Assalamu’alaikum
wr. wb.
Saudaraku…,
Ketika kita naik bus dan tanpa
kita sadari dompet kita yang berisikan uang beserta surat-surat penting (KTP,
SIM, dll) telah terjatuh, kemudian ada orang yang melihatnya, memungutnya dan
langsung mengembalikannya kepada kita, maka kita akan mengucapkan terima kasih
kepadanya dan setelah itu peristiwa tersebut berlalu begitu saja. Maklum pada
situasi seperti itu, kita belum sempat merasakan kehilangan dompet tersebut,
tiba-tiba kita telah mendapatkannya kembali.
Lain lagi ceritanya bila pada
saat kita naik bus kemudian tanpa kita sadari dompet kita telah terjatuh dan
kita baru menyadarinya setelah kita turun dari bus tersebut. Kemudian setelah
beberapa hari, tiba-tiba ada seseorang yang memberitahu kita bahwa dia telah
menemukan dompet tersebut beserta surat-surat penting di dalamnya. Dia
mengatakan, bahwa dia mengetahui alamat beserta identitas kita yang lainnya
setelah membaca alamat yang ada di KTP atau SIM yang ada dalam dompet tersebut.
Dalam situasi seperti ini,
kemungkinan besar kita tidak hanya mengucapkan terimakasih saja kepada yang
bersangkutan. Namun juga kita berikan reward kepadanya. Maklum pada situasi
seperti ini, kita benar-benar sempat merasakan kehilangan dompet tersebut dan
setelah beberapa hari tiba-tiba kita telah mendapatkannya kembali.
Saudaraku…,
Yang manakah yang lebih baik:
orang pertama yang melihatnya, memungutnya dan langsung mengembalikannya kepada
kita, ataukah orang kedua yang tidak segera
menyerahkan dompet tersebut kepada kita?
Tentunya
yang terbaik adalah orang pertama. Namun, justru orang kedua-lah yang
mendapatkan reward lebih besar. Begitulah,
realita yang sering kita hadapi selama kita hidup di dunia ini.
-----
Saudaraku…,
Dari contoh kasus tersebut,
kita dapat melihatnya dari beberapa sudut pandang:
1. Dari sudut pandang orang
yang kehilangan dompet.
Sebenarnya sangat wajar jika
kita memberikan reward lebih besar kepada orang kedua yang ”dirasakan” telah
memberikan jasa lebih besar, meskipun bisa jadi justru orang pertama-lah yang
lebih baik (orang yang menemukannya dan langsung memberikannya kepada kita).
Marilah kita renungkan
bersama uraian berikut ini:
Dalam
Al Qur’an surat An-Nisa` ayat 3, Allah SWT. telah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى
وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُواْ ﴿٣﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
(QS. An-Nisa`: 3)
Yang dimaksud dengan
adil di sini adalah dalam perkara lahiriah seperti adil dalam pemberian nafkah,
tempat tinggal, dan giliran. Adapun dalam perkara batin seperti rasa cinta dan
kecenderungan hati tidaklah dituntut untuk adil, karena hal ini di luar
kesanggupan seorang hamba. Dalam Al-Qur`anul Karim dinyatakan:
وَلَن تَسْتَطِيعُواْ أَن تَعْدِلُواْ بَيْنَ النِّسَاءِ
وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُواْ كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً
رَّحِيماً ﴿١٢٩﴾
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri- isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS. An-Nisaa`: 129)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan
ketika menafsirkan ayat di atas, “Maksudnya, kalian wahai manusia, tidak akan
mampu berlaku sama di antara istri-istri kalian dari segala sisi. Karena
walaupun bisa terjadi pembagian giliran malam per malam, namun mesti ada
perbedaan dalam hal cinta, syahwat, dan jima’. Sebagaimana hal ini dikatakan
oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ‘Abidah As-Salmani, Mujahid, Al-Hasan
Al-Bashri, dan Adh-Dhahhak bin Muzahim rahimahumullah.”
Setelah menyebutkan sejumlah kalimat, Ibnu Katsir
rahimahullah melanjutkan pada tafsir ayat tersebut, maksudnya apabila
kalian cenderung kepada salah seorang dari istri kalian, janganlah kalian
berlebih-lebihan dengan cenderung secara total padanya, sehingga kalian biarkan
yang lain telantar. ”Maksudnya
istri yang lain menjadi terkatung-katung. Kata Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin
Jubair, Al-Hasan, Adh Dhahhak, Ar-Rabi` bin Anas, As-Suddi, dan Muqatil bin
Hayyan, “Makna كَالْمُعَلَّقَةِ, seperti tidak punya
suami dan tidak pula ditalak.” (Tafsir Al-Qur`anil Azhim, 2/317)
-----
Uraian tersebut memang
menjelaskan seputar perlakuan adil dari seorang suami yang berpoligami terhadap
para istrinya.
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa memang berat berlaku adil terhadap dua, tiga atau empat istri
itu. Tetapi yang perlu diingat adalah, bahwa yang dimaksud dengan adil disini
tidaklah sama dengan keadilan sebagaimana adilnya Allah kepada seluruh
hamba-Nya.
Sebab jika ini yang
dimaksudkan, tentunya perintah pada QS. An Nisaa’ ayat 3 tersebut akan mubadzir
(sia-sia), karena tidak mungkin bisa dilaksanakan (maksudnya: buat apa membuat
peraturan jika tidak mungkin bisa dilaksanakan?). Padahal, tidak mungkin Allah
menciptakan apapun dengan sia-sia (termasuk ayat-ayat Al Qur'an).
Jika kita kaitkan kembali
dengan kasus di atas, maka sangat wajar ketika kita
”cenderung merasakan” adanya jasa yang lebih besar kepada orang kedua,
kemudian kita berikan reward yang lebih besar pula. Yang penting tidak sampai
berlebih-lebihan. Dan tentunya hal ini karena didasari oleh sikap husnudzon
(berbaik sangka) kita kepadanya. Artinya kita menduga/berprasangka bahwa orang
kedua memang tidak bisa segera mengembalikan dompet
tersebut karena memang baru menemukannya. (Wallahu ta’ala a’lam).
2. Dari sudut pandang orang
yang menemukan dompet.
Memang...,
dengan mengulur-ulur dalam menyerahkan dompet tersebut kepada pemiliknya, kita
bisa berharap akan mendapatkan reward lebih besar kepada pemilik dompet. Karena
dengan demikian, si pemilik dompet akan sangat merasakan kehilangan dompet-nya
sehingga tatkala kita mengembalikannya, maka yang bersangkutan akan merasakan
betapa ”jasa” kita sangat-lah besar dirasakannya.
Namun
ingatlah, bahwa sesungguhnya perbuatan ini telah merugikan orang lain.
Seharusnya, hanya kepada Allah saja-lah kita berharap. Seharusnya kita sandarkan
seluruh hidup kita hanya kepada-Nya saja. Karena Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Karena Dia adalah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.
اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾
“Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu.” (QS. 112. 2).
...
فَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ مَوْلاَكُمْ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ ﴿٤٠﴾
“..., maka ketahuilah bahwasanya Allah Pelindungmu. Dia
adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS. Al Anfaal. 40).
Menyadari hal itu, maka sudah
seharusnya jika kita senantiasa berupaya untuk selalu bertakwa kepada-Nya,
selalu berupaya untuk menjalankan semua perintah-Nya serta menjauhi semua
larangan-Nya. Juga senantiasa berdzikir / ingat kepada-Nya serta setiap saat
memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya serta senantiasa berbaik sangka kepada-Nya. Karena Dia adalah Pelindung
kita dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
...
وَاللهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ ﴿٢﴾
“... Dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (QS. At Tahriim. 2).
Terkait dengan kasus di atas, maka kita tidak perlu
berupaya melakukan kecurangan demi memenuhi ambisi kita untuk mendapatkan reward yang lebih besar kepada pemilik
dompet. Semuanya
kita serahkan kepada-Nya. Yang lebih penting bagi kita adalah segera
menyerahkannya dengan baik, lillahi ta’ala. Jika kemudian diberi reward, maka sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukurinya.
Dan jika ternyata tidak mendapatkan reward apapun (hanya ucapan terimakasih
dari pemilik dompet), maka kita harus tetap berprasangka baik kepada-Nya.
Mungkin saja hal ini karena Allah berkehendak untuk memberikan balasan yang
lebih baik di kemudian hari.
Dengan demikian, maka hal ini semua senantiasa akan
membuat hidup kita menjadi tenang. Tidak dipenuhi oleh ambisi yang membabi
buta...!!!
Ya… Tuhan kami,
Berilah kekuatan
kepada kami, sehingga kami benar-benar dapat ridha dengan apa yang
telah Engkau berikan kepada kami. Cukuplah Engkau bagi kami. Sesungguhnya kami hanya berharap kepada Engkau.
Semoga Engkau berikan karunia-Mu kepada kami. Amin, ya rabbal ‘alamin!
3. Dari contoh kasus tersebut,
juga menunjukkan bahwa sangat sulit bagi kita untuk mendapatkan keadilan mutlak
selama hidup di dunia ini (wallahu a'lam).
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Contoh kasus pada artikel
ini terinspirasi dari catatan Bpk. Ir. H. Syariffuddin Mahmudsyah, MSc. yang berjudul:
”Cerita Jum’at Malam: 4 Skenario Dikala HP Jatuh Di Kereta Api”.