بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ ﴿١﴾ اللهُ الصَّمَدُ ﴿٢﴾ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ﴿٣﴾ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ ﴿٤﴾

Assalamu’alaikum wr. wb.

Selamat datang, saudaraku. Selamat membaca artikel-artikel tulisanku di blog ini.

Jika ada kekurangan/kekhilafan, mohon masukan/saran/kritik/koreksinya (bisa disampaikan melalui email: imronkuswandi@gmail.com atau "kotak komentar" yang tersedia di bagian bawah setiap artikel). Sedangkan jika dipandang bermanfaat, ada baiknya jika diinformasikan kepada saudara kita yang lain.

Semoga bermanfaat. Mohon maaf jika kurang berkenan, hal ini semata-mata karena keterbatasan ilmuku. (Imron Kuswandi M.).

Jumat, 03 Oktober 2014

BAHAYANYA BELAJAR AGAMA BERDASARKAN PERSEPSI SENDIRI



Assalamu’alaikum wr. wb.

Saudaraku…,
Seorang teman yang telah belajar agama berdasarkan persepsinya sendiri*, dengan santainya telah menyampaikan tulisan dalam salah satu statusnya di facebook sebagai berikut:
  
MENYEMBAH vs TUNDUK PATUH (MENGABDI)

Di dalam Al-Quran terjemahan Depag banyak ditulis "sembahlah Allah" atau "menyembah Allah".

Kata "menyembah" itu pasti ada subyek dan ada obyeknya. Subyeknya ialah diri si penyembah dan obyeknya ialah benda yang disembah. Tidak mungkin menyembah tanpa obyek benda, karena pengertian kata menyembah itu dilakukan dengan gerakan tertentu dari badan si penyembah dan karena itu badan si penyembah tentu menghadap ke suatu arah benda tertentu (secara phisik). Itu pasti, kalau tidak maka badan itu mau menghadap ke mana??????

Allah yang tidak bisa kita lihat dengan mata-kepala, Yang Maha Besar, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Suci, .... bagaimana menyembah-Nya????????? .......... Mau dihadapkan ke mana badan ini ??????????

Oleh karena tidak tahu harus menghadap kemana, maka "dibuatlah" bendanya. Maka jadilah itu "Ka'bah". Benda sesembahan itu diada-adakan sendiri ....

[16:86-87] Dan apabila orang-orang yang MEMPERSEKUTUKAN melihat sekutu-sekutu mereka, mereka berkata: "Ya Tuhan kami mereka inilah sekutu-sekutu kami yang dahulu kami sembah selain dari Engkau." Lalu sekutu-sekutu mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya kamu benar-benar orang-orang yang dusta." Dan mereka menyatakan ketundukannya kepada Allah pada hari itu dan hilanglah dari mereka apa yang selalu mereka ADA-ADAKAN.

Inilah kesalahan fatal takwil dari ayat-ayat Allah berkenaan dengan "aqimus-sholata". Perkataan aqimus sholata yang artinya "dirikanlah" sholat dimaknai dengan "menyembah Allah" ("kerjakanlah" sholat). Pemaknaan ini tidak terlepas dari apa yang sudah biasa mereka 'kerjakan' sebelumnya (menyembah berhala), istilah "menyembah" (dengan gerakan badan) itu mereka pakai. Jadilah kata "aqimus sholata" mereka maknai dengan "menyembah" Allah.

Padahal banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan apa itu Aqimus Sholata.

Di beberapa ayat Allah katakan bahwa manusia diminta "tunduk-patuh" kepada-Nya [2:128,131,133,136; 22:34; 40:66] atau mengabdi kepada-Nya [51:56].

Tunduk-Patuh (mengabdi) kepada Allah ..... kepada apa-Nya??? (padahal Dia tidak bisa dilihat dengan mata-kepala, tidak bisa didengar dengan telinga). ..... ya kepada apa-Nya lagi kalau bukan kepada Perkataan-Nya (Hikmah-hikmah Al-Quran) yang bisa dipahami dengan hati ?!!!

Maka, dirikanlah sholat itu bukanlah dengan "mengerjakan ritual menyembah Allah dengan melakukan gerakan-gerakan badan tertentu sambil menghadap Batu Ka'bah", bukan Itu!!! .... Itu adalah bentuk pengulangan "kemusyrikan" yang dilakukan umat-umat terdahulu.

Dirikanlah sholat itu dirikanlah Perkataan Allah, maka mendirikan sholat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali dengan "tunduk-patuh" kepada Perkataan Allah (Hikmah-hikmah Al-Quran). Tunduk-patuh tidak bisa dilakukan dengan menyembah obyek phisik benda tertentu (itu justru 'menyekutukan-Nya'), Tunduk-patuh hanya bisa dilakukan dengan membaca, memahami dan mengamalkan Petunjuk/Perkataan-Nya di dalam kehidupan sehari-hari.

Itulah sebabnya, hanya ada 3 prinsip Pesan Allah di dalam Al-Quran ....

1. Pengakuan ke-ESA-an Allah
2. Berbuat Baik (beramal saleh)
3. Percaya Hari Kiamat.

salam

-----

MARI KITA KAJI PERNYATAAN DI ATAS!

Di dalam Al-Quran terjemahan Depag banyak ditulis "sembahlah Allah" atau "menyembah Allah".

Kata "menyembah" itu pasti ada subyek dan ada obyeknya. Subyeknya ialah diri si penyembah dan obyeknya ialah benda yang disembah. Tidak mungkin menyembah tanpa obyek benda, karena pengertian kata menyembah itu dilakukan dengan gerakan tertentu dari badan si penyembah dan karena itu badan si penyembah tentu menghadap ke suatu arah benda tertentu (secara phisik). Itu pasti, kalau tidak maka badan itu mau menghadap ke mana??????

Saudaraku…,
Dalam hal ini, Allah telah berfirman dalam Al Qur’an surat Thaahaa ayat 14:

إِنَّنِي أَنَا اللهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي ﴿١٤﴾
”Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaahaa. 14).

Sedangkan terkait shalat, terdapat tiga makna:
1.  Shalat bermakna do’a.
2.  Shalat bermakna shalawat
3.  Shalat secara syar’i, adalah suatu pekerjaan/ibadah khusus yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam

1.  Secara bahasa, shalat itu bermakna do’a.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Al Qur’an dalam surat At Taubah ayat 103 berikut ini:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاَتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١٠٣﴾
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat (do'a) kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At Taubah. 103).

Dalam ayat tersebut, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdo’a.

2.  Shalat bermakna shalawat

إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً ﴿٥٦﴾
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al Ahzaab. 56).

3.  Shalat secara syar’i, adalah suatu pekerjaan/ibadah khusus yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang diawali dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam

Saudaraku…,
Ada dua kunci utama agar semua ibadah yang kita lakukan diterima Allah SWT., yaitu ikhlas dan ittiba’. Ikhlas berarti melakukannya semata-mata karena Allah, sedangkan ittiba’ berarti mengikuti cara peribadatan yang Beliau SAW. contohkan.

قُلِ اللهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي ﴿١٤﴾
”Katakanlah: "Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku". (QS. Az Zumar. 14).

Sedangkan dalam rangkaian ittiba’ kepada Nabi Muhammad SAW., mari kita mengkaji firman Allah SWT. pada bagian akhir ayat 7 dari surat Al Hasyr berikut ini:

... وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٧﴾
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS Al Hasyr. 7).

Saudaraku…,
Terkait masalah shalat, perhatikan hadits berikut ini:

Dari Malik Ibnul Huwairits r.a., Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي. (رواه البخارى)
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat shalatku.” (HR. Al-Bukhari).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: {إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ. ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَا ئِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ سْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا}. أَخْرَجَهُ السَّبْعَةُ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ وَلإِبْنِ مَاجَهْ بِإِسْنَادِ مُسْلِمٍ: {حَتَّى تَطْمَئِنَّ قَائِمًا}.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadap qiblat, lalu bertakbir, bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an, kemudian ruku’lah secara thuma’ninah, lalu bangkit sampai lurus berdiri, kemudian sujud sampai thuma’ninah, kemudian bangkit hingga duduk dengan thuma’ninah, kemudian sujud kembali hingga thuma’ninah, kemudian lakukanlah yang demikian itu pada shalatmu seluruhnya”. Dikeluarkan oleh tujuh dan ini lafadz Al Bukhari. Dan riwayat Ibnu Majah dengan sanad Muslim: “Hingga berdiri dengan thuma’ninah”. (Shahih, diriwayatkan oleh Al Bukhari (6251) dalam Al Istidzaan, Muslim (397) dalam Ash Shalaah, Abu Dawud (856) dalam Ash Shalaah, At Tirmidzi (303) dalam Abwaab Ash Shlaah, An Nasa’i (884), Ibnu Majah (1060) dalam Iqaamatush ash Shalaah was Sunnah fiha, Ahmad (9352). At Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”).

Kesimpulan:
Secara umum pernyataan di atas bisa diterima dengan catatan ada beberapa revisi, sehingga (setelah direvisi) menjadi sebagai berikut:

Di dalam Al-Quran terjemahan Depag banyak ditulis "sembahlah Allah" atau "menyembah Allah".

Kata "menyembah" itu pasti ada subyek dan ada obyeknya. Subyeknya ialah diri si penyembah dan obyeknya ialah apa yang disembah. Tidak mungkin menyembah tanpa obyek, karena pengertian kata menyembah itu dilakukan dengan gerakan tertentu dari badan si penyembah dan karena itu badan si penyembah tentu menghadap ke suatu arah tertentu (secara phisik). Itu pasti, kalau tidak maka badan itu mau menghadap ke mana?

-----

Allah yang tidak bisa kita lihat dengan mata-kepala, Yang Maha Besar, Yang Maha Tinggi, Yang Maha Suci, .... bagaimana menyembah-Nya????????? .......... Mau dihadapkan ke mana badan ini ??????????

Saudaraku…,
Untuk membahas pernyataan tersebut, marilah kita perhatikan uraian berikut ini:

Sebagai tempat suci ketiga umat Islam, Masjidil Aqsha juga merupakan kiblat pertama umat Islam sebelum akhirnya dipindahkan ke Baitullah (Ka’bah) di Makkah sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 142 – 144 berikut ini:

سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَن قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُواْ عَلَيْهَا قُل لِّلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَن يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ ﴿١٤٢﴾
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”. (QS Al Baqarah. 142).

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهُ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣﴾
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad SAW.) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”. (QS Al Baqarah. 143).

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ وَمَا اللهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ ﴿١٤٤﴾
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS Al Baqarah. 144).

Saudaraku…,
Dari surat Al Baqarah ayat 142 di atas, diperoleh penjelasan bahwa setelah Rasulullah Muhammad SAW. hijrah dari Makkah ke Madinah, Allah SWT. telah memerintahkan Rasulullah SAW. untuk menghadapkan wajahnya ke Masjidil Haram (Ka’bah) dari yang sebelumnya menghadap ke Masjidil Aqsha.

Kesimpulan:
Dari perpindahan arah kiblat ini menunjukkan bahwa bagi seorang muslim, menghadap Masjidil Haram atau Masjidil Aqsha pada saat melakukan ibadah shalat itu bukanlah semata-mata sebagai tujuan, melainkan (tujuan utamanya) menghadapkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, dari perpindahan arah kiblat ini sekaligus juga menjadikan Ka’bah sebagai pemersatu umat Islam di seluruh dunia dalam menentukan arah kiblat semenjak perintah tersebut diturunkan hingga saat ini dan untuk selamanya, sebagaimana penjelasan surat Al Baqarah ayat 144 di atas.

Bagaimana menyembah-Nya?
Jawab: sudah dijelaskan pada uraian di atas tentang shalat.

Mau dihadapkan ke mana badan ini ?
Jawab: sudah dijelaskan pada uraian di atas (surat Al Baqarah ayat 142 – 144).

-----

Oleh karena tidak tahu harus menghadap kemana, maka "dibuatlah" bendanya. Maka jadilah itu "Ka'bah". Benda sesembahan itu diada-adakan sendiri ....

Saudaraku…,
Ketahuilah bahwa sesungguhnya benar-benar telah terjadi kesalahan penafsiran yang sangat fatal dalam pernyataan tersebut hingga hal ini bisa membahayakan aqidah bagi orang yang berpendapat seperti itu. (Na’udzubillahi mindzalika!).

Mengapa demikian?
Marilah kita perhatikan uraian berikut ini:

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْناً وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ ﴿١٢٥﴾
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i`tikaaf, yang ruku` dan yang sujud". (QS. Al Baqarah. 125).

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَداً آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ ﴿١٢٦﴾
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali". (QS. Al Baqarah. 126).

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ ﴿١٢٧﴾
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS. Al Baqarah. 127).

Kesimpulan:
Dari penjelasan surat Al Baqarah ayat 125 – 127 tersebut, secara sangat nyata bisa kita ketahui bersama bahwa bangunan Ka’bah itu adalah suatu bangunan yang dibangun berdasarkan perintah Allah SWT. Dan bangunan Ka’bah itu sama sekali bukan “benda sesembahan yang diada-adakan sendiri”. Kalaupun kita menghadap ke arahnya pada saat melaksanakan ibadah shalat, hal ini bukan berarti kita menyembah Ka’bah (lihat kembali penjelasan surat Al Baqarah ayat 142 – 144 pada uraian sebelumnya).

-----

Maka, dirikanlah sholat itu bukanlah dengan "mengerjakan ritual menyembah Allah dengan melakukan gerakan-gerakan badan tertentu sambil menghadap Batu Ka'bah", bukan Itu!!! .... Itu adalah bentuk pengulangan "kemusyrikan" yang dilakukan umat-umat terdahulu.

Dirikanlah sholat itu dirikanlah Perkataan Allah, maka mendirikan sholat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali dengan "tunduk-patuh" kepada Perkataan Allah (Hikmah-hikmah Al-Quran). Tunduk-patuh tidak bisa dilakukan dengan menyembah obyek phisik benda tertentu (itu justru 'menyekutukan-Nya'), Tunduk-patuh hanya bisa dilakukan dengan membaca, memahami dan mengamalkan Petunjuk/Perkataan-Nya di dalam kehidupan sehari-hari.

Saudaraku…,
Ketahuilah bahwa lagi-lagi telah terjadi penafsiran sesuka hatinya sendiri dalam pernyataan tersebut. Sesungguhnya di sini juga telah terjadi kesalahan penafsiran yang sangat fatal hingga hal ini bisa membahayakan aqidah bagi orang yang berpendapat seperti itu. (Semua kesalahan fatal dalam pernyataan tersebut, telah dijelaskan pada uraian sebelumnya).

Lebih dari itu, dari pernyataan tersebut juga menunjukkan bahwa yang bersangkutan (yang membuat pernyataan tersebut) telah secara terang-terangan menuduh orang-orang yang melaksanakan shalat dengan menghadapkan diri ke arah Ka’bah sebagai orang-orang yang musyrik. (Na’udzubillahi mindzalika!). Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan bahayanya tuduhan seperti ini dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berikut ini:

Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أَكْفَرَ رَجُلٌ رَجُلًا إِلَّا بَاءَ أَحَدُهُمَا بِهَا إِنْ كَانَ كَافِرًا وَإِلَّا كَفَرَ بِتَكْفِيْرِهِ. (روه ابن حبان)
“Tidaklah seseorang memvonis kafir (mengkafirkan) orang lain kecuali salah seorang dari keduanya kembali dengan hal tersebut. Apabila benar kafir (maka menuju kepada orang yang dikafirkannya tersebut), namun bila tidak, maka ia kafir dengan sebab pengkafirannya tersebut”. (HR. Ibnu Hibban).

-----

Demikian kajian yang bisa kuberikan terkait tulisan yang telah disampaikan oleh seseorang yang telah belajar agama berdasarkan persepsinya sendiri, yang ternyata telah jelas-jelas sangat berbahaya bagi aqidahnya sendiri serta bagi orang lain yang mengikutinya.

Ya… Tuhan kami,
Lindungilah kami ketika kami membaca ayat-ayat-Mu dari godaan syaitan yang terkutuk agar kami senantiasa berada dalam jalan-Mu yang lurus. Amin, ya rabbal ‘alamin!

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ﴿٩٨﴾
”Apabila kamu membaca Al Qur'an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk”. (QS. An Nahl. 98).

Semoga bermanfaat.

NB.
*) Hal ini berdasarkan pengakuannya sendiri serta  berdasarkan pengamatanku selama beberapa kali terlibat diskusi dengan yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Info Buku:

● Alhamdulillah, telah terbit buku: Islam Solusi Setiap Permasalahan jilid 1.

Prof. Dr. KH. Moh. Ali Aziz, MAg: “Banyak hal yang dibahas dalam buku ini. Tapi, yang paling menarik bagi saya adalah dorongan untuk mempelajari Alquran dan hadis lebih luas dan mendalam, sehingga tidak mudah memandang sesat orang. Juga ajakan untuk menilai orang lebih berdasar kepada kitab suci dan sabda Nabi daripada berdasar nafsu dan subyektifitasnya”.

Buku jilid 1:

Buku jilid 1:
Buku: “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 378 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

● Buku “Islam Solusi Setiap Permasalahan” jilid 1 ini merupakan kelanjutan dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” (jilid 1 s/d jilid 5). Berisi kumpulan artikel-artikel yang pernah saya sampaikan dalam kajian rutin ba’da shalat subuh (kuliah subuh), ceramah menjelang berbuka puasa, ceramah menjelang shalat tarawih/ba’da shalat tarawih, Khutbah Jum’at, kajian rutin untuk rekan sejawat/dosen, ceramah untuk mahasiswa di kampus maupun kegiatan lainnya, siraman rohani di sejumlah grup di facebook/whatsapp (grup SMAN 1 Blitar, grup Teknik Industri ITS, grup dosen maupun grup lainnya), kumpulan artikel yang pernah dimuat dalam majalah dakwah serta kumpulan tanya-jawab, konsultasi, diskusi via email, facebook, sms, whatsapp, maupun media lainnya.

● Sebagai bentuk kehati-hatian saya dalam menyampaikan Islam, buku-buku religi yang saya tulis, biasanya saya sampaikan kepada guru-guru ngajiku untuk dibaca + diperiksa. Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz adalah salah satu diantaranya. Beliau adalah Hakim MTQ Tafsir Bahasa Inggris, Unsur Ketua MUI Jatim, Pengurus Lembaga Pengembangan Tilawah Al Qur’an, Ketua Asosiasi Profesi Dakwah Indonesia 2009-2013, Dekan Fakultas Dakwah 2000-2004/Guru Besar/Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya 2004 - sekarang.

_____

Assalamu'alaikum wr. wb.

● Alhamdulillah, telah terbit buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5.

● Buku jilid 5 ini merupakan penutup dari buku “Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an dan Hadits” jilid 1, jilid 2, jilid 3 dan jilid 4.

Buku Jilid 5

Buku Jilid 5
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 5: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-29-3

Buku Jilid 4

Buku Jilid 4
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 4: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², x + 384 halaman, ISBN 978-602-5416-28-6

Buku Jilid 3

Buku Jilid 3
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 3: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 396 halaman, ISBN 978-602-5416-27-9

Buku Jilid 2

Buku Jilid 2
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 2: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 324 halaman, ISBN 978-602-5416-26-2

Buku Jilid 1

Buku Jilid 1
Buku: "Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya Menurut Al Qur’an Dan Hadits” jilid 1: HVS 70 gr, 16 x 24 cm², viii + 330 halaman, ISBN 978-602-5416-25-5

Keterangan:

Penulisan buku-buku di atas adalah sebagai salah satu upaya untuk menjalankan kewajiban dakwah, sebagaimana penjelasan Al Qur’an dalam surat Luqman ayat 17 berikut ini: ”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”. (QS. Luqman. 17).

Sehingga sangat mudah dipahami jika setiap pembelian buku tersebut, berarti telah membantu/bekerjasama dalam melaksanakan tugas dakwah.

Informasi selengkapnya, silahkan kirim email ke: imronkuswandi@gmail.com atau kirim pesan via inbox/facebook, klik di sini: https://www.facebook.com/imronkuswandi

۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞ ۞