Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang akhwat telah bertanya:
“Pak Imron, mohon nasehatnya. Saya seorang istri (yang) mempunyai 5 orang anak. Apa yang
lebih baik saya lakukan apabila suami saya selalu berkali-kali bermain wanita
lain? Dan
dia sudah mengatakan bahwa mencari nafkah dipindahkan menjadi tanggungjawab saya.
Saya menyadari kalau saya juga belum sempurna menjadi istri yang baik. Masih banyak
kekurangan. Tetapi karena saya selalu memaafkan kelakuan suami saya, akhirnya membuat
dia ‘tuman’ melakukan perbuatan maksiat dia. Saya selalu mendo’akan suami saya
hingga detik ini agar menyadari segala perbuatannya. Apa yang harus saya
lakukan, apa saya harus terus bersabar menghadapi perbuatannya? Terus memaafkannya,
terus berdo’a untuk kebaikan dia? Atau lebih baik saya tinggalkan suami saya? Apa
hukumnya utk suami dan saya sebagai istri? Terimakasih Pak Imron. Mudah-mudahan
masukan dari Bapak bisa membantu. Selain saya juga selalu berikhtiar kepada
Allah SWT”.
-----
Saudaraku yang dicintai Allah…,
Membaca pesan yang saudaraku
sampaikan, seolah tak percaya akan kesabaran dan ketabahan saudaraku dalam
menghadapi cobaan yang teramat berat ini. Semoga kesabaran dan ketabahan saudaraku
tersebut, dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga dapat menambah
ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin, ya rabbal ‘alamin!
Saudaraku menanyakan: “Apa yang
lebih baik saya lakukan apabila suami saya selalu berkali-kali bermain wanita
lain?”.
Saudaraku...,
Sebagai istri yang
baik, tentunya akan lebih baik jika saudaraku berupaya terlebih dahulu (berusaha
semaksimal mungkin) untuk mengajaknya kembali ke jalan yang benar. Karena Allah
telah berfirman dalam Al Qur’an surat At Tahriim ayat 6, yang artinya adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
(QS. At Tahriim. 6).
Meskipun demikian, dalam berdakwah saudaraku tidak harus
mentargetkan sedemikian rupa sehingga saudaraku sukses membawanya untuk
tertarik / kembali ke dalam jalan-Nya yang lurus. Karena kewajiban kita hanyalah
menyampaikan ayat-ayat-Nya. Demikian penjelasan Al Qur’an dalam surat Ali
‘Imran ayat 20, yang artinya adalah sebagai berikut:
فَإنْ حَآجُّوكَ فَقُلْ أَسْلَمْتُ وَجْهِيَ لِلَّهِ وَمَنِ
اتَّبَعَنِ وَقُل لِّلَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ وَالأُمِّيِّينَ
أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُواْ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا
عَلَيْكَ الْبَلاَغُ وَاللهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ ﴿٢٠﴾
“Kemudian jika mereka mendebat
kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku
kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang
yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya”. (QS. Ali ‘Imran: 20).
Apalagi jika hal ini kita
kaitkan dengan penjelasan Allah dalam surat Al An’aam ayat 162, yang artinya
adalah:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿١٦٢﴾
“Katakanlah: "Sesungguhnya
shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam”, (QS. Al An’aam. 162).
Jadi, sebaiknya apapun yang saudaraku
lakukan, termasuk dalam berdakwah, harus diniatkan hanya karena Allah semata, bukan
karena yang lain. Jika saudaraku sudah berusaha secara maksimal, maka apapun
hasilnya, semuanya itu sudah menjadi urusan Allah. Karena hak Allah-lah untuk
memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jika seseorang diberi
petunjuk oleh-Nya, niscaya dia akan memilih jalan yang lurus. Demikianlah
penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 142:
...
قُل لِّلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ
مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
“... Katakanlah: "Kepunyaan
Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”. (Wallahu
ta'ala a'lam). (QS. Al
Baqarah.
142).
-
Saudaraku mengatakan: “Dan dia
sudah mengatakan bahwa mencari nafkah dipindahkan menjadi tanggungjawab saya”.
Saudaraku...,
Pernyataan suami tersebut
sama sekali tidak dikenal dalam Agama Islam. Mencari nafkah itu adalah
kewajiban mutlak bagi seorang suami dan tidak bisa dialihkan kepada yang lain
selama suami masih mampu mencari nafkah. Demikian penjelasan Al Qur’an dalam
surat An Nisaa’ ayat 34, yang artinya adalah sebagai berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ
اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...”.
(QS. An Nisaa’. 34).
Sekali lagi, bahwa mencari
nafkah itu adalah kewajiban mutlak bagi seorang suami dan tidak bisa dialihkan
kepada pihak lain selama suami masih mampu mencari nafkah. Terkecuali jika
suami sudah tidak mampu lagi untuk mencari nafkah, seperti ketika suami terkena
stroke sehingga dia hanya bisa berbaring di tempat tidur saja.
لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلَّا مَا
آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا ﴿٧﴾
”Hendaklah orang yang mampu
memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (QS. Ath
Thalaaq. 7).
Saudaraku...,
Kita tidak boleh membantah
ketetapan Allah tersebut. Kita tidak boleh
mengambil sebagian saja hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu
hukum-hukum yang kita senangi saja, sementara hukum-hukum yang lain yang tidak
kita senangi kita buang begitu saja. Karena Allah telah berfirman dalam Al
Qur'an surat Al Baqarah ayat 208, yang artinya adalah sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ
كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ
مُّبِينٌ ﴿٢٠٨﴾
“Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
(QS. Al Baqarah. 208).
Jika
hal ini yang kita lakukan (yaitu mengambil sebagian hukum-hukum Allah dan
membuang sebagian yang lainnya), maka tanpa kita sadari kita telah
memperturutkan langkah-langkah syaitan. Padahal, sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi kita. Na’udzubillahi mindzalika!
-
Saudaraku
mengatakan: “Saya menyadari kalau saya juga belum sempurna menjadi istri yang
baik. Masih banyak kekurangan”.
Santai saja, wahai saudaraku.
Kewajiban kita hanyalah berupaya semaksimal mungkin untuk menjalankan semua
perintah-Nya, semampu yang kita bisa. Karena Allah tidak akan membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Demikian penjelasan Al Qur’an
dalam surat Al Baqarah ayat 286 berikut ini:
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ...
“Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya ...”.
(QS. Al Baqarah ayat 286).
Jika
saudaraku sudah berupaya semaksimal mungkin dalam menjalankan peran saudaraku sebagai
seorang istri, maka cukuplah hal itu. Setelah saudaraku berupaya sebaik mungkin
dalam menjalankan peran sebagai seorang istri, selanjutnya bacalah istighfar
kepada-Nya. Mohonlah ampun kepada-Nya, barangkali masih ada kekurangan /
kekhilafan / sesuatu yang luput dalam menjalankan kewajiban saudaraku sebagai
seorang istri. Semoga Allah meridhoi niatan baik saudaraku.
-
Saudaraku
mengatakan: ”Tetapi karena saya selalu memaafkan kelakuan suami saya, akhirnya
membuat dia ‘tuman’ melakukan perbuatan maksiat dia. Saya selalu mendo’akan
suami saya hingga detik ini agar menyadari segala perbuatannya. Apa yang harus
saya lakukan, apa saya harus terus bersabar menghadapi perbuatannya? Terus
memaafkannya, terus berdo’a untuk kebaikan dia? Atau lebih baik saya tinggalkan
suami saya? Apa hukumnya utk suami dan saya sebagai istri?”.
Saudaraku yang dicintai
Allah…,
Adalah hak
saudaraku sebagai seorang istri untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari
suami, mendapatkan nafkah baik lahir maupun batin dari suami serta mendapatkan
bimbingan dari suami dalam menggapai ridho-Nya / agar selamat dari siksa api
neraka. Sebaliknya, adalah kewajiban suami untuk memberikan perlakuan yang baik
kepada saudaraku sebagai istrinya, memberikan nafkah baik lahir maupun batin
serta memberikan bimbingan kepada saudaraku sebagai istrinya dalam menggapai
ridho-Nya / agar selamat dari siksa api neraka.
Jika
melihat kembali pada apa yang telah saudaraku sampaikan, nampaknya suami dapat
dikatakan tidak memenuhi segala hak saudaraku sebagai seorang istri. Dalam hal
ini, keputusan sepenuhnya ada pada pihak saudaraku. Karena penggunaan hak itu
diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang mempunyai hak. Seseorang yang mempunyai
hak atas sesuatu, maka dia boleh mengambil haknya tersebut, boleh juga tidak.
Jika
saudaraku ridho dengan perlakuan suami yang tidak memenuhi hak-hak saudaraku
sebagai seorang istri, sementara saudaraku juga sudah berupaya untuk tetap
sabar dan juga sudah berupaya untuk mengingatkan sang suami agar segera kembali
ke dalam jalan-Nya yang lurus, maka sebagai saudara seiman seagama, aku hanya
bisa mendo’akan semoga kelapangan dada saudaraku dalam menghadapi keadaan yang
demikian sulit ini, dapat dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan sehingga
dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya.
Namun jika
ternyata sang suami tetap seperti sekarang (bahkan kondisinya semakin memburuk)
sehingga saudaraku sudah tidak mampu lagi untuk memaafkan kesalahannya, maka
sudah saatnya bagi saudaraku untuk memikirkan kembali akan keberlangsungan
pernikahan ini.
Saudaraku yang dicintai
Allah…,
Perhatikanlah
kisah perjalanan dakwah Rasulullah. Disaat-saat awal kenabiannya, Rasulullah
melaksanakan dakwahnya dengan sembunyi-sembunyi (secara rahasia) karena saat
itu jumlah umat Islam masih sedikit. Hingga ketika jumlah umat Islam semakin
bertambah banyak, Rasulullah melaksanakan dakwahnya secara terang-terangan.
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ
وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ ﴿٩٤﴾
”Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS. Al Hijr. 94).
Selanjutnya
dalam perkembangan dakwahnya, ternyata Rasulullah SAW. beserta kaum muslimin
menemui banyak rintangan. Pada awalnya, mereka berusaha menghentikan dakwah
Rasulullah dengan cara ”halus”. Mereka mencoba menawarkan tiga hal (harta, tahta dan
wanita) kepada Rasulullah agar berhenti mendakwahkan Islam.
Setelah
cara “halus” tak berhasil, mereka mulai menebar teror dengan siksaan terhadap
Rasulullah dan kaum muslimin. Dan ketika siksaan dari kaum Quraisy telah sampai
pada titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya
Rasulullah (beserta kaum muslimin) hijrah ke Madinah.
Saudaraku yang dicintai
Allah…,
Kita bisa
mengambil pelajaran dari kisah perjalanan dakwah Rasulullah tersebut. Ketika
rintangan yang dihadapi masih dalam batas-batas tertentu, Rasulullah tetap
berupaya semaksimal mungkin untuk menyampaikan dakwahnya di kalangan penduduk
Makkah. Namun ketika rintangan / siksaan dari kaum Quraisy telah sampai pada
titik puncak yang tak bisa ditanggung lagi oleh kaum muslimin, akhirnya
Rasulullah (beserta kaum muslimin) hijrah ke Madinah.
Demikian
pula dengan apa yang saudaraku alami. Ketika rintangan yang saudaraku hadapi
masih dalam batas-batas tertentu, maka tetaplah berupaya semaksimal mungkin
untuk mengingatkan sang suami agar segera kembali ke dalam jalan-Nya yang
lurus. Namun ketika rintangan yang saudaraku hadapi telah sampai pada titik
puncak yang tak bisa ditanggung lagi, mungkin sudah saatnya bagi saudaraku
untuk berhijrah / untuk memikirkan kembali akan keberlangsungan pernikahan ini.
Jika
langkah terakhir yang saudaraku pertimbangkan, maka selama saudaraku tetap
bertaqwa kepada-Nya, maka saudaraku tidak perlu merasa bimbang akan kelanjutan
masa-masa setelahnya / setelah saudaraku meninggalkannya. Apalagi pada saat
inipun, saudaraku telah terbiasa hidup mandiri, mencari nafkah sendiri,
membimbing anak-anak sendiri tanpa bantuan sang suami. Karena sesungguhnya Allah
akan memberi jalan keluar bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dari arah yang
tiada disangka-sangkanya. (Do'aku menyertai perjuanganmu, wahai saudaraku!).
... وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً ﴿٢﴾
”...
Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan ke luar”. (QS. Ath Thalaaq. 2).
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ
لَا يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ
أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً ﴿٣﴾
”Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (QS. Ath Thalaaq. 3).
Saudaraku...,
Satu hal
yang harus kita tanamkan dalam hati kita, bahwa sebagai seorang muslim /
muslimah yang baik, maka seharusnya cinta kita 100% hanya untuk Allah semata.
Kalaupun
kita harus mencintai istri (suami) kita, termasuk cinta kita kepada orang tua,
anak, saudara, dll., maka semuanya itu hanyalah dalam rangka memenuhi perintah
Allah semata (sebagai perwujudan cinta kita kepada-Nya). Dan jika suatu ketika
Allah memerintahkan kita untuk menceraikan istri (suami) kita, maka (karena
cinta kita kepada Allah) kita juga harus menceraikannya. Misal: ketika
tiba-tiba sang istri (suami) murtad, maka terlebih dahulu kita harus berupaya
semaksimal mungkin untuk mengajaknya kembali. Namun jika ternyata sang istri (suami)
tetap tidak mau, maka kita harus tinggalkan dia. Sekalipun kecantikannya masih
membuat kita terpesona, juga kelembutan sikapnya, dll.
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena
keterbatasan ilmuku.
Semoga bermanfaat.