Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku...,
Seorang akhwat telah bertanya
sebagai berikut:
Saya mau tanya pendapat Bapak.
Dulu sebelum arwah suami meningal, dia ada berpesan supaya menjaga amaknya. Berdosakah
saya bila saya keluar dari rumah ini, karna tekannan jiwa saya, saya rasakan
rosak..
Saya ingin bekerja, tapi mak
mertua tak bagi. Saya nekat bekerja, mak mertuaku bagi 2 pilihan. Kalau aku
bekerja, keluar dari rumah. Ya apa lagi, aku sahut cabarannya. Setelah 3 hari dua
malam aku keluar, hati rasa tak sedap bila teringat kan pesan arwah suami ku untuk
menjaganya. Aku pulang kerumah, namun di hati ini masih menganjan perkatannya masih
teringat selalu. Pertanyaanku, berdosakah aku berbuat demikian, sedangkan
anaknya yang lain ada? Pertanyaan ke 2: apakah pesan yang arwah tinggalkan itu harus
aku jalani sampai emaknya meninggal? Dan pertanyaan yang 3: salahkah aku
mencari uang untuk menyara diriku sendiri, walaupun aku tau, mak mertuaku mampu
membagiku uang saku, namun kurasakan tidak cukup? Tolong di beri penjelasannya,
Pak.
-----
Dari pertanyaan yang
saudaraku sampaikan tersebut, dapat aku simpulkan bahwa saudaraku telah
menanyakan tiga hal, yaitu:
1. Berdosakah aku berbuat
demikian, sedangkan anaknya yang lain ada?
2. Apakah pesan yang
arwah tinggalkan itu harus aku jalani sampai emak nya meninggal?
3. Salahkah aku
mencari uang untuk menyara diriku sendiri, walaupun aku tau mak mertuaku mampu
membagiku uang saku namun kurasakan tidak cukup?
Saudaraku…,
Pada kesempatan ini aku ingin memberi komentar tentang beberapa pernyataan
saudaraku tersebut. Namun saudaraku tidak harus
setuju dengan pendapatku ini. Karena hal ini sifatnya hanyalah saling tukar
pendapat saja. Disamping itu, aku juga menyadari bahwa sesungguhnya ilmuku
sangatlah terbatas. Dalam hal
ini, posisi kita adalah sama-sama belajar.
Pertanyaan 1: Berdosakah aku
berbuat demikian, sedangkan anaknya yang lain ada?
Saudaraku…,
Mendengar cerita dari saudaraku tersebut, aku benar-benar terharu dengan
kesetiaan dan kecintaan saudaraku kepada suami tercinta. Semoga hal ini dapat dilihat oleh Allah sebagai amal kebajikan
sehingga dapat menambah ketakwaan saudaraku kepada-Nya. Amin!
Saudaraku…,
Tidak semua hal yang menjadi kewajiban kita itu, harus kita sendiri yang
melaksanakannya. Karena sebagian diantaranya bisa diwakilkan / bisa diwakili
oleh orang lain (bisa dikerjakan oleh orang lain). Yang dimaksud di sini
adalah: jika sesuatu yang menjadi kewajiban kita itu telah diwakilkan / telah
diwakili / telah dikerjakan / telah dilaksanakan oleh orang lain, maka gugurlah
kewajiban kita atasnya.
Sesuatu yang menjadi
kewajiban kita dan harus kita sendiri yang melaksanakannya, salah satu contohnya
adalah sholat wajib lima waktu.
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ
الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ
اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ ﴿٤٥﴾
”Bacalah apa yang telah
diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur'an) dan dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al
’Ankabuut. 45)
Saudaraku…,
Sholat wajib lima waktu adalah salah satu kewajiban yang mutlak harus
dilaksanakan oleh seorang muslim dan tidak boleh diwakilkan kepada siapapun.
Dan dalam pelaksanaannya, kita diperintahkan yang maksimal dahulu. Baru jika
tidak mampu, kita diperbolehkan mengambil di bawahnya. Maksudnya: dalam
melaksanakan sholat 5 waktu, kita diperintahkan untuk melaksanakannya dengan
berdiri. Namun bagi yang tidak mampu, boleh
melaksanakannya dengan duduk. Dan jika dengan dudukpun tetap tidak mampu, maka
boleh dengan berbaring. Dan jika dengan berbaringpun tetap tidak mampu, maka
boleh melaksanakannya dengan isyarat.
Sedangkan sesuatu yang
menjadi kewajiban kita, namun dalam pelaksanaannya bisa diwakilkan / bisa
diwakili oleh orang lain (bisa dikerjakan oleh orang lain), salah satu
contohnya adalah hutang.
Saudaraku…,
Ketika kita mempunyai hutang
kepada seseorang, maka kita wajib untuk mengembalikannya. Namun, jika ada
saudara kita yang lain yang bersedia / telah mengembalikan hutang kita tersebut
(baik sepengetahuan kita maupun tanpa sepengetahuan kita), maka gugurlah kewajiban
kita untuk mengembalikan hutang tersebut. Artinya kita sudah tidak mempunyai
kewajiban untuk mengembalikan hutang tersebut, karena sudah dikembalikan / sudah
dibayar oleh orang lain (baik sepengetahuan kita maupun tanpa sepengetahuan
kita).
Contoh yang lainnya adalah
kewajiban kita untuk membimbing anak-anak kita. Jika kita tidak mampu untuk
melaksanakannya sendiri, maka hal ini bisa diwakilkan kepada orang lain.
Misalnya: kita serahkan kepada pondok pesantren untuk dibina oleh para ulama’
di sana dengan harapan bisa tumbuh menjadi anak yang sholeh / sholihah.
Saudaraku…,
Terkait dengan masalah yang
sedang saudaraku hadapi, maka jika memang ada anaknya yang lain, sesungguhnya
anak kandungnya-lah yang lebih berhak untuk menjaga beliau. Oleh karena itu,
cobalah hal ini disampaikan kepada anaknya yang lain. Cobalah saudaraku
sampaikan, bahwa sesungguhnya anak kandungnya-lah yang lebih berhak untuk
menjaga beliau.
Jika anaknya sudah bisa
memahaminya, maka insya Allah kewajiban saudaraku untuk melaksanakan pesan
suami tersebut sudah gugur, karena sudah diwakili / sudah dilaksanakan oleh
anaknya yang lain. (Wallahu ta'ala a'lam).
Pertanyaan 2: Apakah pesan
yang arwah tinggalkan itu harus aku jalani sampai emaknya meninggal?
Insya Allah sudah terjawab
(lihat kembali penjelasan dari pertanyaan nomer 1 di atas).
Pertanyaan 3: Salahkah aku
mencari uang untuk menyara diriku sendiri, walaupun aku tau mak mertuaku mampu
membagiku uang saku namun kurasakan tidak cukup?
Saudaraku...,
Ketika suami tercinta telah
wafat, apalagi sudah ada yang menjaga ibu mertua (anak kandungnya yang lain
telah menjaga beliau), maka saudaraku boleh mencari uang untuk keperluan
saudaraku sendiri. Bahkan saudaraku boleh menikah lagi tanpa harus mendapatkan
persetujuan dari ibu mertua. Karena hal ini tidak termasuk salah satu rukun
nikah.
Saudaraku...,
Berikut ini aku tambahkan
tentang rukun nikah*). Rukun nikah itu, ada empat:
1.
Ijab kabul.
Ijab:
yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon istri kepada calon suaminya, seperti
kalimat: aku kawinkan anda dengan putriku Fulanah, atau kalimat: aku halalkan
bagimu putriku yang bernama Anisa’ (bisa juga diucapkan dalam bahasa Arab atau
bahasa lainnya, tetapi harus mengerti artinya).
Kabul:
yaitu ucapan penerimaan dari calon suami, seperti kalimat: aku terima
mengawininya atau kalimat: aku rela mengawininya.
2. Adanya calon suami dan calon istri.
Calon
istri syaratnya harus bebas dari ikatan nikah atau iddah (dan bukan mahram
tentunya). Sedangkan calon suami syaratnya adalah harus mengetahui bahwa bakal
istrinya itu halal baginya dan “jelas”. Yakni bila tidak jelas, maka tidak syah
nikahnya, seperti: aku kawinkan anda pada salah satu putriku ini.
3. Wali dari pihak calon istri.
4. Dua orang saksi, keduanya laki-laki, merdeka,
adil, melihat, dan mendengar keduanya serta mengerti bahasa yang digunakan
dalam ijab kabul, dan bukan calon wali.
Itulah ke-4 rukun nikah dalam agama Islam. Jika
satu saja dari ke-4 rukun nikah itu tidak bisa dipenuhi, maka perkawinan
tersebut tidak syah alias batal. Sebaliknya, jika ke-4 rukun nikah tersebut
bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut syah.
Dari
ke-4 rukun nikah tersebut, nampaklah bahwa pihak
calon istri memerlukan adanya wali dan adanya penyerahan wali kepada calon
suami / ucapan wali untuk menikahkan calon istri kepada calon suaminya (ijab),
yang sekaligus hal ini juga menunjukkan adanya persetujuan dari wali calon
istri (untuk menikahkannya dengan calon suami).
Dari
ke-4 rukun nikah tersebut, tidak satupun yang menyebutkan harus adanya ijin /
persetujuan dari ibu mertua (ibu dari suami yang telah wafat). Artinya selama
ke-4 rukun nikah tersebut bisa dipenuhi, maka perkawinan tersebut syah,
meskipun tidak mendapatkan ijin dari ibu mertua (ibu dari suami yang telah
wafat). Wallahu ta'ala a'lam.
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon koreksinya jika ada kekurangan / kesalahan. Mohon
maaf jika kurang berkenan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. Oleh
karena itu, ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada alim ulama’ di
sekitar saudaraku tinggal. Semoga bisa mendapatkan penjelasan / jawaban yang lebih
memuaskan. Karena bagaimanapun juga, mereka (para ulama') lebih banyak memiliki
ilmu dan keutamaan daripada aku. (Imron Kuswandi M.)
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Yang dimaksud dengan rukun
adalah bagian dari sesuatu (amalan), sedang
sesuatu itu tidak akan ada tanpanya. Dengan kata lain, rukun itu harus ada
dalam satu amalan dan ia merupakan bagian yang hakiki dari amalan tersebut.
Sementara syarat adalah sesuatu yang harus ada
dalam satu amalan namun ia bukan bagian dari amalan tersebut.
Sebagai misal adalah ruku’ termasuk rukun shalat. Ia harus ada dalam ibadah shalat dan merupakan bagian
dari amalan/tata cara shalat.
Adapun wudhu merupakan syarat shalat, ia harus
dilakukan bila seseorang hendak shalat namun ia bukan bagian dari amalan / tata
cara shalat.
Demikian perbedaan rukun dan syarat dalam suatu
amalan. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar