Assalamu’alaikum wr. wb.
Seorang teman telah bertanya: “Mas Imron, minta solusinya. Saya ditugaskan di Custom Clereance
tetapi saya agak bertentangan dengan hati nurani, tetapi sebagai manusia saya
juga butuh tambahan pendapatan. Masalahnya kalau saya di Custom akan terus
berhubungan dengan uang yang kurang jelas, seperti ini: setiap melakukan
pemeriksaan barang importir dengan orang bea cukai pemeriksa biasanya kita
kasih uang, bahkan kadang-kadang ada yang pasang tarip tetapi setelah mereka
saya kasih mereka juga kasih kepada saya sebagian kecil. Bahkan kalau ada
temuan mereka tidak segan meminta nominal yang besar, setelah deal biasa(nya) mereka
persen kita juga. Gimana, ya Mas?”.
Terimakasih atas kepercayaan yang telah diberikan untuk mencarikan
solusi atas kasus tersebut. Sebelum membahas kasus tersebut, marilah kita
perhatikan uraian tentang seputar masalah risywah (suap) berikut ini:
Saudaraku,
Secara umum, yang dimaksud dengan
risywah (suap) adalah pemberian yang bertujuan untuk
membatalkan yang benar/untuk memenangkan yang salah atau pemberian yang
bertujuan untuk mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan.
Perbuatan risywah termasuk perbuatan dosa yang dilarang/diharamkan
oleh Agama Islam karena termasuk memakan harta
dengan cara yang tidak dibenarkan. Dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam telah melaknat orang yang menyuap maupun orang yang menerima suap.
Perhatikan
firman Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah
ayat 188 berikut ini:
وَلَا تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ
وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ
النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah. 188).
Sedangkan
dalam sebuah hadits, diperoleh penjelasan sebagai berikut:
Dari
Abdullah bin Amr, beliau berkata:
لَعَنَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ. (رواه
الترمذى)
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok”. (HR. At-Tirmidzi).
Terkait dengan masalah yang saudaraku hadapi di atas,
maka di sini bisa kita bagi menjadi 2 bagian: (1) “setiap
melakukan pemeriksaan barang importir dengan orang bea cukai pemeriksa biasanya
kita kasih uang, bahkan kadang-kadang ada yang pasang tarip tetapi setelah
mereka saya kasih mereka juga kasih kepada saya sebagian kecil” dan (2)
“bahkan kalau ada temuan mereka tidak segan meminta
nominal yang besar, setelah deal biasa(nya) mereka persen kita juga”.
1. Setiap melakukan
pemeriksaan barang importir dengan orang bea cukai pemeriksa biasanya kita kasih
uang, bahkan kadang-kadang ada yang pasang tarip tetapi setelah mereka saya
kasih mereka juga kasih kepada saya sebagian kecil.
Saudaraku,
Pada prinsipnya risywah itu
hukumnya haram karena termasuk memakan harta dengan cara yang tidak dibenarkan.
Hanya saja yang dimaksudkan dengan risywah di sini adalah pemberian yang
bertujuan untuk membatalkan yang benar/untuk memenangkan yang salah atau pemberian
yang bertujuan untuk mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan (sebagaimana
penjelasan di atas).
Sedangkan kasus yang saudaraku
hadapi, tidaklah demikian kondisinya. Apabila benar bahwa barang impor tersebut
memang sudah menjadi hak perusahaan tempat saudaraku bekerja, namun orang (oknum) bea cukai telah mempersulit saudaraku untuk mendapatkan
sesuatu yang memang sudah menjadi hak perusahaan, maka saudaraku
boleh memberikan sejumlah uang kepada orang bea cukai tersebut. Dalam hal ini,
saudaraku berada pada pihak yang terdzolimi karena saudaraku terpaksa
memberikan sejumlah uang kepada mereka agar tidak dipersulit untuk
mendapatkan barang impor yang memang sudah menjadi hak perusahaan sehingga tiada dosa bagi saudaraku dan dosanya tetap ditanggung
oleh orang bea cukai yang
menerima uang tersebut.
Adapun tentang uang yang
saudaraku terima dari mereka setelah mereka menerima pemberian dari saudaraku,
maka semuanya akan kembali dari mana sumber dana yang saudaraku gunakan untuk
memberi orang bea cukai tersebut. Jika bersumber dari dana pribadi, maka uang
yang saudaraku terima dari mereka adalah milik saudaraku/saudaraku boleh
menerimanya. Namun jika bersumber dari dana perusahaan, maka uang yang
saudaraku terima dari mereka adalah tetap milik perusahaan sehingga saudaraku
harus menyerahkan kembali kepada perusahaan.
2. Bahkan kalau ada
temuan mereka tidak segan meminta nominal yang besar, setelah deal biasa(nya) mereka
persen kita juga.
Dalam kasus ini, maka jelas
termasuk kategori risywah (suap) karena saudaraku telah memberi sejumlah uang agar
barang impor yang masih bermasalah tersebut bisa segera didapatkan tanpa
menyelesaikan terlebih dahulu temuan yang ada melalui jalur yang benar. Dalam
hal ini, maka baik saudaraku (sebagai pemberi suap) maupun orang bea cukai (sebagai penerima suap) adalah sama-sama
berdosanya. Terlebih jika hal ini kita kaitkan dengan penjelasan Al
Qur’an dalam surat Al Maa-idah pada bagian akhir ayat 2:
...
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللهَ إِنَّ
اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿٢﴾
“... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya. (QS. Al Maa-idah. 2).
Agar saudaraku terbebas dari risywah, maka sebaiknya selesaikan terlebih dahulu temuan yang ada melalui jalur
yang benar. Jika (misalnya) temuan tersebut berdampak pada adanya pembayaran
denda kepada negara sebesar sekian rupiah, maka bayarlah denda tersebut kepada
negara. Demikian juga jika temuan tersebut berdampak pada adanya sangsi yang
lainnya, maka tunaikan terlebih dahulu sangsi tersebut dengan baik dan benar.
Baru setelah semuanya terselesaikan dengan baik, maka saudaraku boleh
mendapatkan kembali barang impor tersebut.
Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa ketika ada
temuan kemudian saudaraku berupaya untuk menyelesaikan temuan tersebut melalui
jalur yang benar, bisa jadi saudaraku malah akan berhadapan dengan semakin
banyak oknum yang akan ‘memeras’ saudaraku. Jika memang demikian, maka bisa saja
hal ini dapat berdampak besar pada perusahaan karena perusahaan akan terseret
pada kasus hukum yang (sengaja mereka buat) berlarut-larut sehingga perusahaan
bisa kolaps/bangkrut sehingga akan banyak karyawan yang kehilangan pekerjaan (padahal
jika tidak ada oknum, seharusnya semuanya bisa diselesaikan dengan mudah serta
tidak berdampak besar pada perusahaan).
Jika kemungkinan besar dampaknya memang demikian, lalu
apa yang musti saudaraku lakukan?
Saudaraku,
Perhatikan penjelasan Al Qur’an dalam surat An Nahl ayat
106:
مَن كَفَرَ بِاللهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلَّا مَنْ
أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَـــٰـكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللهِ
وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan
baginya azab yang besar”. (QS. An Nahl. 106).
Dari surat An Nahl ayat 106 tersebut diperoleh penjelasan
bahwa jika seseorang dalam keadaan dipaksa kafir sedang hatinya tetap dalam
keadaan beriman (hatinya tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas),
maka tidak ada dosa baginya. Sedangkan batasan terpaksa sebagaimana
penjelasan surat An Nahl ayat 106 tersebut adalah
jika sampai mengancam jiwa.
Hal ini menunjukkan bahwa menolak mudharat/bahaya (yaitu
menghindari terancamnya jiwa) adalah lebih didahulukan daripada mengambil
manfaat, yaitu mempertahankan keimanan (dengan catatan hatinya tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas).
Hal yang senada, juga bisa kita jumpai dalam Al Qur’an
surat Al Baqarah ayat
173 berikut
ini:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ
وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ
بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ﴿١٧٣﴾
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
(QS. Al Baqarah.
173).
Hal ini sejalan dengan kaidah fiqih berikut ini:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari
mengambil manfaat”
Saudaraku,
Merujuk pada uraian di atas, maka ketika saudaraku
menghadapi kasus demikian, tentunya langkah terbaik adalah menyelesaikan temuan
tersebut melalui jalur yang benar. Namun jika hal ini malah berdampak serius pada
perusahaan, maka sebaiknya tidak melakukan hal itu dan lebih memilih untuk
menasehati orang bea cukai tersebut dengan lisan.
Namun jika dengan lisanpun juga tidak akan berpengaruh
sama sekali (dan hal ini sudah bisa diduga sebelumnya), maka dengan hati
(setidaknya hati saudaraku tidak setuju dengan kemungkaran tersebut). Hal ini
berarti bahwa saudaraku terpaksa memberi sejumlah uang kepada orang bea cukai
tersebut, dengan catatan hati saudaraku tetap tidak menginginkannya/hati
saudaraku tidak setuju dengan kemungkaran tersebut. Untuk selanjutnya serahkan
semuanya kepada Allah. Perbanyaklah istighfar kepada-Nya. Semoga Allah bisa memahami
kesulitan yang saudaraku hadapi.
Dari Abu Sa’id Al Khudry
radhiyallahu ’anhu berkata: saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alahi wa
sallam bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الْإِيْمَانِ. (رواه مسلم)
“Barang
siapa di
antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya.
Jika tidak mampu dengan tangannya, dengan lisannya. Jika tidak mampu dengan
lisannya, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Demikian yang bisa
kusampaikan. Mohon maaf jika kurang berkenan. Juga mohon maaf
atas keterbatasan ilmuku. Karena bagimanapun juga, sampai saat ini aku
benar-benar menyadari bahwa wawasan ilmuku masih sangat terbatas. Oleh karena
itu, ada baiknya jika saudaraku juga bertanya kepada ‘alim / ‘ulama’
di sekitar saudaraku tinggal. Semoga saudaraku bisa mendapatkan penjelasan /
jawaban yang lebih memuaskan, karena bagaimanapun juga, mereka (para ulama') lebih
banyak memiliki ilmu dan keutamaan daripada aku.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar