Seorang akhwat lainnya telah memberi komentar terhadap artikel tentang poligami I s/d III sebagai berikut:
Sangat menarik. Kang Imron yang baik, juga teman2 yang baik, dalam keterbatasan ilmu yang saya punyai mohon di ijinkan saya ikut sharing.
1. Sebagai seorang muslimah yang baik saya sangat menjunjung tinggi Firman Allah dalam Al Qur'an tanpa keraguan tanpa berbantahan.
2. Suami saya bilang dalam agama Islam diperbolehkan seorang suami menikah lagi tanpa terlebih dahulu mohon ijin pada istrinya (mohon koreksi dan mohon diberitahukan kepada saya ayatnya apabila ada yg berkenan) karena saya lupa.
3. Suami saya bilang juga, akan bersabar, dan akan mengedukasi saya sampai saya paham ayat-ayat Allah, sampai saya mengerti, sampai ilmu saya terang benderang tentang poligami agar jika seandainya suatu saat beliau ada niat ingin berpoligami, saya sudah mengerti, ilmu saya sudah cukup, lahir bathin saya sudah ikhlas, tanpa berbantahan dengan Al Qur'an. Walaupun beliau bilang seadil-adilnya beliau mungkin saja bisa jadi tidak adil untuk istrinya walau seujung rambut, dan beliau justru takut malah beliau yang nantinya akan bersifat zhalim dan aniaya kepada istrinya dan Allah tidak ridho, bukan takut terhadap amarah saya sebagai istrinya, dan beliau bilang sampai detik ini tidak ada niat untuk berpoligami, beliau hanya ingin mengedukasi saya menjadi istri yang baik saja agar kami bisa menyamakan pemahaman.
Subhannalloh Alhamdulillah AllahuAkbar semoga ENGKAU memuliakan suami hamba Yaa Rabb..
Namun suami saya bilang selama istrinya tidak ridho di-poligami, tidak akan sekali-kali beliau berpoligami, dan ini bukan berarti beliau tidak paham tentang ayat Al Qur'an, sekali lagi seluruh firman Allah dalam Al Qur'an bukan hanya surat An Nisaa ayat 3 adalah jalan hidup kami pedoman hidup bagi kami, barangkali aplikasinya yang terus-menerus kami sempurnakan, agar Allah Berkenan menghijrahkan kami ke dalam golongan orang-orang yang lebih berilmu karena dalam do’a-do’a saya saya-pun memohon kepada Allah SWT. agar Allah SWT. berkenan menjadikan saya istri yang shalehah, yang patuh kepada suami sebagai imam saya, bukan memaksa Allah agar berkenan menjadikan suami saya hanya bermonogami, saya hanya ingin Allah Ridho kepada saya. Itu saja.
4. Saya mohon maaf apabila pendapat saya ini bertentangan dengan Kang Imron atau teman-teman semua dalam hal ini saya tidak ingin mengomentari yang lain atau mengomentari diskusi di atas, namun saya hanya ingin sharing pengalaman pribadi saya dan suami saja,
5. Di dalam hubungan perkawinan dan rumah tangga kami, saya dan suami menganut azas saling menghormati satu sama lain walaupun beliau sebagai imam, namun beliau sangat open mind, dan tidak pernah sekalipun beliau berlaku superior sehingga membuat saya merasa inferior sama sekali tidak pernah, beliau sangat menghormati saya sebagai istrinya dan saya membalasnya dengan berlipat-lipat menghormati beliau.
6. Sebagai muslim yang baik saya amat paham tentang Qodo dan Qodar saya, apapun yang terjadi atas saya nantinya saya hanya akan berserah diri kepada Allah semata. Mohon maaf apabila tidak berkenan karena terbatasnya ilmu yang saya miliki. Karena yang baik dan benar hanya kepunyaan Allah semata, sedangkan yang salah dan tidak baik adalah berasal dari saya
-----
Saudaraku…,
Apa yang telah disampaikan mas Puguh Subiantoro dalam artikel sebelumnya (TENTANG POLIGAMI IV), telah banyak menjawab pertanyaan Saudaraku. Semoga kebaikan mas Puguh ini, dilihat oleh Allah SWT. sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah ketakwaan mas Puguh kepada-Nya. Amin...!!!
Tambahan dariku:
Berikut ini aku tambahkan tentang rukun nikah*).
Rukun nikah itu, ada empat:
1. Ijab kabul.
Ijab: yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon istri kepada calon suaminya, seperti kalimat: aku kawinkan anda dengan putriku Fulanah, atau kalimat: aku halalkan bagimu putriku yang bernama Anisa’ (bisa juga diucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa lainnya, tetapi harus mengerti artinya).
Kabul: yaitu ucapan penerimaan dari calon suami, seperti kalimat: aku terima mengawininya atau kalimat: aku rela mengawininya.
2. Adanya calon suami dan calon istri.
Calon istri syaratnya harus bebas dari ikatan nikah atau iddah (dan bukan mahram tentunya). Sedangkan calon suami syaratnya adalah harus mengetahui bahwa bakal istrinya itu halal baginya dan “jelas”. Yakni bila tidak jelas, maka tidak syah nikahnya, seperti: aku kawinkan anda pada salah satu putriku ini.
3. Wali dari pihak calon istri.
4. Dua orang saksi, keduanya laki-laki, merdeka, adil, melihat, dan mendengar keduanya serta mengerti bahasa yang digunakan dalam ijab kabul, dan bukan calon wali.
-----
Berbeda dengan pihak calon istri yang memerlukan adanya wali dan adanya penyerahan wali kepada calon suami / ucapan wali untuk menikahkan calon istri kepada calon suaminya (ijab), yang sekaligus hal ini juga menunjukkan adanya persetujuan dari wali calon istri (untuk menikahkannya dengan calon suami). Dari ke-4 rukun nikah tersebut, tidak satupun yang menyebutkan harus adanya ijin / persetujuan dari istri pertama (istri sebelumnya). Artinya selama ke-4 rukun nikah tersebut bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut syah, meskipun tidak mendapatkan ijin dari istri pertama (istri sebelumnya). Jadi pendapat suaminya saudaraku tersebut insya Allah benar.
Sedangkan apakah perkawinan yang demikian itu nantinya akan menyakiti istri pertama (istri sebelumnya) atau tidak, hal ini adalah kasus yang berbeda. Tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan itu. Wallahu a’lam.
Berikut ini aku sampaikan satu ilustrasi tentang pernikahan:
Ada sepasang remaja putra dan putri yang sama-sama masih bujang (belum pernah menikah), memutuskan untuk melangsungkan pernikahan untuk pertama kalinya.
Dari pernikahan tersebut, ternyata ke-4 rukun nikah di atas telah dipenuhi, maka pernikahan tersebut syah.
Setelah menikah, ternyata sang suami hanya memberi nafkah kepada istrinya selama 2 bulan saja. Selanjutnya sang suami tidak pernah memberi nafkah lahir batin kepada istrinya. Bahkan telah mentelantarkannya begitu saja dalam jangka waktu yang lama. Artinya sang suami telah berbuat aniaya kepada istrinya (sang suami telah teramat sangat menyakiti sang istri).
Maka dalam kasus seperti ini, bukan berarti pernikahan tersebut menjadi batal / tidak syah. Perbuatan aniaya yang telah dilakukan sang suami tersebut tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan itu. Karena ke-4 rukun nikah tersebut telah dipenuhi, maka pernikahan tersebut tetap syah.
Artinya, jika suatu saat sang suami insyaf dan sang istri ridho / memaafkan kesalahan sang suami, maka sang suami dapat langsung kembali kedalam pelukan sang istri, tanpa harus melalui proses pernikahan lagi (karena tetap masih dalam ikatan tali pernikahan yang syah).
Namun jika sang istri tidak terima dengan perlakuan sang suami, maka sang istri bisa mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. (Wallahu a’lam).
Dan tentunya hal yang sama juga berlaku untuk pernikahan yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Artinya selama ke-4 rukun nikah tersebut bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut syah, meskipun tidak mendapatkan ijin dari istri pertama (istri sebelumnya), yang kemungkinan akan menyebabkan istri pertama (istri sebelumnya) menjadi tersakiti oleh ulah sang suami. Karena hal ini memang tidak ada kaitannya dengan syah-tidaknya perkawinan tersebut. (Wallahu a’lam).
Apakah suami yang berbuat aniaya terhadap istrinya tersebut berdosa? Insya Allah semua sudah mengetahui jawabannya.
-----
Saudaraku…,
Terhadap apa yang telah disampaikan oleh saudaraku di atas, benar-benar telah menggambarkan betapa keikhlasan saudaraku dalam menerima semua hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, termasuk tentang masalah poligami ini. Mungkin tidak banyak saudara-saudara muslimah yang lain yang bisa dengan ikhlas menerima hukum Allah tentang poligami ini.
Aku berdo'a, semoga saudaraku diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga saudaraku dapat tetap istiqomah hingga akhir hayat nantinya. Amin...!!!
Semoga penjelasan berikut ini bisa membesarkan hati saudaraku (juga saudara-saudara muslimah yang lain, termasuk kita semuanya):
-----
**) Yang dimaksud dengan “istiqamah” adalah teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal saleh.
Saudaraku…,
Sesungguhnya Allah telah menjadikan kita berada di atas suatu syariat / peraturan dari urusan / agama yang lurus. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kita mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (QS. Al Jaatsiyah. 18).
Semoga bermanfaat!
NB.
*) Yang dimaksud dengan rukun adalah bagian dari sesuatu, sedang sesuatu itu tidak akan ada tanpanya. Dengan kata lain, rukun itu harus ada dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.
Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian dari amalan/tata cara shalat.
Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan / tata cara shalat.
Demikian perbedaan rukun dan syarat dalam suatu amalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar