Saudara
kandungnya almarhum mahjub*) (mahjub hirman) karena ada anak
laki-laki {saudara kandung almarhum terhalang
dengan maksud hak warisnya hilang sepenuhnya (mahjub hirman) karena
ada anak laki-laki}. Maksudnya satu orang wanita saudara
kandungnya almarhum tersebut tidak mendapatkan warisan sama sekali
karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kekerabatannya dengan almarhum, yaitu anak laki-laki almarhum.
يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَــــٰــلَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ
لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِن لَّمْ
يَكُن لَّهَا وَلَدٌ ... ﴿١٧٦﴾
“Mereka meminta fatwa kepadamu
(tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua
dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak ...”. (QS. An Nisaa’. 176).
Tafsir Jalalain (Jalaluddin As-Suyuthi, Jalaluddin
Muhammad Ibnu Ahmad Al-Mahalliy):
(Mereka meminta fatwa kepadamu) mengenai kalalah, yaitu
jika seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan bapak dan anak (Katakanlah,
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah; jika seseorang) umru-un
menjadi marfu' dengan fi'il yang menafsirkannya (celaka) maksudnya meninggal
dunia (dan dia tidak mempunyai anak) dan tidak pula bapak yakni yang dimaksud
dengan kalalah tadi (tetapi mempunyai seorang saudara perempuan) baik sekandung
maupun sebapak (maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta
yang ditinggalkannya, dan dia) maksudnya saudaranya yang laki-laki (mewarisi
saudaranya yang perempuan) pada seluruh harta peninggalannya (yakni jika ia
tidak mempunyai anak). Sekiranya ia mempunyai seorang
anak laki-laki, maka tidak satu pun diperolehnya, tetapi jika anaknya itu
perempuan, maka saudaranya itu masih memperoleh kelebihan dari bagian anaknya.
Dan
sekiranya saudara laki-laki atau saudara perempuan itu seibu, maka bagiannya
ialah seperenam sebagaimana telah diterangkan di awal surah. (QS. An Nisaa’. 176).
*) Orang yang
menghalangi disebut hajib,
dan orang yang terhalang disebut mahjub,
sedangkan
keadaan menghalangi disebut hijab. Hijab ada dua, yaitu hijab nuqsan dan hijab hirman.
1. Hijab
nuqsan, yaitu yang menghalangi yang berakibat mengurangi bagian ahli waris yang
mahjub. Contoh suami, seharusnya menerima bagian 1/2, karena ada
anak perempuan bagiannya terkurangi menjadi ¼.
2. Hijab hirman, yaitu menghalangi
secara total. Hak-hak waris si mahjub tertutup sama sekali dengan adanya ahli
waris yang menghijab. Misalnya saudara perempuan sekandung semula berhak
menerima bagian ½, tetapi karena bersama anak laki-laki, menjadi tertutup sama
sekali.
7. Kesimpulan.
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh suami (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), pembagiannya adalah sebagai
berikut:
√ Istri mendapat 1/8
dari total harta warisan karena suami mempunyai anak.
√ Ibunya suami mendapatkan 1/6 bagian dari
total harta warisan.
√ Anak yang dibawa ibu tersebut
dari pernikahan sebelumnya tidak mendapatkan jatah warisan karena memang tidak
berstatus sebagai ahli waris.
√ Saudara
kandungnya almarhum mahjub hirman (tidak mendapatkan warisan sama sekali).
√ Sisanya sebesar: 1 – (1/8
+ 1/6)
= 1 – (3/24 + 4/24)
= 1 – 7/24
= 17/24 bagian (atau 70,83% dari total harta warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak lelaki : anak perempuan = 2 : 1.
Dan karena suami mempunyai 2 anak kandung (1 anak laki-laki dari pernikahan
sebelumnya serta 1 anak wanita dari pernikahannya dengan ibu tersebut), maka masing-masing akan mendapatkan pembagian sebagai berikut:
√ Satu anak laki-laki mendapat bagian warisan sebesar 2/3 dari 70,83% = 47,22% dari total harta warisan.
√ Satu anak perempuan mendapat
bagian warisan sebesar 1/3 dari 70,83% = 23,61% dari harta warisan.
II. JIKA YANG WAFAT
ADALAH ISTERI
Saudaraku,
Karena isteri tidak bekerja, maka tidak ada tidak
terdapat harta gono-gini dan pada dasarnya semua yang dibeli
oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan
kepada istri maka menjadi milik istri. Meskipun
demikian jika kasus seperti ini diselesaikan di pengadilan, maka solusinya sama
seperti jika suami yang wafat (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Oleh
karena itu tetap berpegang pada ketentuan pembagian warisan dalam syariat Islam.
Dan karena tidak ada tidak terdapat harta gono-gini,
maka harta yang dimiliki oleh istri saja (tanpa ada sedikit-pun
kepemilikan suami pada harta itu) yang dapat dibagi
sebagai harta warisan/harta pusaka, seperti harta milik istri sebelum
menikah dengannya, atau mahar suami kepada istrinya, atau
harta yang dihibahkan orang lain khusus untuknya, serta harta yang diwariskan
kepada istri.
Sedangkan harta yang dimiliki
oleh suami saja tanpa ada sedikit-pun kepemilikan isteri pada harta itu, maka
harta yang seperti ini akan tetap menjadi hak suami saat isteri meninggal
(artinya tidak termasuk harta warisan sehingga para ahli waris lainnya sama
sekali tidak berhak atas harta jenis ini).
1. Bagian suami
Saudaraku,
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh isteri (yaitu harta yang secara mutlak milik isteri saat isteri masih
hidup sebagaimana penjelasan di atas), maka suami
mendapat 1/4 dari total harta warisan karena isteri mempunyai anak. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An-Nisaa’ pada bagian tengah
ayat 12 berikut ini:
... فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ
فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ
دَيْنٍ ... ﴿١٢﴾
“... Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat
yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya ...”. (QS.
An Nisaa’. 12).
2. Bagian dari anak
yang dibawa suami sebelum menikah dengan isteri yang wafat (isteri kedua)
Anak tiri (yaitu anak yang
didapatkan dari pernikahan terdahulu) sama sekali tidak mendapatkan jatah warisan karena anak tiri tidak berstatus sebagai ahli waris (anak tiri tidak disebutkan menjadi bagian dari ahli waris berdasarkan Al Qur’an
dan Hadits). Hal ini terjadi dikarenakan anak tiri tidak memiliki
hubungan atau sebab yang membuatnya dapat mewarisi harta orangtua tirinya.
3. Bagian dari anak
yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami kedua
Saudaraku,
Anak yang dibawa isteri sebelum menikah dengan suami kedua tersebut memang merupakan anak tiri bagi sang suami, namun merupakan anak kandung
dari isteri.
Dan karena yang meninggal adalah isteri,
maka anak tersebut mempunyai hak waris sebagaimana
anak kandung isteri yang lainnya dari pernikahannya dengan suami kedua.
Artinya, anak yang dibawa isteri dari pernikahan sebelumnya maupun anak dari
pernikahan dengan suami kedua, mempunyai kedudukan yang sama dalam hal
pembagian harta warisan.
4. Bagian anak dari
pernikahan isteri dengan suami kedua
Saudaraku,
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa semua
anaknya isteri baik dari pernikahan sebelumnya maupun dari pernikahannya dengan
suami kedua mempunyai kedudukan yang sama dalam hal
pembagian harta warisan.
Dan karena isteri mempunyai anak laki-laki,
maka anak laki-laki bersatu dengan anak perempuan menjadi ‘ashabah (anak
laki-laki bersatu dengan anak perempuan menghabiskan semua harta warisan yang
tersisa setelah dibagikan kepada para ash-haabul furudh).
5. Bagian saudara kandungnya
isteri
Saudaraku,
Saudara
kandungnya almarhumah mahjub*) (mahjub hirman) karena ada anak
laki-laki {saudara kandung almarhumah terhalang
dengan maksud hak warisnya hilang sepenuhnya (mahjub hirman) karena
ada anak laki-laki}. Maksudnya keempat saudara kandungnya
almarhumah tersebut semuanya tidak mendapatkan warisan sama sekali
karena ada ahli waris yang lebih dekat pertalian kekerabatannya dengan almarhumah, yaitu anak laki-laki almarhumah.
6. Kesimpulan.
Dari seluruh harta
warisan yang ditinggalkan oleh isteri (yaitu harta yang secara mutlak milik suami saat suami
masih hidup sebagaimana penjelasan di atas), pembagiannya adalah sebagai
berikut:
√ Suami
mendapat 1/4 dari total harta
warisan karena isteri mempunyai anak.
√ Anak yang dibawa suami dari
pernikahan sebelumnya tidak mendapatkan jatah warisan karena memang tidak
berstatus sebagai ahli waris.
√ Saudara
kandungnya almarhumah mahjub hirman (tidak mendapatkan warisan sama sekali).
√ Sisanya sebesar: 1 –1/4
= 3/4 bagian (atau 75% dari total harta
warisan) menjadi hak anak dengan perbandingan anak
lelaki : anak perempuan = 2 : 1. Dan karena isteri mempunyai 2 anak kandung (1
anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya serta 1 anak wanita dari
pernikahannya dengan suami kedua), maka masing-masing akan
mendapatkan pembagian sebagai berikut:
√ Satu anak laki-laki mendapat bagian warisan sebesar 2/3 dari 75% = 50% dari total harta warisan.
√ Satu anak perempuan mendapat
bagian warisan sebesar 1/3 dari 75% = 25% dari harta warisan.
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon maaf jika kurang
berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.
NB.
Bagaimanapun sampai saat ini
aku benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh
karena itu ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada 'alim/'ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal, semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan/jawaban
yang lebih memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para 'ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.
{Tulisan ke-2 dari 2
tulisan}