Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku…,
Seorang teman yang telah belajar agama berdasarkan persepsinya sendiri*, dengan santainya telah
menyampaikan tulisan dalam salah satu statusnya di facebook sebagai berikut:
MENYEMBAH vs TUNDUK PATUH (MENGABDI)
Di dalam Al-Quran terjemahan Depag banyak ditulis
"sembahlah Allah" atau "menyembah Allah".
Kata "menyembah" itu pasti ada subyek dan ada
obyeknya. Subyeknya ialah diri si penyembah dan obyeknya ialah benda yang
disembah. Tidak mungkin menyembah tanpa obyek benda, karena pengertian kata
menyembah itu dilakukan dengan gerakan tertentu dari badan si penyembah dan
karena itu badan si penyembah tentu menghadap ke suatu arah benda tertentu
(secara phisik). Itu pasti, kalau tidak maka badan itu mau menghadap ke
mana??????
Allah yang tidak bisa kita lihat dengan mata-kepala, Yang
Maha Besar, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Suci, .... bagaimana menyembah-Nya?????????
.......... Mau dihadapkan ke mana badan ini ??????????
Oleh karena tidak tahu harus menghadap kemana, maka
"dibuatlah" bendanya. Maka jadilah itu "Ka'bah". Benda
sesembahan itu diada-adakan sendiri ....
[16:86-87] Dan apabila orang-orang yang MEMPERSEKUTUKAN
melihat sekutu-sekutu mereka, mereka berkata: "Ya Tuhan kami mereka inilah
sekutu-sekutu kami yang dahulu kami sembah selain dari Engkau." Lalu
sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya kamu
benar-benar orang-orang yang dusta." Dan mereka menyatakan ketundukannya
kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka
ADA-ADAKAN.
Inilah kesalahan fatal takwil dari ayat-ayat Allah berkenaan
dengan "aqimus-sholata". Perkataan aqimus sholata yang artinya
"dirikanlah" sholat dimaknai dengan "menyembah Allah"
("kerjakanlah" sholat). Pemaknaan ini tidak terlepas dari apa yang
sudah biasa mereka 'kerjakan' sebelumnya (menyembah berhala), istilah
"menyembah" (dengan gerakan badan) itu mereka pakai. Jadilah kata
"aqimus sholata" mereka maknai dengan "menyembah" Allah.
Padahal banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan apa itu
Aqimus Sholata.
Di beberapa ayat Allah katakan bahwa manusia diminta
"tunduk-patuh" kepada-Nya [2:128,131,133,136; 22:34; 40:66] atau
mengabdi kepada-Nya [51:56].
Tunduk-Patuh (mengabdi) kepada Allah ..... kepada apa-Nya???
(padahal Dia tidak bisa dilihat dengan mata-kepala, tidak bisa didengar dengan
telinga). ..... ya kepada apa-Nya lagi kalau bukan kepada Perkataan-Nya (Hikmah-hikmah
Al-Quran) yang bisa dipahami dengan hati ?!!!
Maka, dirikanlah sholat itu bukanlah dengan
"mengerjakan ritual menyembah Allah dengan melakukan gerakan-gerakan badan
tertentu sambil menghadap Batu Ka'bah", bukan Itu!!! .... Itu adalah
bentuk pengulangan "kemusyrikan" yang dilakukan umat-umat terdahulu.
Dirikanlah sholat itu dirikanlah Perkataan Allah, maka
mendirikan sholat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali dengan
"tunduk-patuh" kepada Perkataan Allah (Hikmah-hikmah Al-Quran).
Tunduk-patuh tidak bisa dilakukan dengan menyembah obyek phisik benda tertentu
(itu justru 'menyekutukan-Nya'), Tunduk-patuh hanya bisa dilakukan dengan
membaca, memahami dan mengamalkan Petunjuk/Perkataan-Nya di dalam kehidupan
sehari-hari.
Itulah sebabnya, hanya ada 3 prinsip Pesan Allah di dalam
Al-Quran ....
1. Pengakuan ke-ESA-an Allah
2. Berbuat Baik (beramal saleh)
3. Percaya Hari Kiamat.
salam
-----
MARI KITA KAJI PERNYATAAN DI ATAS!
Di dalam Al-Quran terjemahan Depag banyak
ditulis "sembahlah Allah" atau "menyembah Allah".
Kata "menyembah" itu pasti ada
subyek dan ada obyeknya. Subyeknya ialah diri si penyembah dan obyeknya ialah
benda yang disembah. Tidak mungkin menyembah tanpa obyek benda, karena
pengertian kata menyembah itu dilakukan dengan gerakan tertentu dari badan si
penyembah dan karena itu badan si penyembah tentu menghadap ke suatu arah benda
tertentu (secara phisik). Itu pasti, kalau tidak maka badan itu mau menghadap
ke mana??????
Saudaraku…,
Dalam hal ini, Allah telah berfirman dalam Al Qur’an
surat Thaahaa ayat 14:
إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا
فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي ﴿١٤﴾
”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaahaa.
14).
Sedangkan terkait shalat, terdapat tiga makna:
1. Shalat bermakna do’a.
2. Shalat bermakna shalawat
3. Shalat secara syar’i, adalah suatu
pekerjaan/ibadah khusus yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang
diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam
1. Secara
bahasa, shalat itu bermakna do’a.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Al Qur’an dalam surat At
Taubah ayat 103 berikut ini:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
﴿١٠٣﴾
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At Taubah.
103).
Dalam ayat tersebut, shalat yang dimaksud sama sekali
bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu
berdo’a.
2. Shalat
bermakna shalawat
إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ
عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا
عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴿٥٦﴾
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al Ahzaab. 56).
3. Shalat
secara syar’i, adalah suatu pekerjaan/ibadah khusus yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam
Saudaraku…,
Ada dua kunci utama agar semua ibadah yang kita lakukan
diterima Allah SWT., yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas berarti melakukannya
semata-mata karena Allah, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti cara peribadatan
yang Beliau SAW. contohkan.
قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي ﴿١٤﴾
”Katakanlah: "Hanya
Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agamaku". (QS. Az Zumar. 14).
Sedangkan dalam rangkaian ittiba’ kepada Nabi Muhammad SAW.,
mari kita mengkaji firman Allah SWT. pada bagian akhir ayat 7 dari surat Al Hasyr berikut ini:
...
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS Al Hasyr. 7).
Saudaraku…,
Terkait masalah shalat, perhatikan hadits berikut ini:
Dari Malik Ibnul Huwairits r.a., Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي. (رواه
البخارى)
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat shalatku.” (HR.
Al-Bukhari).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: {إِذَا
قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ. ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ،
ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى
تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَا ئِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ
حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ
سْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ
كُلِّهَا}. أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ وَلإِبْنِ مَاجَهْ
بِإِسْنَادِ مُسْلِمٍ: {حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِمًا}.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, sempurnakanlah wudhu,
kemudian menghadap qiblat, lalu bertakbir, bacalah apa yang mudah bagimu dari
Al Qur’an, kemudian ruku’lah secara thuma’ninah, lalu bangkit sampai lurus
berdiri, kemudian sujud sampai thuma’ninah, kemudian bangkit hingga duduk
dengan thuma’ninah, kemudian sujud kembali hingga thuma’ninah, kemudian
lakukanlah yang demikian itu pada shalatmu seluruhnya”. Dikeluarkan oleh tujuh
dan ini lafadz Al Bukhari. Dan riwayat Ibnu Majah dengan sanad Muslim: “Hingga
berdiri dengan thuma’ninah”. (Shahih, diriwayatkan oleh Al Bukhari (6251) dalam
Al Istidzaan, Muslim (397) dalam Ash Shalaah, Abu Dawud (856) dalam Ash
Shalaah, At Tirmidzi (303) dalam Abwaab Ash Shlaah, An Nasa’i (884), Ibnu Majah
(1060) dalam Iqaamatush ash Shalaah was Sunnah fiha, Ahmad (9352). At Tirmidzi
berkata: “Hadits hasan shahih”).
Kesimpulan:
Secara umum pernyataan di atas bisa diterima dengan
catatan ada beberapa revisi, sehingga (setelah direvisi) menjadi sebagai
berikut:
Di dalam Al-Quran terjemahan Depag banyak
ditulis "sembahlah Allah" atau "menyembah Allah".
Kata "menyembah" itu pasti ada
subyek dan ada obyeknya. Subyeknya ialah diri si penyembah dan obyeknya ialah
apa yang disembah. Tidak mungkin menyembah tanpa obyek, karena pengertian kata
menyembah itu dilakukan dengan gerakan tertentu dari badan si penyembah dan
karena itu badan si penyembah tentu menghadap ke suatu arah tertentu (secara
phisik). Itu pasti, kalau tidak maka badan itu mau menghadap ke mana?
-----
Allah yang tidak bisa kita lihat dengan
mata-kepala, Yang Maha Besar, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Suci, .... bagaimana
menyembah-Nya????????? .......... Mau dihadapkan ke mana badan ini ??????????
Saudaraku…,
Untuk membahas pernyataan tersebut, marilah kita
perhatikan uraian berikut ini:
Sebagai tempat
suci ketiga umat Islam, Masjidil Aqsha juga merupakan kiblat pertama
umat Islam sebelum akhirnya dipindahkan ke Baitullah
(Ka’bah) di Makkah sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat
142 – 144 berikut ini:
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ
عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ
وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara
manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari
kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?"
Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS Al Baqarah. 142).
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً
لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن
يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ
لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ
إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣﴾
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW.) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat
berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan
Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang kepada manusia”. (QS Al Baqarah. 143).
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء
فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ
الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ
وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang
kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada,
palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS Al Baqarah. 144).
Saudaraku…,
Dari surat Al Baqarah ayat 142
di atas, diperoleh penjelasan bahwa setelah Rasulullah Muhammad SAW. hijrah dari Makkah ke Madinah, Allah SWT.
telah memerintahkan Rasulullah SAW. untuk
menghadapkan wajahnya ke Masjidil Haram
(Ka’bah) dari yang sebelumnya menghadap ke Masjidil Aqsha.
Kesimpulan:
Dari perpindahan arah kiblat ini menunjukkan bahwa bagi
seorang muslim, menghadap Masjidil Haram atau Masjidil Aqsha pada
saat melakukan ibadah shalat itu bukanlah semata-mata sebagai tujuan, melainkan
(tujuan utamanya) menghadapkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, dari
perpindahan arah kiblat ini sekaligus juga menjadikan Ka’bah
sebagai pemersatu umat Islam di seluruh dunia dalam menentukan arah kiblat semenjak
perintah tersebut diturunkan hingga saat ini dan untuk selamanya, sebagaimana
penjelasan surat Al Baqarah ayat 144 di atas.
Bagaimana menyembah-Nya?
Jawab: sudah dijelaskan pada uraian di atas tentang
shalat.
Mau dihadapkan ke mana badan ini ?
Jawab: sudah dijelaskan pada uraian di atas (surat Al Baqarah ayat 142 – 144).
-----
Oleh karena tidak tahu harus menghadap kemana,
maka "dibuatlah" bendanya. Maka jadilah itu "Ka'bah". Benda
sesembahan itu diada-adakan sendiri ....
Saudaraku…,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya benar-benar telah terjadi
kesalahan penafsiran yang sangat fatal dalam pernyataan tersebut hingga hal ini
bisa membahayakan aqidah bagi orang yang berpendapat seperti itu. (Na’udzubillahi
mindzalika!).
Mengapa demikian?
Marilah kita perhatikan uraian berikut ini:
وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْناً
وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ
وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ
وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ ﴿١٢٥﴾
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu
(Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah
sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf,
yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud". (QS. Al Baqarah. 125).
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً
آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ
إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ ﴿١٢٦﴾
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan
hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri
kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali". (QS. Al Baqarah. 126).
وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ
وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
﴿١٢٧﴾
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina)
dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami
terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. Al Baqarah. 127).
Kesimpulan:
Dari penjelasan surat Al Baqarah ayat 125 – 127
tersebut, secara sangat nyata bisa kita ketahui bersama bahwa bangunan Ka’bah
itu adalah suatu bangunan yang dibangun berdasarkan perintah Allah SWT. Dan
bangunan Ka’bah itu sama sekali bukan “benda sesembahan yang diada-adakan sendiri”. Kalaupun kita
menghadap ke arahnya pada saat melaksanakan ibadah shalat, hal ini bukan
berarti kita menyembah Ka’bah (lihat kembali penjelasan surat Al Baqarah ayat 142 – 144 pada uraian sebelumnya).
-----
Maka, dirikanlah sholat itu bukanlah dengan
"mengerjakan ritual menyembah Allah dengan melakukan gerakan-gerakan badan
tertentu sambil menghadap Batu Ka'bah", bukan Itu!!! .... Itu adalah
bentuk pengulangan "kemusyrikan" yang dilakukan umat-umat terdahulu.
Dirikanlah sholat itu dirikanlah Perkataan
Allah, maka mendirikan sholat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali dengan
"tunduk-patuh" kepada Perkataan Allah (Hikmah-hikmah Al-Quran).
Tunduk-patuh tidak bisa dilakukan dengan menyembah obyek phisik benda tertentu
(itu justru 'menyekutukan-Nya'), Tunduk-patuh hanya bisa dilakukan dengan
membaca, memahami dan mengamalkan Petunjuk/Perkataan-Nya di dalam kehidupan
sehari-hari.
Saudaraku…,
Ketahuilah bahwa lagi-lagi telah terjadi penafsiran
sesuka hatinya sendiri dalam pernyataan tersebut. Sesungguhnya di sini juga
telah terjadi kesalahan penafsiran yang sangat fatal hingga hal ini bisa
membahayakan aqidah bagi orang yang berpendapat seperti itu. (Semua
kesalahan fatal dalam pernyataan tersebut, telah dijelaskan pada uraian
sebelumnya).
Lebih dari itu, dari pernyataan tersebut juga menunjukkan
bahwa yang bersangkutan (yang membuat pernyataan tersebut) telah secara
terang-terangan menuduh orang-orang yang melaksanakan shalat dengan
menghadapkan diri ke arah Ka’bah sebagai orang-orang
yang musyrik. (Na’udzubillahi mindzalika!). Padahal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahayanya
tuduhan seperti ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berikut ini:
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَكْفَرَ رَجُلٌ رَجُلًا إِلَّا بَاءَ أَحَدُهُمَا
بِهَا إِنْ كَانَ كَافِرًا وَإِلَّا كَفَرَ بِتَكْفِيْرِهِ. (روه ابن
حبان)
“Tidaklah seseorang memvonis kafir (mengkafirkan) orang
lain kecuali salah seorang dari keduanya kembali dengan hal tersebut. Apabila
benar kafir (maka menuju kepada orang yang dikafirkannya tersebut), namun bila
tidak, maka ia kafir dengan sebab pengkafirannya tersebut”. (HR. Ibnu Hibban).
-----
Demikian kajian yang bisa kuberikan terkait tulisan yang
telah disampaikan oleh seseorang yang telah belajar agama berdasarkan persepsinya sendiri, yang ternyata telah
jelas-jelas sangat berbahaya bagi aqidahnya sendiri serta bagi orang lain yang
mengikutinya.
Ya…
Tuhan kami,
Lindungilah
kami ketika kami membaca ayat-ayat-Mu dari godaan syaitan yang terkutuk agar
kami senantiasa berada dalam jalan-Mu yang lurus. Amin, ya rabbal ‘alamin!
فَإِذَا قَرَأْتَ
الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ﴿٩٨﴾
”Apabila
kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari
syaitan yang terkutuk”. (QS. An
Nahl. 98).
Semoga bermanfaat.
NB.
*) Hal ini berdasarkan pengakuannya sendiri serta berdasarkan pengamatanku selama beberapa kali
terlibat diskusi dengan yang bersangkutan.