Seorang akhwat telah bertanya: “Saya seorang yang masih sendiri. Kadang orang tua saya menyuruh saya buat menikah, tapi selama ini saya bertemu (dengan) orang-orang yang berkehidupan negatif dan jauh dari Allah, makanya saya sering menunda-nunda pernikahan dan masih mencari-cari. Apakah saya salah?”
-----
Saudaraku...,
Perhatikan hadits berikut ini: Ibn Umar r.a. berkata: Rasulullah bersabda: “Dunia ini semuanya sebagai hiburan, dan sebaik-baik hiburannya ialah wanita (istri) yang shalihah”. (H. R. Ahmad, Muslim).
Tentunya hadits tersebut juga berlaku untuk wanita / istri. Artinya, bagi seorang wanita / istri, maka sebaik-baik hiburan adalah laki-laki / suami yang sholeh
Saudaraku...,
Ketika sorang akhwat memutuskan untuk menikah, maka pada saat itu dia telah memutuskan untuk memilih seseorang yang akan dijadikan sebagai pemimpinnya, untuk memimpin + membimbingnya agar senantiasa berada dalam jalan-Nya yang lurus serta beroleh ridho-Nya. Karena (dalam lingkup keluarga), lelaki (suami) adalah pemimpin wanita (istri).
”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya*, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisaa’. 34).
*) Nusyuz (meninggalkan kewajiban bersuami isteri): merupakan kesombongan istri, seperti menolak suaminya dari jima’ atau menyentuh badannya atau menolak pindah bersama suaminya atau menutupi pintu terhadap suaminya yang mau masuk atau minta cerai atau keluar dari rumah tanpa ijin dari suaminya (tentunya semuanya itu jika tanpa disertai dengan alasan yang dibenarkan agama).
Nah...,
Jika yang ditemui adalah orang-orang yang jauh dari Allah, apakah saudaraku rela jika saudaraku nantinya justru "dibimbing" menuju murka-Nya?
Menurutku, lebih baik berhati-hati (tidak tergesa-gesa) daripada salah pilih. Sambil terus berusaha serta berdo'a / berharap kepada-Nya. Karena: “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS. 112. 2). Karena “Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (QS. Al Anfaal. 40).
Semoga Allah segera mempertemukan saudaraku dengan seorang laki-laki yang sholeh, yang dapat membimbing saudaraku agar senantiasa berada dalam jalan-Nya yang lurus serta beroleh ridho dari-Nya. Amin...!!!
Saudaraku...,
Artikel berikut ini sebenarnya tidak terlalu berhubungan dengan masalah yang sedang saudaraku hadapi. Namun aku berharap, semoga kita bisa mengambil hikmah darinya. Jika berkenan membacanya, silahkan klik di sini: http://imronkuswandi.blogspot.com/2010/04/berharaplah-hanya-kepada-allah-semata.html
Semoga bermanfaat.
ceritanya sangat berkebalikan dengan saya... saya sudah sangat ingin menggenapkan separuh dien. namun mungkin Allah lah yang tak menghendaki. hingga terakhir kali saya merasa sungguh kecewa karena target menikah saya tidak tercapai dan masih sendiri. hingga astaghfirullah.. timbul rasa dengki ketika melihat teman2 sebaya saya atau malah adik tingkat saya telah menikah terlebih dahulu. lalu saya harus bagaimana?
BalasHapusAssalamu’alaikum wr. wb.
BalasHapusSaudaraku yang dicintai Allah...,
Semoga tulisan yang berjudul "BERHARAPLAH HANYA KEPADA ALLAH SEMATA ATAU KAMU HARUS MENJADI ORANG YANG SANGAT KEJAM" pada tautan berikut ini bermanfaat.
http://imronkuswandi.blogspot.com/2010/04/berharaplah-hanya-kepada-allah-semata.html
NB.
Jika saudaraku membuka blog ini di komputer / laptop, daftar isi akan muncul di sebelah kiri agak ke atas. Pada bagian kiri-atas, juga sudah saya lengkapi dengan fasilitas "search" yang didukung oleh Google untuk mencari semua hal yang ada di blog ini, persis seperti yang ada di Google.
Sebuah renungan:
BalasHapusCINTA YANG MENGGELORA
Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat telah bertanya: “Mas Imron... Saya mohon pencerahan mas. Apa yang harus saya lakukan pada saat hati galau seperti ini. Sungguh tidak menyangka, ketika sudah menemukan calon yang saya rasa cocok diusia yang tidak muda ini, saya malah menjadi kacau. Pekerjaan terbengkalai, keimanan menurun karena terlalu cemburu dan terlalu mencintainya. Mohon saya diberi doa yang bisa mengembalikan saya seperti saya yang dulu. Mandiri, kuat ibadah dan cinta Allah. Saat ini saya ingin lari. Lari dari semua ini. Saya takut jatuh kedua kali dan saya takut disakiti lagi. Saya memang butuh suami, tapi saya lebih butuh imam dalam hidup saya sehingga membaikkan dunia akhirat saya.. Mohon bantuan mas. Mohon maaf kalau kurang berkenan. Wassalam.”
-----
Saudaraku yang dicintai Allah...,
Memang begitulah pada umumnya keadaan seseorang ketika sedang dilanda cinta. Tak peduli berapapun usianya. Ketika cinta sedang menggelora, rasanya setiap saat selalu ingat padanya. Perasaan senang, cemburu, cemas / takut kehilangan dia, dst. bercampur menjadi satu.
Jika keadaan seperti ini berlangsung sebentar saja, tentu wajar-wajar saja. Sebagaimana halnya ketika seseorang baru saja ditinggal pergi oleh orang-orang tercinta (ibunya/ayahnya baru saja wafat, dst) maka adalah wajar jika yang bersangkutan mengalami kesedihan yang mendalam. Namun jika yang bersangkutan terus larut dalam kesedihan tersebut dalam waktu yang lama, tentunya hal ini menjadi tidak baik.
Saudaraku...,
Silahkan bersuka cita, tetapi janganlah kita terlalu bersuka cita / terlalu bergembira dengan apa saja yang telah berhasil kita raih / telah berhasil kita miliki. Termasuk kepada sang calon suami (dan saya ikut berdo’a semoga bisa berakhir hingga ke pelaminan, amin). Cobalah untuk menata hati kembali agar perasaan cinta yang menggelora kepadanya tersebut jangan berlangsung terlalu lama. Silahkan mencintainya, tapi jangan terlalu mencintainya. Bersikaplah yang sewajarnya saja, karena semuanya itu (termasuk calon suami), pada hakekatnya hanyalah titipan Allah semata.
Sebaliknya: silahkan berduka cita, tetapi jangan terlalu berduka cita (apalagi sampai larut di dalamnya) terhadap segala sesuatu yang luput dari kita, apakah itu berupa kehilangan jabatan, pekerjaan, harta kekayaan, orang-orang yang kita cintai, dll., termasuk jika saudaraku harus mendapati kemungkinan terburuk / tidak jadi menikah dengannya (dan saya ikut berdo’a semoga hal ini tidak sampai terjadi, amin). Ingatlah, bahwa pada hakekatnya semuanya itu hanyalah titipan Allah semata. Karena sesungguhnya Allah-lah pemilik seluruh alam semesta beserta isinya, termasuk jiwa dan raga kita. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al Qur’an surat Al Hadiid ayat 23 berikut ini:
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira* terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (QS. Al Hadiid. 23). *) Yang dimaksud dengan terlalu gembira disini adalah gembira yang telah melampaui batas, yang menyebabkan kesombongan, ketakaburan, dan lupa kepada Allah.
(Lanjutan):
BalasHapusSaudaraku...,
Satu hal yang harus kita tanamkan dalam hati kita, bahwa sebagai seorang muslim / muslimah yang baik, maka seharusnya cinta kita 100% hanya untuk Allah semata.
Kalaupun kita harus mencintai istri (suami) kita, termasuk cinta kita kepada orang tua, anak, saudara, dll., maka semuanya itu hanyalah dalam rangka memenuhi perintah Allah semata (sebagai perwujudan cinta kita kepada-Nya). Dan jika suatu ketika Allah memerintahkan kita untuk menceraikan istri (suami) kita, maka (karena cinta kita kepada Allah) kita juga harus menceraikannya. Misal: ketika tiba-tiba sang istri (suami) murtad, maka terlebih dahulu kita harus berupaya semaksimal mungkin untuk mengajaknya kembali. Namun jika ternyata sang istri tetap tidak mau, maka kita harus tinggalkan dia. Sekalipun kecantikannya masih membuat kita terpesona, juga kelembutan sikapnya, dll. (Semoga hal ini tidak sampai terjadi pada istri/suami kita. Amin...!!!)
Saudaraku mengatakan: ”Saat ini saya ingin lari. Lari dari semua ini. Saya takut jatuh kedua kali dan saya takut disakiti lagi”.
Mengapa harus lari dari semua ini? Bukankah tidak ada satupun diantara kita yang mampu menghindar dari masalah selama kita masih menjalani kehidupan di dunia ini?
Sebaiknya hadapi saja, wahai saudaraku. Sambil terus berdo’a kepada-Nya agar diberikan jalan terbaik. Jika memang dia benar-benar calon suami yang baik yang mampu membimbing saudaraku dalam menggapai ridho-Nya, mohonlah kepada-Nya agar dimudahkan jalan hingga ke jenjang pernikahan. Sedangkan jika ternyata dia bukanlah calon suami yang baik, mohonlah kepada-Nya agar segera ditunjukkan tanda-tandanya sebelum akad nikah dilaksanakan.
Saudaraku…,
Setelah kita berupaya secara maksimal, maka apapun yang akan terjadi, terimalah dengan hati yang lapang. Kembalikan semua urusan ini hanya kepada-Nya, supaya jiwa kita menjadi tenang. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS. Al Fajr. 27-28).
Demikian yang bisa kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kekurangan / kesalahan.
Semoga bermanfaat.
NB.
Artikel terkait, silahkan klik di sini: http://imronkuswandi.blogspot.com/2008/04/nikah.html. Semoga bermanfaat.