Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku…,
Secara naluriah, kebanyakan diantara kita, pasti ingin hidup senang dan berkecukupan dalam harta. Secara naluriah, kebanyakan diantara kita pasti sangat berharap akan dapat menjadi orang yang kaya. Karena orang yang kaya biasanya identik dengan orang yang dalam hidupnya diliputi oleh kebahagiaan, kesenangan, maupun kegembiraan karena dengan limpahan harta kekayaan yang dimilikinya, maka semua kebutuhan hidupnya/keinginannya dapat diraihnya dengan mudah. Sehingga tidak mengherankan jika kebanyakan diantara kita akan berusaha keras untuk menggapainya.
Namun, betulkah limpahan harta kekayaan yang telah diraih tersebut akan mampu menjamin seseorang untuk mandapatkan kebahagiaan, kesenangan, maupun kegembiraan yang hakiki (kebahagiaan, kesenangan, maupun kegembiraan yang sebenar-benarnya)? Jika memang demikian, mengapa masih bisa dijumpai orang-orang yang gelisah, ketakutan, kekhawatiran akan hari tuanya, frustasi/putus asa, bahkan mengakhiri hidup secara tragis (na’udzubillahi mindzalika!), dst. justru ditengah limpahan harta yang dimilikinya?
Saudaraku…,
Bagaimana mungkin seseorang dikatakan kaya (meski hidup ditengah limpahan harta) sedangkan pada saat yang sama, dia senantiasa kekurangan/membutuhkan harta yang teramat banyak? Sehingga (jika dia seorang pegawai/pejabat) uang negara/uang perusahaan-pun dia ambil secara tidak syah, karena gaji yang selama ini dia terima dirasa sangat kurang? Demikian juga (jika dia seorang pedagang) dia harus mengurangi timbangan karena keuntungan yang selama ini dia peroleh dirasa sangat kurang? Sehingga (jika dia seorang polisi) dia harus melakukan pungli (pungutan liar) karena pendapatan yang selama ini dia terima dirasa sangat kurang? Dst…, dst. Jika memang demikian, bukankah orang yang demikian itu pada hakekatnya adalah orang-orang yang miskin (meski secara kasat mata hidup ditengah limpahan harta)?
Saudaraku…,
Orang kaya yang sesungguhnya itu adalah orang yang dalam hidupnya sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Cukuplah Allah baginya, sehingga dia merasa tidak perlu dan tidak membutuhkan perbuatan meminta-minta atau mengemis kepada orang lain, apalagi sampai melakukan kecurangan, melakukan pungli, korupsi, dll., karena dia teramat yakin, bahwa Allah akan memberikan kepadanya sebahagian dari karunia-Nya dan demikian pula Rasul-Nya
.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah
SAW. bersabda:
لَيْسَ
الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ. (رواه
البخارى ومسلم)
“Bukanlah kekayaan itu karena
banyaknya harta, tetapi kekayaan adalah kaya hati.” (HR. al-Bukhari no. 6446
dan Muslim no. 2417)
Rasulullah SAW. juga
bersabda dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri r.a:
وَمَنْ
يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ. (رواه البخارى ومسلم)
“Siapa yang menampakkan kecukupan niscaya Allah akan
membuatnya kaya.” (HR. al-Bukhari no. 1469 dan Muslim no. 1745)
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah", (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka)”. (QS. At Taubah. 59).
Di samping itu, dia juga senantiasa menafkahkan harta kekayaannya pada jalan Allah sebagai perwujudan rasa syukurnya kepada-Nya. Karena dia tahu, bahwa jika dia bersyukur kepada Allah, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, sedangkan apabila dia tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Sebaliknya, jika dia kikir, maka sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan dialah yang membutuhkan-Nya. Dan dia juga bergembira dengan kurnia Allah serta rahmat-Nya, karena dia tahu bahwa kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang dia kumpulkan.
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman. 12).
”Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini)”. (QS. Muhammad. 38).
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS. Yunus. 58).
”Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al Hajj. 64). ”Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan yang di bumi. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Luqman. 26). Dan Musa berkata: "Jika kamu dan orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (ni`mat Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim. 8).