Assalamu’alaikum wr. wb.
Saudaraku…,
Ketahuilah bahwa ketika ada
orang lain sedang memuji kita, maka hal itu terjadi karena mereka belum
mengetahui kelemahan kita. Dengan kata lain, karena pada saat itu Allah SWT.
sedang menutupi kelemahan kita. Hal itu menunjukkan bahwa orang yang memuji kita
tersebut pada dasarnya tidak mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya. Karena
orang yang memuji kita tersebut pada dasarnya hanyalah menduga-duga saja
terhadap apa yang tampak dari diri kita.
Dengan demikian jika kita menikmati pujian orang lain,
berarti kita sudah bersikap tidak jujur kepada diri kita sendiri. Karena tanpa
kita sadari, kita telah membenarkan apa yang telah dikatakannya. Padahal tidak
ada satupun diantara kita yang bersih dari perbuatan maksiat, tidak ada satupun
diantara kita yang mampu untuk terus menerus menjaga kebersihan hati kita serta
tidak ada satupun diantara kita yang mampu untuk terus menerus menjaga ketundukan
hawa nafsu kita pada bimbingan Allah SWT. Sehingga wajar jika ada ungkapan
dalam Bahasa Arab: “Al-insaanu mahallu al-khatha’ wa an-nisyaan” yang artinya adalah
bahwa “manusia itu tempatnya salah dan lupa”.
Kecuali para nabi dan rasul saja yang ma’shum. Mereka para
nabi dan rasul itu pasti ma’shum (terpelihara dari dosa / kemaksiatan / kesalahan
/ kekhilafan). Sebab jika para nabi dan rasul tidak ma’shum (dalam hal
penyampaian risalah), maka rusaklah nilai kenabian dan kerasulan secara
keseluruhan karena risalah yang seharusnya berfungsi sebagai petunjuk ke jalan yang
lurus, telah menyimpang. Hal ini juga berarti: Allah telah membiarkan para
utusannya untuk menyesatkan umat manusia. (Subhanallah,
Maha Suci Allah dari sifat yang demikian!).
Saudaraku…,
Al Qur'an telah menjelaskan bahwa segala apa yang disampaikan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak lain adalah wahyu semata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berkata-kata tidaklah mengikuti
hawa nafsunya, melainkan dibimbing oleh wahyu yang diturunkan kepada Beliau.
قُلْ إِنَّمَا أُنذِرُكُم بِالْوَحْيِ وَلَا يَسْمَعُ
الصُّمُّ الدُّعَاءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ ﴿٤٥﴾
“Katakanlah (hai Muhammad): "Sesungguhnya aku hanya
memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu dan tiadalah orang-orang
yang tuli mendengar seruan, apabila mereka diberi peringatan" (QS. Al
Anbiyaa’. 45).
وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَى ﴿١﴾ مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا
غَوَى ﴿٢﴾ وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى ﴿٤﴾
عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى ﴿٥﴾ ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى ﴿٦﴾
(1) “Demi bintang ketika terbenam”, (2) “ kawanmu
(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru”, (3) “dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya”. (4) “Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”, (5) “yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat”, (6) “Yang mempunyai akal yang
cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli”. (QS. Najm. 1
– 6).
Saudaraku…,
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seharusnya pujian itu
malah menjadikan diri kita malu karena mereka (orang yang memuji kita) telah menyangka
sesuatu yang sesungguhnya tidak ada pada diri kita. Sehingga menikmati pujian
akan sama saja dengan menikmati sesuatu yang tidak ada pada diri kita, dengan
kata lain kita sudah berbuat bohong pada diri kita sendiri. (Na’udzubillahi
mindzalika!).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حُبُّ
الثَّنَاءِ مِنَ النَّاسِ يُعْمِى وَيُصِيْمُ (رواه الديلمى)
"Menyukai sanjungan dan
pujian dari manusia membuat
orang buta dan tuli." (HR. Ad-Dailami).
Saudaraku…,
Disamping hal itu, ada yang lebih berbahaya dari
menikmati pujian. Jika kita terlanjur menikmati pujian (bahkan membenarkan apa
yang telah dikatakannya), maka hal ini justru bisa membuat kita terpenjara oleh
pujian itu. Misal: kita telah menikmati/membenarkan pujian orang yang telah
memuji kita sebagai orang yang dermawan. Maka hal ini bisa membuat kita terus
menjaga citra kita sebagai orang yang dermawan. Sehingga sedekah yang
senantiasa kita lakukan, tiada lain hanyalah agar tetap mendapat pujian agar citra
kita sebagai orang dermawan dapat tetap terjaga. (Na’udzubillahi
mindzalika!).
Jika ini yang kita lakukan, maka jelas akan menghilangkan
rasa keikhlasan kita dalam beramal. Karena dalam beramal kita akan lebih
mengutamakan pujian orang, sehingga sudah tidak murni untuk Allah lagi. Padahal
hanya amalan yang kita niatkan karena Allah saja yang bisa membuahkan pahala. Sedangkan jika kita berniat karena ingin
mendapat pujian dari orang lain / riya’, maka akan rusaklah amalan kita
tersebut. Artinya kita tidak akan beroleh apapun dari sedekah yang kita
lakukan. (Na’udzubillahi mindzalika!).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لَا تُبْطِلُواْ
صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ
وَلَا يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ
عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَّا يَقْدِرُونَ عَلَى
شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ ﴿٢٦٤﴾
”Hai orang-orang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan sipenerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah).
Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS. Al Baqarah. 264).
Lebih dari itu semua, bahwa
sesungguhnya segala pujian itu hanyalah untuk-Nya.
الْحَمْدُ
لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ﴿٢﴾
"Segala
puji bagi Allah, Tuhan semesta alam". (Al Qur’an surat Al Faatihah ayat
2).
Saudaraku…,
Kalaupun kita “punya kelebihan”, maka sesungguhnya
kelebihan itu adalah sekedar titipan Allah SWT. Karena semua yang ada di langit
dan di bumi ini serta segala apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di
belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, semuanya adalah milik
Allah SWT, tak terkecuali segala “kelebihan” yang yang ada pada diri kita
tersebut. Oleh karena itu, janganlah kita mengingkari kenyataan ini. Perhatikan
penjelasan Al Qur’an surat An
Nisaa’ ayat
126 serta surat Maryam ayat
64 berikut ini:
وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَكَانَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيطًا ﴿١٢٦﴾
“Kepunyaan Allah-lah apa yang
di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi
segala sesuatu. (QS. An Nisaa’. 126).
وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ
أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
﴿٦٤﴾
“Dan tidaklah kami (Jibril)
turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di
hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara
keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa”. (QS. Maryam. 64).
Saudaraku…,
Dengan mengakui bahwa semuanya adalah milik Allah, maka
terhadap kelebihan apapun yang mungkin ada pada diri kita, tentunya tidak ada
sedikitpun alasan/kesempatan bagi kita untuk merasa berhak mendapatkan pujian.
Karena sesungguhnya semuanya itu adalah milik-Nya semata, maka segala
pujian itu juga hanya untuk-Nya. Sedangkan kita hanyalah insan yang lemah yang tidak
bisa berbuat apa-apa tanpa pertolongan-Nya, tanpa nikmat yang datang dari-Nya.
...
وَخُلِقَ الإِنسَانُ ضَعِيفًا ﴿٢٨﴾
“..., dan manusia dijadikan bersifat lemah”. (QS. An
Nisaa’. 28).
Lalu bagaimana halnya jika kita mendapati orang lain
sedang memuji kita? Sementara kita tidak bisa menahan atas perbuatan yang
bersangkutan? Tentunya hal ini tidak masalah. Yang penting kita jangan
terjebak, jangan terkecoh, jangan terbelenggu dengan pujian yang tidak cocok
untuk kita tersebut. (Wallahu a'lam).
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar